Part 3.

Kenapa kamu memandangi kami seperti itu? Kamu kira kami ini drama Korea?

***

Ara memulai hari pertamanya bekerja dengan bangun pagi. Menjelang jam enam ia sudah mandi dan melaksanakan salat subuh. Membaca Al Qur'an tentu tak dia lewatkan. Ia berkali mengucap syukur atas segala kenikmatan dan kemudahan yang ia dapatkan.

Selesai dengan ritual ibadah, ia menghubungi ibunya. Di Indonesia sudah jam setengah lima pagi. Ibunya pun telah usai melaksanakan salat subuhnya. Ara melanjutkan obrolan semalam, yang terputus karena kantuk dan lelah yang sudah demikian memberatkan.

Melalui fitur panggilan dari salah satu pesan instan, Ara bicara dengan ibunya.

"Bu, kemarin Pak Direktur tanya tentang nama depan Ara."

"Oh ya? Terus kamu jawab apa?"

"Ara jawab kalau itu bahasa Jawa, artinya memberi. Jadi arti nama Ara adalah orang yang selalu bisa memberi maaf. Untung Ara ingat kata-kata Ki Hajar Dewantara. Ing ngarso sung tuladha."

Ibunya tertawa.

"Dapat ilmu ngeles dari mana?"

Gantian Ara yang tertawa.

"Sajangnim sempat kesal dan hampir marah, karena bagi dia dan orang-orang Korea secara umum, marga adalah sesuatu yang sakral, yang sangat mereka jaga dan banggakan. Dia kira Ara malu menggunakannya."

"Lha kamu sendiri memang malu atau bagaimana?"

Ah, ibu seperti hendak memojokkannya. Beliau tentu saja tahu bagaimana Ara terhadap nama keluarga yang tersemat pada namanya.

"Ara nggak malu sih, Bu. Cuma Ara sendiri kan nggak tahu apa-apa tentang keluarga yang mewariskan marga ini pada Ara. Pada kita." Ara mulai kesal.

"Ibu tahu, kamu kecewa pada kakekmu. Ibu nggak apa-apa, Nak. Ibu nggak mempermasalahkan itu."

"Oh iya, Bu. Marganya sajangnim sama dengan kita. Sung."

"Terus?"

"Ara jadi makin ingin menyembunyikan itu. Kalau dia tahu cerita keluarga kita, pasti dia akan membela kakek daripada kita. Mereka kan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dan orang sini tuh bangga dan menjunjung tinggi banget budaya negaranya. Pasti begitu juga kalau kepada sesamanya. Pasti dia akan baik-baikin kakek dan menyalahkan kita."

Ibu tertawa, "Pe-de banget kamu ya? Atau su'uzon banget?"

"Nggak gitu juga kali, Bu." Ara cemberut, meski ibu tak bakalan bisa melihatnya.

"Oh iya, Bu. Ada satu lagi yang marganya sama dengan kita. Dia yang jemput Ara ke bandara. Tapi Sung yang ini orangnya lebih santai, lucu, dan menghibur banget. Bawel juga. Udah kayak ember bocor lah, Bu." Ara tergelak, ibu terbahak.

"Tapi orangnya juga baik banget, Bu. Sepertinya dia berusaha untuk membuat Ara nyaman dan nggak merasa asing. Tapi pas ketahuan bos besar malah dia diketusin. Kasihan banget deh, Bu."

"Oh ya? Kenapa diketusin?"

"Gara-gara kami asyik ngobrol berdua. Padahal cuma sebentar lho. Udah gitu pas habis diketusin sama sajangnim, dia tarik tangan Ara, ngajakin salat dan makan siang. Eh, sama si bos dibilangin kalau bukan begitu memperlakukan perempuan. Terus katanya lagi, jangan sembarangan menyentuh perempuan.

"Tahu nggak, Bu, si bos besar ini kalau bicara tuh seringnya datar, nggak ada ekspresinya, tapi bikin yang denger langsung diam seribu bahasa."

"Eh, Nak, katamu tadi teman sekantormu ngajak kamu salat? Apa ada yang muslim di sana?" Ibu salah fokus.

"Iya, Bu. Ada tiga orang. Salah satunya sajangnim. Dia juga yang paling pintar agamanya. Kemarin Ara ikut salat berjamaah, pas salat maghrib dan isya, bacaannya ternyata bagus, Bu. Dan dia selalu mengajak yang lain untuk salat di awal waktu.

