Part 16.
Tak ada kebetulan dalam hidup ini, Ara. Allah sudah merencanakan apa saja yang akan terjadi pada ciptaan-Nya. Kebetulan itu hanya bahasa manusia. Dan kebetulan yang kita temui saat ini hanya berlaku bagimu saja, tidak bagiku.
***
Senin. Matahari musim gugur bahkan belum mengintip. Yongsan-gu masih gelap saat sebuah taksi berhenti di depan apartemen Chun Ae. Seorang laki-laki turun tergesa, berjalan tergesa pula, dan memencet bel pada unit Chun Ae, masih dengan tergesa.
"Duh, siapa sih? Sepagi ini sudah bertamu," gerutu Ara.
Ara yang sedang bersiap untuk berangkat ke Busan terpaksa menghentikan aktivitasnya. Ia mengintip dari lubang di pintu. Sosok sajangnimnya berdiri di depan sana.
"Assalamualaikum." Yeo Joon lebih dulu menyapa begitu pintu terbuka.
"Waalaikumussalam, Saj---"
"Oppa." Yeo Joon menyela. Ara terkikik.
"Maaf, Yeo Joon..., Oppa. Emm, ada perlu apa sepagi ini datang? Chun Ae bahkan masih pulas," sambut Ara.
"Aku ada perlu denganmu, bukan Chun Ae. Hari ini aku ke Busan, jadi aku akan sekalian mengantarmu."
"Apakah kita akan memakai kereta yang sama?"
"Yes, same train. We will train to Busan, but no zombies," canda Yeo Joon. Ara tertawa.
"Kau sudah siap?"
"Sedikit lagi, emm, Oppa."
"Baiklah. Aku akan menunggu."
Ara kembali ke kamarnya, sebenarnya ia sudah siap, hanya masih ada beberapa hal yang harus ia selesaikan. Salah satunya memberi kabar untuk ibunya, juga mengirim satu pesan kepada Heru. Urusan apalagi kalau bukan pekerjaan.
Yeo Joon menunggu di kitchen. Duduk sambil membaca buku Chun Ae yang tergeletak di meja. Segelas air mineral dan setangkai anggur hijau ia tandaskan.
Tak sampai lima belas menit, Ara keluar dari kamar menuntun satu koper 20 inch. Slingbag mungil warna hitam melingkari sepanjang bahu kanan hingga pinggang kirinya. Jaket bulu angsa ia kenakan, masih membawa parka yang tersampir di pegangan koper.
"Cuma itu bawaanmu?"
"Ya, Sajangnim. Insya Allah cukup."
"Hemm. Sajangnim ya?"
Yeo Joon terlihat kecewa. Ara jadi tak enak hati, sejujurnya dia memang belum nyaman memanggil Oppa pada direkturnya.
"Baiklah. Kita pergi sekarang."
Tanpa permisi, Yeo Joon mengambil alih koper Ara. Gadis itu membiarkan saja. Mereka berjalan bersisian menuju lobi apartemen. Sebuah taksi sudah menunggu di sana dan segera membawa keduanya menuju Seoul Station yang juga terletak di wilayah Yongsan-gu. Stasiun yang menjadi titik keberangkatan Gyeongbu Line, jalur rel ganda dengan rute Seoul ke Busan.
Ara mengikuti apapun yang dilakukan Yeo Joon. Maklum, ini perjalanan pertamanya menggunakan kereta berkecepatan tinggi yang beroperasi sejak tahun 2004.
"Sajangnim di gerbong berapa?" tanya Ara sambil berjalan cepat mengikuti langkah Yeo Joon yang lebar.
"Sudah, kau ikuti aku saja."
Ara kembali diam, dan tetap diam sampai mereka berada di dalam KTX 009. Yeo Joon menunjukkan tempat duduknya, Ara hanya tinggal duduk saja. Kopernya Yeo Joon yang mengurus, ditaruh bersama backpack yang sedari tadi menempel di punggung si bos besar. Setelahnya Yeo Joon duduk di sebelah Ara.
"S-sajangnim duduk di sini?"
"Ya. Kenapa?"
"M-maaf. Apakah ini kebetulan saja?"
"Tak ada kebetulan dalam hidup ini, Ara. Allah sudah merencanakan apa saja yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Kebetulan itu hanya bahasa manusia. Dan kebetulan yang kita temui saat ini hanya berlaku bagimu saja, tidak bagiku."
"Maksud Sajangnim?" Ara bingung.
"Aku sudah merencanakan semuanya, Ara. Memang aku ada agenda ke Busan, ke perusahaan yang sama dengan tujuanmu nanti. Hanya saja bukan hari ini. Tapi aku meminta reschedule, agar aku bisa sekalian mengantarmu."
"Chun Ae tahu?" Dia yang menghandle semua urusan perjalanan dinas. Tiket, akomodasi, dan segala macamnya.
"Tentu saja."
