Part 14
Ara, mereka bertanya, apa kau yang akan menjadi istriku? Menurutmu, aku harus menjawab apa?
***
"Shadaqallahul adzim. Alhamdulillahirabbil'alamin."
Ara menutup Al Qur'annya, menaruhnya di atas nakas di sisi kiri tempat tidurnya. Chun Ae masih pulas, semalam ia tidur hampir jam dua setelah kebanyakan meminum soju. Ara sendiri sudah meminta izin masuk kamar sejak sebelum pukul sebelas.
Hampir satu bulan di Korea, sepanjang itu pula ia tak pernah mendengar kumandang adzan di setiap masuk waktunya. Tapi kali ini berbeda. Suara adzan terdengar sayup dari luar kamar.
Ara begitu bahagia, bagai bertemu oase di padang pasir. Tergesa ia menyambar jilbab dan mengenakannya. Begitu membuka pintu, suara adzan terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ara menajamkan pendengaran, sumber suara seperti tak jauh dari tempatnya berdiri. Dilangkahkan kakinya menuju ke sana.
Allahu akbar allahu akbar, laa ilahaillallah.
Sang muadzin selesai tepat saat Ara membuka pintu menuju halaman belakang villa. Matanya tertumbuk pada seorang laki-laki yang berdiri menghadap kiblat, mengenakan gamis warna gelap sepanjang betis, dipadu celana panjang putih, sewarna dengan kopiah yang bertengger di kepalanya.
Laki-laki itu menoleh sebelum Ara sempat menghindar. Dua pasang mata pun beradu.
"S-sa-sajangnim."
"Apa suaraku terlalu keras?"
"Tidak. Maaf." Ara menggeleng, bersiap kembali ke kamarnya.
"Salatlah di kamarmu. Setelah itu kutunggu di luar pagar villa."
Ara mengangguk, lalu kembali ke kamar dengan terburu. Ia mandi dan berwudhu, kemudian melaksanakan dua rakaat, disusul dua rakaat yang wajibnya.
Tak sampai setengah jam dari percakapan singkatnya dengan Yeo Joon, Ara terlihat keluar dari pagar villa. Jaket bulu angsa warna marun membalut tubuhnya. Ia celingukan, mencari di mana sajangnim-nya berada. Lalu sebuah SUV berhenti di depannya. Pintu di sisi pengemudi terbuka, Yeo Joon berjalan cepat menuju sisi kanan mobil, dan membukakan pintu untuk si gadis yang berstatus magang di perusahaannya.
"Naiklah."
"T-tapi, k-kita hanya berdua saja? Apakah tidak apa-apa?" Ara mulai ragu.
"Tak apa. Kau bisa mempercayaiku."
"Harusnya Sajangnim tidak perlu membukakan pintu untuk saya. Maaf, merepotkan," ujarnya. Mereka duduk bersisian sekarang.
"It's okey. My pleasure."
Santa Fe abu-abu tua meluncur meninggalkan Sangumburi. Ara masih tak tahu hendak kemana tujuan mereka pagi ini.
"Kau suka melihat matahari terbit?" Yeo Joon membuka percakapan.
"Semua lukisan alam saya suka."
"Kenapa?"
"Sebab selalu mengingatkan saya pada kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta."
"Kita ke Seongsan. Semoga tidak kesiangan. Aku menunggumu terlalu lama."
"Maaf, Sajangnim."
Jalanan masih cukup lengang. Jarak mereka pun tak terlalu panjang. Masih gelap, ketika mereka tiba di Seongsan.
"Ini tempat terindah menikmati sunrise di Jeju. Oh, bukan. Tapi di Korea."
Yeo Joon mulai menjelaskan. Selanjutnya ia banyak bicara di sepanjang perjalanan menyusuri lima ratusan anak tangga. Jiwa tour guide rupanya masih terbawa.
"Yang sedang kita daki ini adalah sebuah kawah berumur ratusan ribu, bahkan jutaan tahun. Terbentuk sebab aktivitas gunung berapi di masa itu. Negeri kami beruntung dikaruniai tempat seindah dan seunik ini. Masya Allah. UNESCO bahkan sudah menetapkan sebagai salah satu warisan dunia." Yeo Joon meneruskan penjelasannya.
