05
Sepasang mata sayu milik Evelyn memicing saat menatap ke arah lapangan basket. Beberapa gelintir anggota pentolan tim basket sekolah tampak asyik bermain di sana dengan mengabaikan betapa garangnya sinar matahari membakar kulit mereka. Namun tak sedikit juga siswi yang menonton permainan mereka di tepi lapangan. Mereka pasti penggemar berat anggota tim basket sekolah karena sejak tadi telinga Evelyn terus mendengar suara riuh dari mulut para gadis-gadis itu. Dan Evelyn memilih tidak ikut duduk bergerombol bersama mereka. Gadis itu hanya duduk di bawah pohon, sendirian tanpa Hana. Sahabatnya itu pamit ke kantin karena lapar berat. Sementara Evelyn sedang tidak ingin mengisi perutnya dengan sesuatu. Sandwich buatan Oma tadi pagi masih membuat perutnya lumayan kenyang.
Seseorang itu bernama Raffa. Yeah, cowok itulah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Evelyn. Jika saja tak ada Raffa di sana, gadis itu tidak akan sudi meluangkan jam istirahatnya dengan duduk di bawah pohon sendirian seperti yang sekarang dilakukannya. Mungkin ia akan memenuhi ajakan Hana untuk pergi ke kantin atau kabur ke perpustakaan untuk membolak-balik halaman buku Ensiklopedia hanya untuk melihat gambar-gambar di dalamnya.
Raffa memang tidak cukup populer ketimbang anggota tim basket lainnya, seperti Pedro, Indra, Vano, atau Daniel. Tak banyak yang bisa dikatakan tentangnya karena Evelyn sama sekali tak mengenal Raffa. Ia hanya tahu nama cowok itu dari kostum basket miliknya. Meski ia mengenal semua anggota tim basket sekolah, tapi, hanya Raffa-lah satu-satunya yang tidak dikenal Evelyn. Gadis itu sempat berpapasan dengan Raffa beberapa kali di koridor kelas, tapi, gadis itu masih belum berani untuk menyapanya. Apa kata Hana nanti jika ia menyapa Raffa duluan? Lalu bagaimana reputasinya sebagai 'cewek populer' yang banyak mematahkan hati para cowok di sekolah? Lagipula ia juga tidak mengenal Raffa secara langsung. Ugh!
Raffa berbeda. Mungkin itulah yang membuat Evelyn menyukai cowok itu. Ia tak seperti anggota tim basket lain yang suka cari perhatian atau tebar pesona di depan para siswi terutama gadis-gadis populer di sekolah. Raffa yang cukup pendiam, dingin, jutek, dan pelit senyum itu benar-benar membuat Evelyn jatuh hati. Tapi, gadis itu hanya bisa memendam perasaannya jauh di dalam hati. Hanya lewat tatapan mata, tanpa kata. Hanya sekadar mengagumi dari jauh tanpa berharap untuk memiliki. Bahkan ia sanggup merahasiakan perasaannya dari Hana sekalipun!
Raffa memiliki postur tinggi dan cukup atletis. Ia lumayan keren dan memiliki kharisma tersendiri yang hanya bisa dilihat oleh sepasang mata milik Evelyn. Karena dari sekian banyak anggota tim basket sekolah, Raffa adalah nama yang paling tidak diperhitungkan oleh gadis-gadis. Mereka lebih mengidolakan Pedro atau Daniel. Padahal Raffa tidak seburuk itu...
"Hei."
Evelyn tercekat mendengar sebuah teguran yang mendadak mampir ke telinganya. Lamunan indahnya tentang Raffa hancur sudah karenanya.
"Lagi ngapain?"
Namanya Alan. Cowok yang lumayan tampan, anggota tim basket, dan cukup populer. Hanya saja ia sedikit norak karena selalu melipat ujung baju putihnya hingga nyaris menyentuh ujung pundaknya. Ujung baju putihnya juga selalu keluar sehingga ia dicap 'berandal sekolah'.
"Bengong," sahut Evelyn sekenanya. Membuat Alan seketika meledakkan sebuah tawa keras. "loe nggak ikut gabung sama mereka?" tanya gadis itu sembari melirik Alan yang sudah menempati posisi di sebelahnya.