Ara melempar pandangan ke luar jendela. Ada yang menghangat di pipinya, juga di hatinya. Sajangnimnya melakukan itu semua untuknya?
Aku menyukaimu, Ara.
Ucapan Yeo Joon saat di Hwaseong Fortress dua hari lalu terngiang. Ara masih belum berani menganggap itu semua sesuatu yang serius. Meski ia juga tahu, Yeo Joon bukan tipe orang yang senang bercanda.
"Pemandangan di luar jendela lebih menarik daripada bicara denganku ya?" Suara Yeo Joon memecah lamunan Ara. Gadis itu melirik pada bosnya, kemudian menunduk malu sebab pandangan mereka bertemu.
"Emn, nanufaktur apa saja yang akan saya kunjungi di sana, S--- Oppa?" Ara mencoba memulai dengan satu pertanyaan tentang pekerjaan.
"Tak usah memaksakan diri memanggilku begitu kalau kau tak nyaman." Yeo Joon mengalah, tak mau memaksakan apa yang Ara tak suka.
"Iya. Maaf, Sajangnim." Ara sungguh serba salah.
"Chain, conveyor, train chassis..., banyak. Aku sudah membawakan form untukmu." Yeo Joon melanjutkan dengan jawaban atas pertanyaan Ara sebelumnya.
"Form apa?"
"Form yang kubikin khusus untukmu. Insya Allah akan memudahkanmu dalam belajar. Kau tinggal tulis saja apa-apa yang perlu kau catat di sana. Aku sudah pernah melakukan hal yang sama denganmu. Bertahun-tahun. Jadi aku sudah hafal apa-apa saja yang harus kau pelajari, kau amati, kau catat, kau perhatikan...."
Yeo Joon melanjutkan penjelasannya panjang lebar. Menceritakan pengalamannya. Apa yang dia sukai dan tak ia sukai saat turun sendiri ke pabrik. Kejadian apa yang paling membekas sepanjang perjalanan karirnya di bidang yang digeluti saat ini. Apa saja yang menjadi bacaannya terkait dengan pekerjaan yang ia geluti. Dan banyak hal lagi. Ia seperti tak bisa dihentikan.
Ara tertawa dalam hati. Topik pekerjaan memang pilihan paling tepat untuk bicara dengan laki-laki yang sulit ditebak itu.
Sesekali lengan mereka bersinggungan. Bagai tersengat aliran listrik, ada percikan-percikan api yang timbul diantara keduanya.
Jarak 325 km menjadi tak berasa. Korea Train Express melaju cepat sekira 260-305 km/jam. Stasiun Daejeon, Dongdaegu, Singyeongju telah terlewati. Busan Station telah mereka masuki.
Dua orang menyambut mereka sekeluarnya dari pintu stasiun. Seorang pria dan seorang wanita. Yeo Joon menyapa keduanya, lantas berbicara cukup akrab dengan si pria.
Si wanita berinisiatif mengajak Ara bercakap. Namanya Kang Ae Ri. Dari obrolan tersebut, Ara tahu, mereka berdua staf perusahaan yang akan menjadi tempat utamanya belajar. Tempat utama, sebab ada beberapa perusahaan lain yang akan ia kunjungi selama di Busan. Di tempat Ae Ri juga ia akan menumpang tidur selama dua pekan, bisa jadi lebih.
Tak butuh waktu lama bagi Ara dan Ae Ri menjadi akrab. Sekali lagi Ara bersyukur, Allah memberi banyak kemudahan, dan mempertemukannya dengan orang-orang baik. Plus satu bonus, mendapat perhatian lebih dari bos besar di perusahaan tempatnya magang. Betapa beruntungnya aku. Pipinya merona sebab pikiran yang melintas terakhir. Ia berusaha mengenyahkan, merasa diri terlalu kege-eran.
Yeo Joon dan Ara berpisah setibanya di pabrik. Yeo Joon menuju ke kantor, mungkin menemui direkturnya untuk membicarakan kerja sama. Atau menemui bagian purchasing. Entahlah, dia tak bicara apapun pada Ara selain berpesan untuk makan siang bersama nanti.
"Kelihatannya dia menyukaimu, Ara." Analisa Ae Ri tanpa basa-basi.
"Ah, kau bisa saja, Ae Ri. Dia direktur lho."
"Dan masih lajang." Ae Ri cekikikan.
"Tahu dari mana?"
"Yeo Joon-ssi sudah terkenal di sini. Penghuni kantor semua tahu siapa dia. SungHo salah satu kolega terbaik perusahaan ini, Ara. Tiga besar penjualan terbanyak adalah melalui perusahaannya."
Pantas saja setiap yang bertemu menyambut Yeo Joon dengan hormat. Ara baru sadar.
"Kau muslim kan, Ara?"
"Benar."
"Itu syarat utama yang dicari Yeo Joon-ssi."
