Part 15.
Sejak kebersamaan di Jeju, hubungan Ara dan Yeo Joon makin dekat. Bukan intim yang ke mana-mana selalu berdua, mereka tetap menjaga jarak seperti biasa, hanya saja frekuensi perhatian Yeo Joon pada Ara lebih intens dari sebelumnya. Tentu saja dilakukan di belakang teman-teman mereka.
Walau malu-malu, Ara menunjukkan sambutannya dengan rajin membalas pesan-pesan dari sajangnim-nya.
[Ara, apa kegiatanmu Sabtu besok?]
Ara baru saja selesai mandi setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor. Yeo Joon sendiri baru tiba di apartemennya.
[Belum ada rencana, Sajangnim. Mungkin packing untuk persiapan ke Busan. Adakah yang bisa saya bantu untuk hari itu?]
[What about dating?]
Wajah gadis itu bersemu merah. Kejadian akhir pekan sebelumnya di Jeju membuatnya tersenyum sendiri. Senyum yang malu-malu.
[Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.]
[Oh, tidak. Mungkin beberapa tempat.]
[Will you?]
[Umm... Ke mana, Sajangnim?]
[Just answer yes or no, Ara.]
[But i hope you say yes.]
Lagi. Ara tersenyum sendiri. Tentu saja hatinya ingin memenuhi harapan Sajangnim-nya. Tapi ia merasa harus jaga imej.
[Maaf, boleh saya minta waktu untuk memikirkannya dulu?]
[Tentu saja boleh. Tapi jawabannya harus 'ya']
[Kau pikir aku mau menunggu hanya untuk menerima jawaban 'tidak'?]
Tawa Ara pecah. Sajangnim-nya memang jarang bicara, tapi setiap kali bicara, ia selalu langsung pada intinya. Tak ada basa-basi.
[Baik, Sajangnim. Saya pastikan dulu sebelum hari itu saya sudah menyelesaikan persiapan untuk ke Busan]
Pesan terbaca, tapi agak lama tak ada jawaban. Ara merebahkan badan, ia menelepon ibunya. Di Semarang baru bakda isya. Hampir setengah jam Ara dan ibunya bertukar cerita melalui panggilan video. Tentu saja ia yang lebih banyak bicara, sedang ibunya mendengarkan dengan antusias, dan sesekali memberi nasihat. Keduanya mengakhiri panggilan dengan bahagia.
Ara bersiap tidur setelahnya. Ia sempatkan mengecek pesan, siapa tahu ada pesan dari sajangnim-nya. Ia mulai hafal, laki-laki itu tak suka menunggu. Dan jika mereka terlibat chat di waktu-waktu selepas kerja, biasanya obrolan baru akan berakhir setelah sajangnim-nya mengucapkan selamat tidur untuk si anak magang.
[I emailed you.]
Itu dua puluh menit yang lalu. Ia masih ngobrol dengan ibunya.
[Ara, kau sudah tidur?]
[Aku bahkan belum mengatakan selamat tidur padamu.]
Itu lima belas menit yang lalu.
[Baiklah.]
[Jal ja nae kkum kkwo, Ara.]
*selamat tidur dan mimpikan aku, Ara
Ada yang berdesir di dada saat Ara membaca pesan terakhir yang dikirim sajangnim-nya. Sudah macam orang pacaran saja, pikirnya.
[Baik, Sajangnim. Segera saya baca emailnya. Maaf, tadi saya menelepon ibu.]
[Harusnya kau beri tahu aku, jadi aku bisa menitip salam untuk ibumu.]
"Apa deh? Nggak jelas." gumam Ara sambil tersenyum malu-malu.
Pesan tak langsung ia jawab. Ia membuka email lewat gawainya. Desiran halus kembali menyapa. Bagaimana tidak? Yeo Joon begitu perhatian, mengiriminya daftar barang-barang sebagai panduan, apa saja yang harus ia siapkan untuk dibawa ke Busan. Tentunya yang berkaitan dengan pekerjaan.
Email diakhiri dengan pertanyaan sekaligus canda, "Apa keperluan pribadimu harus aku juga yang membuat list-nya?"
Ara tergelak. Bos besarnya bisa bercanda juga. Ia tak menunda untuk membalas emailnya. Juga mengucapkan terima kasih via instan messaging.
[Kamsahamnida, Sajangnim.]
