11
Hana hanya bisa melepas kepergian Evelyn dengan tatapan matanya. Gadis itu lebih memilih pulang ketimbang menunggu Hana mengikuti casting kecil-kecilan untuk pementasan drama bulan depan. Evelyn tak begitu tertarik dengan drama itu dan Hana bisa membaca dari sorot mata sahabatnya. Tingkahnya juga aneh hari ini. Ia menolak pergi ke kantin, melamun sepanjang pelajaran Sejarah, dan gadis itu lebih banyak diam ketimbang biasanya. Mungkin ia perlu waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pilihan Angga benar. Evelyn harus berperan sebagai Julietta dalam pementasan drama pada acara festival ulang tahun sekolah.
Langkah Evelyn telah sampai di depan pintu gerbang sekolah. Panas terik membuat gadis itu terpaksa memicingkan kedua matanya. Musim kemarau tahun ini benar-benar lama dan nyaris membuatnya dehidrasi. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah dan tidur siang. Otaknya terlalu lelah hari ini. Entahlah. Ia masih bimbang sampai detik ini.
Beberapa cowok yang menegurnya tak digubris Evelyn. Gadis itu seolah kehilangan konsentrasinya dan hanya menatap nanar ke arah ujung sepatunya yang berdebu. Menunggu angkot bukanlah pekerjaan favoritnya. Seandainya ada Kak Abby...
"Bareng yuk, Lyn!"
Teriakan itu berhasil mengangkat dagu Evelyn. Sebuah tawaran manis dari bibir Pedro mengalun padanya. Bukan sekali ini Pedro menawarinya tumpangan, tapi selalu ditolaknya. Bukan Pedro saja, tapi semua cowok yang menawarkan tumpangan pada Evelyn pasti akan ditolaknya.
"Thanks. Gue naik angkot aja!"
Pedro tidak terkejut lagi mendapat penolakan semacam itu. Ia hanya tidak beruntung saja.
"Ok, deh. Kalau gitu gue cabut dulu. Bye!"
Evelyn menghembuskan napas dalam-dalam dan menatap motor milik Pedro melesat menjauh dari hadapannya. Cowok itu terkenal suka gonta-gonti pacar dan Evelyn kurang suka melihat tingkahnya yang sok borjuis.
Gadis itu terkesiap ketika sejurus kemudian motor Raffa menyusul di belakang Pedro. Gadis itu hanya bisa mengulum sebuah senyum pahit di bibirnya. Di antara sekian banyak cowok di sekolah, mungkin hanya Raffa yang tidak menyukai Evelyn. Bukankah tadi pagi mereka bertemu di koridor, otomatis secara tidak langsung mereka sudah saling mengenal bukan? Tapi, kenapa sikapnya masih sedingin sebelumnya? Minimal membunyikan klakson atau menganggukkan kepala, itu sudah cukup bagi Evelyn. Tapi, cowok itu menatap lurus ke depan seolah tak pernah ada Evelyn di sana. Kemungkinan yang paling masuk akal adalah Raffa sudah memiliki pacar. Yeah, setidaknya itulah kesimpulan Evelyn sampai angkot yang ditunggunya datang.
Setelah setengah jam duduk bejubel di dalam angkot yang panas, akhirnya gadis itu bisa bernapas lega saat turun di depan gang. Ia hanya perlu berjalan beberapa meter sebelum sampai di rumah.
Rumah tampak sepi. Tapi, bukan kebiasaan Oma membiarkan pintu depan terbuka sedikit lebar. Biasanya wanita tua itu akan menutup pintu rapat-rapat, terkadang juga ia menguncinya untuk mengantisipasi maling. Karena saat Evelyn berada di sekolah, ia sendirian di rumah dan itu tidak baik bagi wanita tua seperti Oma.
Belum lepas rasa heran dari kepala Evelyn, gadis itu samar-samar mendengar suara Oma sedang berbincang dengan seorang laki-laki. Oma sedang menerima tamu? Tumben. Lalu siapa? Orang pentingkah? Kerabat jauh? Pak RT yang meminta iuran kebersihan?
Evelyn melangkahkan kakinya masuk meski rasa ragu memberat di kedua ujung sepatunya. Ia tidak ingin mengganggu tamu Oma. Namun, ujung-ujung sepatunya berhenti tepat di ambang pintu dan enggan untuk digerakkan kembali. Seperti ada lem super yang tiba-tiba dipijaknya.
