Lima: Vespa dan Om-Om Mesum Pinggir Jalan yang Sudah Menampar Pipinya
Mungkin ini bagian paling absurd yang akan Vespa ceritakan. Iya, soal kejadian masa lalu yang membuatnya harus panas dingin nggak karuan. Dia sudah sering dilecehkan, tapi nyatanya dia masih saja shock setiap ada orang yang salah paham padanya. Dia sama sekali nggak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Dia juga ingin jadi cowok macho seperti Nata. Dia juga ingin punya pacar yang cantik.
Oke, kita flashback lagi kejadian antara Vespa dan Om-om mesum waktu itu! Siapa om itu sebenarnya? Oke, dia bukan tokoh dalam cerita ini. Bukan! Dia hanya seseorang yang tiba-tiba tertarik pada seseorang. Seseorang yang duduk di sebuah bangku. Dia tertarik karena seseorang itu wajahnya cantik sekali. Mata lebarnya, hidung mancung mungilnya, bibir sensualnya, lalu ekspresinya. Seseorang itu gusar di tempatnya, menoleh ke kanan kiri, sesekali menendang kerikil-kerikil di kakinya, menggigit bibirnya sendiri... Iya, seseorang itu adalah Vespa!
"Sendirian aja, dek?" Om-om itu melangkah karena merasa penasaran. Anak ini cantik sekali. Menggairahkan pula!
"Siapa?" Cuek. Tatapannya berubah datar. Meski mata lebar itu mengerjap dengan imut, namun usahanya untuk bersikap cuek nggak pernah berhasil.
"Boleh saya tanya nama kamu?" Om yang tak diketahui namanya itu bertanya dengan senyum mesum. Vespa jijik. Geli. Meski Nata sering menunjukkan senyum absurd nan amburadul itu, namun nggak semengerikan om di depannya ini.
"Buat apa?"
"Cuek banget, sih dek? Kan saya pengen tahu aja... Nggak boleh?"
"Nggak!" Vespa melangkah pelan, mencoba menghindar. Dia nggak akan pernah berurusan dengan makhluk astral. Dia harus pergi jauh. Ketemu sama makhluk seperti ini pasti akan merepotkan. Jangan diladeni! Jangan...
"Tunggu, dulu dek...!" Reflek, tangan om itu menarik lengan Vespa. Vespa kaget, lalu menepis tangan om itu. Om itu masih mencoba mempertahkan cengkeramannya, namun Vespa juga nggak mau kalah. Vespa memberontak, dan karena tubuh Vespa kecil. Sekali lagi. Tubuhnya kecil. Ramping. Maka berontakannya itu bukan menjadi berontak ala cowok, tapi sudah mirip cewek bon cabe yang hampir digrepe-grepe.
"Lepasin!!" Vespa masih mencoba berbalik, dan... PLAK! Karena pergerakan kepala yang nggak signifikan ditambah nafsu lengan om itu terhadap tubuhnya, maka hasil yang didapat adalah punggung tangan om itu mendarat cantik di pipinya. Om itu shock. Bukan karena kaget karena tangannya menzalimi wajah orang cantik, tapi karena.... Vespa menatapnya tajam. Dengan wajah marah.
"Lepasin..." Vespa melayangkan kakinya, menendang bagian "penting" milik om itu. Om itu tersungkur ke lantai, berguling begitu saja karena kesakitan.
"Kamu...! Cewek sialan...!!"
Vespa masih dalam loading mode. Apa katanya tadi? Cewek? Vespa sudah biasa dicap begitu. Cewek. Bahkan satpam mall juga sering salah paham. Tapi ini nggak lucu! Vespa nggak mau menjelaskan dengan bahasa manusia yang sewajarnya. Dia udah lelah disalahpahami. Dia benar-benar muak. Dia nggak akan menjelaskan dengan bahasa gamblang siapa dan jenis apa dia sebenarnya. Vespa melangkah ke arahnya, menaikkan kaosnya. Lalu tanpa ngomong apapun, Vespa melepas kaosnya dan melemparkan begitu saja ke wajah om mesum sialan itu.
Om itu nggak ngomong apapun, tapi langsung berdiri. Dan pergi dari tempat itu dengan wajah begidik geli. Sumpah, Vespa sudah nggak bisa menahan emosinya. Dia memungut kaosnya dan memakainya kembali. Hanya itu aja, kok kejadiannya! Sungguh, hanya itu! Karena setelahnya Vespa hanya membisu dan menyesali nasibnya. Dia nggak pernah menyalahkan nasibnya, tapi dia sudah nggak kuat lagi. Vespa menunduk. Diam-diam, dia nangis. Iya, Vespa nangis. Sendirian.
