12

Gadis itu terbaring di atas kasur dengan sepasang mata terpejam. Seragam putih abu-abu masih melekat membalut tubuh kurusnya. Dan yang paling parah, sepasang sepatu juga masih erat membungkus kedua ujung kakinya. Tampaknya ia begitu kelelahan sepulang sekolah tadi.

Oma menggeleng pelan melihat cucu perempuannya. Wanita itu menutup pintu kamar Evelyn dengan sangat pelan. Langkah-langkah kakinya juga dibuat tanpa suara saat menapaki lantai kamar Evelyn.

Kamar itu memang tidak begitu luas. Andai saja Evelyn sedikit lebih rajin, pasti kamar itu tampak tidak seberantakan sekarang. Tak ada kaus kaki yang berserakan di bawah meja belajar, tas yang diletakkan di tempat yang semestinya, jaket dan cardigan tipis yang menggantung sempurna di balik pintu. Bukankah nyamuk suka bersarang di tempat-tempat seperti itu? Juga beberapa buah buku yang berserakan diatas meja belajar dan kasur. Semua benda-benda itu membuat kamar Evelyn tampak tidak nyaman.

Oma mendekat dan langsung  melepas sepasang sepatu yang masih membungkus kedua ujung kaki Evelyn dengan tangan-tangannya yang sudah berkeriput. Karena seseorang telah melepas sepatunya dengan paksa membuat gadis itu sedikit terusik dalam tidurnya meski Oma berusaha sepelan mungkin.

"Kamu nggak makan siang, Lyn?"
Akhirnya Oma melontarkan pertanyaan pada gadis itu setelah melihat reaksi yang diakibatkan olehnya. Ia yakin Evelyn sudah terbangun dan bisa mendengar suaranya dengan baik meski gadis itu masih memejamkan kedua matanya.

Evelyn tak langsung menjawab dan menggeliat pelan. Sepasang matanya menangkap sosok Oma yang sedang duduk di tepi kasur. Wanita itu telah berhasil melepas dan meletakkan sepasang sepatu milik Evelyn di atas rak. Padahal gadis itu tadi sempat menduga Kak Leon yang melakukannya.

"Kakakmu sedang pergi," tandas Oma memberitahu karena tak tahan melihat kerutan yang mendadak terlukis di kening cucunya. "dia bilang mau menemui temannya sebentar," imbuhnya lagi.

Evelyn tak menyahut. Bahkan ia tidak bertanya apapun soal Kak Leon.

"Makanlah," suruh Oma sembari bangkit dari tepian kasur milik Evelyn. Bersiap untuk pergi.

Gadis itu hanya mengangguk pelan. Perutnya kosong. Di sekolah tadi ia juga tidak ke kantin untuk sekadar membeli minum. Sekarang ia merasakan perutnya melilit karena terserang rasa lapar.

Evelyn mengganti baju dan bergegas pergi ke meja makan sesuai perintah Oma. Wanita itu sudah menyiapkan nasi dan sayur untuknya di atas meja sejak beberapa menit yang lalu.

"Jangan bersikap seperti itu pada kakakmu," ucap Oma seraya meletakkan segelas air putih ke hadapan Evelyn. Gadis itu baru saja memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya saat Oma menghampiri tempat duduknya. "Oma tahu kamu marah padanya. Tapi, buat apa berlarut-larut dalam kemarahan seperti itu?"

Evelyn mengunyah makanannya diam-diam. Untuk saat ini ia tidak ingin berkomentar apa-apa dan fokus pada makan siangnya. Evelyn tidak mau menumpahkan segenap kekecewaannya pada Oma. Kasihan Oma. Hanya wanita tua itulah yang selama ini berada di sisinya saat Evelyn butuh kasih sayang dan perhatian.

Oma tidak memperpanjang percakapan. Wanita tua itu kembali ke dapur dan membiarkan Evelyn menikmati makan siangnya sendirian. Perasaan gadis itu sensitif dan Oma hanya tidak mau membuatnya tersinggung.