Ara berhenti, terlihat mengatur nafasnya. Yeo Joon tertawa.
"Minumlah dulu. Maaf kalau ini memberatkanmu." Diulurkannya sebotol air hangat untuk Ara.
"Terima kasih, Sajangnim." Ara meminum sedikit saja.
"Agak sedikit berat, tapi semua akan terbayar saat kita tiba di atas nanti. Trust me." Satu anggukan Ara berikan.
Mereka berdua tiba sesaat sebelum mentari menunjukkan jingganya. Benar yang dikatakan Yeo Joon. Lukisan alam pagi ini membayar kontan beratnya pendakian. Takbir berkali meluncur dari lisan Ara. Ia bahagia.
Yeo Joon pun sama. Sudah agak lama ia tak menikmati apa yang menjadi kesenangannya saat masih berstatus mahasiswa. Dengan terampil ia mengabadikan detik-detik munculnya sang surya dengan kamera.
Sunrise di Seongsan Ilchulbong memang indah. Sebab itulah ia dikenal pula sebagai Seongsan Sunrise Peak.
Hampir satu jam mereka di sana, dan Ara tak juga berhenti mengagumi kebesaran Sang Maha Kuasa.
"Kau ingin di sini berapa lama lagi?" tanya Yeo Joon.
Ara menoleh. Pandangan mereka lagi-lagi bertemu. Ara tersipu, Yeo Joon membisu.
Meninggalkan Seongsan Ilchulbong, Yeo Joon mengajak Ara ke sebuah rumah yang terletak tak jauh dari pantai. Seorang perempuan berusia enam puluhan menyambut mereka, memeluk Yeo Joon dengan sukacita. Perempuan yang menutup kepalanya dengan semacam turban itu lantas berteriak memanggil seseorang dalam bahasa Korea yang terdengar sedikit asing bagi Ara. Seorang pria menjawab panggilan tak kalah keras, lalu muncul ke hadapan mereka bertiga.
Pria itu melakukan hal yang sama, memeluk Yeo Joon penuh kegembiraan. Kemudian obrolan ketiganya mengalir penuh kehangatan. Ara masih tak begitu paham apa yang menjadi topik pembicaraan.
"Mereka sudah seperti orang tua bagiku. Dulu, setiap membawa wisatawan ke sini, aku selalu menginap di sini, di rumah ini," jelas Yeo Joon pada Ara.
Ia pula menjelaskan bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa atau dialek Jeju. Yeo Joon sendiri menguasai dialek Jeju, yang cukup berbeda dengan dialek orang Seoul dan orang Korea pada umumnya.
Ketiganya kembali berbincang riang. Suami istri itu terlihat melempar canda pada Yeo Joon, yang disambut dengan tawa kecil, kemudian suara ketiganya melembut, lalu diam, dan memandangi Ara dengan senyum yang seakan mengandung berjuta makna. Ara salah tingkah karenanya.
"Ara, mereka bertanya, apa kau yang akan menjadi istriku? Menurutmu, aku harus menjawab apa?" Kali ini Yeo Joon memilih berbicara dalam bahasa Inggris.
"S-saya t-tidak tahu, S-Sajangnim." Ara menunduk dalam. Desir-desir di dada sekuat tenaga ia redam.
"Aku juga tidak tahu. Tapi aku akan mengikuti apapun jawabanmu. Dan seandainya kau menjawab ya, maka aku akan sangat bahagia."
"M-maksudnya bagaimana?"
Yeo Joon tertawa. Pada pasangan paruh baya itu ia kembali berbicara, kali ini menggunakan bahasa Korea yang diketahui pula oleh Ara.
"Dia belum mau menjawab. Tapi kalian bisa membantuku dengan doa."
Obrolan usai. Mereka mengajak Yeo Joon dan Ara makan bersama. Aroma harum masakan tercium dari atas meja makan. Citarasa pedas tertangkap dari warna merah dan irisan cabai di atas potongan ikan.
