2. Sunrise Dream.

Namaku Elvira Sunrise. Aku anak semata wayang dari sebuah keluarga kaya raya. Kaya? Ya, itu dulu. Kini hidupku tak jauh dari kata miskin dan menderita. Setelah mengalami beberapa kejadian pahit dalam hidup, keluargaku jatuh miskin hingga ke dasar jurang paling bawah.

Ayahku harus terseret masuk kedalam sebuah jeruji besi. Setelah beberapa kasus korupsi yang ia lakukan, keluarga kami yang berawal berada di atas, kini berada di tingkat terendah. Ibuku seorang yang biasa saja. Namun menjadi luar biasa setelah kami jatuh miskin. Ia pergi meninggalkanku sendiri dengan alasan tak sanggup hidup miskin di kawasan kompleks yang kumuh. Yang aku tahu, ibuku pergi dengan seorang pria kaya dan mengatakan bahwa aku adalah anak dari pembantunya dulu.

Miris? Ya, itu sebagian awal dari kisah hidupku. Aku tinggal sendiri di sebuah rumah kontrakan kecil yang tak jauh dari rumah pamanku. Berjuang hidup sendiri dan harus mandiri. Sanggupkah aku menjalani semua ini sendiri? Tak ada pilihan yang aku miliki. Yang kutahu aku harus berjuang untuk hidupku dan impianku. Keadaan memaksaku untuk sanggup menjalani semuanya karena hanya itu pilihan yang aku punya.

Aku hanya seorang siswi kelas 3 SMA. Berawal bersekolah di tempat ter'elit dan harus pindah ke sekolah dengan keadaan yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Hidupku benar-benar berubah. Tak ada lagi rengekan dan kata manja yang biasa aku lontarkan. Tak ada lagi keluhan tentang makanan yang tak kusukai karena pedas atau lain-lain. Tak ada lagi permintaan untuk membeli semua barang mahal dengan harga fantastis.

Berjuang hidup sendiri membuatku sering menangis. Bukan ini yang kumau! Tapi aku bisa apa? Takdir yang bergulir membawaku pada kenyataan hidup yang menyakitkan. Pada kenyataan bahwa kehidupan terkadang tak sesuai dengan harapan. Semua kemewahan yang biasa dibanggakan kini lenyap dalam sekejap. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk makan esok aku harus bekerja menjadi pengantar susu, koran dan pelayan makanan di sebuah warung makan kecil.

Jangan tanya berapa gaji yang kudapatkan dalam sebulan. Semua bahkan hanya cukup untuk membayar kontrakan rumah, uang sekolah dan biaya hidup sehari-hari. Terkadang aku masih harus menjual lukisanku pada sebuah galeri kecil yang tak jauh dari sini. Melukis. Ya, itu lah hobiku. Aku melukis dengan semua hal yang aku rasakan, yang kulihat dan seluruh teriakan tangis dalam hatiku.

Aku hidup sendiri dan selalu dalam sepi. Sekarang atau dulu, bagiku semua sama. Bedanya kini aku tak lagi melihat mereka. Jika dulu Ayah dan Ibuku selalu meninggalkanku demi bisnis, kini mereka meninggalkanku dengan alasan yang sangat jelas. Bahagia? Aku tak mengerti apa itu bahagia sebenarnya. Dulu aku memiliki segalanya tapi aku merasa hampa. Tak jauh berbeda dengan sekarang. Hanya dengan sebuah lukisan aku bisa mengungkapkan segalanya.

Teman? Aku tak memiliki banyak teman. Tidak, kurasa aku tak memilikinya. Sejak awal mereka hanya mendekatiku karena aku anak orang terpandang dan berkecukupan. Tapi saat semua hilang, mereka pun pergi bersama semua yang hilang. Aku sendiri. Lagi-lagi sendiri.

