17

"Pejamin mata loe dan tarik napas dalam-dalam, Lyn."

Apapun itu, Evelyn menurut perintah Angga. Gadis itu menutup kedua indera penglihatannya kemudian menarik napas dalam-dalam dan menunggu perintah selanjutnya.

"Bayangin loe adalah Julietta," lanjut Angga. "loe bukan Evelyn. Buang jauh-jauh nama itu, anggap loe nggak kenal karena loe adalah Julietta."

Evelyn memusatkan konsentrasinya. Ia membayangkan jika dirinya adalah sosok Julietta, gadis cantik yang lembut dan menarik.

"Buka mata loe."

Evelyn membuka kedua matanya seperti perintah Angga. Di depannya sudah berdiri Doni, pasangannya dalam cerita drama. Bukan. Jika dirinya adalah Julietta, maka yang berdiri di hadapannya adalah Romeo, kan?

"Loe Julietta dan Doni adalah Romeo," ucap Angga memecah keheningan. "kalian saling jatuh cinta saat pertama kali ketemu. Kalaupun kalian nggak bisa berpura-pura jatuh cinta, bayangin aja kalau lawan main loe adalah artis idola loe. Biar kalian gampang menghayati peran masing-masing," imbuhnya.

"Jatuh cinta beneran juga nggak pa pa," celutuk Doni tiba-tiba. Ia terkekeh namun hanya sebentar. Karena sebuah gulungan kertas mendarat di atas kepalanya tanpa ampun sedetik kemudian. Membuat cowok itu meringis. Untung saja di dalam kelas hanya ada mereka bertiga, karena khusus hari ini Angga memfokuskan latihan pada pemeran utama.

"Serius, Don!" seru Angga gemas. Tampaknya cowok itu memiliki bakat terpendam sebagai sutradara amatir.

Evelyn tersenyum kecil melihat kedua temannya. Mereka berdua adalah orang yang paling berjasa baginya. Karena bantuan mereka kini Evelyn bisa menaikkan satu level tingkat rasa percaya dirinya.

"Galak amat Pak Sutradara ini," gerutu Doni seraya mengusap kepalanya. Padahal timpukan tadi sama sekali tidak menyisakan rasa sakit untuknya.

Kembali pada fokus latihan.

"Kalian lihat, di bangku itu nantinya akan penuh dengan penonton yang ingin menyaksikan penampilan kalian. Ratusan pasang mata akan tertuju ke arah kalian, karena kalian adalah bintang di detik itu juga. Mustahil kalau kalian nggak nervous kan?" Angga memberi jeda sejenak. "anggap aja penonton itu nggak ada. Mereka hanya barisan kambing... "

"Kok kambing sih, Ga?" protes Evelyn dengan cepat. "Oma gue ntar juga bakalan nonton. Masa gue harus nganggap dia kambing?"

"Semut aja deh, Ga," usul Doni dengan cengiran bodohnya.

Angga menghela napas. Pasangan di hadapannya sama-sama konyol dan bawel.

"Ok, ok." Angga menengahi. "anggap aja mereka nggak ada... "

"Wah, tambah parah dong!" Doni menyela dengan antusias. Volume suaranya melebihi speaker saat upacara bendera. Tapi, satu timpukan manis mendarat kembali di atas kepalanya. Lagi-lagi Angga mengarahkan gulungan kertas yang sejak tadi berada dalam genggamannya ke kepala Doni. Agar cowok itu diam.

"Terserah kalian deh," ucap Angga akhirnya. Menyerah. Kehilangan ide kata-kata. "gue nggak mau tahu kalian mau nganggap penonton itu monyet kek, patung kek, itu masalah kalian. Yang penting, jangan karena kehadiran mereka kalian jadi nervous. Paham?"

"Paham." Doni menyahut dengan sigap. Tanpa protes. Tanpa cengiran bodoh. Sedang Evelyn mengangguk ringan.

