Tujuh: Satu Ditambah Satu Jadi Empat!
*Tadi salah klik*
Namanya saja cewek genit. Meski dibully dan diacuhkan, yang namanya cewek genit tetap saja gatel itu lho nggak akan berhenti. Vespa sadar satu hal, dia nggak akan pernah membenci cewek genit itu karena alasan nggak masuk akal. Vespa nggak mau menghabiskan waktu berharganya untuk membenci. Dia nggak tahu berapa lama lagi dia hidup di dunia ini. Lah? Kok malah mirip novel melankolis, sih? Oke, kembali pada topik awal. Vespa menghembuskan nafasnya kesal. Leva kembali ke rumahnya. Dia masih hobi merecoki Nata. Bahkan ketika weekend.
Ada kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya adalah skripsi Vespa disetujui untuk diseminarkan. Vespa menghembuskan nafas lega saat dosennya memberi tanda tangan di bab tiganya. Jadi Vespa harus memperbaiki ulang skripsinya dan mempersiapkan seminar. Dia harus belajar lagi. Namun sayangnya usahanya untuk belajar nggak pernah semulus itu. Kabar buruk yang sedang menimpanya salah satunya adalah kehadiran mak lampir ini di rumahnya. Selain itu, pertengkarannya dengan Nata kemarin-kemarin juga membuat mood-nya berubah drastis. Dia jadi sering marah. Meski marahnya sendirian. Iya, nggak mungkin kan dia langsung mengadili Nata dan memotong tubuhnya! Jadi dia marah-marah sendiri.
"Gue bawa sesuatu buat lo..." Leva mengulurkan sebuah bungkusan ke arah Nata. Nata cuek. Vespa juga cuek. Dia hanya nggak sengaja lewat untuk mengambil minum di dapur. Nata masih fokus dengan game di HPnya. Seperti hari-hari sebelumnya, Leva datang dengan baju seksi yang menampilkan paha mulus dan belahan dadanya. Nggak tahu apa yang terjadi dengan cewek itu, yang Vespa tahu sih Leva itu cukup kaya kalau hanya untuk membeli baju yang layak. Ini kan musim hujan, kok bisa-bisanya dia pakai baju begitu. Masuk angin kan ntar...!
"Aku nggak doyan donat!" Nata cuek lagi. Singkat. Rautnya mengeras. Nata juga lumayan berubah sejak pertengkaran waktu itu. Nata nggak pernah main ke kamarnya lagi. Vespa bersyukur, sih... tapi masalahnya anak itu juga sering menghilang. Vespa kan curiga. Nggak, maksudnya curiga karena takut Nata berbuat hal yang nggak baik di luar sana.
"Tapi kemaren lo bilang kalo..." Leva mengerjap nggak percaya. Dia shock sampai bulu matanya bergerak cepat.
"Kan kemaren aku bilangnya! Kalo sekarang nggak lagi..." Nata masih mengerut dan menatap layar HPnya.
"Kamu mau apa? Aku bisa beliin..."
"Aku maunya mbak pergi dari rumahku. Mbak nggak sopan banget pake nyelonong ke rumah orang..." Satu hal yang membuat Nata krisis kepribadian adalah dia selalu mengatakan semua yang ada dalam pikirannya dengan lantang. Dia nggak pernah mikir omongannya akan membuat lawan bicaranya sakit hati atau nggak. Hal yang nggak pernah Vespa punya itu dimiliki Nata. Vespa dan Nata seolah dua kepribadian yang terbalik. Saling bertentangan. Makanya, nggak heran kalau mereka nggak akan bisa akur.
Leva berdiri lalu pergi dengan wajah kesal. Sebelum kakinya cabut dari tempat itu, matanya menangkap Vespa yang sedang memperhatikannya. Leva mendengus dengan ekspresi marah yang luar biasa. Vespa ingin ngakak, tapi dia nggak mau dicakar lagi olehnya. Nah, sudah dibilang kan kalau Vespa itu tipe orang yang traumatik. Sekali dia sakit karena suatu hal, maka dia akan menjauh dan menghindari hal serupa.
Rupanya tatapan bengis nan beringas Leva ditangkap juga oleh Nata. Nata nggak tahu ada masalah apa antara keduanya. Nata sempat mikir dan berkhayal juga... seandainya mereka bertengkar karena memperebutkan cinta Nata, maka Nata akan menjadi tokoh protagonis saat ini. Dia akan jadi pemeran utama. Tentu saja dia akan memilih mas Vespa-nya. Tapi biar ada bumbunya gitu, jadi ada Leva sebagai pemeran antagonis pihak ketiga perusak rumah tangga orang. Lho? Ini bahas apa, sih?