Pagi ini semua masih sama. Saat kabut gelap masih menyelimuti, aku harus bergegas dengan sepeda tua peninggalan Kakekku. Mengantarkan susu dan koran dengan cepat. Lalu harus harus mampir ke galeri untuk menjual beberapa lukisan yang baru saja siap. Aku bergegas memasuki galeri karena waktu semakin siang. Setelah bercakap beberapa menit, aku keluar dengan uang di tanganku.

"Tujuh puluh dua ribu," ucapku pelan sambil menghitung jumlah uang yang aku dapatkan dari melukis.

Aku berpikir sejenak sambil mengayuh sepeda tua yang kunaiki. Menuju sekolah yang tak lagi jauh dari jangkauanku. Berharap semua keadaan akan sedikit membaik agar aku mampu melunasi semua biaya sekolah yang menunggak. Dekatnya dengan ujian nasional membuat biaya lain-lain dari sekolah semakin membengkak. Dan aku, tak punya cukup uang untuk membayar semuanya. Tak ada cara lain selain berusaha. Tak akan ada yang berubah meski aku mengeluh sepanjang waktu. Bekerja dan bekerja. Hanya itu yang harus kulakukan selain belajar. Agar semua tercukupi dengan harapan agar hidupku sedikit lebih baik.

"Tuhan, aku percaya pada semua rencanamu. Bukankah segala sesuatu akan indah pada waktunya? Akan kutunggu waktu itu dengan semua usaha yang dapat aku lakukan."

***

Waktu berlalu dan semua kegiatanku masih sama. Ini sudah enam bulan berlalu sejak aku hidup miskin dan kesepian. Terbiasa? Ya, aku sudah terbiasa dengan semua keadaanku. Semua kesulitan yang aku hadapi bagaikan teman sejati yang menemani. Air mata? Jangan tanya lagi. Aku tak tahu sudah berapa sering aku menangis. Namun hal yang kusadari adalah, tak ada bedanya aku menangis atau tersenyum. Hidupku tetap berlanjut meski aku menangis, meraung ataupun menghujat. Waktu tetap berjalan meski aku berharap semua derita cukup dengan tangisan.

Itulah hidup yang kutahu dari kesulitanku sekarang. Aku terbiasa dengan pilihan yang tak memberiku waktu untuk berpikir. Apakah itu indah atau susah? Semua sama. Aku hanya harus berjuang melawan kerasnya hidup dan menggapai semua impian. Seperti mimpi-mimpi indah yang selama ini kumiliki. Seperti indahnya mentari di pagi hari yang bersinar hangat saat menyinari.

Hal yang harus kulakukan adalah belajar, bekerja dan menggapai semua mimpiku. Akan kugapai semua dalam genggamanku. Tak peduli seberapa banyak rintangan yang harus kutempuh, aku harus tetap dapatkan itu. Karena tak ada pilihan lain dalam hidupku. Aku bukan lagi anak orang kaya yang punya segudang pilihan dengan uang yang berlimpah.

Malam ini aku baru saja pulang bekerja dari sebuah warung makan kecil. Aku menyusuri jalanam yang mulai sepi dengan beberapa sisa makanan pemberian pemilik warung. Aku melangkah semakin cepat saat kulihat tak ada lagi orang berlalu lalang. Sekelebat kertas terbang dan jatuh di bawah alas kakiku. Aku terhenti dan menggeser kakiku. Memungut kertas itu dan membaca pelan.

"Lomba melukis di gedung M dengan hadiah uang sebesar tiga juta rupiah dan kesempatan belajar keluar negeri."

Aku menggenggam erat kertas tersebut. Tersenyum lembut dengan harapan baru yang kumiliki. Kembali Kulangkahkan kakiku. Brukkk! Tubuhku terpental kebelakang karena menabrak seseorang. Kertas di tanganku pun jatuh bersamaan beberapa makanan yang tumpah bersamanya.

"Ahk, makananku. Kertas itu," ucapku pelan.