"Dua yang lain adalah Jae Won atau Sung yang satunya. Kelihatannya dia mualaf. Dan ada satu lagi, kalau dengan yang ini Ara belum pernah bicara, cuma tersenyum saja tiap ketemu di kantor. Marganya Han."

"Wah, jangan-jangan dia masih bersaudara dengan dayang Han?"

Ara menertawakan ibunya.

"Nanti kalau ketemu marga Choi, ibu akan bilang kalau dia keturunan dayang Choi dan saudaraan juga sama Choi Geum Young. Terus ibu bilang pula kalau dia jahat, nyinyir, dan ...."

"Memangnya ibu nggak bisa bedakan drama sama kehidupan nyata? Huuu, kamu ini."

Mereka berdua kembali tertawa.

"Bu, udahan dulu ya, Ara lapar. Ibu baik-baik ya di sana. Ara kangen ibu."

Kedua netra Ara menghangat. Disekanya bergantian setiap sudutnya dengan punggung tangan. Sejak neneknya meninggal empat tahun lalu, yang ia punya hanya tinggal ibunya.

Mereka memang tak punya siapa-siapa. Neneknya dikucilkan oleh keluarga ningratnya sebab menikah dengan orang asing. Mendiang ayahnya tak jelas asal usulnya, ia telah tinggal di panti asuhan sejak balita. Tantenya bunuh diri karena seseorang yang teramat dicintai mengkhianati. Kakeknya pun sudah tak tentu rimbanya sejak pulang ke negaranya. Itu terjadi saat umur ibunya masih sepuluh tahun.

Meski kesehariannya tak bersama ibunya, Ara di Jakarta, sedangkan ibunya di Semarang, tetapi ikatan mereka begitu kuat. Bukan sekadar karena ibu dan anak, tapi juga takdir, yang membuat mereka harus saling menguatkan satu sama lain.

"Aku sayang ibu." Ara tak bisa menyembunyikan isaknya.

"Jangan menangis, Jang Geum. Ibu di sini, dan kamu belum ketemu Min Jeong Ho di sana, jadi tak ada yang akan menghapus air matamu."

"Nanti aku cari, Bu. Siapa tahu dia lewat depan kantorku. Atau mungkin aku akan bertemu dengannya di Gyeongbokgung."

Derai tawa kembali terdengar dari keduanya. Ada getir pada hati masing-masing. Ara tak tahu, jauh di seberang samudra, wajah ibunya telah basah sejak ia menyapa. Tapi menyembunyikan kesedihan, bahkan dalam nada suara, seakan telah menjadi salah satu keterampilan khusus yang dikuasai ibunya. Selain menjahit tentu saja.

Panggilan berakhir. Ara hendak sarapan. Nasi sudah ia masak sebelum salat subuh tadi. Dikeluarkannya kering kentang pedas yang ia bawa dari kampung halaman. Juga kerupuk udang kecil-kecil, yang ia bawa beserta stoplesnya.

Ia membuka pintu menuju balkon. Hendak makan sambil duduk lesehan dikelilingi hijaunya tanaman. Chun Ae masih sempat pula berkebun di tengah kesibukannya. Dengan ditemani gedung-gedung tinggi yang menjadi pemandangannya pagi itu, Ara menghabiskan suap demi suap nasi hangat hingga kenyang.

-------

Jam makan siang terasa sepi. Ia di office sendirian. Yang lain makan siang di kantin dan belum kembali. Sedang ketiga teman penikmat makanan halal sudah sejak tadi meninggalkan office untuk melaksanakan salat Jum'at di distrik Itaewon.

Kata Jae Won, di sana ada Masjid Agung Seoul atau bisa disebut Central Mosque, yang setiap hari menggelar salat lima waktu. Salat Jum'at juga termasuk agenda wajib yang ada di sana. Masjid itu bisa menampung hingga 2000 jamaah, dan di sana banyak pula ditemui warga muslim non Korea.

"Aku beberapa kali bertemu dengan orang Indonesia. Beberapa kali pula kukira orang Indonesia, ternyata orang Filipina, atau kadang Malaysia. Wajah kalian begitu mirip. Tapi entah mengapa, yang ada di benakku saat bertemu yang wajahnya serupa, aku pasti menebaknya sebagai orang Indonesia. Apa pengetahuan geografiku kurang baik? Atau komunikasiku kurang luas? Atau mungkin ... aku akan berjodoh dengan orang Indonesia."

