Part 2.

Sudahlah, Ara, kita ini orang kampung, nggak usah berkhayal keturunan orang luar negeri.

***

"Jangan panggil aku Sung. Tulisannya memang begitu, tapi dibacanya Song. Itu marga. Nama keluarga. Nama Korea. Kakekku orang Korea."

Lalu teman-teman sebayanya menertawakannya. Menganggap ia hanya berkhayal saja. Apalagi hampir setiap mereka tahu kalau di rumah Ara tak pernah ada laki-laki.

"Kamu jangan berkhayal, Ara. Kamu kan nggak punya kakek. Apalagi yang dari Korea."

Lagi, teman-temannya tertawa, menganggap ia berhalusinasi.

"Aku punya, tapi kakekku pulang ke negaranya."

"Di mana? Korea? Atau di mimpimu? Sudahlah, Ara, kita ini orang kampung, nggak usah berkhayal keturunan orang luar negeri."

Ingatan Ara kembali terseret pada masa kecil, masa di mana ia selalu sibuk mengklarifikasi nama depan beserta cara melafalkannya. Waktu ketika ia selalu bangga dan ingin menunjukkan bahwa ia berdarah Korea. Walau teman-temannya tak ada yang percaya, Ara tak pernah gentar untuk mempertahankan sikapnya.

Ia melakukan itu sejak berusia tujuh tahun dan berlangsung cukup lama, sampai akhirnya ia mengenal Jang Geum kecil dalam sinema Korea kesukaan ibunya.

Jang Geum yang lugu kelepasan bicara. Tentang ayahnya yang dulunya seorang prajurit istana. Juga ibunya yang pernah menjadi bagian dari juru masak di dapur istana. Jang Geum kecil belum mengerti, itu pula yang akan menyebabkan ia terpisah dengan ayahnya, lalu kehilangan ibunya yang meninggal dalam pelarian dengan luka sebab tertancap anak panah.

Sejak itu pula Ara merenung. Ia mengambil keputusan, tak akan lagi mengatakan pada siapapun tentang darah apa yang mengalir di tubuhnya. Ia akan berhenti memberitahu setiap orang bahwa nama depannya adalah marga, yang disematkan oleh ibu dan neneknya agar ia tak lupa pada akar keluarganya.

Dan manakala ia mulai beranjak dewasa, ia mengira-ira, mungkin yang dilakukan kakeknya justru menjadi aib bagi keluarganya. Neneknya bahkan tak pernah lagi menyinggung apapun tentang sang belahan jiwa, yang meski telah berpuluh tahun pergi meninggalkan, namun ia tetap bertahan dalam kesetiaan.

"Hei, kamu melamun? Ingat pacarmu di Indonesia ya?" Jae Won mengagetkannya dengan satu tepukan di bahu kiri.

"Eh, oh, emm, nggak. Aku nggak melamun."

"Anak kecil juga tahu kalau kamu melamun, Jembar Segara. Ayolah, sebentar lagi waktunya makan siang. Aku sudah memesan tambahan katering makan siang mulai hari ini. Untukmu. Karena si bos nggak mau makan di kantin."

"Oh ya? Kenapa?"

"Dia selalu berpegang teguh pada prinsip dan keyakinannya. Ia khawatir pada kehalalan makanan di sana, sebab halal bukan sekadar bahan makanannya kan, tapi juga proses pengolahannya.

"Misalnya, dulu aku berpikir bahwa ayam adalah makanan halal. Itu saja. Ternyata tidak demikian kan? Dari cara menyembelihnya saja sudah menentukan status kehalalannya. Cara pengolahan pun demikian, kalau dimasak dalam panci bekas memasak sesuatu, yang mengandung babi misalnya, si ayam bisa jadi terkontaminasi.

"Seperti itulah yang selalu dikhawatirkan si bos besar. Dia agak detail soal menjalankan keyakinan."

Ara menahan senyumnya. Sung Jae Won memang bawel.

"Terima kasih, Oppa. Aku berhutang budi padamu."

"Berhutang budi? Maksudmu?"

"Karena kamu sudah menjagaku untuk tetap aman tanpa harus merasa tidak nyaman. Terutama dalam soal ibadah dan menjalankan keyakinan."

"Soal itu aku banyak belajar dari bos. Dan dia juga yang peduli pada hal-hal semacam itu di kantor ini."