Vespa masih mencoba menghindari tatapan kesal Leva, tapi dia nggak bisa. Dia masih terlalu terpaku. Bingung mau ngomong apa dan bingung harus bereaksi seperti apa. Vespa masih sibuk berpikir tentang apa yang sedang Leva pikirkan. Leva mikir apa, coba? Kan dia nggak tahu Leva itu masih punya dendam kesumat.
"Apa?" Akhirnya kata pamungkas Vespa muncul juga. Leva bergerak pelan seperti harimau yang mendekati mangsa. Vespa beringsut mundur. Oke, dia memang pengecut! Tapi dia harus bersikap begitu kalau nggak mau dicakar lagi. Nah, loh?
"Mas..!" Kali ini Nata yang memanggil Vespa. Vespa sudah berusaha mengacuhkannya beberapa hari ini. Jadi dia nggak peduli dengan panggilan Nata kecuali saat ini. Tapi tatapan mata Leva seolah mengintimidasinya. Dia harus segera bebas dari siksaan tatapan mak lampir yang bisa santet itu!
"Mas!" Sekali lagi Nata memanggilnya meski tangannya masih berkutat di HPnya. Karena Vespa masih nggak menyahut, Nata mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke arah Vespa. Sayangnya... Oh, sayang sekali! Ya, karena aku sayang kamu! Oke, Sorry... Maaf! Karena bantal itu malah mengenai kepala Leva. Vespa cukup tanggap juga dan menghindar. Dia ingin ngakak. Kalau boleh. Namun sebelum mulutnya sempat bocor karena tawa, Nata sudah gemas. Nata berdiri. Sudah cukup mas Vespa-nya mengacuhkan dia beberapa hari terakhir ini. Tanpa dikomando, kakinya melangkah ke arah Vespa dan mengangkat tubuh Vespa. Bukan semacam gendongan biasa. Bukan! Bukan gendongan ala pengantin. Bukan! Tapi... gendongan ala mas-mas tukang angkut beras. Diangkut di punggung! Vespa diangkut dan "disampirkan" di punggung Nata. Nata membawa tubuh Vespa yang meronta kencang. Berteriak. Memukul. Menjerit. Mengumpat.
Perlahan... pintu kamar Vespa tertutup. Lalu terkunci.
Apa? Kalian nggak mikir macam-macam, kan?
***
Seminar Vespa sukses. Bahkan keempat dosen juga sempat memujinya. Revisi Vespa juga sedikit. Vespa bisa bernafas lega dan mulai menyiapkan penelitiannya untuk bab selanjutnya. Bab hasil penelitian.
Padahal kemarin dia sempat putus asa dan juga ingin menyerah. Pertengkarannya dengan Nata yang mirip anak kecil itu membuatnya harus bertahan di kamar untuk berdebat. Leva sudah pergi setelah Nata "mengangkut" Vespa ke kamar dan mengunci pintunya. Mari kita flashback ulang apa yang terjadi. Yah, daripada kalian mikir macam-macam, kan?
"Jangan bawa-bawa aku dalam masalah kamu!" Ciri khas Vespa saat marah adalah dia selalu menggunakan kata "aku" sebagai kata ganti dirinya sendiri. Biasanya kan dia lebih sering memakai kata "mas".
"Tapi dia temen mas.."
"Aku nggak pernah ada urusan sama dia!" Vespa berdecak kesal.
"Aku nggak suka cewek itu!" Nata menggumam pelan.
"Peduli apa aku?"
"Biar dia tau diri aja kalo aku nggak suka sama dia!"
"Bukan urusanku!" Vespa sudah kesal dan nggak mau tahu apa yang akan Nata lakukan terhadap Leva. Dia nggak mau tahu.
"Mas harus ikut campur! Aku yang akan menyeret mas dalam kasus ini!"
"Nggak usah ngatur-ngatur!"
"Aku akan terus membuat mas ikut campur!" Nata itu keras kepala dan juga aneh. Pikirannya nggak akan pernah bisa ditebak oleh orang normal. Nata itu mirip alien yang menggunakan bahasa maksud versi dirinya sendiri.
"Kamu..."
