02

Bu Natasha cantik. Wanita itu juga terkenal dengan kedisiplinannya. Berapa umurnya? Evelyn menebak sekitar 35-an. Mungkin mendekati angka 40. Tapi, wajahnya masih minim kerut dan kulitnya terlihat kencang. Bentuk tubuhnya juga bagus. Langsing dan padat. Sudah bisa dipastikan wanita itu rajin mengunjungi salon kecantikan, spa, dan gym. Entah berapa banyak biaya yang ia keluarkan hanya untuk melakukan perawatan wajah dan tubuhnya. Tapi, tentu saja hasilnya sesuai dengan pengorbanan yang ia lakukan.

"Evelyn Jasmine."

Bu Natasha menyebut nama Evelyn dengan lengkap. Mengacaukan pemikiran gadis itu tentang Bu Natasha dan segenap yang ada pada wanita itu.

"Kamu tahu, kenapa kamu Ibu panggil ke sini?" Bu Natasha menatap lekat-lekat ke arah Evelyn. Tatapannya super serius. Penuh wibawa. Siapapun tak akan berani balas menatap mata wanita itu dengan cara yang sama.

Evelyn menggeleng pelan. Tentu saja tidak, batinnya.

Bu Natasha mendesah pelan. Aroma parfum yang ia gunakan menguar lembut ke sekeliling hidung Evelyn. Aroma vanilla. Padahal, gadis itu sama sekali tidak menyukai parfum beraroma vanilla. Kalau untuk makanan, it's ok. Tapi, kalau untuk parfum, no.

"Hari ini kamu terlambat masuk sekolah," tandas Bu Natasha beberapa detik kemudian. Mengingatkan kembali kejadian tadi pagi. Soal keterlambatan Evelyn. "kenapa kamu bisa sampai terlambat, Evelyn?" Wanita itu mengaitkan jari jemarinya di atas meja sembari menatap tajam pada Evelyn. Tatapan menginterogasi.

"Saya bangun kesiangan, Bu," jawab Evelyn sejujur-jujurnya. Bu Natasha tidak menyukai kebohongan macam apapun.

Bu Natasha mengangguk pelan. Wanita itu bisa menerima alasan Evelyn yang lebih masuk akal ketimbang seabrek alasan lain. Semisal macet, ban kempes, atau apalah.

"Kenapa bisa kesiangan? Kamu begadang?" cecar wanita itu melanjutkan interogasinya.

"Jam weker saya mati, Bu."

Ugh. Kali ini Evelyn berbohong. Ia tidak punya jam weker. Selama ini oma yang selalu membangunkannya setiap pagi. Cuma tadi pagi Evelyn ketiduran lagi setelah oma membangunkannya.

Bu Natasha menghela napas panjang. Ia sudah bisa mencium aroma kebohongan dari bibir Evelyn. Dan sudah menjadi tugasnya untuk menegakkan disiplin di sekolah itu.

"Ok," ucap Bu Natasha akhirnya. "Ibu maafkan keterlambatan kamu hari ini. Tapi, Ibu harap kamu nggak mengulangi kejadian hari ini."

"Makasih, Bu... "

Setengah hati Evelyn bersorak girang. Pemberian maaf oleh Bu Natasha berarti keterlambatannya kali ini tidak dihitung sebagai pelanggaran peraturan sekolah.

"Tapi... " Bu Natasha masih belum selesai dengan ucapannya. "Ibu lihat nilai ulanganmu akhir-akhir ini merosot. Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Sebuah masalah mungkin?"

Evelyn terdiam. Bu Natasha mulai menyinggung soal nilai. Apa salah jika nilai ulangan Evelyn selalu tidak bagus? Gadis itu merasa tidak memiliki masalah apapun. Ia hanya tidak memiliki otak yang cerdas dan kurang belajar. Mungkin itu masalahnya.

"Nggak ada, Bu," jawab Evelyn penuh percaya diri.

"Lalu?" desak wanita itu. Rupanya jawaban Evelyn kurang memuaskan dirinya.

"Saya hanya kurang belajar aja," sahut Evelyn mengaku. Apa lagi yang bisa ia katakan selain mengaku. Ia memang paling malas jika disuruh belajar.

"Lyn.. "

"Ya, Bu?"

"Kamu itu cantik dan Ibu tahu kamu cukup populer di sekolah ini," ucap Bu Natasha. "tapi, cantik saja nggak cukup, kamu tahu? Kamu juga harus belajar demi diri kamu sendiri. Setidaknya lengkapi kecantikanmu dengan prestasi atau paling tidak tingkatkan belajar kamu agar nilaimu lebih baik dari sebelumnya. Kamu paham maksud Ibu?"