"Maksudmu sajangnim?"

"Siapa lagi? Dia juga salah satu yang berjasa dalam membawaku menjadi seorang muslim."

"Kalian berte---"

"Mau makan siang atau mau ngobrol berdua sampai bosan?"

Suara bos besar tiba-tiba terdengar. Datar. Entah sejak kapan ia berada di belakang kedua stafnya. Ia pula sudah hapal di luar kepala kebiasaan Jae Won, yang suka memberi informasi lebih dari yang dibutuhkan. Mereka telah bersahabat cukup lama.

"Ayolah, jangan sampai bos besar murka." Jae Won meringis, menarik tangan Ara.

"Jae Won, bukan begitu cara memperlakukan perempuan. Jangan menyentuhnya sembarangan." Yeo Joon mengingatkan. Tanpa nada tinggi, tapi ketegasannya jelas merasuk relung hati.

Ara menelan ludah. Tak enak hati pada Jae Won yang sudah mencoba membuatnya tak merasa asing. Tapi ia pula berterima kasih pada Yeo Joon, biarpun hanya dalam hati. Sejujurnya ia memang tak suka ada laki-laki yang sembarangan menyentuhnya, sekalipun itu sebagai keakraban, dan tak ada muatan kepentingan lainnya.

Melalui sorot mata, Ara mencoba menyampaikan terima kasih pada direkturnya. Tampaknya berhasil. Satu anggukan ia terima. Tanpa senyum. Hanya tatapannya yang tegas berubah melembut.

"Kita salat dhuhur dulu," ucapnya sambil berlalu.

Jae Won mengikuti, Ara turut mengekori.

------

Malam seakan merayap lamban. Ara melirik jam digital di pergelangan tangan kanan. Hampir jam delapan, dan belum ada tanda-tanda teman-temannya hendak mengakhiri pekerjaan.

Ia menggelengkan kepala. Di Jakarta hal seperti ini adalah sesuatu yang biasa, tapi bukan karena jam kerja belum habis, kebanyakan hanya menghabiskan waktu sambil menunggu kemacetan sedikit terurai.

Korea memang kondang sebagai salah satu negara dengan jam kerja terpanjang. Mereka bekerja hampir sepuluh jam setiap harinya. Apalagi di kantor yang jangkauan bisnisnya global seperti SungHo International Inc. tempat Ara berada saat ini.

Menurut Heru, orang-orang di kantor ini sangat santai jika itu menyangkut jam kerja. Mereka, khususnya yang berada di divisi pemasaran, kadang memulai jam kerjanya jauh melewati pukul sembilan. Padahal jam kerja resmi di office adalah jam sembilan pagi. Alasan mereka menyesuaikan jam kerja di negara-negara yang menjadi rekanan mereka. Misalnya Indonesia. Jam sepuluh di Korea berarti jam delapan di Indonesia, di mana para pekerja kantoran baru saja memulai aktivitasnya.

Masih kata Heru, selama berada di Korea ia hampir selalu berada di apartemen setelah jam sepuluh malam. Orang Korea senang jalan-jalan, kumpul-kumpul, atau nongkrong-nongkrong. Hampir setiap pulang kerja mereka tak langsung menuju rumah. Kadang makan-makan dulu, jalan ke mall, atau menyalurkan kesenangan mereka bernyanyi di noraebang.

Dan hari ini Ara mengalami sendiri. Sejujurnya ia sudah lelah hari itu. Mungkin tak demikian jika ia bukan baru saja melewati perjalanan lintas negara.

"Bersiaplah. Kita pulang sekarang," kata Chun Ae pada Ara.

"Apa kita langsung pulang?"

"Tentu saja, Ara."

Alhamdulillah. Ara menyembunyikan rasa girangnya. Ia sudah tak sabar ingin mandi dan merebahkan badan.

"Baiklah. Terima kasih, Eonni."

"Kenapa buru-buru pulang? Harusnya kamu ikut kita jalan-jalan dulu."

"Sudah, Jae Won, jangan cerewet. Ini bos besar yang memberi perintah. Ia tak mau dituntut Mr. Abu Bakar kalau sampai Ara sakit karena kecapaian. Tahu sendiri kan, dia belum istirahat sejak datang dari negaranya pagi tadi."

