Vespa: Memangnya Aku Harus Jawab Apa?
Nata menatap wajah Vespa yang sedang terpejam. Sejak tadi Vespa meracau dalam tidurnya. Dia seperti sedang berada di tempat yang menyeramkan. Nata akan selalu menggenggam jemarinya ketika Vespa mengigau. Manis sekali, ya! Iya, dong! Manis! Biar semua tahu kalau Nata sayang Vespa. Tapi Nata lupa satu hal. Vespa seperti itu gara-gara dirinya. Tadi Nata sempat panik karena melihat Vespa pingsan karena melihat darah. Nata tahu kalau Vespa takut darah. Apa ya istilahnya? Bloodphobia? Ah, Hemophobia. Pakai E bukan pakai O.
Tapi kan... kan... Nata memang homo. Ah, lupa! Nata bukan homo, dia hanya Vespanistic. Nata mengerjap menatap wajah Vespa yang terpejam.
"Nat, pergi! Pergi! Ada ayam goreng! Ayam! Monster ayam!" Vespa meracau kesal. Kakinya menendang-nendang kesal. Nata tergelak kencang, menatap wajah kakak kesayangannya yang sedang mengigau.
"Mas mau lihat ayam beneran? Mau lihat ayamku?" Bodohnya, Nata selalu saja gila menanggapi ucapan Vespa. Tingkahnya jadi nggak beralasan seperti ini. Jemarinya kembali terulur, mengusapi kumis yang ada di atas bibir Vespa. Nata gemas sekali.
Nata mendekatkan wajahnya, lalu mengecup sekilas ujung bibir Vespa. Ada rasa geli ketika Nata mengecup tempat itu karena menyentuh kumis Vespa. Rasanya aneh. Geli. Tapi Nata suka. Nata nggak sempat berbuat jauh tadi, belum apa-apa. Tapi Vespa sudah terlanjur pingsan karena melihat darah. Padahal tadi nggak sengaja.
"Mas, aku sayang Mas! Kalau Mas buang aku, aku gimana? Dimana aku bisa tinggal?" Nata tersenyum, mengusap pipi Vespa sebentar. Nata mendekat lagi, mencondongkan wajahnya di depan wajah Vespa. Sayangnya mata Vespa langsung terbuka. Melotot.
Nata melongo. Terkejut. Kaku.
"Mas... itu... anu...."
Namun setelahnya mata Vespa tertutup lagi. Kali ini Nata sudah berguling karena terkejut dan geli. Ternyata Vespa hanya mengigau! Dia hanya spontan membuka mata. Nata tidak tahu kalau Vespa menyeramkan sekali kalau tidur. Tapi... tapi... Vespa tetap imut di matanya. Imut banget pokoknya!
***
Mata itu masih saja melotot benci, meski Nata sudah meminta maaf berkali-kali. Awalnya Vespa mau memaafkan saja, mengingat tingkah maniak Nata itu terjadi karena kejudesannya. Tapi sayangnya Vespa sudah kesal setengah mati. Dia bukan tipe orang yang sabar. Dia pendiam di luar, ganas di rumah, sensitif ketika sendiri, introvert ketika bersama orang lain. Namun tipe rempong kalau sudah panik.
Aneh karena dia seperti itu?
Karakter manusia memangnya sekumpulan kamus mainstream? Kita sudah aneh dengan diri kita masing-masing, tidak perlu menghujat Vespa hingga seperti itu.
"Mas..." Nata merayu.
"Jangan dekati Mas lagi, Nata!" Vespa mirip anak kecil yang sedang mogok bicara dengan temannya sendiri. Nata melongo, lalu menggeleng kencang.
"Tapi, tapi..."
"Mas nggak mood ngomong sama kamu, Nat!" Vespa berdecih kesal. Nata menelan ludahnya gugup. Vespa nggak pernah main-main ketika sedang ngambek. Vespa akan marah sungguhan. Vespa akan menjauhi Nata, mengabaikan Nata. Vespa itu tipe suka main fisik daripada main hati. Eh?
