Part 4.

Titip Ara ya. Jika dia memerlukan bantuan, tolong kau bantu dia ya. Jika kalian pergi berdua, hormati dia dan haknya sebagai seorang perempuan.

***

"Si Bos bilang apa, Noona?"

Satu lagi sifat Jae Won yang tertangkap oleh Ara dan membuatnya tersenyum. Kepo.

"Dia memintaku menunjukkan pada Ara beberapa hal, sebelum aku pulang untuk chuseok pekan depan," jawab Chun Ae.

"Apa itu?"

"Bukan urusanmu."

"Ayolah, Noona. Kamu kan orang baik."

"Tentu saja."

"So ...."

"So what?"

"Please, give me know, Noona."

"Huh." Chun Ae kesal, tapi tetap saja ia buka mulut.

"Bagaimana keluar masuk apartemenku, beberapa tempat untuk membeli makanan atau bahan makanan, naik bus dan kereta. Yaa, semacam itulah."

"Oh, kalau begitu, serahkan saja padaku. Biar aku saja yang menemani Ara, termasuk saat kau pulang. Kebetulan pekan depan aku nggak pulang."

"No no. Aku nggak mau si bos marah padaku. Biar aku saja yang menemani Ara."

"Tapi kan kamu nggak tahu di mana letak toko-toko yang menjual makanan atau bahan makanan halal."

"Yeo Joon bahkan sudah memberiku daftar tempat-tempat yang kau maksud, Sung Jae Won."

"Emm, baiklah. Kalau begitu izinkan aku menemani kalian berdua."

"Huh, dasar bandel. Terserah kau sajalah!"

"Thank you, Noona."

"Dasar pria kesepian!"

Tawa Ara pecah seketika, setelah beberapa menit hanya diam menyimak dua rekannya berdebat tak jelas.

------

Sabtu pagi. Pukul sepuluh masih kurang dua belas menit lagi, tapi sudah terdengar ketukan di pintu apartemen Chun Ae. Si empunya rumah belum keluar dari kamarnya sejak usai mandi. Ara menuju ke pintu, mengintip dari balik lubang kecil, dan menemukan bayangan Jae Won di hadapannya.

"Assalamualaikum, Oppa," sambut Ara begitu pintu terbuka.

"Waalaikumussalam, Ara. Kamu kelihatan segar dan ... cantik." Ara tersenyum, ada malu-malu menyelinap di pipinya.

Jae Won dengan santainya masuk dan terus berjalan menuju kitchen set. Membuka kulkas dan mengambil sebutir apel, lalu membawanya naik ke mezzanine.

Mungkin Jae Won dan Chun Ae memang akrab banget, makanya dia santai aja melakukan itu semua.

Hati Ara berbicara usai mengamati apa yang dilakukan Jae Won.

"Ara, kemarilah. Kita main jenga, sambil menunggu tuan putri siap untuk pergi," teriak Jae Won dari atas.

Ara tak menjawab, tapi ia menuju tempat di mana Jae Won berada sekarang.

"Kalian sedang apa berdua di atas? Mau aku laporkan bos besar?"

Satu teriakan mengagetkan Ara dan Jae Won. Mereka tidak sedang berbuat macam-macam, hanya ngobrol saja. Bahkan bermain jenga pun belum jadi terlaksana.

"Apa hubungannya kami berduaan dengan Yeo Joon?"

"Sudah, jangan banyak omong. Kita pergi sekarang."

Bertiga meninggalkan apartemen Chun Ae. Turun ke lobi, lalu keluar setelah taksi yang mereka pesan datang. Tujuan pertama adalah stasiun subway terdekat dari lokasi apartemen. Sengaja tak menggunakan mobil, sebab ke depannya, Ara tak mungkin selalu mengandalkan Chun Ae untuk membersamainya.

"Paling nyaman bepergian di sini ya naik taksi. Harganya relatif terjangkau, dan kamu hanya perlu menunggunya datang, duduk, dan turun setelah sampai tujuan."

Taksi baru juga berjalan, rupanya 'kuliah' dari Mr. Sung Jae Won pun dimulai lebih awal. Kali ini entah kenapa ia menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar 'mata kuliah' transportasi dalam kota.

"Kamu beruntung karena menguasai bahasa Korea dan ... hangeul, mungkin?"

"Ya, insya Allah aku bisa membaca hangeul. Kenapa?"

"Karena hampir sebagian besar sopir taksi di Seoul ini hanya bicara bahasa Korea. Kalau kamu nggak bisa berbahasa Korea, yang paling penting kamu menuliskan alamat tujuanmu selengkap mungkin dalam hangeul. Ingat, dalam hangeul."

