Part 8.

"Apa kau tak bisa memanggilku, emm... Oppa saja?"

***

Libur chuseok telah usai, kesibukan kantor kembali dimulai. Pagi itu Ara berangkat lebih pagi. Sengaja. Ia ingin mencoba berangkat sendiri dengan moda transportasi umum. Dua hari terakhir liburan telah ia habiskan dengan naik turun menjajal subway dan city bus. Bersama Jae Won tentu saja. Laki-laki itu seakan tak membiarkan Ara bepergian seorang diri. Ia selalu ada, bahkan ketika Ara tidak memintanya.

Kurang lima belas menit dari jam sembilan, Ara tiba di kantor. Masih sepi, baru dua orang dari divisi digital, dan keduanya sudah asyik menghadap monitor di kubikelnya masing-masing.

"Annyeonghaseyo," sapa Ara.

"Annyeonghaseyo." Mereka berdua menjawab serempak, melemparkan senyum dengan kompak.

Ara menganggukkan kepala. Setelah menaruh ranselnya, ia menuju pantry, hendak membuat kopi untuk menghangatkan diri. Secara umum, cuaca memang masih terbilang sejuk, tapi tidak bagi Ara. Sebagai penduduk negeri tropis, ia cukup kedinginan dengan suhu yang masih berkisar di angka awal dua puluhan.

"Annyeong, Ara."

Ara hampir terlonjak. Ia sedang menuangkan susu segar pada kopi panasnya saat satu suara terdengar tiba-tiba.

Ia menghentikan aktivitasnya. Membalik badan menghadap sang direktur, lalu membungkuk dengan hormat.

"Annyeong hasimnika, Sajangnim."

"Santai saja, tak perlu seformal itu. Anggap saja aku temanmu, sama seperti yang lain," kata Yeo Joon dengan datar. Seperti biasa.

Bagaimana bisa Ara menganggapnya teman seperti yang lain, raut yang dia tunjukkan saja flat begitu? Yang bisa ia lakukan hanya mengangguk saja.

"Apa kau berangkat sendiri? Kulihat Chun Ae belum ada di tempatnya."

"Betul, Sajangnim. Saya berangkat sendiri."

"Ingat untuk selalu berhati-hati."

"Baik, Sajangnim."

"Dingin?"

"Benar, Sajangnim." Ara tersipu, ketahuan kalau ia tak tahan pada cuaca.

"Apa kau tak bisa memanggilku, emm... Oppa saja?"

"Ehk. Op-Oppa?!" Ara merasa aneh, kalau tak bisa dibilang lucu.

"M-maaf, Sajangnim, s-saya... tidak bisa. Emm, ap-apakah Anda mau minum teh? Atau kopi mungkin?" Ara mengalihkan topik.

"Tidak usah. Aku hanya minum selain air putih di sore hari."

Lagi-lagi Ara mengangguk. Lalu hendak bergegas kembali ke mejanya. Kopi susu hangatnya sudah siap dinikmati.

"Tunggu," ujar Yeo Joon. Ara terpaksa berhenti.

"Jam kerja belum dimulai. Minumlah di sini."

"T-tapi, Saj---"

"Kau ke mana saja liburan kemarin?" Ara terpaksa balik kanan dan duduk pada salah satu kursi yang ada di sana.

Bahasan tentang libur lima hari tentu menyita waktu. Hingga memasuki jam kerja, Pak Direktur masih menanyai Ara soal liburannya, yang dijawab dengan segala apa adanya. Tentu saja nama Jae Won turut mendominasi isi cerita.

Chun Ae datang sedikit terlambat. Disusul Jae Won. Sudah begitu, bukannya langsung bekerja, mereka masih sempat pula mampir ke pantry.

"Bicara apa ini, sepertinya serius sekali?" Chun Ae nimbrung. Sebotol air mineral ia sodorkan untuk Yeo Joon tanpa diminta.

Ara menangkap kesan berbeda di mata keduanya. Semacam rasa terima kasih yang tanpa diungkapkan tapi mereka telah saling mengerti satu sama lain. Disimpannya rapat-rapat pikiran beserta dugaan di dalam hatinya.