"Lagian juga mas nggak mungkin kan dapat cewek..."
Vespa melotot nggak terima.
"Mas juga mungkin akan dijauhi cewek karena mereka takut kalah pamor sama mas.."
Vespa makin panas.
"Kayak mbak cabe itu tadi, lihat mas kayak pengen garuk muka mas gitu..."
Oke, Vespa mulai nggak tahan! Dia menarik nafasnya dan... SHIT! BASTARD! FUCK! Lalu kosakata itu pun berlanjut.... terus berlanjut...
Mereka masih terus adu mulut. Nata masih mencoba menahan Vespa di kamarnya, sedangkan Vespa sudah ingin meledak dan gila. Dia ingin menumpahkan semua emosinya. Dia sudah nggak kuat lagi menahan kemarahannya. Lama-lama Vespa yakin kalau Nata itu homo!!
Vespa emosi. Segera ditonjoknya wajah ganteng adiknya itu. Nata nggak kapok sampai di sana. Dia malah tertawa kencang. Dia masih ingin mengolok-olok Vespa. Sudut bibir Nata berdarah, namun dia masih tertawa geli. Di matanya Vespa itu memesona. Ah, nanti dia akan mencatat berapa kali dia mengatakan kalau Vespa itu mengagumkan! Nata bukan gay. Nata nggak suka cowok. Nata masih suka lihat cewek. Namun untuk Vespa.. itu dalam kasus yang berbeda. Iya.. iya.. itu namanya Vespanistic. Kalian akan selalu mendengarnya agar kalian ingat ada berapa istilah dalam kamus Nata!
Vespa kesal. Lagi. Tentu saja gara-gara mulut cabe si Nata. Nata sempat mengolok-oloknya kalau Vespa nggak mungkin punya cewek. Nggak mugkin ada cewek yang mau dengannya karena takut saingan. Bahkan dengan kurang ajar Nata mengatakan kata yang paling pedas padanya.
"Udah, deh mas nggak apa! Kalo emang cantik, ya udah cantik aja! Nggak usah sok manly gitu! Kemaren-kemaren juga sempet kan dideketin sama om-om dikirain cewek..."
Nata menatap cermin di depannya sekali lagi. Dia ganteng. Ya, sudah sejak dulu, kok! Kalau mau dia bisa mendapatkan cewek manapun. Tapi sayang sekali minatnya untuk menjalin cinta dengan cewek-cewek itu sama sekali kosong. Nata lebih senang mengganggu kakaknya. Bukan berarti dia anti cewek juga, kok! Dia masih suka cewek cantik, tapi hanya suka. Suka karena mereka enak dipandang. Nata meringis saat ingat tadi Vespa sempat memukulnya. Ternyata pukulan Vespa itu luar biasa kencang. Lumayan aneh gitu karena tangan halus itu bisa dipakai untuk menonjok orang.
Saat Nata keluar untuk mengompres lukanya, Vespa juga ikut keluar dari kamarnya. Dia sudah rapi. Wangi. Hari ini Vespa nggak mau berduaan di rumah bersama adiknya. Dia nggak akan membiarkan mood-nya makin down.
"Mau kemana?" Nata bertanya pelan.
"Bukan urusan kamu!" Vespa sudah bertekad satu hal. Dia nggak mau menceritakan apapun pada Nata. Nggak penting juga.
"Aku perlu tau, Mas kakakku!"
Vespa mendengus. Oh, jadi kalau begini Nata menganggap dia kakak?
"Mau ke tempat si Billy! Ntar kalo Ayah atau Ibu nanya, bilangin gitu! Tadi HP mereka nggak aktif.."
"Nggak boleh!" Nata menggeram nggak rela.
"Terserah!" Vespa sudah masa bodoh dengan larangan nggak masuk akal Nata. Dia melangkah arogan. Mengabaikan fakta kalau dia masih punya dendam pada Nata. Nata mencoba mencegahnya, namun Vespa cukup tanggap hingga dia bisa melarikan diri. Hanya tinggal Nata yang terdiam. Memandang punggung kakaknya yang semakin jauh.
"Mas nggak pernah sadar, sejak dulu hal paling menyakitkan yang sering aku lihat adalah saat punggung mas menjauh!" Nata mendesah pelan. Luka di sudut bibirnya nggak ada apa-apanya dibanding ini.