Oma memilih bercengkerama dengan peralatan memasaknya yang kotor. Mencucinya sampai bersih sembari menunggu Evelyn menyelesaikan makan siangnya. Namun, saat ia sudah menyelesaikan pekerjaannya, Evelyn sudah tidak tampak di ruang makan. Piringnya masih tergeletak di atas meja dengan sisa nasi yang masih teronggok di atasnya. Lagi-lagi ia tidak menghabiskan makanannya, padahal Oma memasak makanan kesukaan Evelyn.

Ke mana dia? pikir Oma seraya mengangkat piring bekas makan siang Evelyn menuju ke dapur. Mungkin ia kembali ke kamar, batinnya lagi.

Evelyn memang sudah kembali ke kamar. Tapi, ia tidak merebahkan diri di atas kasur. Melainkan duduk menghadap meja belajarnya, tapi bukan untuk belajar. Ia hanya duduk di sana dan diam tanpa melakukan apa-apa.

Dulu, sebelum Kak Leon pergi ke Singapura, Evelyn meletakkan sebuah bingkai foto di atas meja belajarnya. Foto Kak Leon dan Kak Abby yang sedang tertawa riang. Evelyn sengaja menaruh foto itu di sana agar bisa menatap kedua kakaknya setiap saat, kapanpun ia ingin. Tapi, bingkai foto itu sudah lama tidak menghuni salah satu sudut meja belajarnya. Bingkai foto itu sudah menjadi penghuni tetap laci di bawah sikunya sekarang. Bahkan ia sudah lama tidak menengok benda itu. Apa senyum kedua kakaknya di dalam bingkai itu masih seriang dulu? Evelyn tidak ingin melihatnya.

Kak Leon pulang setelah makan malam selesai dan Evelyn sudah kembali ke kamarnya. Padahal kata Oma ia hanya pergi sebentar, tapi nyatanya ia pergi hampir selama lima jam. Evelyn sempat mendengar percakapan kakaknya dengan Oma samar-samar. Tak begitu jelas dan Evelyn tidak begitu peduli. Ia bahkan mengurung diri di dalam kamar dan hanya bermain game di ponselnya sekadar mengusir kejenuhan. Tak ada jadwal belajar malam ini karena ia sedang tidak ingin melakukannya. Suasana hatinya sedang buruk.

"Boleh Kak Leon masuk?"

Suara itu mengusik telinga Evelyn di saat ia hampir menyelesaikan satu tahap permainan. Tak ada jawaban yang ingin dilontarkannya dan ia memilih melanjutkan permainannya dengan mengabaikan suara Kak Leon.

Tapi, Kak Leon bukan orang yang akan diam begitu saja saat diabaikan. Laki-laki itu menerobos masuk setelah semenit tak ada sahutan dari dalam kamar Evelyn.

Kak Leon mendekat ke tempat di mana Evelyn menumpuk sebuah bantal dan boneka panda kesayangannya. Kasihan panda itu. Ia hanya menjadi sandaran punggung Evelyn sekarang ini.

"Ngapain?" sapa Kak Leon lembut. Ia mengambil tempat duduk di tepian kasur tepat di hadapan Evelyn yang sedang tertunduk menekuni game di ponselnya. Dan laki-laki itu tidak menunggu jawaban atas pertanyaannya. "tadi Kak Leon pergi ke rumah temen, ada urusan. Rencananya cuma sebentar, tapi nggak tahunya jadi lama," ungkapnya kemudian.

Evelyn tak menanggapi. Gadis itu masih hanyut dalam permainannya. Tapi, Kak Leon tahu kalau adiknya mendengar apa yang baru saja ia bicarakan.