***
Nata masih marah karena kejadian kemarin. Dia marah tanpa sebab. Dia nggak tahu, ya marahnya mulai darimana. Yang jelas pagi ini dia harus mengantar Vespa ke kampus pagi-pagi. Motor Vespa rusak. Kok bisa rusak? Kan masih kemarin dia pakai untuk mengantarnya les! Nah... lagi-lagi... Nata itu freak. Dia aneh. Dia absurd. Absurdnya lumayan memiliki totalitas tingkat dewa. Dia nggak bisa dihentikan lagi. Begitu Vespa masuk ke dalam rumah, Nata mulai kalap. Dia mengendarai motornya kencang. Gila-gilaan. Supir-supir mengumpat ke arahnya, meneriakinya. Nata nggak peduli. Cuek. Yang penting dia ingin semua tahu kalau dia marah. Dia kesal. Dia kecewa. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Mas Vespa-nya nggak akan bercerita padanya apa yang terjadi. Bagaimana bisa ada om-om yang menamparnya. Kalau saja Vespa nggak menunggunya.. kalau saja Vespa nggak mengantarnya...
Motor matic Vespa ngadat begitu saja di tengah jalan karena aksinya. Nata menuntun sepedanya. Jarak masalah menuju tujuan masih jauh. Dia nggak bawa dompet. Nggak ada uang. Juga nggak pakai helm. Mesin mati. Tapi Nata nggak mau minta bantuan temennya. Dia terus melangkah sambil menarik motornya ke arah bengkel dekat rumah. Selama hampir dua jam Nata membawa motornya dengan berjalan kaki. Kakinya capek, tapi hatinya jauh lebih capek. Capek kenapa? Apa hatinya lari-lari? Nggak, hatinya nggak lari-lari. Tetap sayang mas Vespa-nya.
"Dari mana? Motornya mana?" Vespa menyelidik. Dia baru saja bangun tidur, dan menemukan Nata baru saja membuka pintu. Wajahnya kusut, keringatnya menetes deras.
"Rusak. Di bengkel." Nata kembali ke kamarnya dengan ketus. Vespa melongo. Anak itu ngapain, sih? Nata jadi ketus begitu karena masalah tadi? Salah Vespa apa? Apa yang sudah Vespa lakukan? Kenapa malah marah-marah padanya? Sekali lagi, salah Vespa apa? Apa??!!
"Besok gimana mas kuliahnya?" Vespa berteriak kesal.
"Aku anterin!" Nata melangkah keluar kamarnya, lalu membuka pintu kulkas. Minum air putih langsung dari botolnya. Vespa nggak suka itu. Vespa selalu jijik kalau Nata melakukan itu. Kan ada gelas!
"Sekolahmu jam tujuh. Mas jam delapan!"
"Mas berangkat jam tujuh juga!"
"Nggak usah, mas bisa naek bis atau naek angkot!"
"Nggak boleh!"
Vespa mingkem. Nata itu bukan cowok yang suka ngomong singkat begitu. Dia suka ngomel. Dia ceriwis. Jadi, kalau Nata muncul dengan bentuk judes begini... menyeramkan! Serem, sumpah! Vespa nggak mau cari gara-gara. Selain karena badan Nata itu jauh lebih besar, tatapan iseng dari kedua matanya itu juga sekarang berubah mencekam. Ini syuting uji nyali, apa?
"Aku nggak akan biarin mas naek bis atau angkot!" Lalu pintu kamar Nata tertutup. Otoritasnya membuat Vespa nggak berkutik. Vespa memang kakaknya, memang lebih tua darinya, tapi Vespa tahu... Nata itu menyimpan sesuatu dibalik sikap freaknya. Nata itu... jauh lebih menyeramkan. Benar kata orang kalau orang yang nggak serius itu jauh lebih menakutkan saat marah.
Faktanya, Nata itu memang aneh! Dia sangat protektif dan posesif terhadap sesuatu yang sudah dia sayang. Seperti keesokan harinya juga pun begitu...
"Jadi karena kemaren kamu kebut-kebutan, sekarang kamu jadi adem ayem gini?" Vespa menepuk sadis bahu Nata. Nata menggeleng pelan. Dia nggak ngomong apapun sejak kemarin. Dia mogok ngomong. Vespa serba salah. Mungkin Nata mingkem jauh lebih damai untuk dirinya, tapi karena kebungkaman Nata itulah Vespa jadi makin kesal. Nata kayak gitu pasti karena dia, tapi kan... dia nggak tahu salahnya apa. Harusnya dia yang marah karena Nata membuatnya menunggu kemarin.