"Sudah diwawancarai apa saja sama bos besar?" tanya Jae Won pada Ara, yang dibalas cuma dengan senyuman.

"Jam kerja sudah lewat. Kita kembali ke pekerjaan masing-masing." Si bos besar memberi ultimatum.

Dia sendiri yang memulai, dia sendiri yang mengakhiri. Mirip lagu dangdut saja.

***

Pekerjaan Ara hari itu sangat padat. Ditambah lagi Heru meminta bantuannya untuk menyiapkan dokumen teknis untuk tender e-procurement.

Sebenarnya bukan tugas Ara karena ia sedang tidak berada di Indonesia. Tapi itu pula yang membuatnya justru ketiban request untuk membantu. Heru merasa kantor Korea agak slow respon, maka ia meminta Ara untuk membantunya menyampaikan spek, mendiskusikan, juga meminta harga.

[Knp nggak dr kemarin2 sih, Mas?]

[Anwiijzing hari kamis, Ra. Maunya langsung minta semua, tp kan kantor Korea libur]

[Aku nggak libur kali, Mas! Si Oppa jg nggak liburan, dia di Seoul aja. Buka email tiap hari juga kayaknya]

[Trus kalian ngedate?]

[Ini mau minta bantuan buat eproc apa mau nginterogasi nih?]

[*emoticon tertawa jejer tiga]

[Sekalian, Ra. Aku nggak mau ketinggalan gosip terbaru lintas area]

[Plis deh!]

[Ya udah. Bantuin ya]

[Knp jg nggak dr tadi pagi. Udah siangan baru ngejar2]

[Sekali lagi, sorry, Ra. Tadi mau kukerjakan sendiri, tapi aku juga harus nyiapin dokumen buat kirim barang besok ke Cilacap. Mana kantor Korea slowrespon banget. Nggak ngerti apa di Jkt butuh cepat?!]

[Iya, Mas. Hari ini kerasa bgt pd nyantai2 gitu. Efek habis liburan 5hari kali?!]

[Oke deh, Ra. Tolong bantu ya. Detail spek dan dokumen2 yg dibutuhkan sdh kukirim via email. Kamu kan di sana, bisa langsung diskusi dan dpt harga]

[Surat dukungan cap basah nggak? Apa ngejar waktunya?]

[Nggak pakai. Cm surat keagenan resmi aja]

[Oke, Mas. Kuusahakan]

[Harus hari ini, Ra. Kl perlu kamu lembur deh. Suruh temani si Oppa]

[Enak aja. Ya kl nggak selesai besok pagi lagi lah, Mas]

[Bsk sore aku berangkat ke surabaya, Ra. Kl udah selesai hari ini kan aku udah tenang, bsk tinggal cek2 lg]

[Jadi ini maksa harus hari ini gitu?]

[Hehe, iya, anak baik]

[Halah, gaksah nyolu, Mas!]

[Eh, sekalian hitungin jg ya, anak pintar! *emoticon tertawa jejer banyak]

[Nggih, Ndorooo]

Ara tersenyum sendiri. Heru suka begitu. Kalau memanfaatkannya tak pernah tanggung-tanggung.

"Sekalian ngetest, sejauh mana kamu menguasai yang sudah kuajarkan, Ra." Begitu dalihnya.

Ara memang sudah lama mengenal Heru. Dia kelas dua SMA waktu itu, sedangkan Heru sudah jadi mahasiswa teknik mesin tahun kedua di politeknik negeri kota mereka. Perguruan tinggi dan jurusan yang sama dengan Ara beberapa tahun berikutnya.

Heru juga yang memberi informasi lowongan kerja di perusahaan tempat mereka bekerja saat ini.

Dulu, Heru pernah beberapa kali menyatakan perasaannya pada Ara. Tapi Ara tak pernah mau. Ia hanya fokus pada cita-citanya.

Tadinya Ara tak mau melamar kerja di tempat Heru, tapi ia sudah menyelesaikan kuliahnya, meskipun belum wisuda. Ia tak mau menganggur lebih lama. Maka ia menerima tawaran Heru dan mengajukan lamaran pekerjaan ke sana. Pikirnya untuk batu loncatan saja, sambil mencari kerja di tempat yang lain.