Sedangkan Nata suka sekali dengan main hati. Dia menikmati rasa kesal yang Vespa pancarkan untuknya. Sinyal marah Vespa selalu saja membuatnya bersemangat. Nata juga bingung, kenapa dia senang sekali dengan kemarahan Vespa itu. Apa Vespa pernah marah hingga membabi buta? Ah, belum! Kalau menganjing buta pernah. Eh, lho? Yang marah manusia kok binatang yang dibikin buta?
Oke, memanusia buta!
"Kalau gitu mood SMSan?" Nata mencoba memberikan alternatif berkomunikasi yang baik. Nata nggak mau ya kalau harus mogok bicara dengan Vespa. Nggak ngomong sebentar saja dia sudah galau, apalagi kalau harus diundur lama seperti ini! Nata nggak mau!
"Mas lagi serius, Nata!"
"Aku nggak mau diabaikan..." Nata merengut nggak terima. Vespa kadang benci sisi sok manis dari Nata, namun dia jauh lebih benci sisi maniak dalam tingkah adiknya. Sebenarnya Vespa beneran benci, nggak sih? Dia bilang jijik, tapi kok masih dekat-dekat Nata?
Iya, kenapa?
Kenapa, Ves?
Nata bertingkah maniak seperti itu, kamu benci tingkahnya. Tapi kamu nggak pernah bisa membenci orangnya, kan? Sama dengan mereka yang homophobic. Mereka menghujat orangnya, padahal sama-sama makan nasi. Kecuali mereka makan berlian, baru bisa menghujat sesama. Bencilah perbuatan, bukan orangnya. Sabar, sabar...
"Mas lagi nggak mood buat ngomel-ngomel sama kamu!"
"Aku pernah nyerang Mas juga."
"Tapi nggak sampai ada darah!"
Nata bertepuk tangan spontan. Dia senang dengan kesimpulan yang sedang melintas di otak freak-nya. Itu kesimpulan yang dia buat sendiri, namun mampu membuatnya senang setengah mati.
"Jadi, boleh apa aja asal nggak berdarah?"
Kali ini satu tendangan mendarat di tulang kering Nata. Nata nyengir puas. Setelah sekian lama Vespa menahan diri untuk nggak berbuat kekerasan terhadap adiknya, akhirnya kelepasan juga. Nata malah senang disakiti seperti ini. Sialan!
"Kamu anggap Mas apa, sih?" tanya Vespa tajam.
"Cintaku."
"Nggak usah klise, Nata!"
"Tapi hatiku kan emang cinta sama Mas. Aku bukan tipe munafik yang bilang benci ketika cinta."
Kok Vespa jadi kesal setengah mati dengan ucapan Nata yang terakhir, ya? Memangnya dia sedang disindir? Memangnya dia munafik? Siapa yang cinta? Kan Vespa memang benci tingkah adiknya, tapi...
Sayang nggak sama orangnya?
Vespa galau spontan.
"Kamu sadar nggak sih kalau perasaan kamu itu lama-lama bikin Mas takut?"
Nata mengerjap, mendekat. Mikir. Tingkahnya memang menakutkan, tapi Vespa selalu melawannya. Karena itulah Nata mendekati Vespa tanpa mundur.
"Apa aku terlalu menakutkan, Mas?" tanya Nata sekali lagi. Vespa menatap wajah ganteng adiknya lagi.
Vespa nggak takut. Sungguh. Dia nggak takut dengan tingkah Nata. Dia bisa melawan, meski dia tahu kalau tubuhnya nggak sebanding dengan Nata. Hanya saja... Vespa takut dengan perasaannya sendiri. Bagaimana kalau dia luluh karena Nata? Bagaimana kalau dia bisa jatuh dalam pelukan adiknya?
Apakah ini mungkin?
"Mas lagi nggak mau ngomong sama kamu. Kita harus menjauh dulu..."
"Sampai kapan?"
Ini nggak lucu! Mereka berdua bertingkah seperti anak-anak yang sedang bertengkar karena berebut mainan. Sayangnya mereka nggak lagi rebutan. Mereka lagi berdebat soal hati masing-masing. Nata nggak mau jauh dari kakaknya, Vespa maunya jauh dulu biar bisa instrospeksi.