"Kamu masih marah?" tanya Kak Leon kemudian. Meski ia sudah menemukan jawaban pertanyaannya di wajah cantik Evelyn, tetap saja ia masih bertanya. Sebenarnya ia sangat merindukan Evelyn dan Kak Abby. Ia ingin memeluk keduanya, terutama Evelyn yang sedang duduk acuh di depannya.

Evelyn terperangah ketika tiba-tiba Kak Leon menyambar ponsel itu dari tangannya dengan gerakan cepat.

"Kak Leon!"

Kak Leon tersenyum tipis. Setidaknya siasatnya berhasil. Ia suka mendengar Evelyn memanggil namanya dalam keadaan emosi sekalipun.

"Kak Leon ada di depanmu dan kamu mau mengabaikan Kakak?" tegur Kak Leon sambil menatap kedua mata adiknya.

Evelyn mendengus.

"Balikin," ucapnya seraya mengulurkan tangan kanannya.

"Nggak." Kak Leon malah menyembunyikan ponsel milik Evelyn di belakang punggungnya dengan sengaja. Permainan semacam ini sering mereka lakukan saat masih kecil. Dan sebelum Evelyn meledakkan tangisnya, Kak Leon sudah mengembalikan benda milik adiknya. Tapi, kali ini berbeda. Mereka sudah dewasa dan Evelyn tidak mungkin akan menangis hanya karena permainan konyol semacam itu.

Evelyn bergeming. Ingatannya tentang masa kecil berputar di dalam kepalanya dengan lembut.

"Kak Leon cuma ingin kamu dengerin kata-kata Kakak," ucap Kak Leon memecah suasana hening di antara mereka berdua. Ia meletakkan ponsel milik Evelyn di sebelah kaki gadis itu yang berselonjor tanpa selimut. "Kak Leon cuma mau minta maaf karena selama dua tahun ini nggak pulang dan nggak ada kabar," lanjutnya.

"Kenapa mesti minta maaf?" sahut Evelyn agak ketus. "mau pulang atau nggak, itu kan hak Kak Leon." Sebuah kemarahan jelas-jelas terlukis di wajah gadis itu. Juga kekecewaan.

Kak Leon terdiam sesaat.

"Ya, kamu benar," ucap Kak Leon beberapa saat kemudian. "apa kamu nggak ingin denger kenapa Kak Leon nggak pulang dua tahun ini?"

Evelyn bergeming. Hanya bola matanya yang tampak bergerak mencermati seraut wajah di hadapannya. Wajah yang selama ini teramat sangat dirindukan sekaligus dibencinya. Waktu yang terjalin tanpa disadarinya telah membuat rahang di hadapannya mengeras dan wajah itu kian tumbuh dewasa. Beberapa bekas jerawat saat Kak Leon menginjak masa remaja juga sudah menghilang dengan sempurna. Hanya saja janggut dan area sekitarnya tampak kasar sisa bercukur. Ia setampan dulu. Bahkan lebih tampan dan dewasa.

"Kenapa gue harus denger?" kilah Evelyn sewot.

"Gue??" Kening Kak Leon berkerut tajam saat mengulangi sebuah kata yang disebut Evelyn barusan.

Evelyn keceplosan bicara. Gadis itu hanya terdiam tanpa berusaha memperbaiki kesalahan besar yang baru saja dilakukannya. Padahal ia hanya memakai kata-kata seperti itu saat ngobrol dengan teman-temannya saja.

"Kalau kamu nggak mau denger, ya udah. Kakak nggak akan maksa kamu buat dengerin apa yang nggak ingin kamu denger," ucap Kak Leon mengalah. Kali ini ia bangkit dari tempat duduknya dan bersiap pergi dari hadapan adiknya tercinta.

Evelyn tercekat melihat reaksi Kak Leon. Di balik rasa kecewanya yang mendalam, sungguh ia ingin mengetahui cerita Kak Leon. Tapi, haruskah ia meminta Kak Leon untuk tinggal dan menceritakannya?

"Tunggu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top