"Sudah pulang, Lyn?"
Bahkan sapaan lembut Oma terlewatkan dengan tega. Sepasang mata Evelyn lurus menatap tajam ke arah sosok tamu Oma yang mendadak bangkit dari tempat duduknya ketika melihat kemunculan gadis itu. Seraut wajah yang tidak asing baginya, tapi jarak dan waktu merentangkan sebuah hubungan kekeluargaan. Kak Leon!
"Jane?"
Evelyn menelan ludah. Bahkan sapaan masa kecil itu masih melekat kuat di ingatan kakaknya. Tapi, ia bukan Evelyn yang dulu lagi, yang akan menghambur ke pelukan laki-laki itu saat Kak Leon menyebut nama kesayangan itu. Ia bukan lagi anak kecil yang akan bermanja di lengan Kak Leon setiap Evelyn butuh kasih sayang dan perhatian.
"Kamu sudah jauh lebih dewasa sekarang," imbuh Kak Leon seraya tak lepas menatap Evelyn. Senyum manis mengembang di bibirnya. Ada segurat rasa bangga terpancar dari kedua matanya.
Evelyn melenguh dengan keras. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahagia seperti yang terlukis di wajah Kak Leon. Ia malah menekuk wajah.
"Lyn." Suara Oma terdengar menyela. Menengahi suasana kaku yang tiba-tiba tercipta di ruang tamu rumahnya. Wanita itu seolah ingin menyadarkan bahwa tidak seharusnya Evelyn bersikap pasif seperti itu.
"Lyn capek, Oma. Pingin istirahat," gumam Evelyn seraya bergerak masuk. Bermaksud menghindari Kak Leon dengan terang-terangan.
"Evelyn!"
Seruan Kak Leon yang tercekat melihat sikap adiknya menggema di sekitar ruang tamu. Tangan laki-laki itu bahkan sudah berhasil menarik lengan Evelyn untuk menahan gerakan tubuhnya yang hendak pergi masuk ke kamar.
"Kak Leon tahu kamu marah," tandas Kak Leon langsung bisa membaca situasi dan pikiran Evelyn. Sehingga adiknya tampak segitu marah dan benci padanya. "Kak Leon minta maaf."
Evelyn bergeming tertahan di tempatnya berdiri. Dadanya seperti ingin meledak bahkan saat kakaknya mengucapkan kata maaf.
"Apa kata maaf bisa mengembalikan segalanya?" Tangan gadis itu mengepal menahan amarah yang dipendamnya selama dua tahun terakhir.
Kak Leon terkesima melihat perubahan sikap Evelyn. Selama ini ia mengenal adiknya sebagai sosok yang manis dan manja. Tapi, sosok itu hanya bisa ia temui dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Dan ia telah kehilangan sosok yang selalu ia panggil dengan nama kesayangan 'Jane'.
Kak Leon menghela napas berat dan tersadar untuk segera melepaskan lengan adiknya. Ia takut tangannya terlalu kuat mencengkeram lengan Evelyn sehingga membuat gadis itu kesakitan.
"Ngomong apa kamu, Lyn?"
Di tengah situasi yang tegang dan panas, Oma menyela. Wanita tua itu tampak tidak terima dengan ucapan Evelyn pada kakaknya.
"Biar, Oma." Kak Leon mengalihkan tatapannya pada Oma yang tampak menegang di sampingnya. "masuklah," suruh Kak Leon kemudian beralih pada Evelyn kembali. Memutus situasi yang kian tegang andai saja ia tidak mengambil keputusan untuk mengalah. Ia harus bisa memberi kesempatan pada adiknya untuk berpikir kembali tentang semua yang telah terjadi. Juga pada dirinya sendiri.
Evelyn bergegas melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti gara-gara Kak Leon. Gadis itu masuk ke dalam kamar dan langsung menjatuhkan diri di atas kasur dengan sepatu yang masih membungkus kedua kakinya.
Kenapa tiba-tiba hatinya sakit melihat kehadiran Kak Leon? Bukankah seharusnya ia bahagia ia telah kembali? Haruskah ia terluka untuk ke sekian kali karena kehilangan saudara yang teramat dicintainya itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top