Terjawab sudah kenapa dia menggunakan bahasa Inggris. Rupanya ia tak mau menyinggung perasaan sang driver taksi, meskipun ia tak tahu juga pengemudi taksi yang mereka tumpangi saat ini bisa berbahasa Inggris atau tidak.

Tak lama di dalam taksi, stasiun subway sudah terlihat di depan mata.

"Kamu sudah punya T-Money, Ara?"

"Sudah." Chun Ae yang menjawab.

"T-tapi aku, emm, belum punya. Aku belum sempat membelinya saat di Incheon kemarin. Maaf." Ara meringis, tak enak hati.

"Semua sudah ada di sini."

Sebuah map kecil ditunjukkan oleh Chun Ae. Peta kota Seoul, peta jalur subway, rute city bus, juga T-Money ada di dalamnya. Yeo Joon yang memberikannya pada Chun Ae, untuk Ara tentu saja.

"Ah, ya ya." Pria bermarga Sung itu mendadak tak banyak bicara.

"Sebenarnya ada apa?" bisiknya pada Chun Ae saat mereka menuju bangku tempat menunggu Subway.

"Aku juga tak tahu. Mungkin karena dia perempuan, sehingga si bos merasa mempunyai tanggung jawab lebih."

"Tapi dia nggak pernah melakukan yang seperti ini sebelumnya."

"Memangnya dia mau melakukan ini pada siapa? Heru? Dia bahkan sudah sampai ke tempat-tempat yang aku sendiri sebagai orang Korea tak tahu."

Ara menelan saliva. Mereka berbisik-bisik dengan terang-terangan. Padahal ada dia di sana. Sungguh ia merasa tak enak hati. Ia tak mau ada prasangka buruk mengenai apa yang dilakukan sajangnim untuknya.

"Maaf, Ara. Laki-laki satu ini memang agak menyebalkan."

"It's okey, Eonni. Not a problem."

Sesungging senyum Ara berikan, terlihat sedikit dipaksakan.

"Ara, ini peta jalur subway. Mulai saat ini dia menjadi benda yang wajib ada di totebag-mu. Meskipun terlihat ruwet, tapi dia akan sangat menolong. Ada banyak jalur subway yang ditandai dengan warna yang berbeda, juga kode angka di mana satu atau dua angka pertama menunjukkan jalurnya, dan dua angka di belakang menunjukkan nomor stasiun. Kamu akan terbiasa kalau sudah sering menggunakannya.

"Kalau menurut aku pribadi sih transportasi paling mudah dan efisien ya subway. Dia menjangkau sampai ke seluruh kota Seoul ini. Jam operasionalnya dari lima subuh sampai tengah malam. Lama perjalanan dari stasiun satu ke stasiun berikutnya hanya sekitar dua menit saja, itupun selalu dinformasikan lewat suara dengan dua bahasa. Pokoknya top."

Dua ibu jari diacungkan Jae Won ke depan wajah Ara. Perasaan tak nyaman yang tadi sempat melanda hati Ara mendadak hilang seketika.

"Sejak kapan kamu jadi duta subway, Mr. Sung Jae Won?"

Tawa Jae Won meledak. Untung subway sudah sampai di stasiun yang mereka tuju.

Berikutnya mereka akan mencoba City Bus Seoul. Sambil berjalan menuju halte bus hijau, Jae Won melanjutkan kembali kuliahnya. Kali ini tentang bus dalam kota Seoul.

"Untuk bus kota di Seoul, dikelompokkan dalam empat warna. Biru, hijau, kuning, dan merah. Bus biru melayani rute jalan utama jarak jauh. Bus hijau rute antara stasiun bawah tanah dengan daerah-daerah permukiman terdekat. Bus kuning untuk rute jalan lingkar atau pusat-pusat bisnis kecil. Sedangkan bus merah melayani rute antara pusat kota dengan pusat-pusat bisnis utama."

"Jadi, warna badan Tayo, Rogi, Lani, dan Gani itu memang sesuai dengan kenyataan yang ada di Seoul ya?" Dengan polosnya Ara balik bertanya.

Mendapat jawaban tak terduga, Jae Won spontan memekik, "Allahu Akbar! Jembar Segara! Jadi waktu aku menjelaskan dengan detail tentang warna dan rutenya, kamu malah mikirin Tayo dan teman-temannya?!"

Chun Ae terpingkal-pingkal. Ara kembali meringis, merasa berdosa.

"By the way, dari mereka berempat, kamu paling suka dengan siapa?"

"Mereka berempat? Emm, maksudmu, mereka siapa?"

"Tayo, Rogi, Lani, dan Gani?"

"Hahaha. Kamu bisa aja. But nothing. Aku lebih suka Hana. Dia mekanik yang lincah dan enerjik. Dia juga cantik."

"Apa kamu suka Hana karena dia seperti kamu?"

"Eh, maksudnya bagaimana, Oppa?"