Anehnya, Nata sepertinya tahu diri. Dia nggak mau mendekat pada Vespa. Dia sepakat untuk melakukan sebuah proses bernama instrospeksi. Nata nggak mau menghampiri Vespa dulu. Iya, belum. Belum saja, kok! Nanti kalau Vespa sudah memaafkan, baru Nata nempel lagi.
Nata muka badak?
Bodo amat!
Lalu semua itu terjadi. Vespa yang cuek padanya, lalu melengos tiap kali melihatnya. Sebagai penghuni yang tinggal dua biji di rumah ini, Nata harus sabar. Ayah dan ibunya sedang berjuang mencari uang untuk membiayai hidup mereka berdua. Vespa juga sudah bekerja. Hanya tinggal Nata yang masih minta duit.
Kalau dia sudah kerja nanti, dia ingin membuat sebuah perubahan.
Dia mau beli rumah minimalis, lalu menculik Vespa untuk tinggal bersamanya di rumah itu. Gila, kan?
Nata hanya bisa melihat kakaknya yang sibuk dengan urusannya sendiri. Nata hanya bisa melirik kakaknya sesekali, hanya untuk memastikan kakaknya baik-baik saja. Tingkah gila dan posesif Nata kadang bikin gemas, tapi kalau terlalu banget bikin emosi juga.
Bahkan, ketika Ayah dan Ibu datang keduanya masih saja ogah bicara.
"Kalian lagi berantem?" Ayahnya bertanya cepat. Nata menggeleng cepat. Memang nggak lagi berantem, kok Yah! Cuma lagi instrospeksi aja!
"Nggak, kok Yah!"
"Tapi tumben banget Vespa abis pulang kerja langsung bertapa di kamarnya dan nggak keluar lagi."
"Mas Vespa kecapekan kali, Yah!"
"Vespa jagain kamu dari cowok-cowok, kan?" Ayahnya bertanya cepat. Kali ini Nata melongo. Maksudnya apa? Ah, Ayah kan tahu kalau Nata gay. Jadi selama ini Ayah beranggapan kalau Vespa menjaga Nata dari tingkah gay-nya?
Ayah, banyak sekali rahasia yang sedang disembunyikan oleh anak bungsumu ini!
Sebenarnya sudah beberapa hari ini Nata terusik. Vespa selalu mengunci diri di kamar tiap pulang kerja. Dia nggak akan ngomong kalau nggak penting. Bahkan makan malam dia juga di kamar. Apa proses instrospeksi harus sesulit ini? Nata kan kangen!
Apa semua ini karena Vespa masih trauma dengan darah?
Ketika ayah dan ibunya berangkat lagi ke luar kota, Nata sudah memutuskan hal yang luar biasa. Luar biasa menurutnya. Nata nggak mau lagi tersiksa karena cinta. Dia harus bergerak cepat sekarang. Nata kangen Vespa. Lebih baik Vespa mengomel, marah dan menghujatnya daripada mengabaikannya.
Nata nggak betah lagi.
Ketika tengah malam, Nata bangun. Dia sudah menyiapkan rencana sialan ini sejak pagi. Nata bergerak, keluar dari pintu belakang. Ketika sampai di jendela kamar Vespa, Nata mencungkil sesuatu di sana. Vespa sudah bekerja keras untuk ini.
Hup!
Nata berhasil masuk ke dalam kamar Vespa. Matanya memindai wajah Vespa yang terpejam. Celana pendek kakaknya itu tersingkap hingga paha. Nata merinding. Bagaimana bisa tubuh ini mulus? Ah, ada bekas luka sedikit. Nata tahu kalau Masnya sedang mencoba menumbuhkan kumis dan bulu halus di dagunya.
Ini tindakan kriminal, Nata!
Nata nggak peduli. Dia mengeluarkan tali yang sudah dia kantongi sejak tadi. Dia mengikat tangan dan kaki Vespa, lalu tersenyum puas. Vespa nggak bergerak, bahkan nggak sadar kalau sudah dalam keadaan terikat. Melihat sisi manis Vespa yang damai seperti ini kok Nata malah jadi ingin nangis, ya?
