Part 7.
"Kenapa tanya-tanya tentang kakekku? Apa kamu ada minat untuk jadi cucunya?"
***
"Kayu buatan Phil sangat bagus. Ia menggosoknya sampai halus. Kurasa kita hanya perlu mengecatnya sekali saja." Ara berkali-kali mengelus permukaan kayu yang akan ia gunakan. Kagum dan puas pada hasil kerja tukang kayu dari Inggris itu.
"Jadi kita cat dulu?"
"Ya, Oppa. Kita cat dulu dengan cat dasar berbahan water based. Biasanya warna putih. Dan aku memang hanya membawa satu warna itu saja."
Ara mengulaskan cat dengan terampil. Jae Won mengamati dengan senyum tersungging. Ia kagum melihat jari-jari Ara yang seolah menari lincah di atas kayu berukuran 25x25cm² itu.
"Giliranmu. Aku mau menjemur ini dulu."
Disodorkannya kuas pada pria di depannya, yang segera melakukan seperti yang baru saja Ara contohkan. Tak sulit, kalau hanya mengecat, laki-laki pasti lebih jago.
Kurang dari lima menit, Jae Won telah selesai. Ara menawarkan diri untuk menjemur hasil karya partnernya. Sesudahnya ia mengambil tisu yang tadi telah ia pilih.
"Ini untukmu. Kita gunting dulu sesuai pola motifnya. Ada tiga lapis, yang akan kita pakai hanya lapis paling atas saja, yang ada motifnya," terang Ara.
"Kenapa harus motif buah-buahan? Boleh aku pilih motif yang lain?"
Tak menjawab, Ara hanya menyerahkan kardus kecil berisi koleksi decoupage napkins dengan berbagai motif.
"Aku mau motif yang ini saja," seru Jae Won antusias.
Ara mengerenyit melihat pilihan Jae Won. Sejenis bunga sepatu warna pink muda dengan sedikit warna fuchsia di pangkal kelopaknya. Ada tiga bunga, juga daun-daun khas tumbuhan semak yang mengelilinginya.
"Bunga? Kupikir kamu akan pilih motif sepeda. Atau quotes."
"Ini mugunghwa. Bunga kebanggaan kami orang Korea."
"Mugunghwa? Itu Hibiscus. Di tempatku ada bunga yang hampir mirip, kami menyebutnya bunga sepatu."
"Ya, kamu benar, Ara. Ini Hibiscus. Hibiscus syriacus. Di negara kami disebut mugunghwa. Bunga kebanggaan rakyat Korea. Bunga ini menjadi bunga nasional negara kami. Bahkan menjadi ikon utama pada lambang negara Korea Selatan. Selain itu, mugunghwa juga disebut dalam syair lagu kebangsaan kami."
"Oh ya? Kenapa begitu, Oppa?" tanya Ara antusias, sambil mulai menggunting tisu dengan motif pilihannya. Diulurkan pula satu gunting untuk Jae Won. Mereka bicara, sambil tetap melanjutkan rangkaian proses membuat decoupage.
"Maksudmu?"
"Maksudku, kenapa bunga itu yang menjadi bunga kebangsaan rakyat Korea."
"Hemm. Jadi mugunghwa ini sangat istimewa. Kalau bunga lain hanya mekar satu-dua hari kemudian layu, mugunghwa mekar dan segar selama seratus hari, yaitu dari bulan Juli sampai Oktober. Selain itu, bunga ini juga bisa tumbuh di mana saja, dan dalam kondisi apa saja. Itu semua seperti cerminan bangsa kami.
"Kamu tahu kan, negaraku dulu pernah menjadi negara yang sangat miskin. Tapi keteguhan dan ketekunan para pendahulu kami membuat negara kami berkembang pesat hingga menjadi seperti sekarang ini.
"Begitulah bunga mugunghwa. Ia menggambarkan ketekunan, juga keteguhan. Seperti kami, orang Korea."