Evelyn menganggukkan kepala meski enggan melakukannya.

"Sekarang kamu boleh pergi. Jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai."

Evelyn pamit dari hadapan Bu Natasha setelah wanita itu menyuruhnya pergi. Gadis itu melangkah keluar dari ruangan Bimbingan Konseling dengan langkah berat. Siapa saja yang baru saja mendapat ceramah dari Bu Natasha pasti akan merasakan hal yang sama dengannya.

Evelyn sudah kembali ke kelas sebelum bel berbunyi. Gadis itu meletakkan pantatnya di kursi kayu miliknya dengan wajah ditekuk. Semangat dan energinya berkurang setengah setelah keluar dari ruangan BK.

"Diomelin Bu Nat?" sambut Hana dengan suara lirih. Ia sengaja memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh siswa lain.

"Nggak juga." Evelyn menyahut dengan malas.

"So?"

"Apa?"

"Bu Nat ngomong apa emang? Soal loe telat tadi pagi?" cerocos Hana ingin tahu. Tangannya sibuk mencari buku Bahasa Inggris di dalam tas sekolahnya.

Evelyn mengangguk.

"Terus loe dapet poin?" Hana mendesak lagi.

Evelyn menggeleng.

"Terus?" Hana masih bertanya setelah berhasil menemukan buku Bahasa Inggris miliknya.

"Keterlambatan gue tadi dimaafin. Cuma dia nyinggung soal nilai ulangan gue yang jelek. Itu aja," ungkap Evelyn setengah kesal. Rasanya bukan salah Evelyn kalau dia mendapat nilai jelek. Bisa saja soal ulangan yang diberikan terlalu sulit buatnya, kan?

Hana cekikikan mendengar penuturan sahabatnya. Karena Hana paling tahu jika otak Evelyn di bawah standar. Jadi, wajar jika nilai ulangannya jelek. Malah akan sangat tidak wajar jika nilai ulangannya bagus.

"Makanya gue bilang juga apa," cetus Hana sejurus kemudian. "kenapa loe nggak terima aja cinta si Mika. Kan lumayan bisa bantuin loe bikin PR. Bisa les privat gratis juga."

Evelyn nyaris menjitak kepala Hana untuk yang kedua kalinya andai saja Pak Tion tidak muncul tiba-tiba. Guru Bahasa Inggris itu mendadak memasuki kelas dan memaksa Evelyn mengurungkan niatnya untuk menjitak kepala sahabatnya.

Hana mencibirkan bibirnya melihat tingkah Evelyn. Yes, dia memang tidak beruntung kali ini, batin Hana seraya tersenyum penuh kemenangan.

Evelyn menghembuskan napas pasrah. Ia membungkam mulutnya seketika dan memilih segera mengeluarkan buku Bahasa Inggris miliknya. Mungkin lain kali ia bisa berdebat dengan Hana soal Mika. Tapi, bukan sekarang.

"Kalau Pak Tion, gimana?"

Evelyn menoleh ke sebelah saat Hana berbisik ke dekat telinganya. Ia mengambil celah di saat Pak Tion sedang menuliskan tema pelajaran hari ini.

"Maksudnya?" Evelyn balas bertanya. Ia berbisik sama pelannya dengan yang dilakukan sahabatnya.

"Loe nggak suka sama pria dewasa yang mapan macam Pak Tion?"

Hah? Mulut Evelyn menganga lebar-lebar mendapat bisikan mengejutkan dari bibir Hana. Pak Tion? Apa ia tidak salah dengar?

"Ngaco loe," desis Evelyn seraya menendang sepatu Hana keras-keras.

Hana hanya bisa meringis menahan sakit akibat tendangan maut Evelyn. Untung saja ia tidak sampai menjerit karena ulah Evelyn dan mengagetkan seisi kelas. Gadis itu benar-benar keterlaluan. Suka main fisik sembarangan. Apa kakaknya yang mengajari Evelyn seperti itu?

"Yeah, kali aja loe suka. Kan Pak Tion masih jomblo," bisik Hana masih ingin menyambung percakapan mereka.

"Tapi, jangan yang brewokan juga keles," balas Evelyn sewot.

Hana tertawa dalam hati melihat reaksi sahabatnya.

"Emang sih, dia agak brewokan. Tapi, pada dasarnya dia ganteng lho, Lyn. Sumpah... "

Evelyn menolehkan kepalanya pada Hana seketika.

"I don't care."

"But I care."

"Terserah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top