"Mas yang bilang aku nggak boleh ngebut!" Nata menjawab ketus. Vespa mengernyit heran. Ini motor Nata. Motor kesayangan anak itu. Hanya sedikit orang yang diperbolehkan naik olehnya. Vespa salah satunya. Nata sayang Vespa. Iya. Banget! Sungguh! Sumpah! Nata nggak perlu alasan kenapa sayang Vespa. Selain fakta kalau Vespa itu kakaknya. Meski kakak tiri, namun Nata nggak peduli. Toh, orangtua mereka sayang keduanya meski nggak ada hubungan darah. Nggak pernah pilih kasih. Oke, sedikit... Ayah jauh lebih percaya pada Nata. Itu bukan pilih kasih sebenarnya, karena Ayah tahu Nata jauh lebih kuat daripada Vespa. Lalu kenapa kemarin Ayah menyuruh Vespa mengantarkan Nata les?
"Lagi touring!" Vespa menggumam sarkastik. Nata dengar itu. Nata menatap wajah Vespa dari spion motornya. Nata suka sekali menatap wajah kakaknya dari spion. Itu karena Vespa nggak pernah sadar kalau diawasi, jadi dia bertingkah natural. Nggak perlu judes kayak biasanya di depan Nata. Lho, kok Nata jadi mirip homo? Nggak, Nata nggak homo! Nata masih suka cewek, kok! Nata hanya Vespanistic. Ingat itu!
"Pegangan!" Nata memerintah lagi. Vespa mulai merasa nggak enak. Dia beringsut maju ke depan, lalu lengannya menggenggam seragam Nata. "Kalo mas jatuh, aku nggak mau tanggung jawab!" Nata berdecak kesal. Vespa spontan melingkarkan tangannya di perut Nata. Nata tersenyum menang. Tingkah jahilnya itu terkadang harus dimanfaatkan dengan baik kalau ingin Vespa menurut.
Seperti kemarin, Vespa berteriak kencang. Mengabaikan perhatian orang-orang yang menatap mereka. Mengabaikan umpatan supir yang selalu terdengar saat Nata menyalip mereka dengan ugal-ugalan. Vespa lupa, padahal sudah bersumpah kalau dia nggak mau dibonceng Nata lagi. Namun dia harus mengabaikan sumpahnya hanya karena Nata merusakkan motornya. Nata juga melarangnya naik bis. Oke, fiks!
Nata menghentikan motornya ketika tepat berada di depan kampus Vespa. Vespa turun dari boncengan Nata lalu terbatuk-batuk begitu saja. Vespa sudah berjongkok dengan wajah merah padam. Selama perjalanan tadi perutnya sudah mual. Tenggorokannya sakit.
"Mas nggak apa?" Nata turun dari motornya dan menghampiri Vespa yang masih berjongkok sambil menekan perutnya. Dia terus terbatuk-batuk. Wajah Nata sudah cemas, sesekali menepuk tengkuk Vespa.
"Sana, pergi! Kamu.. harus sekolah..." Vespa mencoba berdiri dan melangkah pelan.
"Mas nggak apa?" Sekali lagi Nata menggenggam lengan Vespa. Vespa menggeleng dan menoleh ke arahnya. Diam. Mingkem. Begitu terus. Hingga tangan Vespa terangkat dan dengan kekuatan super, Vespa melayangkan pukulan di kepala Nata. Nata melongo.
"Ini udah jam berapa? Sana berangkat sekolah!" Vespa melotot tajam. Saat Vespa melotot begini kok.. rasanya jadi terlihat... Kok Nata jadi...
"Iya, deh... Tapi.. cium dulu!" Akhirnya! Akhirnya Nata yang versi lama kembali lagi! Mungkin antivirusnya nggak kuat menahan keabsurd-annya, makanya sifat freak Nata kembali hanya dalam waktu beberapa jam. Oh, god! Bagus banget!
"Sana!!" Vespa menyingkirkan rasa malu dan rasa sakit di perutnya dan menendang kaki Nata. Namun sebelum kaki Vespa bisa mengenai tulang kering Nata, Nata sudah mengangkat kakinya hingga Vespa harus ikhlas saat kakinya sendirilah yang menendang motor gede Nata. Rasanya itu, lho! Lengkap. Perut. Tenggorokan. Sekarang... kaki!
"Mas, sih...!" Nata masih tersenyum jahil seperti biasa. Oke, dia sudah kembali! Iya, dia sudah kembali! God, dia sudah kembali!