***
Nata bete. Masih bete. Kakaknya nggak pulang-pulang. Berkali-kali Nata mencoba mengiriminya SMS hingga telpon. Namun sayang sekali Vespa tahu kalau adiknya itu pasti akan mengganggunya, sehingga HPnya segera dia matikan. Untuk saat ini aman!
Saat ini Vespa bukan berada di tempat Billy seperti yang dia ucapkan sebelumnya. Vespa sedang duduk manis di salah satu bangku taman. Pikirannya keluyuran kemana-mana sementara matanya menatap orang yang lalu lalang di sekitar. Sesekali dia menghitung motor yang lewat di depannya. Vespa benar-benar hopeless saat ini.
"Kalo kamu ngelamun di sini ntar kesambet, lho!" Entah sejak kapan di depannya sudah ada Billy. Billy nyengir. Vespa mendongak dan menggeser pantatnya, memberikan tempat Billy duduk. Billy paham maksud Vespa dan segera meletakkan pantatnya di situ.
"Aku lagi banyak pikiran..."
"Gara-gara besok mau seminar...?" Billy berkomentar. Vespa makin tersenyum canggung. Besok dia seminar, tapi dia malah keluyuran.
"Kali ini beda lagi kasusnya. Mungkin aku udah terlalu capek!"
"Gara-gara seminar?"
"Bil... aku nanya, nih! Salah nggak ya kalau aku punya cewek?"
Billy tersedak, terbatuk-batuk, lalu melongo. Yakin, temannya ini kenapa lagi? Dia kerasukan setan darimana hingga ngomong ngawur begini? Punya cewek itu bukan perkara yang mudah untuk Vespa. Lupakan fakta kalau Vespa itu cantik dan sering disalahpahami. Masalahnya, Vespa itu sama sekali nggak manis. Dia kaku. Galak. Introvert. Belum lagi keras kepala. Cewek mana yang akan tahan dengan sifat kerasnya itu? Bahkan PDKT saja sepertinya susah. Vespa bukan tipe orang yang akan sok manis begitu!
"Kamu kesambet apaan?" Billy menatapnya lagi. Kali ini dengan raut serius. "Apa ini yang dinamakan sindrom menjelang seminar?"
"Aku beneran pengen cewek! Buat nunjukin ke dunia kalo aku juga cowok, aku juga normal! Aku bukan seperti yang Nata bilang..."
Billy menggeleng. Rupanya Vespa sudah mulai terusik dengan ucapan Nata. Bisa bahaya ini. Padahal biasanya Vespa kan cuek. Kok sekarang jadi terusik begini? Ada apa dengan Vespa? Apa karena dia stress soal skripsi? Serius?
"Nggak segampang itu, Ves! Cari pacar yang beneran itu nggak instan. Kamu kudu pedekate dulu, lah.. lalu ngenalin dia dulu, lah..."
"Mungkin nggak ada yang mau sama aku..."
"Hei, banyak kok yang suka sama kamu..."
"Kalo maksud kamu itu cowok dan om-om mesum, i'm out!"
"Ah, iya.. iya..." Billy nyengir. Vespa masih mengerutkan alisnya sambil menggaruk tengkuknya sesekali. Billy masih menatapnya. Sejujurnya, Vespa adalah orang pertama yang membuatnya canggung. Dulu Billy salah mengira kalau Vespa itu cewek. Billy sempat jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Vespa itu nggak seperti cewek lain. Tatapan datar dengan mata lebar, bibir tebal yang selalu dia gigit, hidung mancung mungilnya... Billy sempat tergila-gila pada Vespa. Tapi setelah secara nggak sengaja dia memergoki Vespa pipis sambil berdiri di toilet, Billy patah hati. Namun tetap saja kadang Billy masih agak merinding saat dekat dengan Vespa. Sampai saat ini... Ada hal yang membuatnya akhirnya sadar. Dia... gay!
"Kalo kamu mau punya kenalan cewek, aku bisa bantuin..! Tapi kenalan aja, sih.. kalo soal pedekate gitu ya kamu usaha sendiri..." Dengan raut nggak ikhlas akhirnya Billy bersuara. Vespa menoleh ke arah Billy dengan raut yang lebih hidup dari sebelumnya. Vespa mengangguk antusias.
"Aku mau ada acara hang out bareng sama cewek-cewek.. cuma makan sih di restoran.."
"Nggak masalah!" Vespa mengangguk antusias.
"Kamu bisa kenalan sama mereka. Siapa tau aja ada yang kamu suka..."
"Aku ngerti..."