"Mekanik yang lincah, enerjik, juga cantik."

Sial. Baru juga dua hari, udah digombalin aja.

Ara mengalihkan pandang. Digigitnya bibir agar senyum tak lolos dari sana.

"Ya Tuhan. Ara baru dua hari di sini, Mr. Jae Won. Simpan dulu lah rayuanmu."

Jae Won terkekeh, "Tapi aku nggak merayunya, Noona. Memang begitulah adanya."

Wajah cengengesannya memang sesuai dengan sifatnya.

"Ssstt, diam. Bos besar menelepon."

Mereka berdua, Jae Won dan Ara, diam. Berusaha ikut menangkap obrolan Chun Ae dengan sang direktur. Singkat saja, seperti karakter Yeo Joon yang bicara hanya seperlunya.

"Bagaimana?"

"Ada apa?"

Dua rekan Chun Ae bertanya bersamaan.

"Dia menunggu kita di salah satu halal mart di Myeongdong, satu jam dari sekarang."

Tak banyak cakap, mereka berdua segera melakukan apa yang diminta oleh bos besar untuk menunjukkan beberapa halal mart di Seoul yang memang cukup banyak keberadaannya.

"Tidak semua toko yang menjual produk halal berarti semua produk yang ada di sana halal. Beberapa toko juga menjual produk non halal, jadi kamu harus lebih berhati-hati. Pastikan kamu menemukan dulu label halalnya sebelum membawanya ke kasir," terang Jae Won sembari menyebutkan beberapa toko yang menjual pula produk non halal.

"Tapi tenang saja, toko yang akan kami tunjukkan hanya yang menjual produk halal saja." Ara mengangguk.

Hampir satu jam kemudian, tiga halal mart telah ditunjukkan pada Ara, lengkap dengan jenis moda transportasi dan jalur yang harus ia ambil dari apartemen Chun Ae. Sekarang mereka menuju Myeongdong, tempat Yeo Joon meminta mereka ke sana.

"Oh, rupanya kau ikut juga," ujar Yeo Joon saat melihat Jae Won bersama Ara dan Chun Ae.

"Ya, karena pekan depan Chun Ae pulang, sedangkan aku tidak, jadi aku yang akan menemaninya jika besok dia memerlukan bantuan."

Jawaban Jae Won merubah raut wajah bosnya.

"Kenapa kau tak pulang?"

"Kurasa kau sudah tahu jawabannya."

"Baik. Terserah kau saja. Sekarang kita makan. Aku yang traktir. Setelah itu, kau pulanglah, biar Chun Ae dan Ara pulang bersamaku."

"Kau mau mengusirku?"

"Kalau aku mau, aku bahkan bisa memecatmu, Sung Jae Won."

"Sial!"

Sebuah tinju mendarat di lengan kiri Yeo Joon. Dua laki-laki sebaya itu tertawa. Ara diam-diam menikmati wajah Pak Direkturnya, yang memang memunculkan aura berbeda setiap kali ia melepas tawa. Sayangnya itu adalah salah satu kejadian yang langka.

"Apa kau menyukainya?" bisik Jae Won saat dua perempuan sibuk sendiri dan tak memperhatikan mereka.

Yeo Joon pura-pura tak mendengar.

"Ayolah, jangan pura-pura tuli. Kau menyukainya kan?"

"Tidak. Aku menyukaimu."

Jae Won mencibir, jijik. Yeo Joon terkekeh, geli.

Usai makan siang, mereka ke apartemen Chun Ae dengan mobil Yeo Joon. Hanya dua perempuan saja yang turun, dua laki-laki melanjutkan perjalanan sendiri.

"Hyeong," panggil Jae Won.

"Hemm."

"Kau tidak benar-benar menyukaiku, kan?"

"Tentu saja tidak, Bodoh! Aku tak mau dilaknat seperti kaum Nabi Luth."

"Alhamdulillah. Aku lega. Kukira selama ini kau tak pernah punya pacar karena---"

"Benar kau besok tak pulang?" Yeo Joon memotong kalimat anak buahnya.

"Ya, tentu saja. Kau tahu sendiri kenapanya."

"Titip Ara ya. Jika dia memerlukan bantuan, tolong kau bantu dia. Jika kalian pergi berdua, hormati dia dan haknya sebagai seorang perempuan."

"Kau menyukainya, Hyeong?"

Hening. Tak ada tanggapan.

"Kalau aku menyukainya, bagaimana?"

"Itu hakmu."

"Kau?"

"Itu urusanku."

"Baiklah."

Mobil terus melaju membelah keramaian. Hanya di luar saja. Di dalam mobil, keramaian itu tak ada. Dua pria bermarga Sung larut dalam pikiran masing-masing. Mungkin tentang seorang Sung yang tadi bersama mereka, mungkin juga tentang lainnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top