[Jadi, kau bisa memastikan persiapan ke Busan selesai sebelum hari Sabtu, kan?]
Hmm, ternyata email yang Yeo Joon kirim tadi ada maksudnya. Ara tak bisa berkelit. Ia sejenak memperkirakan. Ini baru hari Rabu, ia masih punya dua hari untuk menyelesaikan persiapannya ke Busan. Plus satu hari, Minggu, untuk memastikan tak ada yang kurang.
[Baiklah, Sajangnim. Saya usahakan selesai sebelum Sabtu. Insya Allah.]
[Okey, deal!]
[This Saturday will be a joy day for u. For us.]
[I promise you.]
Ara tak membalas lagi. Ia sibuk menenangkan hati, yang desirnya menghebat tanpa kompromi.
***
Hari yang ditunggu Yeo Joon tiba. Ia yang tak sabar sudah bersiap, bahkan sejak sebelum subuh tiba.
Bagaimana dengan Ara? Ah, sama saja. Dia pun diam-diam menunggu hari itu. Ia tak menampik kalau ia juga menyukai kebersamaan dengan sajangnim-nya.
Entah tahu atau bagaimana, Chun Ae yang biasanya bangun siang saat weekend, kali itu ia bangun lebih pagi. Jauh lebih awal dari saat hari kerja. Ia bahkan masih sempat pula memasak. Entah apa, tapi aromanya sungguh membangkitkan selera.
Ara sedikit gelisah. Ia tak enak hati kalau Chun Ae tahu siapa yang akan pergi bersamanya.
"Tak usah gelisah, Ara. Aku tahu kau akan pergi dengan siapa. Makanlah dulu juk-mu. Atau..., kalian sudah berencana sarapan berdua?"
Chun Ae seolah tahu apa yang dipikirkan Ara. Ia menaruh dua mangkuk hobakjuk ke atas meja. Lalu duduk dan memakan satu mangkuk lagi untuknya sendiri.
*hobakjuk: bubur labu kuning
"Eh, b-bukan begitu, Chun Ae. K-kami..., maksudku aku, aku tidak tahu. S-sajangnim hanya bilang akan mengajakku pergi. Aku sendiri tak tahu akan ke mana."
"Kau tidak curiga dia akan membawamu ke mana? Kau tidak berusaha menghindar, kah? Atau..., kau memang senang pergi berdua dengannya?"
Pertanyaan Chun Ae terdengar menyudutkan. Ia melakukannya sambil tetap menikmati hobakjuk. Bubur labu kuning yang menjadi kesukaannya.
"Ak-aku...."
Ara mendadak kelu. Ia ingin menangis. Chun Ae pasti menganggapnya perempuan gampangan. Atau murahan. Atau mungkin cewek matre. Atau....
Astaghfirullah hal adzim. Ara beristighfar dalam hati. Sekuat tenaga menahan air mata agar tak mengalir. Cukup hatinya saja yang merasa nyeri.
"Maafkan aku, Chun Ae. Pasti kau berpikir buruk tentang aku. Aku tak seperti itu, percayalah. Biar kubatalkan saja rencana kami."
Ara mengambil gawainya, akan menghubungi Yeo Joon dan membatalkan rencana hari itu.
"Jangan berprasangka buruk tentang aku, Ara. Aku hanya bercanda. Aku memasak untuk kalian berdua. Sebentar lagi dia datang. Bersiaplah. Aku akan mandi, mungkin sedikit lama. Kalau kalian sudah siap pergi, beritahu aku."
"M-maksudnya bagaimana, Chun Ae?"
Perempuan 34 tahun itu mendekat, menepuk bahu Ara, dan berkata, "Aku sengaja membuat juk ini untuk kalian berdua. Ini makanan kesukaanku. Manis. Semoga hari kalian, emm..., maksudku semoga kencan kalian akan semanis juk ini."
Kali ini wajah Chun Ae berubah menjadi semanis bubur favoritnya.sedang wajah Ara bersemu merah selayak warna kuah kimchi.
"Pergilah, anak manis. Bersenang-senanglah dengan si bos besar. Hanya satu pesanku. Usahakan Jae Won tidak tahu."
Ara hendak bertanya, tapi bel keburu berdentang. Bukannya menyambut siapa yang datang, Chun Ae justru bergegas ke kamar mandi, setelah menyuruh Ara membukakan pintu untuk sajangnim-nya.
