16

Mata Evelyn mengerjap beberapa kali saat menatap dua batang cokelat Cadburry yang tergeletak dengan manis di depan wajahnya. Gadis itu menempelkan kepalanya di atas meja belajar seolah ia terlalu berat untuk ditopang oleh leher Evelyn yang kurus.

Ucapan Angga tadi siang membuat gadis itu harus tercenung lama di meja belajarnya. Mencerna ulang kalimat demi kalimat Angga memang bukan pekerjaan yang menyenangkan buatnya. Tapi, rasanya tidak ada hal yang mustahil saat seseorang berusaha dan bekerja keras. Ya, Angga memang benar. Cowok itu sangat pandai mengolah kata-kata. Bu Natasha juga pernah bilang, punya wajah cantik saja tidak cukup. Setidaknya kecantikan harus dilengkapi dengan prestasi. Tapi, masalahnya ia tidak punya kepercayaan diri yang tinggi untuk melakukannya. Bagaimana jika aktingnya buruk dan mengecewakan semua orang?

Evelyn melenguh kuat-kuat. Ahh. Andai saja berakting menjadi orang lain semudah membalikkan telapak tangan.

Lamunan Evelyn terusik. Samar-samar telinganya menangkap suara percakapan dari ruang tengah. Seperti suara Kak Leon dan Kak Abby, batinnya seraya mempertajam pendengarannya. Kak Abby datang? Malam-malam begini? Ini kan bukan akhir pekan.

Gadis itu mengangkat kepalanya dari atas meja dan melangkah ke arah pintu dengan langkah tergesa.

Di ruang tengah tampak kedua kakaknya dan Oma sedang berbincang. Sesekali deraian tawa keluar dari bibir kedua kakaknya. Mereka pasti saling merindukan satu sama lain. Lihatlah tawa lepas mereka, persis dengan yang terlukis dalam bingkai foto di dalam laci milik Evelyn.

"Lyn."

Ah. Ia ketahuan mengintip kedua kakaknya. Oma memanggilnya seraya melambaikan tangan.

Evelyn menghela napas panjang dan membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Sini, gabung sama kami," ajak Oma lagi.

Evelyn mengangguk. Dengan langkah gontai gadis itu berjalan ke ruang tengah.

"Duduk di sini, Jane!" teriak Kak Leon seraya menepuk-nepuk sofa di sampingnya.

"Kamu masih inget dengan nama itu?" tegur Kak Abby keheranan. Padahal nama itu sudah lama sekali tak digunakan untuk memanggil Evelyn. Dulu Kak Abby juga sering melakukannya. Tapi, seiring berjalannya waktu nama itu mulai terlupakan begitu saja. Evelyn juga kian beranjak dewasa.

"Ya." Senyum sumringah tercetak di bibir Kak Leon. Laki-laki itu mengusap kepala Evelyn yang sudah menempati posisi di antara kedua kakak laki-lakinya. Gadis itu tampak bersungut-sungut mendapati rambut kuncir kudanya berantakan akibat ulah Kak Leon.

"Oh, ya." Kak Abby menimpali. "kalau kamu nggak sibuk, kunjungilah makam papa dan mama. Mereka pasti sangat merindukanmu," ujarnya. Dan membuat semuanya terdiam sejenak untuk menghela napas dalam-dalam dan mengenang mereka berdua.

"Ya." Kak Leon setuju. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. "aku pasti akan menyempatkan diri ke sana," janjinya kemudian.

"Gimana kerjaanmu di sana?" tanya Kak Abby sesaat kemudian. Mengalihkan topik pembicaraan. Dua orang dewasa yang bertemu selalu menyempatkan diri untuk membahas masalah karir selanjutnya kehidupan pribadi. Soal pasangan khususnya.

"Baik."

Evelyn menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dengan gelisah. Jawaban Kak Leon membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Sebaik apa pekerjaan Kak Leon di sana? Tentu saja baik. Dengan gaji yang lumayan besar pasti ia akan mempertahankan pekerjaannya mati-matian. Andai saja ia boleh meminta, ia hanya ingin kedua kakaknya ada di sisi Evelyn. Tapi, tidak mungkin ia bisa seegois itu memaksakan kehendak pribadinya. Mereka juga punya keinginan dan karir yang harus mereka capai dalam hidup.

"Kalau aku boleh saranin, sebaiknya kamu tinggal di sini merawat Oma dan Evelyn." Kak Abby menoleh dengan tatapan serius. Sebagai anak tertua harusnya tanggung jawab itu ada di pundaknya. Tapi, tugasnya membela negara lebih penting dari apapun. Keluarga sekalipun. Sebuah pengabdian tanpa batas. "cepatlah menikah. Agar ada yang nemenin Oma saat Evelyn sekolah."

"Kak Abby apaan sih," timpal Kak Leon seraya meninju pundak kakaknya. "harusnya Kak Abby yang menikah duluan. Bukan aku," ujarnya.

Kak Abby terbahak dengan keras. Orang seperti dia mana punya waktu untuk pacaran.

"Aku nggak punya waktu buat nyari pacar," ucap Kak Abby setelah berhasil menyelesaikan tawa. Ia bukan tipe orang yang akan bercanda lebih dari tiga menit.

"Apa harus aku yang nyariin pacar?" seloroh Kak Leon menggoda. Ia tergelak menertawakan kalimatnya sendiri.

"Ntar malah ceweknya nyantol sama kamu," timpal Kak Abby ikut terbahak. Ia sadar jika adiknya memiliki ketampanan yang lebih ketimbang dirinya.

Sedang Evelyn hanya menyunggingkan senyum pahit. Ia tidak punya keinginan untuk masuk ke dalam percakapan kedua kakaknya. Gadis itu hanya memasang telinganya baik-baik dan mengikuti ke manapun arah pembicaraan itu hingga rasa kantuk menyerang kedua matanya.

Evelyn jatuh tertidur di pundak Kak Leon beberapa menit kemudian.

"Lyn." Kak Leon menepuk pipi adiknya dengan lembut. Tapi, tangan Kak Abby mencegahnya untuk melakukan hal itu ke dua kalinya.

"Dia tidur," ucap Kak Abby sembari mencermati sepasang mata Evelyn yang sudah terkatup.

"Sebaiknya Kak Abby bawa dia ke kamar," saran Kak Leon sembari menyunggingkan senyum penuh arti. Ia melirik ke arah lengan kakaknya yang tampak kokoh dan keras. Dunia militer membuatnya tubuhnya terbentuk dengan sangat bagus.

Kak Abby tampak tak keberatan dengan permintaan adiknya. Laki-laki itu bergegas mengangkat tubuh Evelyn dan membawanya ke kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top