Aku bangun tanpa memperdulikan siapa yang menabrakku. Menghampiri makanan yang tak lagi bisa aku selamatkan. Lalu pada kertas yang perlahan pudar karena kuah dari makananku yang tumpah. Aku tertegun dengan tatapan yang masih tak berubah. Melihat tulisan kertas itu yang mulai hilang dan tak terbaca.
"Maaf. Aku tak sengaja,"

Aku menoleh pada suara berat yang menyapaku. Pada seorang pria yang masih terlihat muda sama sepertiku.

"Tak apa," ucapku acuh.

"Akan kuganti makananmu. Ikutlah denganku," tawarnya sopan.

Aku menggeleng. "Tak perlu." aku melangkah menjauh namun langkahku tertahan saat tangan pria asing itu menahanku.

"Aku Keenan Arkensaw. Tenang saja, aku bukan orang jahat. Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?"

Aku sedikit tersenyum. "Lupakan semua yang terjadi karena aku tak mengharapkan apa-apa."

Aku melepaskan tangannya dari tanganku. Melangkah cepat karena hari semakin malam. Menutup rapat pintu kontrakan lalu bergegas tidur.

***

Tiga bulan berlalu sejak kejadian malam itu. Kini aku masih melihat pria yang tak lain adalah Keenan di tempat biasa ia menungguku. Dengan seragam sekolah yang sangat jauh berbeda denganku. Dari situ aku tahu, dia anak orang berada yang berbeda jauh dariku.

"Hai, aku disini." teriaknya saat melihatku melangkah dengan menuntun sepeda tuaku.

Aku mengacuhkannya dengan menaiki sepeda tuaku menuju sebuah galeri. Menjual lukisan yang kumiliki dan terus mengayuh menuju sekolahku. Dia membuntutiku dengan berbagai macam pertanyaan. Namun aku tetap diam dan mengacuhkannya. Saat pintu gerbang sekolahku akan tertutup, dia melambaikan tangannya dengan senyum lebar yang menunjukkan kedua lesung pipinya.

"Aku akan menunggumu sepulang sekolah di tempat kerjamu. Ayo bertemu dan makan bersama. Kali ini aku akan membawakan sesuatu yang istimewa." teriaknya sebelum pintu gerbang itu benar-benar tetutup.

Aku hanya tersenyum tipis melihatnya yang masih mengayunkan tangannya padaku. Dia seorang teman yang baik. Teman? Aku tak tahu sejak kapan kami berteman, namun yang jelas, ia selalu mengunjungiku setiap harinya setelah malam itu. Tak banyak yang kutahu tentangnya, kecuali dia bersekolah di sebuah sekolah elit ternama.

Siang ini mentari begitu terang menyinari. Rasa panas yang menyengat membuatku mengayuh sepeda lebih cepat. Aku harus segera bekerja setelah menukar seragam sekolahku. Ah, aku ingat sesuatu. Apakah Keenan sudah menungguku? Aku tersenyum tipis mengingat senyumnya. Kurasa tak ada salahnya jika aku berteman dengannya.

Aku sampai di warung kecil tempat biasa aku bekerja. Setelah meletakkan sepedaku di tempat biasanya, aku masuk dan mulai bekerja. Tak kulihat Keenan disana. Kurasa ia dalam perjalanan. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Bahkan jam kerjaku telah usai. Aku melangkah menghampiri sepeda tuaku. Menuntunnya pelan dan menyusuri jalanan yang kembali mulai sepi.

"Sunrise, aku disini. Maaf aku telat karena baru menyelesaikan les privateku."

Aku menoleh kebelakang dan mendapati Keenan setengah berlari menghampiriku. Aku tersenyum lembut dan melihat yang berada tak jauh dariku.

"Hah, napasku. Aku berlari cepat setelah melihatmu tak ada di tempat kerjamu. Ini untukmu,"  ia menyodorkan sebuah kertas padaku.

Aku menerima kertas itu dan membacanya pelan.

"Aku sudah mendaftarkanmu di lomba melukis minggu ini. Ingat, tak ada alasan kau sampai tak mengikuti lomba tersebut. Kau hanya perlu bersiap-siap karena aku yang akan mengantar dan menunggumu disana." ucapnya antusias.