"Have a nice day, Dear Ara. Jangan biarkan dia membujang terlalu lama."
Teriakan Chun Ae terdengar hingga ke ruang tamu. Muka Ara kembali memerah. Sebaliknya dengan Yeo Joon, ia malah tertawa lepas, lantas balik meneriaki Chun Ae, "Terima kasih untuk doamu, Noona."
Yeo Joon memandang Ara, rasanya tak ingin berkedip. Ia nyaris tak pernah melihat Ara mengenakan skirt. Memang tampak berbeda. Mempesona.
"Emm, Chun Ae sudah membuatkan hobakjuk untuk kita, Sajangnim."
"Ya. Dia memberitahuku pagi tadi. Kita sarapan dulu."
Laki-laki Ber-default datar itu meninggalkan Ara. Dapur menjadi tujuannya. Ia langsung duduk pada salah satu bangku, mengucap basmalah, kemudian menikmati semangkuk bubur labu kuning bagiannya. Ara menyusul. Mereka duduk berhadapan sekarang.
"Aku tak terlalu suka makanan manis. Tapi hobakjuk atau danpatjuk bikinan Chun Ae selalu gagal untuk kulewatkan."
*danpatjuk: bubur kacang merah
Yeo Joon mulai bercerita. Ia memang sulit ditebak. Ara hanya mengiyakan dan tersenyum saja.
"Tolong ambilkan jus untukku, Ara. Orange. Kalau tidak ada, apel."
Ara beringsut perlahan. Yeo Joon bahkan hafal apa-apa saja yang ada di kulkas Chun Ae. Ara kembali membatin. Ia mengambilkan apa yang diminta tanpa bicara sepatahnkata.
Yeo Joon menuntaskan orange juice-nya, lantas menatap Ara.
"Kau manis sekali dengan outfit seperti itu. Aku suka."
Baiklah. Perut Ara pun diserbu oleh ribuan kupu-kupu. Ia tersipu. Menunduk dan tak berani menatap pada laki-laki yang baru ia ketahui bisa menggombal juga.
"Kita berangkat sekarang. Aku tak mau membuang waktu hanya dengan memandangimu. Aku ingin membuatmu gembira bersamaku."
Yeo Joon bangkit, tak memberi kesempatan pada Ara untuk beristirahat dari desir yang memerahmudakan hatinya.
"Noona, kami pergi dulu. Terima kasih untuk masakanmu. Always number one," teriak Yeo Joon dari depan pintu kamar mandi.
Ara menggeleng melihat tingkah kedua dedengkot di kantornya. Ia melenggang ke kamar, mengambil ransel dan coatnya.
Di balik default-nya yang datar dan selalu terlihat serius, sesungguhnya Yeo Joon adalah seorang yang romantis. Nyaris tak ada yang tahu, sebab everyone knows, ia tak pernah dekat dengan perempuan manapun, kecuali Chun Ae.
Sorento biru tua meluncur ke Yongin, sekira satu jam perjalanan ke arah selatan dari Seoul.
"Ini MBC Dramia, Ara. Kau tahu?" tanya Yeo Joon begitu mobil memasuki area parkir.
"M-maksudnya MBC Dae Jang Geum theme park?" Mata Ara membulat. Yeo Joon tertawa. Gemas. Ia lalu turun, tak lupa menyambar ranselnya. Ara mengikuti, menyelempang slingbag dan menenteng coat-nya.
"Sebenarnya ada satu lagi, Korean Folk Village. Tak kalah bagusnya. Tapi tak apa ya, kita hanya mengunjungi salah satunya?"
"Masya Allah. Ini sudah lebih dari cukup, Sajangnim. Saya bahkan baru berencana untuk berkunjung ke sini. Tapi Sajangnim sudah mewujudkan semuanya. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih banyak."
Ara menghentikan langkah, ia menghadap ke arah Yeo Joon dan membungkukkan badan tiga kali bersama ucapan terima kasihnya.
Yeo Joon hanya membalas dengan senyum dan sekali membungkukkan badan. Lalu berdua menyusuri bangunan demi bangunan.
"Kau tahu, ini adalah theme park pertama yang dibangun khusus oleh MBC untuk keperluan pengambilan adegan drama-drama produksi mereka. Terutama drama yang bergenre sageuk. Selain lokasi yang cukup luas, theme park ini juga istimewa, sebab dibangun berdasarkan riset budaya dari tiga kerajaan dan dua dinasti dalam sejarah negara kami.