"Kau tahu banyak sekali tentang direkturku?"
"Tentu saja. Di kantor ini semua sudah seperti keluarga. Sudah menjadi rahasia umum bahwa si bos besar ingin menjodohkan anaknya dengan Yeo Joon-ssi, tapi mereka sama-sama kuat memegang keyakinannya. Itu sempat jadi trending di sini.
"Kalau jadi aku sih sudah pasti memilih ikut keyakinan dia. Kurang apa coba? Yeo Joon-ssi punya segalanya." Ae Ri tertawa kecil. Ia memang bukan tipe orang yang religius. Ia bahkan tak merasa perlu menjalankan ritual yang lekat dengan keyakinannya.
Ae Ri menunjukkan bagian-bagian di kantor yang sekiranya akan sering Ara hubungi. Setelahnya mereka ke area pabrik, yang menjadi penyuplai terbesar chain dan conveyor untuk SungHo, dan itu berarti untuk kantornya juga di Jakarta.
Hari itu Ara belum akan turun ke pabrik. Agendanya sesudah makan siang adalah menemui bagian penjualan dan operasional. Yeo Joon sudah menjelaskan banyak hal padanya, yang membuatnya makin tahu apa saja yang harus ia kerjakan dalam rangka tugas belajarnya dari kantor Jakarta. Ia optimis bisa mengambil banyak ilmu dari keberadaannya di sini
Waktu makan siang tiba. Yeo Joon benar-benar menemuinya dan mengajaknya makan siang bersama. Bukan di area perusahaan, tapi di luar. Ketersediaan makanan halal menjadi alasan, dan yang lain memaklumi, juga menghormati prinsip Yeo Joon.
"Aku sudah memesan agar mereka menyediakan katering khusus untukmu. Tiga kali sehari. Kau bisa breakfast dan lunch di kantor, dan membawa pulang makanan untuk dinner." Yeo Joon bahkan sudah memikirkan sedetail itu.
"Tidak perlu repot, Sajangnim."
"Repot sedikit, asal bisa memastikan kau hanya makan yang halal saja."
Bagaimana tak meleleh hati Ara menerima perhatian yang begitu rupa?
"Terima kasih, Sajangnim. Terima kasih."
"Jaga diri baik-baik selama di sini. Kalau kau mau, aku bisa ke sini setiap pekan. Banyak tempat indah yang bisa kita kunjungi."
"T-tidak usah, Sajangnim. Seoul-Busan tidak dekat."
"Tapi juga tak jauh."
"Tapi perjalanannya mahal, Sajangnim."
"Perjalanan pulang pergi Seoul-Busan setiap pekan tak akan membuatku jatuh miskin, Ara."
"T-tapi tetap saja tidak perlu, Sajangnim. Saya bisa pergi dengan Ae Ri. Saya janji, saya akan menjaga diri dengan baik selama di sini."
"Dasar keras kepala." Yeo Joon menggumam pelan, tetap saja terdengar oleh Ara. Bukan marah, Ara justru tersenyum lebar karenanya.
"Kelihatannya Sajangnim lebih keras kepala."
Yeo Joon menepikan mobilnya. Ia menatap lembut pada gadis di sebelahnya.
"Aku bisa keras kepala kalau itu menyangkut seseorang yang kusukai. Aku menyukaimu, Ara."
Ara terhenyak. Untuk kedua kalinya ia mendengar kalimat yang sama, dari orang yang sama. Ara masih meraba, apa arti menyukai yang dua kali ia dengar dari lisan Sajangnimnya.
"Kalau kau tak mau menjadi kekasihku, maka menikahlah denganku. Aku janji akan selalu menjaga dan membahagiakanmu, Jembar Segara."
Shock! Itu yang Ara alami. Ia ke Busan untuk belajar, untuk memperdalam pengetahuan. Bukan untuk menerima lamaran.
Yeo Joon lega sekaligus kaget pada keberaniannya. Ia sudah tak tahan menyimpan sendiri perasaannya.
"Maaf. Maafkan aku, Ara. Tapi itulah yang kuinginkan. Umurku sudah tak lagi muda. Aku tak mencari seseorang untuk sekadar bersenang-senang. I looking for a partner of life. Seseorang yang dengannya aku bisa membagi susah dan senangku, berbagi cerita indah maupun keluh kesah. Seseorang yang mengerti, tak hanya kehidupanku, tapi juga duniaku, pekerjaanku. Dan itu kau, Ara.
"Saranghamnida, Ara. Neo ttaemune haengbokhaeyo."
(Aku mencintaimu, Ara. Karena kamu aku bahagia.)
Hening. Sunyi. Sepi.
Ara diam, Yeo Joon menarik napas dalam.
***
Aish, aku ikut lega si Yeo Joon udah nembak Ara. Haha....
Terima kasih sudah bersabar menunggu lanjutan cerita ini. Mohon maaf untuk segala kekurangan.
See you 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top