"Besok sore kita cabut! Setelah kamu seminar!"
"Sip!! Thanks, Bil!" Vespa tersenyum lebar. Yap! Mau nggak mau dia harus ikut acara seperti itu, kan? Dia harus menunjukkan pada orang-orang kalau dia juga cowok! Dia bisa punya cewek! Dia bukan makhluk astral seperti Nata. Nata itu kan gila. Dia populer di kalangan cewek, tapi dia cuek. Sedangkan Vespa? Dia sama sekali nggak populer di kalangan cowok, tapi dia ingin memperbaiki image-nya. Satu hal yang jadi perhatian Vespa kali ini : Dia belum belajar untuk seminar besok! Mampus!
***
Vespa nyengir. Meja makan belum ada orang. Pagi ini sepertinya mereka terlambat bangun. Tanpa menunggu lama Vespa melangkah cepat ke arah garasi dan membawa kabur motor miliknya. Iya, motornya sudah kembali! Dia nggak sudi lagi nebeng Nata ke kampus. Vespa sudah mengesampingkan rasa kasihannya dan mengutamakan keegoisannya. Dia harus pergi ke kampus secepatnya, jadi dia membawa kabur motor matic kesayangannya. Hari ini dia harus seminar.
Hari ini juga dia kan sudah ada janji bareng Billy. Dia ada acara makan-makan dengan cewek-cewek. Karena nggak mau bikin ribet akhirnya Vespa bawa motor. Acaranya kan masih sore, jadi Vespa bisa titip motor di kosan Billy. Dia bisa nebeng mobil Billy. Betul.. betul...!
Begitu seminarnya usai dengan hasil memuaskan, Vespa segera pergi ke kosan Billy. Dia juga sudah membawa baju ganti dan memutuskan untuk merapikan penampilannya di kosanBilly. Billy baru saja bangun tidur dan sedikit kaget saat melihat Vespa ada di kosannya. Vespa nyengir dan sibuk merapikan rambutnya. Billy curiga.
"Kamu udah datang? Seminarnya gimana?," tanyanya penuh selidik.
"Sukses! Revisinya cuma dikit, kok!"
"Selamat, ya!" Billy nyengir. Vespa mengangguk antusias. Vespa sudah merapikan rambutnya sementara Billy masih sibuk mengambil baju yang akan dia pakai hari ini.
"Enak, ya kalo punya temen cewek. Aku nggak pernah punya temen laen.. dalam artian yang deket..." Vespa menggumam sendiri. Iya, kebiasaannya begitu. Dia menggumam nggak jelas sambil bercermin.
"Percuma temen cewek banyak kalo kamu nggak tertarik sama mereka!" Billy menjawab pelan. Vespa sukses menoleh ke arahnya.
"For some reason, I truly tell you this. But, yes! I'm gay!" Setelah berpikir cukup lama, Billy akhirnya memutuskan selera orientasinya. Dia benar-benar nggak percaya awalnya kalau dia gay. Tapi saat melihat majalah homo. Setelah dia mengunjungi Helix Studio. Dalam bayangannya, Vespa di bawahnya.
Vespa terdiam. Kaku di tempatnya. Billy pasti bercanda. Vespa masih bengong dengan mulut terbuka dan mata melotot. Saat menoleh ke arah Billy, dilihatnya Billy masih memasang ekspresi santainya. Nggak, pasti Billy bercanda!
"Kamu seriusan?" Respon Vespa sudah seperti apa yang dia duga.
"Ya kagak, lah! Emang kalo aku homo, kamu mau jauhin aku dan nggak mau kenal aku lagi? Idih, sinetron!" Billy berguling ke kasurnya. Vespa menggeleng. Billy tahu, ini terlalu cepat untuk memberi tahu Vespa. Karena itulah dia menarik ucapannya lagi.
"Alasanku temenan sama kamu bukan karena kamu lurus, kok! Jadi kalaupun kamu belok juga nggak masalah. Selama kamu tau tempat aja..." Vespa berdehem gugup dan kembali menata rambutnya. Vespa mencoba santai. Billy menghembuskan nafasnya. Dia sudah mengatakan pada Vespa! Iya, lah! Memangnya Nata, nggak mau ngaku homo dan mengatasnamakan Vespanistic? Oke, abaikan! Nata kan memang absurd! Aneh!
"Syukur deh kalo pikiran kamu terbuka! Aku cuma cemas aja kalo kamu nggak bisa nerima.."