"Hmm, galchi jorim. Kau harus mencicipi ini, Ara. Salah satu makanan khas dari Jeju-do. Dan bikinan ibu adalah yang terenak di Jeju. Sayang, ibu tak mau membuka restoran. Beruntung sekali, ibu selalu dengan senang hati memasaknya untukku."
Perempuan paruh baya itu tertawa senang. Yeo Joon memang tak pernah berubah. Di balik sifatnya yang terlihat kaku, sebenarnya ia sangat ramah dan hangat.
Yeo Joon mengambilkan piring untuk Ara, mengisinya dengan masakan berbahan utama ikan hairtail. Bumbu galchi jorim yang pedas menyamarkan bau amis dari ikan yang di tempat Ara dikenal sebagai ikan layur.
Mereka mengucap bismillah bersama. Perasaan Ara entah bagaimana menjelaskannya. Kegalauan datang melanda. Ia teringat ibunya.
Usai sarapan dan berbincang lagi sebentar, Yeo Joon mengajak Ara berpamitan. Sebuah pelukan hangat Ara dapatkan dari seseorang yang dipanggil ibu oleh sajangnim-nya. Dia mengatakan sesuatu yang Ara tak tahu apa artinya.
"Ibu mendoakanmu, Ara. Mendoakan yang terbaik untuk kita."
Yeo Joon memeluk pasangan paruh baya itu. Berempat saling membungkukkan badan. Kemudian melempar salam perpisahan.
Jarum jam di pergelangan kanan laki-laki itu bertumpuk di angka sembilan. Ia memacu mobil dengan kecepatan sedang. Tujuan mereka tak jauh lagi. Sebuah tempat, yang membuat Ara kembali merasa bagaikan mimpi.
"Jeju Folk Village!" Ara memekik. Yeo Joon tertawa.
Tak bicara apa-apa, Yeo Joon turun dari mobil. Ara mengikuti, juga tanpa bicara.
Rupanya ia telah memesan tiket masuk pada seseorang yang telah menunggunya. Seorang perempuan muda, yang terlihat akrab dengannya. Ara mengalihkan pandang. Tak tahu kenapa, tapi ia merasa tak senang melihat kedekatan mereka. Hmm.
"Di sini Dae Jang Geum belajar tentang ilmu pengobatan, Ara. Kau akan mendapatkan tour guide istimewa. Dan khusus untukmu, dia bersedia untuk melakukannya dengan cuma-cuma. Free of charge," canda Yeo Joon.
"Oh ya? Siapa perempuan itu?"
"Kenapa?"
"Ehk, m-maksud saya, s-siapa tour guide-nya? Ji Jin Hee kah, Sajangnim? Atau..., Min Jeong Ho?" Ara langsung menyesal menyadari pertanyaan bodohnya yang terucap begitu saja.
"Hemm, itu ya yang kau harapkan? Jadi, apa kau akan kecewa kalau tour guide itu adalah aku?"
"S-Sajangnim...." Ara kehabisan kata.
Sebaliknya, Yeo Joon tak menunggu persetujuan dari lawan bicara. Ia berjalan saja, sambil mulai menjelaskan mengenai desa buatan di mana mereka sedang berada.
Jeju Folk Village adalah sebuah museum berbentuk desa tradisional yang menjadi replika kehidupan rakyat Korea di masa dinasti kerajaan Joseon. Di area seluas kurang lebih 16 hektar itu terdapat lebih dari seratus rumah tradisional dan lebih dari 8000 artefak yang lazim digunakan di era tersebut.
"Kalau saja Dae Jang Geum tak mengambil lokasi syuting di sini, mungkin tempat ini bukan sesuatu yang istimewa bagimu."
"Tentu saja tidak begitu, Sajangnim. Buat saya, budaya Korea itu istimewa. Maka setiap tempat yang saya datangi juga istimewa. Apalagi tour guide spesial yang mendampingi saya, makin membuat perjalanan saya menjadi istimewa."
Apa yang Ara katakan tulus dari hati, bukan sekadar basa-basi. Yeo Joon tahu itu, dan membuat harapannya pun meninggi.
Tak lama di Jeju Folk Village, yang terpenting bagi Yeo Joon, ia sudah mengajak Ara mengunjungi Dae Jang Geum Mini Theme Park. Di sanalah terdapat sebagian besar lokasi yang menjadi latar belakang drama Jewel In The Palace di Jeju.