Nata sedang sensitif karena nggak dibelai akhir-akhir ini. Dia menunduk, mengecup kening Vespa sebentar. Rasa ini yang nggak akan pernah hilang meski dia menyelaminya beberapa kali. Kenapa sulit sekali untuk meraih cowok ini? Kenapa Nata harus jatuh terlalu dalam pada cowok yang bahkan melihatnya saja ogah?
Kenapa cinta harus tumbuh dengan aneh dan nggak bisa ditebak alurnya?
Dan... Nata mewek.
Lihat, siapa cowok gila dan freak yang mewek ini! Kamu nggak boleh nangis, Nata! Kamu kan katanya maso, kamu kan gila! Masa iya kamu nangis? Ah, maaf... aku lupa kalau kamu manusia. Kamu kan memang punya komponen bermacam-macam, manusia!
Vespa melotot. Dia terbangun tiba-tiba. Tangan dan kakinya terikat, dan ada Nata duduk manis di sebelahnya.
"Lepasin, Nat!" Vespa berdecih lirih.
Nata menggeleng. Matanya masih merah dan berair. Dia bukannya lagi sakit mata, tapi lagi nangis. Mewek. Nata sedang sensitif.
"Ngapain kamu nangis setelah ngikat Mas? Nyesel? Lepasin, Nat!" Vespa sudah lelah berteriak ke arah Nata. Nata bukan tipe orang yang akan mundur ketika diteriaki. Justru anak itu bahagia sekali.
Nata menoleh, lalu mengulurkan tangannya. Tubuh besarnya memeluk Vespa. Vespa terkejut dengan tingkah aneh Nata, namun dia mulai bisa memaklumi. Nata tanpa keanehan itu ibarat hidung tanpa upil. Nggak lengkap.
"Kenapa kamu yang iket, kamu yang nangis?" Vespa bertanya sekali lagi. Nata masih nangis. Aneh, ya kalau ada orang yang karakternya nggak bisa ditebak seperti ini? Sudahlah...
"Jangan buang aku, Mas..."
Dan setiap detik sekarang jadi seperti rasa bersalah dalam hati Vespa. Kenapa hanya dengan kalimat itu Vespa jadi sedih? Seharusnya Vespa lebih dewasa menghadapi adiknya. Vespa tipe introvert di luar sana. Pendiam. Pasrah. Tapi di depan Nata dia jadi ganas, makanya itu Vespa masih mencoba menyelami keanehannya. Kenapa dia harus begini? Apalagi ketika Nata membahas tentang ini. Jangan. Buang. Aku. Mas!
"Lepasin dulu, Nat!" Vespa menjawab datar.
Dia sudah berkali-kali membahas banyak hal dengan Nata, namun adiknya ini sulit sekali mengerti. Keras kepala dan juga selalu saja bertingkah semaunya. Nata menggeleng kencang. Wajahnya terangkat. Jemarinya menelusuri tubuh Vespa.
Ini gila! Sinting!
Nata mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya. Vespa merinding. Nggak! Ini nggak boleh terjadi! Ketika sebuah gunting keluar dari sana, Vespa meronta. Sayangnya ikatan di tangannya sangat kencang. Nata pernah ikut ekskul Pramuka ketika SD. Jadi paham mana yang simpul mati, simpul hidup, maupun simpul cinta. Kesimpulannya apa?
Nata menggunting kaos Vespa, lalu berlanjut di celana pendeknya. Vespa mencoba menjerit, namun dia nggak mau tetangga datang dan memergoki mereka sedang berbuat aneh. Dia nggak mau masalah akan jadi makin runyam. Kenapa kamu nggak lapor, Vespa?
Lah, memangnya semua manusia harus seperti yang kalian harapkan? Itu kata Vespa. Terima kasih!
Dan... Vespa telanjang.
Nata menelan ludahnya gugup. Demi Dewa, ini indah sekali! Nata sering sekali nonton serial India, lantas mengikuti jargon mereka. Nata emang nggak pernah bener ya di mata kalian? Iya, kita harus bingung kenapa ada orang aneh macam Nata di dunia ini.