"Tapi kamu bukan homo beneran!" Vespa mendengus lagi.
"Kan aku cuma ngetes aja, kalo misalnya ada homo deket-deket kamu.. aku kepo aja gimana reaksi kamu!"
"Bil, come on.. Aku kagak perlu pusing-pusing buat judge seseorang karena selera mereka. Aku juga belom tentu baik!"
"I love you, dude!"
"Njiiirrr.. kamu jadi makin keliatan homo!" Vespa pura-pura geli. Billy tersenyum lembut dan mengacak rambut Vespa. Rambut keren Vespa pun kembali acak-acakan karena ulah Billy.
"Billy!!"
Lalu acara penataan rambut itu pun berganti dengan acara perang bantal. Vespa masih kesal sambil memukul brutal dan Billy tetap mengejeknya. Mereka nggak sadar, sejak tadi perasaan Billy sudah cenat-cenut karena patah hati. Sabar, Bil! Sabar...! Bukan berarti Vespa menolakmu, kok!
***
"Lo semester berapa?" Cewek-cewek itu ngikik nista. Mereka masih sibuk bertanya ini itu pada Vespa. Vespa senang sih karena banyak cewek yang antusias padanya. Tapi masalah utamanya bukan itu! Cewek-cewek itu justru nggak melihatnya sebagai cowok! Mereka sibuk memuji wajah cantik Vespa. Vespa bete. Sejak dirinya dan Billy sampai tadi para cewek itu histeris dan menyambutnya. Mereka berkasak-kusuk tentang bagaimana bisa ada cowok secantik itu.
"Kalo kalian kepo dan juga heran, mendingan kalian liat google! Banyak cowok-cowok cantik di dunia ini. Asal kalian tahu, mereka terlahir sebagai cowok tulen, kok! Jadi stop buat bayangin aku pake wig panjang dan pake gaun! Juga stop bayangin kalau pacarku bakalan ganteng!" Vespa sewot. Para cewek itu bergosip di depannya, tentu saja Vespa dengar! Billy menatap Vespa dengan raut bersalah, namun Vespa tahu kalau itu bukan salah Billy.
Vespa nggak minat untuk melanjutkan acara ramah tamah nggak jelas itu lagi sehingga dia memutuskan untuk pergi lebih dulu. Saat Billy ingin menemaninya, Vespa menolak. Dia ingin kembali ke kosan Billy naik bis saja dan mengambil motonya. Dia nggak mau mengganggu acara Billy yang sepertinya sudah stuck di cewek-cewek itu. Billy ragu. Namun karena Vespa memaksanya untuk tetap tinggal, akhirnya Billy menurut. Meskipun Billy ingin menemani Vespa dan lebih memilih pulang bersamanya, namun Billy tahu.. semakin kamu mendekati seseorang maka semakin besar itulah rasa cinta kamu terhadapnya. Billy nggak mau rasa ini membunuhnya perlahan.
Vespa mendorong motornya dan menghidupkan mesinnya. Dia sudah sampai di kostan Billy dan langsung ke parkiran. Bajunya masih di kamar Billy. Biarlah, besok saja dia ambil lagi. Hari sudah mulai malam. Pasti Ayah dan Ibunya akan menanyainya nanti kalau dia sampai.
Vespa celingukan begitu sampai di rumahnya. Rumahnya masih sepi. Berarti orang serumah belum pulang, atau bahkan mereka sedang berada di kantor. Vespa nyengir dan mengendap masuk ke dalam kamarnya sampai sebuah suara tajam dan berat menyapu gendang telinganya.
"Baru pulang?," tanyanya begitu kaki Vespa sudah mulai menapak di depan pintu kamar.
"Na... Nata?" Vespa kaget, namun mencoba menetralkan suara setelahnya.
"Mas dari mana?"
"Mas udah berkali-kali bilang kalo apapun yang mas lakuin itu bukan urusan kamu!"
"Mas keluyuran kemana? Sama siapa? Katanya tadi seminar? Seminarnya gimana?"
Oke, fix! Nata jadi mirip gay sekarang! Dia seperti cowok yang memergoki pacarnya keluar tanpa seizinnya. Bagus!
Vespa berdecih dan masuk ke kamarnya tanpa memperdulikan tatapan Nata. Tapi Nata tahu maksud Vespa menghindarinya, sehingga dia menahan Vespa untuk nggak masuk ke dalam kamarnya. Dia menghalangi Vespa dengan kedua lengannya. Memenjarakan tubuh Vespa di depan pintu.