"Apa?"
"Kan aku nggak mau pisah sama mas!"
Satu pukulan mendarat cantik di kepala Nata.
"Sana berangkat! Jangan berlagak kayak homo!"
Nata manyun. Vespa ingin sekali ngakak. Muka Nata itu nggak pantas kalau harus manyun-manyun sok imut begitu. Apalagi saat Nata benar-benar sudah tumbuh seperti sekarang. Vespa mengisyaratkannya untuk segera pergi. Nata mengernyit.
"Mas nggak mau bilang apa gitu? Hati-hati ya adekku sayang... atau.. mas sayang kamu... atau... makasih ya sayang udah nganterin mas..."
"Gila!"
"Mas..."
"Ogah, jijik!"
"Mas..."
Aneh kan kalau cowok yang sudah gede masih merajuk sok manja begini? Di depan kampus pula. Dilihat mahasiswa yang sudah mulai berdatangan. Vespa nggak mau mati malu di sini. Dia harus tahu malu, karena dia masih punya kemaluan. Satu burung beserta telurnya. Oke, ini ambigu! Gila! Absurd! Shit! Ups, katanya nggak boleh mengumpat! Nggak cocok! Peduli setan sama omongan orang. Jadi dia nggak boleh mengumpat karena wajahnya nggak cocok? Nggak laki banget gitu? Nggak cowok? Sial! Ini bahas apa, sih?
"Oke..! Oke! Makasih! Puas..?!" Vespa menggeram gemas.
"Lalu sayangnya mana?" Nata masih merajuk. Sayang? Eek, nih!
"Mas nggak akan ladenin tingkah gila kamu! Mas pergi!"
"Mas..."
Lalu Vespa pun kabur. Melarikan diri. Ngacir. Dia nggak mau berurusan dengan Nata lebih lama lagi. Sudah cukup pagi ini dia sarapan kesialan. Nggak perlu dia mengekspor pengalamannya bersama Nata lebih jauh lagi dari ini. Nggak perlu. Nggak usah. Nggak butuh!
***
Tragedi bersama om-om mesum yang secara nggak sengaja menamparnya itu memang menjadi alasan kemarahan Nata waktu itu. Nata marah karena dia menyesal. Lalu penyesalan itu berbuah pada kemarahan. Kebungkaman. Lalu motor Vespa pun jadi korbannya.
Kali ini Vespa menatap wajah Nata yang masih menatapnya. Menatap Vespa seperti biasa. Dengan raut jahil. Raut biasa. Raut santai. Raut nggak berdosa! Nata mungkin salah satu pengidap brother complex. Istilah brother complex umumnya lebih dikenal dengan istilah GSA, singkatan dari Genetic Sexual Attraction. Dalam bahasa Indonesia, dikenal dengan kelainan daya tarik seks. Iya, kelainan. Keanehan. Keanehan yang nggak perlu dipertahankan karena nggak akan masuk museum untuk diabadikan. Orang bilang sih namanya incest. Ini bukan bahasan dalam skripsi Vespa, kok! Sama sekali bukan! Vespa nggak minat meneliti keanehan itu! Ini adalah keluh kesah Vespa sebagai seorang kakak. Eh, ini juga bukan kisah incest Nata dan Vespa. Bukan! Nggak! Vespa nggak sudi ya harus ikut dalam drama opera teatrikal sabun untuk jadi couple homo bareng Nata. Nggak sudi! Nggak mau! Najis! Jijik!
"Kamu marah kenapa kemaren?" Vespa membuka percakapan. Nata mengunyah makanannya dengan raut santai. Lalu sok mikir. Sok mengingat-ingat.
"Emangnya kapan aku marah sama mas?"
"Apa perlu mas hancurin motor kamu buat ngingetin kamu apa yang terjadi sama motor mas? Itu juga kalau kamu sadar, motor mas yang jadi korban untuk alasan marah nggak masuk akal kamu!"
"Aku cuma kesal aja, mas...!" Nata nyerah dan mengangkat tangannya.
"Sama?"
"Sama diriku sendiri.. juga sama om-om yang udah nampar mas..."
"Itu kan nggak disengaja!"
"Tetep aja aku nggak suka!"
"Itu masalah sepele, dan kamu rela rusakin motor mas?"
"Mungkin buat mas itu sepele, tapi buatku itu udah masalah besar! Aku nggak rela mas dilecehkan gitu! Nggak terima!"
"Lalu?"
"Kalau bisa sih aku pengen hajar orang itu!"
Nata itu labil.
"Tapi kamu nggak hajar orang itu!"
Nata itu absurd.