Tapi Ara berubah pikiran saat sudah menjalani pekerjaannya. Suasana dan partner kerja di perusahaan suplier industri milik Pak Abu Bakar sangat menyenangkan. Apalagi ia tahu bahwa Heru sudah punya pacar. Ia jadi lebih santai, tak merasa ada beban menghadapi Heru. Ditambah lagi Heru juga selalu menjaga profesionalisme. Mengajari Ara banyak hal tanpa pernah menyinggung urusan pribadi. Ara kian merasa nyaman.

Kesempatan untuk bisa ke Korea juga membuatnya bertahan. Dan ia memperolehnya saat belum genap dua tahun di sana. Heru saja sampai geleng-geleng kepala.

"Kamu kalau nggak ngelamun, pasti senyum-senyum sendiri. Pacarmu ya?"

Jae Won memundurkan kursinya hingga melewati pembatas kubikelnya dengan milik Ara. Ara kaget. Bukannya merasa berdosa, dengan wajah cengengesan ia malah menggeser kursinya mendekat pada Ara.

"Kamu kalau nggak ngagetin orang, pasti menuduh sembarangan," balas Ara. Jae Won tertawa.

"Mas Heru," kata Ara lagi.

"Ah, yaa. Dia sudah meminta tolong padaku untuk membantumu. Tenang saja, aku akan membantu apapun yang kamu perlukan."

"Kamsahamnida, Jae Won-ssi."

"Aish. Aku bukan bos besar, tak perlu kamu panggil seperti itu. Aku malah merasa aneh." Tawa kembali menghiasi kebersamaan mereka.

Keduanya lalu terlibat obrolan mengenai pekerjaan yang diminta Heru baru saja.

-------

Maghrib sudah lewat. Ara menaruh mukenanya ke dalam laci, lalu kembali menekuni pekerjaannya yang belum juga usai. Tinggal sedikit lagi. Mungkin dia sudah bisa pulang jam delapan nanti.

Di Jakarta, Heru juga masih menanti Ara menyelesaikan tugasnya. Ia bahkan rela untuk ikut lembur walaupun tak dibayar. Iyalah, dia yang butuh.

"Ara, aku pulang dulu ya. Tak apa kan?" tanya Chun Ae. Jam kerja memang sudah berakhir sejak beberapa waktu lalu.

"Eh, iya. Silakan, Eonni."

Sebenarnya Ara agak keder pulang sendirian malam-malam. Tapi ia juga tak mungkin mencegah Chun Ae. Ia tak punya hak untuk itu.

"Tenang, ada aku."

Jae Won menenangkan begitu Chun Ae berlalu. Biarpun cuma sekejap, ia sempat menangkap perubahan di wajah Ara.

"Tidak usah, Oppa. Kamu pulang saja. Insya Allah tinggal sedikit lagi."

"Tapi aku nggak mau membiarkan kamu pulang sendiri, Ara. Kamu belum pernah sebelumnya."

"Belum pernah? Bahkan kamu sendiri yang menemaniku mencoba semua jalur subway, Oppa."

"Maksudku kamu belum pernah melakukannya sendiri. Dan ini malam hari."

"Tak apa. Seoul jauh lebih aman dari Jakarta."

"Pulanglah, Jae Won-ah. Masih ada aku di sini." Kehadiran sajangnim yang tiba-tiba menginterupsi perdebatan keduanya.

Sudah menjadi kebiasaan Yeo Joon untuk pulang paling akhir. Ia tak suka dengan kehidupan malam. Waktunya lebih banyak ia habiskan untuk membaca dan belajar lebih banyak hal. Dan kantor menjadi tempat yang ia sukai melebihi apartemennya. Ia sering merasa kesepian di sana.

"Kau kan di sini bukan untuk membantunya. Sedangkan aku, di sini untuk membantunya. Kau tahu sendiri kan, pekerjaannya adalah pekerjaanku juga. Kau sendiri yang memintaku mengajarinya selama di sini." Jeo Won tak terima.