"Apa lagi?" Vespa kesal. Nata menatapnya dalam diam.
"Aku nggak suka kalo mas keluyuran seenaknya! Apalagi sama cecunguk itu!"
"Cecunguk yang kamu bilang itu temen mas satu-satunya! Ingat kan kalau dulu kamu yang selalu jadi pengganggu tiap mas punya temen?" Vespa bertanya tajam ke arah Nata. Nata bungkam seketika. Vespa menyesal setelah mengucapkan kata itu. Raut wajah Nata sudah berubah.
"Ada apa lagi?" Vespa masih setia balas menatap wajah Nata. Dia kesal. Dia ingin marah. Nata sudah terlalu ikut campur dalam kehidupannya.
"Nggak ada!" Nata mengusap wajahnya frustasi. Vespa mundur dan masuk ke dalam kamarnya. Dia membanting pintunya kencang hingga terdengar gebrakan yang menusuk telinganya sendiri. Vespa pusing. Terkadang masalah sepele saja membuatnya kelabakan. Nggak, masalah sepele yang menyangkut Nata akan menjadi masalah besar untuknya. Sejak kapan, ya Nata mulai berubah makin menyebalkan begitu? Oke, abaikan fakta kalau Nata memang menyebalkan sejak dulu. Tapi yang jadi masalah adalah Nata berubah makin menyebalkan seiring dengan bertambah usia.
Vespa menatap langit-langit kamarnya. Nggak.. kalaupun Nata adalah adik yang abnormal, dia harus mengarahkannya pada jalan yang benar. Kalau nggak, Nata akan menyeretnya masuk ke dalam masalah rumit. Mata Vespa terpejam. Namun baru saja beberapa menit dia menutup mata, terdengar suara ribut di luar. Vespa segera bangkit dari kasurnya. Buat ulah apa lagi si Tuyul? Vespa segera keluar dari kamarnya.
Oh, astaga!
Pemandangan pertama yang muncul di depannya adalah Billy dan Nata sedang saling mencengkram leher satu sama lain. Mereka saling menatap dengan tatapan aneh. Keduanya masih dalam posisi serupa hingga Vespa berdehem. Namun hal itu nggak membuat keduanya menghentikan cengkeramannya.
"Kalian ngapain?" Vespa bertanya malas. Dia sudah malas mengurusi adik tirinya dan juga Billy. Mereka berdua itu sama-sama menyebalkan. Belum lagi tingkah kekanakan mereka yang sama-sama nggak mau mengalah. Sebenarnya apa yang mereka perebutkan?
"Kalo kalian masih mau berantem, sana berantem di luar! Aku capek, mau tidur!" Vespa berkata pedas ke arah mereka. Sudah cukup dia lelah seharian ini. Keinginannya untuk mendapatkan seorang teman dekat cewek harus kandas. Lagipula memang dia yang sudah trauma dan kapok untuk pedekate. Ah, entahlah! Semakin dipikir jadi semakin sakit hati!
Vespa berbalik dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya, hingga di dengarnya suara Billy memanggilnya.
"Aku mau ngomong sama kamu, Ves!," ucapnya pelan. Vespa menoleh dan mengisyaratkan Billy untuk masuk ke kamarnya. Namun sayang sekali, Nata tahu maksud mereka. Nata masih menolak melepaskan cengkeramannya.
"Lepasin!!" Billy mendengus ke arah Nata.
"Kalo kalian mau ngomong, kenapa nggak ngomong di sini aja? Biar aku yang masuk kamar!" Nata balas berkata tajam ke arahnya. Vespa menatap Nata malas sambil memutar bola matanya. Come on, boys! Kalian sudah besar, jangan kekanakan!
Vespa memilih menurut daripada pertengkaran itu semakin panjang. Dia duduk tenang di sofa dan menunggu keduanya melepaskan cengkeraman masing-masing.
"Kalo dalam tiga detik kalian masih tetep kayak gitu, aku pastikan kalian terkunci di luar!," ucap Vespa kasar. Mereka paham dan memilih mundur. Nata masuk ke kamarnya dan menutup pintunya kasar. Gebrakannya luar biasa. Billy duduk di sebelahnya dengan pandangan bersalah.