"Soalnya aku nggak tahu kemana harus cari dia...!"
Nata itu lebay.
"Lalu kamu akhirnya mengorbankan motor mas sebagai gantinya? Karena kamu nggak berhasil nemuin om-om itu?"
Nata itu... childish!
"Maaf...."
"Bagus kalau kamu udah nyadar! Perbuatan kamu itu useless!"
"Tapi aku bukannya minta maaf buat itu..."
"Nggak ada hal yang perlu kamu sesali kecuali merusak motor mas!"
"Tapi aku nggak pernah menyesal soal itu!"
Vespa memijat pelipisnya gemas.
"Lalu? Soal apa?"
"Soal aku ninggalin mas sendirian. Aku nggak bisa melindungi mas dari cowok macam itu! Aku yang bikin mas jadi ditampar..."
"Udah berapa kali mas bilang itu nggak disengaja?"
"Tetep aja..."
Oke, Nata keras kepala! Vespa menyamankan posisinya. Nata balas menghadap ke arahnya. Sepertinya Vespa akan berbicara serius kali ini. Eh, kan Vespa sudah biasa serius. Malah tiap ngomong serius melulu!
"Denger," ucapnya pelan.
"Aku selalu mendengar omongan mas yang bagaikan melodi surga itu..."
Satu pukulan melayang di kepala Nata. Vespa melotot. Nata terkekeh. Mana mungkin dia takut kalau Vespa melotot dengan ekspresi menggemaskan gitu?
"Kamu tahu kenapa mas nggak pulang waktu itu?"
Nata mingkem. Ragu. Lalu menjawab pelan.
"Karena mas takut..."
Satu pukulan lagi-lagi mendarat di kepala Nata. Fakta, tapi Vespa nggak suka fakta itu. Dia benci mengakui kalau dia takut. Iya, takut! Tahu kan dia tipe orang parno dan traumatik begitu! Traumatik berasal dari bahasa Yunani "tramatos" yang artinya luka. Iya, Vespa sudah terluka begitu banyak. Hingga tubuhnya remuk dan hancur.
"Tau itu gara-gara siapa dan apa?" Vespa sudah menatap marah wajah Nata yang masih santai.
"Gara-gara ceritaku...?"
"Masih nanya juga? Baru sadar sekarang?"
"Tapi kan aku nggak ikut bunuh-bunuhan, mas!"
"Lalu salah siapa?"
"Aku cuma cerita, mas!"
"Apa mas pernah minta kamu buat cerita?"
"Lalu kenapa mas dengerin?"
Nggak akan pernah selesai. Nggak akan pernah selesai perdebatan itu, bahkan hingga om-om mesum itu menciptakan kloningannya dan mendatangi Vespa. Nggak akan pernah selesai. Sama sekali. Vespa nggak mau ribet, tapi juga lelah untuk mengalah. Dia nggak suka mengalah karena sudah terlalu seringnya dia ditindas adiknya itu. Lalu Nata? Nata suka melihat ekspresi kesal dan marah Vespa. Jadi bagaimanapun, dia nggak akan berhenti juga!
"Mas nggak mau tau, ongkos reparasi kamu yang harus bayar!" Vespa yang akhirnya harus nyerah. Vespa berdiri dan kembali ke kamarnya. Mencoba fokus pada hal yang lebih penting. Skripsi. Skripsi. Skripsi. Bab tiga. Ah kalau diingat-ingat, bagaimanapun om-om mesum yang sudah menampar pipinya itu juga ikut andil dalam kemarahan Nata. Ah, kan? Sudah berapa kali Vespa bilang? Nata itu freak! Weird! Disgusting! Menjijikkan! Meski anak freak, weird dan disgusting itu adiknya. Iya, adiknya!
TBC
Bocoran aja, ya temen-temen.. kenapa Gaachan harus update malem-malem. Curcol dong.. please dengerin.. ehek.. ehek... Jadi pagi-pagi Gaachan selalu bangun pagi, lalu sholat, lalu bantuin masak deh walaupun nggak boleh pegang cabe. *tukang rusuh cabe* lalu siang Gaachan harus bobok siang. Katanya anak kecil harus bobok biar tinggi. Itu hoax! Jangan percaya! Lalu sore.. Gaachan harus mandi dan juga harus maen. *eh?* malemnya nonton Asoka dan stand up comedy. Jadi malem banget baru bisa ngetik. Ini curcol gaje, curcol alay nggak penting. Tapi ini adalah alasan kenapa Gaachan updatenya tengah malem. Selesai. Hujat sayaaaaa..... saya ikhlaaassss.... :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top