Alan menggeleng. Cowok itu iseng mencabut sebatang rumput yang tumbuh di dekatnya. Memotongnya menjadi beberapa bagian lalu menghempaskannya begitu saja. Dan ia mengulangi kegiatannya itu hingga beberapa kali.
"Kaki gue cedera," beritahu Alan sejurus kemudian. Ia menerawangkan tatapan ke arah teman-temannya yang sedang asyik bermain bola basket. "cuma cedera ringan sih, tapi, tetep aja nggak bisa dibuat main."
"Tumben loe cedera," sahut gadis itu sembari terkikik pelan.
"Yee, loe seneng kalau gue cedera, gitu maksud loe?!" seru Alan ceplas ceplos. Cowok itu sudah cukup akrab dengan Evelyn. Jadi, ia tidak akan menjaga image-nya di depan gadis itu.
"Nggak juga," timpal Evelyn membela diri. Ia bersungut-sungut kesal.
Alan mendengus dengan keras.
"Gue kena cedera pas main futsal kemarin," tutur Alan memberitahu Evelyn asal muasal cedera yang ia derita.
"Oh." Evelyn membulatkan bibirnya tanpa mengeluarkan komentar apapun.
"Tumben loe nonton anak-anak main," ucap Alan menyambung percakapan. Ia mengikuti tatapan mata Evelyn yang masih tertuju ke lapangan. "loe suka salah satu dari mereka?" tebak cowok itu tidak serius.
Evelyn tersentak. Seolah-olah Alan sedang mencurigainya.
"Apaan sih loe?" gumam Evelyn tak jelas. "ngaco loe."
Tapi, sikap jutek Evelyn malah membuat cowok itu terbahak dengan keras. Sejurus Alan melambaikan tangan kanannya pada teman-temannya di lapangan basket. Sepertinya mereka sudah mulai kelelahan dan hendak mengakhiri permainan. Jam istirahat juga sebentar lagi akan berakhir.
Evelyn merasa wajahnya kaku seketika saat mendapati Raffa menoleh ke arah mereka. Tatapan dingin cowok itu langsung menusuk jantung Evelyn tanpa ampun. Kenapa tatapan itu seolah menunjukkan sebuah kebencian mendalam padanya? Atau Evelyn salah mengartikan arti tatapan itu? Karena tidak semua orang bisa mengartikan arti sebuah tatapan.
"Loe tahu nggak? Mayoritas anggota tim basket naksir sama loe, Lyn," beritahu Alan membuka rahasia yang selama ini tersimpan rapat-rapat di dalam tim basket. "mereka juga sering ngomongin loe. Tapi, sayangnya selama ini nggak ada satupun yang bisa menangin hati loe, termasuk gue. Atau loe udah nerima cinta si culun Mika?" imbuhnya membuka satu rahasia lagi. Bahwa Alan juga menaruh hati pada gadis itu. Hanya saja Alan tidak akan berharap terlalu banyak pada gadis itu. Evelyn, baginya dan semua cowok, hanyalah seseorang untuk dikagumi dan dicintai dari jauh, bukan untuk dimiliki. Karena Evelyn tidak akan pernah membuka hatinya untuk siapa-siapa.
Evelyn tercekat beberapa detik lamanya. Lalu menimpuk pundak Alan keras-keras.
"Apa-apaan sih loe? Pergi sono! Gue pingin sendiri!" usir gadis itu sembari mendorong punggung Alan dengan paksa.
"Duh, jangan galak-galak dong, Neng... " olok Alan seraya mencibirkan mulutnya lalu bergegas kabur meninggalkan tempat Evelyn duduk. "byeee!" teriak cowok itu dengan setengah berlari.
Huft.
Tak lama setelah itu Hana datang dan mengajak Evelyn untuk segera kembali ke kelas. Benarkah ia sepopuler itu di mata cowok-cowok sekolah ini? Kenapa ia tidak pernah menyadari hal itu? Ia merasa dirinya biasa saja meski Evelyn sadar banyak yang menegur dirinya saat berpapasan dengan cowok-cowok di sekolah itu. Tapi, satu hal yang mungkin gadis itu sesali adalah, kenapa ia beda kelas dengan Raffa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top