Masuk waktu zuhur, mereka beranjak pergi. Ara menolak saat ditawari makan siang. Perutnya masih terasa kenyang. Mereka berhenti sejenak di sebuah tempat pengisian bahan bakar untuk wudhu. Yeo Joon menggelar selembar matras, kemudian menjamak zuhur dan asar berjamaah.
Destinasi selanjutnya agak jauh. Meski begitu, perjalanan tak terasa membosankan. Topik yang diangkat Yeo Joon memang menarik, tentang mesin, manufaktur, sales, tender, serta banyak hal berkaitan dengan profesi yang mereka geluti.
Yeo Joon sengaja ingin melihat sejauh mana kemampuan Ara dalam urusan pekerjaan. Ia terlanjur mencintai dunia kerjanya. Ia menyukai gadis itu, dan berniat menjadikannya partner. Bukan hanya partner hidup, tapi Juga partner kerjanya. Dan ia makin kagum melihat tangkasnya Ara mengimbangi topik kali ini.
Hampir satu jam perjalanan, mobil melambat dan berhenti. Lagi, tak bicara apapun, Yeo Joon turun dan melangkah begitu saja. Ara mengikuti, juga tak bicara. Mereka menyusuri jalanan dengan pagar kayu yang membatasi rerimbunan tumbuhan. Masih saling diam hingga Yeo Joon berhenti. Pemandangan laut dengan batu besar menghampar di depan mata.
"Kau tahu tempat ini?"
"Oedolgae Rock!" Ara menyahut antusias.
"Laut dan batuan itu yang menjadi latar belakang saat Jang Geum bertekad untuk kembali ke istana," sambungnya lagi.
"Ckck, apa semua adegan Dae Jang Geum kau hafal di luar kepala, Ara?"
Ara terkekeh. Yeo Joon mengusap puncak kepala gadis itu. Gemas. Ara mendadak terpaku. Keduanya lalu membeku.
"Maaf, aku refleks saja. Maaf kalau kau tak suka. Emm, ah ya, kau tahu batu itu dikenal juga sebagai batu kesepian. Konon dia adalah seorang perempuan yang menunggu suaminya yang hilang di lautan. Makanya disebutlah batu kesepian." Mencoba membelokkan pembicaraan.
"Ah ya. Mungkin seperti Malin Kundang di negeri saya. Yang dikutuk menjadi batu karena durhaka pada ibunya."
Canggung menyelimuti keduanya. Tak ada pembicaraan lagi. Mereka berlalu. Bukan kembali ke Sangumburi. Tanpa kata, Yeo Joon membawa Ara menyusuri rute 7 Jeju Olle Trail. Jalan setapak sebagai jalur pejalan kaki yang berada hampir di sepanjang garis pantai di Pulau Jeju.
"Maaf, Sajangnim. Apakah ini tidak mengganggu teman-teman yang lain? Saya merasa tidak enak." Ara memecah kebisuan. Menyampaikan rasa tak enak hatinya.
"Tak usah kau pikirkan yang demikian. Mereka sudah dewasa, sudah pasti tahu kalau kau ada bersamaku sekarang ini. Tapi kami tak pernah sibuk mencampuri urusan satu sama lain. Bisa jadi mereka justru senang kalau tahu aku pergi denganmu."
"Kenapa begitu?"
"Mereka semua ingin aku segera menikah. Sedangkan aku hampir tak pernah dekat dengan perempuan, kecuali Chun Ae. Satu dua dari mereka bertanya, kenapa tidak menikahinya saja? Aku tidak bisa. Han yang biasanya menjelaskan, bahwa itu karena kami memiliki keyakinan yang berbeda. Meski sebenarnya bukan karena itu saja.
"Dan seperti liburan kami yang sudah-sudah, hari kedua memang acaranya bebas. Mereka tak akan kehabisan destinasi di tempat seindah Jeju. Bahkan sekalipun mereka sudah pernah mengunjungi, sebab tak ada yang membosankan di sini.
"Kalaupun ada yang terganggu dengan kepergian kita yang cuma berdua. Orang itu pasti Han dan..., Jason."