Begitu kata Jae Won tadi, sambil tertawa lepas, dan disambut Ara dengan senyum lebar. Ia mulai merasakan keakraban dengan temannya yang bawel itu. Satu lagi, selain bawel, kelihatannya dia juga suka bicara asal.

"Melamun lagi. Apa melamun itu jadi salah satu hobimu?"

Baru juga melintas di benak, eh suara si bawel tiba-tiba memenuhi gendang telinga.

"Kamu belum makan, Ara?"

"Belum."

"Apa makanan belum diantar? Biasanya kalau hari Jum'at memang pengantarannya sedikit terlambat. Maksudku, memang agak lebih siang dari hari yang lain, karena menyesuaikan waktu kami salat Jum'at. Tapi aku sudah pesan padanya, mulai Jum'at ini sampai empat bulan ke depan, makanan diantar seperti hari biasa saja. Jangan sampai kamu terlambat makan gara-gara menunggu kami."

Ah, Jae Won memang baik. Sampai hal sekecil itu ia perhatikan juga.

"Tak perlu begitu, Oppa. Biar aku saja yang menyesuaikan dengan kalian. Lagipula, makan sendirian itu tak enak," jawab Ara.

"Okelah. Nanti aku bilang dulu ke bos besar. Dia yang memintaku untuk melakukan itu. Dia tak mau kamu sakit, karena selama kamu ada di sini, dia yang merasa bertanggungjawab atas kamu."

Ada yang menghangat di hati Ara. Jae Won memang baik, tapi sajangnim ternyata jauh lebih perhatian, meski tak sedikitpun ditunjukkan.

"Sebenarnya aku sudah bilang padanya untuk menyerahkan tanggung jawabnya atas kamu kepadaku, tapi kelihatannya dia tak bersedia. Dia selalu meragukan aku soal wanita. Ssstt, padahal dia sendiri tak punya pengalaman apapun soal perempuan. Dia kan tak pernah punya pacar."

"Tak perlu menjelaskan sesuatu jika tak diminta, Sung Jae Won."

Sebuah suara menimpali obrolan keduanya. Pria berkacamata yang baru saja dibilang tak pernah punya pacar itu sepertinya memang suka muncul tiba-tiba.

"Kamu kalau nggak datang tiba-tiba begitu kenapa sih, Hyung?"

"Pertanyaan yang serupa. Kamu kalau nggak kebanyakan bicara yang tak perlu begitu kenapa?"

"Baiklah, Sajangnim. Jangan pecat saya."

Candaan Jae Won membuat Yeo Joon tersenyum. Sesuatu yang jarang sekali Ara lihat.

"Mari kita makan."

Seperti kemarin, Yeo Joon melangkah menuju ke pantry. Jae Won mengikuti, disusul Ara di belakangnya.

Mereka berempat baru akan makan, ketika penghuni kantor yang lain berdatangan dari kantin di lantai bawah.

"Pekan depan kamu ada rencana pulang?" tanya Yeo Joon begitu Chun Ae mengambil tempat duduk di samping Ara.

"Tentu saja. Mana mungkin aku melewatkan chuseok bersama keluargaku."

"Baiklah. Setelah ini tolong kamu ke ruanganku, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Chun Ae memandang si bos besar dengan sorot penuh tanya. Sebaliknya, tak ada perubahan pada tatapan Yeo Joon. Ia memandangi Chun Ae dengan mata yang tetap tenang dan ekspresi yang tetap datar. Mereka saling menatap.

Ara turut pula melihat pada keduanya. Melihat cara mereka berpandangan, sebuah pertanyaan berjejalan di dada Ara. Tentu saja ia ingin memperoleh jawaban, walau tak mungkin jika mengharapkan itu dari Chun Ae, apalagi dari Pak Direktur. Tapi kan ada Jae....

"Kenapa kamu memandangi kami seperti itu? Kamu kira kami ini drama Korea?"

Pertanyaan dari Yeo Joon membuat Ara tersentak. Pria dengan jabatan tertinggi di office itu memang suka sekali dengan segala sesuatu yang mendadak.

"Ehk."

Belum makan, tapi Ara sudah mencuri start untuk tersedak.

***

Wah, kira-kira apa jawaban Ara?
Masa iya dia bakalan ngaku begitu saja?

CU di part selanjutnya. InsyaAllah segera.

Thank you 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top