Nata makin mendekat ke arah Vespa. Sudah basah, sekalian saja masuk ke air. Nata menunduk, mengecupi seluruh dada kakaknya. Vespa mencoba berteriak. Dia nggak mau ini jadi makin jauh. Sayangnya Nata juga sudah menyiapkan sesuatu. Lakban.
Ini pemerkosaan!
Bibir Nata menelusuri tubuh Vespa, meninggalkan sesuatu di sana. Nata kembali bergerak, mengecupi seluruh tubuh Vespa. Nggaaaakkk!! Jejak merah yang Nata tinggalkan kembali membuat Vespa jadi nggak nyaman. Di selangkangan Vespa, bibir Nata berhenti. Lidahnya terulur, mengecup sesuatu di sana.
Dan sesuatu bernama pekerjaan tiup kini sudah jadi profesi Nata. Blow Job.
"Hmmmpph... Hmmmpph..." Vespa menggelinjang ketika Nata sudah sibuk dengan kegiatannya di sana. Tubuh Vespa menegang. Sapuan bibir Nata kembali membuatnya gila. Sudah aneh dengan pertengkaran, sekarang ada adegan pemerkosaan! Ini cerita apa, sih?!
Lebih aneh lagi karena Vespa sudah mulai bisa tenang. Aneh? Apalagi ketika dalam sebuah klimaks akhirnya Vespa terpejam. Nata berhasil. Nata berhasil melakukan sesuatu memalukan padanya. Bagaimana pun Vespa itu cowok! Ketika ada sesuatu - kita sebut saja tanpa menggantinya dengan kata seseorang - yang memanjakan selangkangan cowok, apa senjatanya akan tetap layu?
Manusiawi, bukan?
Tetapi... Vespa masih nggak terima.
Nata melepaskan lakban dari mulut Vespa, lalu tersenyum lembut. Vespa bersiap menghujat, namun melihat senyuman Nata membuatnya gagal menggambarkan sumpah serapahnya.
"Benci? Apa Mas membenciku?"
Untuk yang kesekian kalinya Vespa terusik dengan ekspresi itu. Nata terlihat kesakitan ketika mengatakannya. Jemari Nata terulur, menyentuh kerutan di bagian bawah tubuh Vespa hingga Vespa berteriak kasar.
"Jangan sentuh itu kalau kamu masih mau hidup!!"
Nata menggeleng, lalu memeluk Vespa sayang. Dia memejamkan mata, masih dengan posisi tubuh Vespa yang terlentang dan telanjang. Nata memeluknya erat. Vespa menghela napas. Kenapa semuanya jadi makin rumit?
Nata terus memeluk Vespa hingga keesokan paginya. Ketika Vespa membuka mata, Nata sudah nggak ada di sana. Vespa sudah memakai baju, ikatannya terlepas, bahkan ada plester yang menempel di bekas ikatannya semalam.
Anehnya, hanya dengan melihat perlakuan Nata itu membuat hatinya menghangat. Kemarin-kemarin kamu kemana saja, Vespa? Kamu berikrar kalau rasa yang kamu berikan untuk Nata hanya sebagai saudara, namun kenapa sekarang jadi plin-plan begini? Kamu sehat? Sakit pantat?
Vespa beranjak keluar. Hari ini Minggu, jadi dia nggak kerja. Kakinya melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia sudah nggak mau ngambek-ngambekan dan mengatasnamakan instrospeksi lagi. Buktinya, Nata bukannya jadi manis... tapi malah makin parah! Ketika sarapan sudah terhidang di meja, Vespa ragu. Dia ragu untuk membangunkan adiknya, namun akhirnya Vespa sadar. Ego yang sejak lama dia pertahankan harus dia bebaskan.
"Nat?"
Nata membuka pintu kamarnya. Kantung matanya menggelap. Vespa tahu kalau Nata kurang tidur, juga mungkin efek karena dia sudah menangis semalam itu.
"Sarapan!"
Nata melangkah tanpa suara. Kakinya gontai dan akhirnya berhenti di meja makan. Dia duduk, menatap kakaknya sekali lagi. Matanya mengerjap, lalu kembali mengerling. Nata nggak bisa menjabarkan rasa sayang yang meletup dalam hatinya tiap kali melihat Vespa.