"Oh ya?"
"Hemm. Han selalu mengingatkan aku untuk tak berduaan dengan perempuan. Dia memegang aturan dalam agama kita dengan sangat baik. Untuk hal yang satu ini, kadang aku masih berpikir bahwa asalkan aku menjaga hatiku, menjaga keimananku, berduaan dengan lawan jenis aman saja.
"Kuakui, untuk hal yang satu ini aku masih banyak terpengaruh oleh lingkungan dan kebiasaan. Tak seperti Han, mungkin karena faktor usia juga."
Yeo Joon terkekeh. Ia lalu menunduk, memungut sebuah kerikil dan melemparnya ke arah lautan. Wajahnya terlihat riang seperti bocah menemukan mainan.
"Kalau Jae Won Oppa?"
"Kau tertarik padanya?"
"Eh, m-maksud saya, kenapa dia tak suka?"
"Hemm. Sejak menjadi seorang muslim, ia tak suka dengan Jeju. Sebab dia tak bisa lagi menikmati heuk dwaeji."
"Apa itu, Sajangnim?"
"Babi hitam panggang khas Jeju. Khas, sebab babi hitam itu hanya hidup di wilayah ini. Dan orang bilang, heuk dwaeji adalah makanan ternikmat di Jeju. Itu satu dari dua hal yang sulit Jason tinggalkan."
"Yang satu lagi?"
"Soju." Yeo Joon melirik Ara.
"Sajangnim dekat sekali dengan Jae Won Oppa?"
Yeo Joon tersenyum kecut. Sejujurnya ia tak suka mendengar panggilan Oppa yang selalu Ara sebutkan untuk Jae Won.
"Hemm. Sama dekatnya dengan aku dan Chun Ae. Sama dekatnya dengan dia dan Chun Ae."
Ara diam, tak terlalu paham. Sebenarnya banyak yang ingin ia tanyakan, tapi ia memilih untuk menikmati pemandangan di sekitar mereka saja.
"Dia juga tak suka kita pergi berdua," kata Yeo Joon lagi.
"Kenapa?"
"Dia menyukaimu dari sejak pertama kalian bertemu."
"Dia mengatakan itu pada Sajangnim?"
"Tidak. Tapi aku tahu itu. Karena...,"
Ara menghentikan langkah, menoleh pada direkturnya. Dari matanya, Yeo Joon tahu gadis itu menunggu kalimat berikutnya.
Yeo Joon menepi, menaruh sikunya pada pagar kayu. Dipandanginya lautan nan cantik dan biru. Ara menyusul, melakukan yang sama di sebelah sajangnimnya.
"Kau tahu? Orang yang memiliki kesamaan biasanya bisa mengerti tanpa harus bertanya."
"Saya tidak paham, Sajangnim."
"Aku tak pernah bertanya padanya. Dia juga tak pernah mengatakannya padaku. Tapi aku tahu Jason menyukaimu, karena aku sama dengan dia."
"Sama dengan Jae Won Oppa?"
"Ya. Sama dengan Jason."
Hening.
"Kau tak tanya, apa yang membuat kami sama?"
"Tidak perlu, Sajangnim. Saya sudah mengerti yang Anda maksud. Maafkan saya."
"Ya. Kau benar. Aku menyukaimu."
***
Hai, ketemu lagi dengan Ara dan Sajangnimnya.
Di bawah aku kasih beberapa gambar dari lokasi-lokasi yg kusebutkan di atas. Kuambil dari instagram, sumber fotonya nggak kupotong kok.
Terima kasih sudah mau menunggu dan membaca.
See you soon. InsyaAllah.
***
Sunrise di Seongsan Ilchulbong
Oedolgae Rock (Batu Kesepian)
Salah satu rute Olle Trail di Jeju
Jeju Folk Village.
Adegan Jang Geum berdiri memandang lautan. Settingnya di area Oedolgae Rock. Yang kelihatan siluet orang berdiri itu Jang Geum.
Galchi jorim. Masakan berbahan dasar ikan hairtail dengan kuah pedas. Ikan hairtail di Indonesia dikenal sebagai ikan layur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top