Aku membeku melihat sebuah tiket pendaftaran yang berada di tanganku. "Kenapa kau begitu baik padaku, Keenan?"

Keenan tertawa kecil dan mengacak rambutku. "Karena aku ingin melihatmu menggapai mimpimu. Menangkan lomba itu untukku, ah ... tidak, tidak. Menangkan lomba itu demi mimpimu. Genggam ia dan mari melangkah bersama menggapai mimpi kita,"

Aku menghapus air mataku yang entah sejak kapan telah mengalir.

Keenan mendekat dan menghapus air mataku. "Air matamu, air mata kebahagiaan, kan?" tanyanya pelan.

Aku mengangguk. "Ya, mari lakukan itu bersama-sama. Aku akan hadir dalam lomba yang sudah kau daftarkan. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar aku tak kecewa pada akhirnya."

Keenan tersenyum lebar melihatku tersenyum. "Bagus. Aku suka Sunrise yang ceria. Akan kutunggu hari minggu di tempat kerjamu. Ingat, lakukan yang terbaik karena mimpimu adalah hidupmu."

Aku mengangguk pasti. "Tentu. Akan lulakukan semua dengan baik."

"Baiklah, segera pulang dan jemput mimpimu. Jika kau ada waktu, hadirkan aku dalam mimpimu. Selamat malam, Sunrise."

"Selamat malam, Keenan." balasku cepat.

***

Minggu ini aku sudah bangun dari pagi. Mengantarkan susu dan koran seperti biasanya. Mengemas semua peralatan melukisku dengan lengkap. Aku bergegas keluar rumah dan berjalan tergesa. Dari kejauhan, aku sudah melihat Keenan duduk sendiri dengan menatap orang yang berlalu lalang. Kuhampiri Keenan dan tersenyum lebar.

"Keenan," sapaku dengan semangat.

"Hei, kau telat lima menit." balasnya sambil melihat jam di pergelangam tangannya.

"Maaf, tapi kita tak terlambat kan untuk pergi lomba?"

Keenan menggeleng. Mengambil bungkusan di sampingnya dan memberikan padaku. "Aku membelikanmu semua peralatan melukis dari kualitas terbaik. Kau harus benar-benar memenangkan lomba ini."

Aku menatap Keenan yang begitu semangat. Kuterima bungkusan itu dan mengangguk. "Aku akan berjuang,"

"Bagus. Ayo kita berangkat."

Keenan membawaku pada sebuah mobil mewah yang terparkir tak jauh dari kami. Mobil ini melaju dengan cepat hingga kami sampai di sebuah galeri besar yang ramai. Setelah menyelesaikan beberapa urusan sebelum mengikuti lomba, Keenan selalu berdiri bersamaku. Saat lomba itu akan dimulai, Keenan menggengam erat kedua tanganku. Menatapku dalam dengan senyum lebar yang biasa ia berikan.

"Semangat. Aku disini menunggumu." ucapnya lembut.

Aku mengangguk. "Aku pergi kedalam sekarang."

Aku melangkah masuk pada sebuah ruangan yang ramai dengan peserta yang mengikuti lomba. Aku duduk di bangku deretan akhir karena hanya itu yang tersisa. Perlombaan akan segera dimulai. Aku menyiapkan semua peralatan yang Keenan berikan. Saat waktu melukis tiba, aku termenung sesaat untuk melukiskan apa yang aku rasakan.

Aku tersenyum saat mengingat wajah Keenan yang tersenyum lebar. Dengan perlahan kubawa tanganku untuk melukiskan apa yang tengah kupikirkan. Sepasang mata yang tajam dengan bulu mata yang lentik. Lalu hidung mancung yang menjulang tinggi. Sepasang alis tebal yang tak beraturan lalu sebuah bibir tipis yang terlihat mungil dan pas untuk wajahnya. Selanjutnya dua lesung pipi yang terlihat jelas saat bibir itu tersenyum lebar. Diikuti oleh rahang kokoh yang begitu serasi untuk wajahnya.