Ara manggut-manggut mendengar penjelasan Jae Won. Ia lalu mengambil kayu yang catnya sudah mengering dan mengajak Jae Won untuk melanjutkan langkah berikutnya.
Ara memberi contoh cara mengoleskan lem khusus ke seluruh permukaan. Jae Won mengikuti dengan sabar. Setelahnya, mereka menempelkan tisu bermotif dengan sangat hati-hati. Jae Won beberapa kali harus memperbaiki peletakannya. Tisu yang sudah menempel terpaksa dilepas dan ditempelkan dengan lebih baik lagi.
Dengan bersemangat Ara membantu Jae Won meratakan tisu yang sudah menempel agar tak berkerut atau bergelombang.
"Selesai. Sekarang giliranmu yang menjemur. Habis itu kamu harus cerita tentang chuseok," perintah Ara. Jae Won menurut saja.
"Apa yang mau kamu tanyakan tentang chuseok?"
"Kamu. Kenapa kamu nggak pulang ke rumah kakek nenekmu dan merayakannya di sana?"
Sesungguhnya bukan chuseoknya yang ingin Ara ketahui. Ia hanya ingin tahu lebih banyak tentang keluarga Jae Won, terutama kakek tirinya.
"Kan aku sudah cerita. Aku nggak dekat sama mereka. Tapi setahun sekali daddy dan mommy pulang ke sini. Mereka lebih suka pulang saat Seollal."
Wajah Ara terlihat siap bertanya, tapi Jae Won segera menyambung kalimatnya dengan penjelasan.
"Seollal itu tahun baru Korea. Hampir sama dengan imlek bagi orang Cina. Biasanya datang pada bulan Februari. Nah, saat itulah aku pulang ke rumah kakek nenekku."
"Mereka tinggal di mana?"
"Jeolla."
Jeolla. Ara mencatat dalam hati.
"Jauh?"
"Jauh. Makanya aku malas ke sana."
"Seberapa jauh?"
"Sekitar 300 kilometer."
"Aku dan ibuku terpisah lebih jauh dari itu. 500km. Tapi aku tiap bulan pulang."
"Ayahmu? Kenapa kamu hanya menyebut ibumu?"
"Aku yatim sejak sebelum lahir, Oppa."
"Oh, maafkan aku."
"It's okey, Oppa. By the way, apakah kakekmu juga bermarga Sung?"
Sesungguhnya Ara sedang menghimpun informasi. Ia tak tahu bagaimana akan mencari kakeknya. Sependek pengetahuannya, Korea Selatan sangat berhati-hati soal data dan informasi penduduknya. Bahkan google pun tak memperoleh izin untuk mengakses Korea Selatan dengan lebih detail. Google maps tak berkutik di sini.
Maka Ara mencoba untuk memulai misinya dari Jae Won yang bawel dan senang bercerita. Siapa tahu ada kecocokan yang membawanya pada kakek beserta segala asal usul nenek moyangnya.
"Tentu saja kakekku bermarga Sung. Daddy juga. Makanya aku juga mewarisi marga yang sama."
Aduh, salah tanya!
Ara berteriak dalam hati. Yang dia maksud bukan kakek dari ayah Jae Won, tapi kakek dari ibunya. Lebih tepatnya kakek tiri.
Hendak bertanya lagi Ara terlanjur tak enak hati. Meski partner sekantornya itu selalu bercerita dengan senang hati, tapi ia tetap harus berhati-hati.
Mereka lanjut menyelesaikan hasil karyanya. Mengulas vernis agar menutup seluruh permukaan kayu yang kini telah bermotif, lalu menjemurnya hingga kering. Mengulangnya beberapa kali hingga hasilnya terlihat sempurna. Di sela-selanya, mereka menikmati kudapan dan jus yang ditaruh Jae Won dalam keranjang rotan sembari berbincang ringan.
Hari mulai sore. Ara beranjak, mengambil decoupage mereka yang telah kering. Dari tempatnya duduk, Jae Won melihat senyum Ara yang berkali-kali mengembang. Tampak senang pada hasil karya yang sekarang berada di genggaman.