"Baiklah. Terserah kau saja."

Yeo Joon melangkah ke pantry. Ia sedang tak ingin berdebat lebih lama sebab sudah paham dengan sifat keras kepala anak buahnya yang satu itu.

Ara juga diam, merasa tak enak hati. Ia melanjutkan pekerjaannya dan meminta Jae Won untuk pulang saja. Kali ini ia menuruti apa yang Ara minta. Bukan apa-apa, ia hanya tak mau Pak Abu Bakar, bosnya di Jakarta, mendapat laporan yang tidak-tidak dari sajangnim-nya.

Pukul delapan lebih sedikit, Ara mematikan PC-nya. Memasukkan setiap barang bawaan ke dalam ransel dan bersiap pulang. Semua yang diminta Heru sudah dipenuhi. Ia lega. Tinggal membantu dengan doa agar perusahaan tempatnya bekerja memenangkan tender yang akan diikuti.

Nilai tendernya besar, komisinya pasti lumayan, dan seperti biasa, ia pasti akan dapat cipratan. Ia tak mau munafik, salah satu yang menjadi daya tarik bagi hidupnya yang pas-pasan adalah uang. Meski ia pun tak pernah lupa pesan ibunya, bahwa yang ia dapatkan haruslah dari sumber yang halal.

Ara mengenakan coat-nya, kemudan merapikan kerudungnya. Digendongnya ransel di punggung. Siap pulang.

"Ara, tunggu."

Ara berhenti. Lagi-lagi suara bos besar yang terdengar. Tentu saja dengan tiba-tiba. Sudah macam hantu saja.

"Kau pulanglah bersamaku," tawar Yeo Joon. Oh, bukan tawaran, perintah lebih tepatnya.

"Eh, t-tidak usah, Sajangnim. Biar saya pulang sendiri saja."

Rupanya perkataan Ara tak didengar. Yeo Joon melenggang menuju ke ruangannya, mengambil tas dan kunci mobil. Ia lalu berhenti sebentar, berpamitan dengan akrab pada salah seorang dari divisi digital yang masih bertahan di kantor untuk bermain game. Ara terpaksa menunggu sambil mengamati. Yeo Joon tak sekaku yang ia sangka. Mungkin karena ia anak baru.

Mereka lalu berjalan berdua. Keluar dari lift, Ara berbelok ke arah pintu utama.

"Mobilku di tempat parkir. Apa kau mau menungguku di depan gedung saja?"

"S-saya naik subway saja, Sajangnim."

"Pantas saja kau dekat dengan Jae Won. Kalian berdua sama-sama keras kepala. Aku kan sudah bilang, kau ikut aku! Ini sudah malam, dan Sslama di sini kau ada dalam tanggung jawabku."

Ara galau.

"Kalau kau khawatir dia pulang sendiri, kau bisa mempercayai aku, Hyeong. Aku akan mengantarnya sampai depan pintu apartemen Chun Ae."

Ternyata sejak tadi Jae Won belum pulang. Ia menunggu di area di mana bisa memantau siapa saja yang keluar masuk lift. Lift di gedung tempat kantor mereka berada memang dibagi menjadi beberapa sesuai lantai tempat mereka berada. Jadi bisa dipastikan Ara dan Yeo Joon akan menggunakan lify yang mana.

"Oppa, kamu...."

"Ya. Aku menunggumu. Aku tak mau membiarkan kamu pulang sendiri. Setidaknya untuk pertama kalinya malam ini."

"Kalau begitu caranya, kapan dia akan siap pulang sendiri, Jae Won-ah?" kata Yeo Joon datar.

"Tak apa, Sajangnim. Biar saya pulang dengan Jae Won Oppa saja." Ara menganggukan kepala, tak enak hati. Tapi lebih tak enak lagi jika harus semobil berdua saja dengan bosnya.

"Terserah kalian sajalah." Yeo Joon berlalu, tak menoleh lagi.

***

Cieee, Sajangnim kezel nih yeee.

Ini mereka berdua saingan apa gimana sih sebenernya? Nggak jelas. Hehe...

InsyaAllah besok kuupdate lagi ya.

See you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top