Apa yang disarankan Angga terbilang sangat membantu Evelyn. Gadis itu mulai bisa meningkatkan rasa percaya dirinya. Dengan membuang segenap ego milik sebuah nama Evelyn, membuat gadis itu lebih bisa menghayati peran Julietta. Untuk beberapa saat ia harus berpura-pura menjadi orang lain. Dan ia mulai menikmatinya sedikit demi sedikit. Karena ada kalanya seseorang lelah dan jenuh dengan kehidupan pribadinya, dan terkadang dengan bodohnya berharap bisa menjadi orang lain. Dengan berakting seperti sekarang ini, setidaknya Evelyn bisa melepaskan sejenak beban yang mendera pikirannya. Tentang kesepian, rasa kehilangan, dan kerinduan yang tak pernah tersampaikan. Cinta yang hanya bisa ia rasakan diam-diam. Semua beban itu ia lepaskan sejenak dari hatinya. Dan saat latihan selesai, ia akan meletakkan kembali segenap beban itu di tempatnya. Di pundak kurus Evelyn.

Gadis itu keluar dari kelas setelah pukul tiga. Tawaran tumpangan gratis dari Angga atau Doni ia tolak mentah-mentah. Ia lebih suka menunggu angkot daripada di antar seseorang yang bukan saudara atau pacar. Meski itu teman sendiri. Ada sebuah hati yang mesti Evelyn jaga. Hati Raffa. Meski cowok itu tidak pernah menunjukkan ketertarikan sama sekali padanya.

"Baru pulang, Lyn?"

Oh. Gadis itu tercekat mendapat teguran hangat disertai tepukan ringan yang mendarat di atas pundak kanannya. Ia memutar tubuh dan serta merta menyunggingkan senyum begitu mengetahui Bu Natasha telah berdiri di belakangnya. Wanita itu juga sedang tersenyum dan tampaknya ia bersiap untuk pulang. Mungkin menunggu jemputan.

"Iya, Bu." Evelyn menjawab dengan sesopan mungkin.

"Ibu denger kamu mau main drama, ya?"

Evelyn tercekat. Jadi, berita itu sudah sampai di telinga Bu Natasha? Apa seluruh penghuni sekolah juga sudah tahu?

"Ibu tahu dari mana?" tanya Evelyn sedikit terbata. Rasa penasaran langsung menghinggapi hatinya.

"Banyak yang bilang kok," cetus Bu Natasha yang masih cantik dengan make up-nya. Padahal hari sudah beranjak sore. Cuaca juga sedang terik belum ada tanda-tanda musim penghujan akan tiba.

"Oh." Evelyn mengerucutkan bibirnya. Pasti seluruh sekolah juga sudah mengetahui berita itu.

"Semoga aja nanti kamu bisa main film beneran, ya kan?" kekeh Bu Natasha seraya menepuk lengan Evelyn yang sedang terbengong-bengong. "Ibu pulang dulu, ya."

Evelyn tak sempat menganggukkan kepala karena Bu Natasha sudah terlanjur pergi dari hadapannya. Sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depan mereka dan Bu Natasha bergegas masuk ke dalamnya.

Gadis itu mendengus keras-keras. Satu beban lagi mendera pundaknya. Seluruh penghuni sekolah sudah mengetahui tentang drama itu dan mereka semua mengharapkan penampilan terbaiknya, termasuk Oma dan kedua kakaknya.

Duh, Evelyn harus lebih giat lagi latihan agar penampilannya sebagus pemain film sungguhan.

"Nggak naik, Neng?!"

Suara supir angkot berhasil mengacaukan satu episode lamunan kecil Evelyn di tepi jalan siang ini. Gadis itu tak sadar jika sebuah angkot telah berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Iya, Pak!"

Dengan setengah berlari, Evelyn menghampiri angkot dan masuk ke dalamnya. Lega. Akhirnya ia bisa pulang ke rumah juga setelah seharian ini menghuni sekolah. Ia merindukan bantal, guling, dan kasur empuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top