Keenan, dia tampan. Sangat tampan hingga baru sekarang aku menyadarinya. Saat aku melukiskan semua tentangnya. Pada kertas putih yang kini telah tergambarkan wajahnya. Aku tersenyum melihat hasil lukisanku. Ini sangat mirip dengannya. Amat sangat mirip.

"Akan kuberikan ini sebagai hadiah untukmu, Keenan. Karena kau telah bersedia berteman denganku."

Waktu perlombaan usai dan semua hasil lukisan telah dikumpulkan. Aku keluar dari ruangan dan langsung di sambut oleh Keenan yang begitu antusias. Kami duduk di depan galeri dan menunggu hasil dari perlombaan. Keenan bercerita banyak tentang hidupnya dan aku dapat memahami semuanya. Hal yang kutahu, Keenan juga kesepian sama seperti aku yang dulu.

Dua jam berlalu dan akhirnya hasil dari perlombaan itu akan diumumkan. Aku dan Keenan menunggu dengan waswas dan penasaran. Saat semua mulai diumumkan, aku memejamkan kedua mataku. Berdoa dengan seluruh hati.

"Tuhan, kali ini saja. Aku telah berusaha semampuku. Tak mengapa jika aku tak memenangkan lomba ini, tapi ijinkan aku untuk tetap melukis dan merubah hidupku agar lebih baik." ucapku dalam hati.

"Ahkkkkk, Sunrise. Kau memang bisa diandalkan. Aku sudah yakin jika kau akan menang."

Pelukan Keenan menyadarkanku. Aku terpaku saat namaku disebut sebagai pemenang nomor dua. Dengan cepat Keenan mendorong tubuhku untuk maju kedepan. Menerima semua hadiah yang akan kudapatkan.

Aku turun saat acara penerimaan lomba ini usai. Keenan menyambutku dengan senyum lebarnya. Kuulurkan tanganku dan kuberikan lukisanku padanya.

"Untukmu," ucapku.

Keenan membalikkan lukisan itu dan terdiam saat menyadari itu adalah wajahnya. "Sunrise, ini...."

"Itu adalah wajahmu. Aku melukis wajahmu saat lomba tadi,"

Keenan menatapku dan memelukku. "Terimakasih, Sunrise. Akan kusimpan dengan baik. Dan ayo melanjutkan sekolah bersama di Inggris setelah kelulusan ini."

Aku mengangguk. Ya, hadiah dari memenangkan lomba ini adalah beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Inggris. Bahagia? Tentu saja. Aku sangat bahagia. Tuhan menunjukkan rencananya yang indah pada waktu yang tepat. Akan kugapai mimpiku dengan genggaman erat dan usaha yang terbaik yang bisa kulakukan.

Ada yang bilang seperti ini. Tahukah kau kenapa mentari tetap menyinari meski banyak orang yang mengeluh akan panasnya? Karena ia kukuh pada pilihannya. Menyinari bumi meski ribuan hujatan menghujaninya.

Tahukah kau kenapa mentari tak pernah sedih saat malam menjemputnya? Karena ia tetap akan kembali menyinari saat kegelapan mulai pudar dengan sinarnya.

Begitu pun hidupku. Hidupku tetap berjalan meski keluhan dan hujatan kepenatan yang akan kuberikan. Dan aku memilih untuk tetap kukuh pada pilihan dan mimpiku. Seperti mimpi yang indah dan seperti metahari terbit yang juga indah. Hidupku terlalu berarti jika aku harus menyerah. Maka hal yang bisa aku lakukan adalah berusaha menggapai semua mimpi dan harapan.



























End.

===================================

Cerita ini dibuat dan ditujukan untuk WearetheNoble
Cerita juga diterbitkan di WearetheNoble sebagai tugas membuat cerita short story dengan genre Teen Fiction.

Copyright by : Ellina Exsli






See you in next job.  😂😂😂

Salam hangat.
=Ellina Exsli=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top