"Kamu mau ngomong apa?" Vespa to the point. Dia nggak mau membuat Billy makin lama di rumahnya. Bisa-bisa Nata berulah lagi. Entah mereka ada masalah apa, yang jelas memang sejak awal mereka berdua sama sekali nggak bisa akur. Billy awalnya dewasa, tapi lama kelamaan dia sering terbawa emosi. Kan sudah jelas kalau Nata itu memang bikin emosi! Ah, sudahlah! Kali ini Vespa harus mendengarkan hal penting apa yang ingin dibicarakan Billy hingga dia bisa nekad datang ke rumahnya.
"Aku.. mau minta maaf..."
"Ha? Buat apa?"
"Semuanya, Ves!"
"Jelasin satu-satu! Oke, jangan satu-satu, ntar lama! Intinya aja, masalah terbesar yang bikin kamu nekad datang ke sini!"
"Soal tadi..."
"Itu bukan salah kamu, aku paham dan akhirnya ngerti posisiku. Jadi kamu nggak perlu minta maaf."
"Tapi tetep aja, aku ngerasa bersalah sama kamu."
"Oke, aku maafin! Ada lagi?" Vespa nyerah. Terserah, lah! Yang jelas, semakin cepat dia pulang maka semakin cepat Vespa tidur. Dia sudah lelah, seharian ini harus berada di luar dan mendengarkan hal yang sama sekali nggak ingin dia bahas!
"Nggak ada, sih!"
"Trus kenapa kamu bilang banyak hal?"
"Itu.. eng.. aku..."
"Kita tetep temen, kok Bil! Masalah tadi bukan hal yang bikin aku jadi nggak mau sahabatan sama kamu lagi.."
"Iya, aku tau!"
"Aku capek, mau tidur!"
Billy tersenyum paksa. Vespa nggak suka basa-basi, dia tahu itu. Mulut pedas Vespa sudah biasa dia dengar, jadi sama sekali nggak ada rasa tersinggung saat Billy mendengarnya. Justru itu, Billy senang. Vespa jujur tentang segala hal padanya.
"Sampai ketemu besok, ya! Kamu mau ke dosen buat revisi jam berapa?"
"Mungkin jam sepuluh!"
"Oke! Aku pulang dulu!" Billy keluar dan pergi dengan mobilnya. Vespa menguap, mengucek matanya lalu melangkah ke kamarnya. Namun sayang sekali, Nata sudah ada di depan pintu kamarnya menghalangi.
"Minggir, sana!" Vespa menghardik, namun Nata masih menatapnya dengan tatapan kesal.
"Dia ngajakin mas kemana tadi? Kenapa dia minta maaf?"
Oke, mood Vespa mulai jelek! Dia nggak butuh pertanyaan dari siapapun sekarang. Dia butuh tidur! Dia lelah!
Vespa melangkah ke arah Nata, mencengkram leher kaosnya dan BUGHH!! Lutut Vespa sukses menghantam perut Nata hingga Nata terhuyung kesakitan.
"Aku lagi nggak mood ngeladenin kamu!" Vespa menghilang di balik pintu kamarnya sambil mengumpat kasar. Nata mengernyit, lalu tersenyum miris. Dia tertatih masuk ke dalam kamarnya sendiri. Satu pelajaran penting. Walaupun wajah Vespa seperti itu, namun jangan pernah meremehkan tenaganya! Mood jelek Vespa itu jauh lebih bahaya daripada kemarahannya yang biasa! Rasakan, Nata!
Sementara itu Vespa sudah menenggelamkan wajahnya di bantal dan berteriak kencang. Marah. Dia dan Nata. Ditambah Leva. Ditambah Billy. Bagaimanapun, di hidupnya... satu ditambah satu itu sama dengan empat!
TBC
Jadi karena dedek Asoka nggak tayang malam ini, temen-temen nggak ada yang ngajakin rusuh, jadi nggak malmingan sama mereka... jadi akhirnya selesai juga deh ini lebih awal! Ini jadi lebih awal. Udah, ya... Gaachan mau makan yang ke.. eng... lima... Kata ibu makan banyak biar cepet tinggi. *tabok diri sendiri*
NB : Satu part di Ms. Word jadi 15 lembar dengan ukuran kertas A4, font standar TR ukuran 12 dengan spasi 1,5. 15 lembar baru aja sih bikinnya menjelang Asoka tadi. jadi kalo suatu saat nanti jadi pendek, jangan salahkan saya yak... :v kan harus melengkapi. Biar gak panjang terus... :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top