"Lihat, Oppa. Hasil karyamu bagus sekali. Cukup rapi untuk orang yang baru membuatnya untuk pertama kali."
Jae Won menatap hasil kerajinan tangannya dengan takjub dan puas. Ia tak menyangka bisa menghasilkan sesuatu yang menurut anggapannya selama ini, hanya pantas dikerjakan oleh kaum hawa.
"Ternyata asyik juga ya membuat kerajinan semacam ini," ujarnya, membuat Ara terlihat gembira.
"Atau mungkin karena aku membuatnya bersamamu?"
Ya Allah, ini ceritanya aku digombalin lagi?
Pipi Ara bersemu. Ia berusaha menyembunyikan senyum. Bukan! Bukan karena ge-er, tapi lebih karena geli.
"Akan kupajang di apartemenku. Biar yang berkunjung tahu kalau aku punya mugunghwa hasil bikinan tanganku." Sekali lagi Jae Won berbangga hati.
Mereka hendak makan nasi ayam, ketika terdengar dering dari ponsel Jae Won.
"Yeoboseo, Mommy love."
Ara tersenyum mendengar sapaan Jae Won pada ibunya. Entah, tapi Jae Won mengaktifkan loudspeaker-nya. Mungkin memang sengaja.
"Hello, Jason love. Annyonghaseyo, Baby?"
Hah, Jason? Baby? Dih.
Ara membatin, makin geli.
"Mom, aku sedang pergi dengan temanku. Nan---"
"Teman apa? Perempuan ya? Pacar maksudmu?"
"Hemm. Teman kantor, Mom, dari Indonesia. Dia di sini untuk empat bulan ke depan. Belajar. Baru satu pekan, lalu libur besar. Yang lain pulang, jadi aku berinisiatif menemaninya."
"Indonesia? Kakekmu pernah ke sana."
Ara hampir tersedak mendengar sahutan dari ibu Jae Won. Tapi hanya begitu saja. Jae Won tak menanggapi, ibunya juga tak melanjutkan topik yang terlanjur membuat Ara panas dingin.
"Benar, bukan pacar? Atau mau kau jadikan pac---"
"Nanti kutelpon lagi. I love you, Mommy love."
"Jason! Jason Sung!"
Tut tut tut.
Jae Won memandang Ara. Satu cengiran tergaris di wajahnya. Ada malu-malu kesal di sana.
"Begitulah Mommy. Baginya, aku selalu dianggap bayi. Dan setiap dengar aku jalan dengan perempuan, dia selalu menuduh itu pacar."
"Kamu nggak punya adik?"
Pertanyaannya agak tak nyambung. Jantungnya masih berdegup kencang mengingat kakek Jae Won yang kata ibunya pernah ke Indonesia.
"Ada. Adikku dua. Dua-duanya perempuan, dan dua-duanya tinggal bersama orang tua kami di Amerika. Mungkin itu sebabnya aku lebih dianggap baby daripada mereka berdua, yang setiap hari bisa bersama Mommy dan Daddy." Ternyata pertanyaan Ara masih related.
"By the way, sorry, bukan aku menguping. Tapi kenapa ibumu memanggilmu Jason?" Ia sudah mulai bisa mengendalikan hatinya.
"Ya, itu bisa dibilang, emm, nama barat. Ya nama baratku. Beberapa orang Korea punya nama macam ini. Biasanya untuk mereka yang tinggal di luar Korea, atau salah satu dari orang tuanya bukan orang Korea. Karena orang di luar negara kami, seperti di Amerika misalnya, kadang kesulitan mengucapkan nama kami.
"Jadi jangan heran kalau kamu ketemu orang kami yang namanya terdengar agak kebarat-baratan. Misalnya Steven Lee, Arnold Kim, William Choi, dan sebagainya. Tapi biasanya mereka tetap punya nama Korea, seperti aku."