"Tapi tak ada yang sia-sia dari sebuah kerja keras, sebab sinema Dae Jang Geum pula yang menjadi salah satu pembuka bagi masuknya budaya kami ke negara-negara lainnya. Dimulai dari drama, lalu K-Pop yang membuat banyak anak muda tergila-gila. Kecuali kau saja." Yeo Joon terkekeh.
"Dan Sajangnim juga," sahut Ara.
"Aku? Aku kan bukan anak muda. Sudah masuk kategori ahjussi. Lewat umur." Mereka tergelak bersama.
"Bahkan kau saja tak mau memanggilku oppa. Hanya pada Jae Won kau mau melakukannya."
"B-bukan begitu, Sajangnim. S-saya ---"
"Tak mengapa. Mungkin belum saja."
Matahari mulai tergelincir ke arah barat, tanda waktu zuhur telah tiba. Yeo Joon mengajak Ara mengakhiri kunjungannya. Mereka melanjutkan perjalanan, berhenti sejenak di sebuah masjid di kota Yongin. Ara merasa sangat gembira. Rasanya sudah cukup lama ia tak masuk ke dalam rumah ibadah. Terakhir adalah bersama Jae Won, yang menemaninya saat sendirian melewatkan liburan.
Ah, Jae Won lagi. Ara jadi ingat padanya. Maka usai melaksanakan salat, sebuah doa baik ia tujukan untuk temannya yang lucu itu. Mereka masih dekat, tapi hanya sebatas di kantor saja. Ara sering menolak dengan halus ajakannya. Jarang pula pulang bersama, sebab Jae Won tipe orang Korea tulen, yang senang kumpul-kumpul dulu seusai jam kerja.
Dari Yongin, Sorento biru tua meluncur ke Suwon. Sebuah kota di mana pernah dibangun benteng paling kokoh dengan fasilitas militer terlengkap di Korea pada era Raja Jeongjo dari dinasti Joseon. Ialah Benteng Hwaseong.
Yeo Joon menunjukkan pada Ara bagian-bagian benteng yang sekarang menjadi peninggalan sejarah sekaligus destinasi wisata yang indah.
"Benteng ini memiliki empat gerbang yang masing-masing menghadap pada empat penjuru mata angin. Wisatawan bisa masuk dan naik ke atas benteng dari gerbang yang mana saja. Dan dari atas benteng, view kota Suwon bisa kita nikmati keindahannya." Yeo Joon memang begitu cinta dan bangga pada sejarah moyangnya.
Dua anak manusia itu menghabiskan waktu dengan duduk dan berbincang. Keduanya terlihat nyaman. Bertahan sejak siang hingga sore menjelang, sembari menikmati indahnya kota dan berbagai kendaraan yang berlalu lalang.
"Sajangnim, terima kasih. Terima kasih banyak. Sajangnim baik sekali pada saya. Saya tidak bisa membalas dengan apa-apa." Suara Ara bergetar. Ia terharu dan sangat bahagia.
"Aku tak menginginkan apapun, Ara. Aku hanya ingin membuatmu bahagia. Agar kau yakin, bahwa aku ingin melakukan hal yang sama sepanjang sisa umurku nanti.
"Aku..., aku menyukaimu, Jembar Segara."
Dua pasang netra beradu. Masing-masing hati menyimpan desir yang menderu. Tatapan lembut laki-laki itu, membuat Ara tak kuasa menyembunyikan senyumnya yang malu-malu.
"T-terima kasih. Terima kasih, Yeo Joon Oppa."
"K-kau bilang ap-apa, Ara?!"
***
Cieee, yang dipanggil Oppa, langsung gugup ajaaa. Haha...
Masih datar, selow, dan garing ya ceritanya? Wkwk...
Terima kasih untuk teman-teman yang masih setia membaca dan mengapresiasi. Maafkan kalau masih banyak kekurangan dan kesalahan. Semoga tetap suka yaaa.
***
Notes:
- MBC: Munhwa Broadcasting Corporation, salah satu jaringan televisi dan radio terbesar di Korea Selatan. K-drama Dae Jang Geum (Jewel In The Palace) diproduksi oleh MBC.
- Sageuk: drama Korea yang bersetting era kerajaan dan atau dinasti
- Tentang Benteng Hwaseong dan MBC Dramia bisa dibaca di workku yg berjudul Before ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top