Lagi-lagi Ara merasa terharu. Meskipun terlihat datar dan jarang menunjukkan ekspresi, sajangnim-nya begitu baik dan perhatian pada kondisi bawahannya. Ungkapan syukur berkali-kali ia lantunkan.

"Ah, ya ya. Baiklah. Selamat istirahat, Ara," ujar Jae Won dengan keramahan yang ---selalu--- tiada tara.

Chun Ae menggunakan mobil pribadi sebagai moda transportasi. Di dalam mobilnya, aroma segar menguar, membuat Ara tak sabar untuk segera terkapar. Ia bahkan terkantuk-kantuk dalam perjalanan yang tak seberapa lama. Chun Ae tertawa melihatnya.

"Kita sudah sampai, Ara."

Mobil berhenti di area parkir apartemen. Milik Chun Ae terletak di lantai tujuh. Setiap unit apartemen memiliki jatah parkir masing-masing untuk satu mobil saja. Tempatnya disesuaikan dengan lantai di mana unit miliknya berada.

"Tahan sebentar kantukmu, Ara. Aku akan menjelaskan bagian-bagian apartemen ini dulu, jadi kamu tak perlu membangunkan aku jika membutuhkan sesuatu."

Ara terpaksa memenuhi permintaan sang tuan rumah. Menahan sebentar lagi kantuk beserta lelah.

Tak berbeda dengan mobilnya, rumah Chun Ae pun memberikan rasa nyaman. Bahkan jauh lebih nyaman. Dari interior ruangannya, terlihat bahwa Chun Ae adalah seorang penggemar Scandinavian style.

Hampir semua perabotannya bergaya simpel. Dominasi warna monokrom berpadu dengan ornamen kayu menciptakan kesejukan sekaligus kehangatan. Tiap benda tertata rapi dengan estetika tinggi.

Tiga ruangan berjajar di sisi utara, terdiri dari satu kamar kecil yang akan ditempati Ara. Lalu di tengah ada kamar utama, area privat Chun Ae, jadi tak ditunjukkan bagian dalamnya tentu saja.

Di ujungnya terdapat ruangan khusus untuk toilet dan laundry room dengan mezzanine di atasnya. Sedangkan dinding bagian luar dimanfaatkan untuk kitchen set.

Di sisi yang berseberangan dari ruang makan terdapat kompartemen sebagai penyimpanan. Sebagian lagi adalah rak berisi buku dan pernak pernik lucu yang berasal dari berbagai belahan dunia. Meja makan mungil dengan dua kursi terletak tepat di tengah-tengah antara dapur dengan rak penyimpanan. Di sebelah barat terdapat pintu geser dan jendela yang didominasi blok-blok kaca berukuran lebar. Gemerlap lampu kota Seoul menjadi pemandangan yang tertangkap netra.

Meski tak sampai ke balkon, dari balik kacanya Ara bisa melihat tempat santai dengan tatanan nan apik di sana.

Kantuk Ara mendadak hilang. Apalagi saat naik ke mezzanine. Ia seperti menemukan air di padang gersang. Gembira tiada terkira. Baru melihatnya saja ia sudah merasa bahwa itu adalah tempat yang sungguh pas untuk melakukan kegiatan bersifat relaksasi. Tiduran, membaca, ngobrol, atau sekadar melamun sambil menikmati kerlip lampu dari jajaran jendela kaca berukuran lebih kecil.

"Sekarang istirahatlah. Besok kamu akan memulai hari panjang di office. Aku biasa bangun jam setengah sembilan. Kamu kalau tidak bisa tidur setelah beribadah pagi, silakan kalau mau melakukan kegiatan apa saja. Empat bulan ke depan, rumah ini rumahmu juga. Tak perlu sungkan."

"Kamsahamnida, Seonsangnim." Ara membungkuk dalam. Chun Ae tertawa. Ia menepuk punggung Ara.

"Tak perlu begitu. Kita ini saudara."

Ia lalu mempersilakan Ara untuk menggunakan kamar mandi lebih dulu.

Segar. Itu yang Ara rasakan usai bertemu dengan air hangat. Yang pertama Ara lakukan begitu masuk kamar adalah memeriksa handphone-nya. Beberapa pesan ia terima, dari ibunya menjadi yang pertama ia buka. Ia tak sabar ingin menceritakan pengalaman hari pertama di Korea. Di tanah leluhurnya.

Ara tidur tak lama kemudian. Pulas. Dengan sesungging senyum terulas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top