Ara mengangguk-angguk paham. Kemudian keduanya menikmati makan siang yang agak kesorean. Degup jantung Ara pun mulai normal.
Matahari masih cukup terik, tapi dinginnya embusan angin mulai terasa menusuk kulit. Ara menaruh box makannya yang sudah kosong. Dirapatkannya coat yang membalut tubuhnya.
"Kita pulang sekarang. Aku nggak mau kamu tiba-tiba sakit seperti tadi. Mulai masuk musim gugur begini, daerah utara memang lebih dahulu dinginnya, termasuk Seoul. Kalau di tempat nenekku, pasti saat ini masih lebih hangat."
Jae Won bangkit, dengan cekatan mulai membereskan bawaan. Ara mengimbangi. Berdua tetap berbincang, bahkan sampai mereka masuk mobil dan meluncur pulang.
"Kamu mengingatnya, tapi nggak ingin pulang ke sana. Apa nggak ada saudara lain, seperti paman dan bibi mungkin?"
Ara kembali melontarkan pertanyaan. Ia butuh data untuk mendukung dugaannya. Memang masih tak berdasar, tapi siapa tahu kan?
"Ada."
"Apa karena dari kakek yang berbeda, jadi kamu nggak begitu dekat dengan mereka?"
Jae Won terkekeh, "Kesimpulan dari mana, Ara? Aku nggak pernah bilang kalau kami tak dekat."
Ara tersipu, "Eh, iya juga sih. Maaf kalau aku sok tahu."
"Kami cukup dekat, kok. Kami sering berkomunikasi juga, via telepon atau pesan. Tapi memang jarang ketemu."
"Apa ibumu punya adik dari kakekmu yang sekarang?"
"Ya, ada satu."
"Nenekmu kan pernah menikah sebelumnya, apa kakekmu juga pernah menikah sebelum dengan nenekmu?"
Astaghfirullah, kenapa lancang sekali pertanyaanku?!
Ara menyesali pertanyaannya baru saja.
"Eh, maaf, Oppa. Aku terlalu jauh mencampuri urusanmu. Nggak perlu dijawab."
Lagi-lagi Jae Won tertawa.
"Santai saja, Ara. Aku sama sekali nggak keberatan menjawab pertanyaanmu. Tapi sayangnya aku nggak tahu."
"Nggak tahu apa?"
"Nggak tahu tentang masa lalu kakekku. Yang jelas dia pernah keluar dari negara kami. Kalau soal di sana dia pernah menikah atau tidak, aku nggak tahu.
"Kenapa tanya-tanya tentang kakekku? Apa kamu ada minat untuk jadi cucunya?"
"Maksudmu?"
Ara memutar badannya menghadap pada si Oppa. Dua pasang netra beradu pandang. Ara segera membuang muka. Jae Won tersenyum lebar.
"Forget it, Jembar Segara. Aku cuma bercanda."
Sisa perjalanan mereka isi dengan obrolan ringan. Jae Won sempat berhenti di sebuah minimarket, menjinjing tas kain entah apa isinya.Ara tak ikut turun, jadi tak tahu apa yang dibeli temannya.
"Baiklah. Aku pulang dulu. Jangan ragu menghubungiku kalau kamu memerlukan sesuatu. Apapun itu."
"Terima kasih, Jae Won Oppa."
Sebelum benar-benar pulang, Jae Won menyodorkan tas kain yang ia jinjing saat keluar dari minimarket tadi, dan masih tetap ia bawa untuk ia berikan pada Ara. Sekarang.
"Untukmu."
"Apa ini?"
"Assalamualaikum."
Jae Won tak menjawab, hanya mengucap salam, lalu berbalik, dan melangkah pulang.
"Waalaikumussalam." Ara menjawab pelan.
Usai menutup dan mengunci pintu, Ara memeriksa isi tas kain di tangannya. Beberapa bungkus ramyeon berlabel halal, dua tangkai anggur hijau nan segar, dan tiga butir apel. Ia menghela napas, kedua matanya memanas. Haru.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top