"Mas..."
"Hm?" Vespa berdehem pelan.
"Maaf..."
"Waktunya makan, Nat!"
Nata tahu itu klise sekali. Meski memang nggak baik ngomong ketika makan, namun nggak biasanya Vespa akan membahas ini.
"Apa aku aneh? Apa aku gila?" Sayangnya Nata nggak peduli. Dia hanya ingin bertanya pada kakaknya. Padahal ini sering kali dia bahas, tetapi Nata yang keras kepala hanya sedang mencoba mencari tahu apa mau kakaknya.
"Kamu freak."
"Tapi aku cinta Mas..."
Vespa menghela napas, meletakkan sendoknya dan menatap wajah adiknya. Nata masih mengerjap dengan wajah bersalah.
"Mas tahu."
"Tapi Mas nggak cinta aku!"
"Topik ini udah sering kita bahas, Nat!"
"Tapi aku nggak akan bosan. Cintaku ke Mas aja masih ada dan terus bertambah makin hari."
Vespa mencoba jadi bijak sekarang.
"Apa mencintai harus sesusah itu?" tanyanya. Nata menoleh ke arah Vespa. Sendok di tangannya terjatuh, namun Nata enggan mengambilnya. Pembicaraan ini jadi makin membingungkan sekarang.
"Aku nggak pernah menganggap sudah, Mas! Itu bukan sesuatu yang menyusahkan. Tapi... mau sampai kapan?"
"Maksudnya?"
"Mau sampai kapan Mas bilang kita nggak akan bisa bersama karena status kita saudara? Aku nggak nanya soal pacaran dan sejenisnya. Aku hanya butuh jawaban aja. Mas cinta aku?"
Gotcha!
Mau jawab apa kamu, Vespa? Kalau Nata yang bilang 'Maukah Mas jadi kekasihku?' seperti itu bisa saja kamu tolak dengan yakin, namun kalau ada pertanyaan seperti itu... Kamu mau jawab apa, Vespa?
"Itu..."
"Aku nggak pernah berharap ada status, meski itu akan jadi hadiah paling luar biasa yang bakalan aku dapatkan."
"Nat..."
"Awalnya aku terlalu naif. Aku biarin Mas dengan pemikiran Mas sendiri, tapi sekarang rasanya sakit, Mas! Mas tahu gimana rasanya? Aku sayang Mas, tapi aku nggak bisa melakukan sesuatu untuk orang yang kusayang. Karena dia menolaknya."
"Kita jelas nggak mungkin untuk melangkah jauh, Nat!"
Nata mengangguk kencang. Nata jelas tahu itu. Nata hanya seorang adik freak yang super naif. Nata hanya ingin memiliki Vespa untuk dirinya sendiri. Nata terlalu posesif untuk jadi seorang adik.
"Aku nggak berharap status. Aku yakin Mas bakalan nolak!"
"Tuh tau!"
"Gimana perasaan Mas ke aku? Jangan bilang sayang kayak ke adik sendiri, Mas! Itu klise!" Sekali lagi Nata membawa kalimat yang menurutnya klise. Vespa nggak tahu harus menanggapi seperti apa.
Sekarang Nata sedang menuntutnya dengan jawaban!
Kalau ditanya, Vespa jelas sayang pada Nata. Dia cemas, dia panik, dia kasihan, dia sayang...
Tetapi cinta nggak sesederhana itu dalam hatinya. Untuk apa mencintai jika seseorang itu nggak mau diraih?
Jelas, prinsip Vespa dan Nata berbeda di sini.
"Asal sayang, nggak masalah dengan status. Kita berdua sama-sama cowok, kakak adik pula! Aku nggak mau nuntut, Mas."
"Lalu mau kamu sekarang apa?"
Nata mengerut. Dia bingung sampai di sini. Menjadikan Vespa miliknya jelas mustahil, namun kalau hanya untuk mendapatkan kasih sayang dari kakaknya... itu sangat mungkin terjadi. Meski Nata masih saja merasa miris dengan anggapan Vespa soal itu.
"Mas bergantung ke aku. Aku harus jadi orang pertama yang tahu kalau Mas sakit. Aku harus jadi orang pertama yang tahu segala hal soal diri Mas, lalu orang pertama yang dimintai tolong ketika Mas kesulitan."
"Oke, oke!" Vespa menyerah. "Sekarang kamu belanja ya! Bisa?"
Raut bahagia menguar dari wajah Nata. Dia mengangguk kencang. Jadi seperti itu! Nata itu mirip anak anjing! Dia akan mengikuti pemiliknya, dan senang ketika diperintahkan sesuatu. Jadi seperti itu! Naif!
"Mau belanja apa?"
"Sabun, shampoo, ah... iya! Gula juga udah habis. Jangan lupa belanja mie instan juga!"
Vespa berdiri, mengambil dompet yang ditinggalkan ibunya di atas kulkas. Dompet itu berisi uang untuk keperluan rumah tangganya. Nata mengangguk cepat, lalu menyelesaikan acara makannya secepat kilat.
"Beli sabun merk apa? Lalu shampoo-nya yang rasa apa?" Nata bergerak cepat, mengulurkan tangannya di depan Vespa.
"Nggak usah beli yang aneh-aneh! Nih uangnya!" Vespa tersenyum, memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tangan Nata.
"Kok banyak banget?"
"Sekalian pulangnya beliin pizza, ya!"
Nata mengangguk cepat. Dia mengambil kunci motornya, lalu melangkah keluar. Sebelum kakinya sampai di ambang pintu, Vespa memanggilnya.
"Nat... Mas mau ngomong ini sekali, tapi kamu dengerin baik-baik!"
Langkah Nata terhenti. Kepalanya menoleh ke arah Vespa. Menunggu kakaknya bicara.
"Mas nggak pernah mempermasalahkan cinta yang muncul dari hati kamu, namun ada kalanya sikap kamu nggak perlu berlebihan soal itu. Status kita emang nggak mungkin, tapi Mas nggak pernah berharap juga buat bikin kamu galau dan terkesan diPHP." Vespa melangkah ke arahnya, mendekat.
"Kamu nanya, gimana perasaan Mas ke kamu, kan?" Kali ini tubuh Vespa mendekat ke arah Nata. Jemarinya menarik tengkuk Nata, lalu bibirnya mengecup bibir sang adik. Sebentar.
"Cukup sesederhana ini! Dan nggak perlu aneh-aneh lagi, Nat!" bisik Vespa pelan. Nata menegang di tempatnya. Vespa menciumnya lebih dulu. Tunggu! Tunggu! Ini mimpi?
"Mas..."
"Sana pergi!"
Nata menggeleng kencang. Kesadarannya masih terkikis karena perlakukan Vespa tadi. Di animanga, tingkah Vespa seperti ini namanya tsundere. Kayak duren. Keras luar, lembut dalam. Sok ketus, tapi dalamnya hangat sekali!
"Mas..."
"Jangan bertingkah aneh-aneh lagi, Nat! Mas nggak mau teriak-teriak terus ke kamu."
Nata mengangguk cepat. Patuh.
"Jadi, bisa cium sekali lagi?"
Oh, ini nggak akan selesai sampai di sini! Sudahlah... setidaknya Nata sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Cinta kakaknya. Lagian, Vespa juga kaget dengan tingkahnya sendiri. Kalau memang terjun ke sebuah jurang akan membuatnya belajar, maka di sinilah Vespa sekarang!
Vespa akan belajar menyelami rasa, Nata akan belajar untuk mencintai saja tidak perlu terobsesi. Bukankah cinta memang terlihat sederhana, namun nggak sesederhana itu? Cukup seperti itu saja...
Saat ini mereka hanya sedang mencoba mengerti.
END
Yihaaaaa.... kilat alurnya? Sengaja... :v Udah nggak tahan pengen lanjutin kisah lain, kok! Sini peluk dulu....
Emang bener ya kalo haters itu fans yg tertunda, sampe stalking2 gitu? Aku tipe cuek nggak pengen stalking, sih... Aku stalk ke lapak Layeobo tiap hari... :v *ngaku* Kan dia idolaku (ini curhat? Did.they.ask?)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top