Part 11.
My love for you will live in my heart
Until eternity's through....
I see your smile in the eyes of my child
I am who I am, Mama, Thanks to you
***
SUV biru tua perlahan meninggalkan apartemen Chun Ae. Meluncur santai membelah jalanan Yongsan-gu menuju Gangseo-gu. Dua penumpangnya saling diam, masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Kau jangan memberinya harapan, Yeo Joon." Chun Ae memecah kebisuan.
"Maksudmu?" Yeo Joon sok tidak tahu.
"Kau, jangan memberi harapan pada Ara."
"Aku tidak memberinya harapan. Sebaliknya, aku yang berharap bisa menikahinya."
"Heh, kau jangan bercanda!"
"Apa wajahku terlihat bercanda?"
"Emm, tidak sih. Hei, tapi kau tahu tidak sih, dia hanya punya ibunya? Dan yang ibunya punya hanya dia. Menikahinya berarti memisahkan dia jauh dari ibunya. Kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kau akan mengikutinya ke Indonesia."
"Atau bisa saja aku yang akan mengajak ibunya ke sini, kan?" sahut Yeo Joon.
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa harus Ara?"
"Kau tahu kan, aku 32 sekarang. Rasanya sudah mulai bosan kalau hari-hariku hanya diisi dengan urusan dunia dan pekerjaan saja. Aku juga ingin menikah. Memiliki seseorang yang menjadi tempatku berbagi bahagia, mendengar ceritaku, juga segala keluh dan kesah. Memiliki anak-anak yang membuat segala penat menghilang setiap kali tiba di rumah. Aku menginginkan itu semua.
"Ya. Aku menginginkan itu." Kalimat terakhir Yeo Joon lebih terdengar sebagai gumaman.
"Ya tapi kenapa harus Ara?"
"Ya kenapa juga kalau Ara?"
"Emm, kau... kau pasti akan jauh dariku. Kalaupun kalian menikah dan tinggal di sini, kau pasti akan menjauh dariku."
Yeo Joon melirik perempuan di sampingnya. Raut sedih tertangkap di sana. Chun Ae tak siap kehilangan Yeo Joon, yang selama ini selalu ada untuknya.
"Kau ini kenapa sih? Menyebalkan sekali. Harusnya kau bahagia kalau aku menikah."
"Oke. Aku bahagia. Tapi aku harus tahu alasanmu, kenapa harus Ara?"
"Oke. I will explain it to you."
Yeo Joon menarik napas sebelum melanjutkan bicara.
"Berkeluarga berarti makin banyak tanggung jawab yang aku punya. Tentu saja aku akan tetap dengan bisnisku. Tetapi memiliki pasangan yang memiliki pengetahuan tentang bisnis yang aku jalankan, tentunya satu step lebih baik bukan?
"Dalam hal ini, aku dan Ara satu dunia. Aku tahu dari rekan-rekan kantornya di Jakarta kalau dia gadis yang giat dan pekerja keras. Dia juga cerdas dan pemikir. Kalaupun dia tak mau berdiam di rumah, setidaknya kami masih bisa bersama sebagai partner dalam perusahaan.
"Dan yang terutama, keyakinan kami sama. Sejauh ini, aku melihatnya sebagai gadis yang cukup taat menjalankan Islamnya. Dia selalu salat begitu memasuki waktunya. Bahkan baru dua pekan di sini, aku sudah menemuinya berpuasa beberapa kali saat hari Senin dan Kamis." Yeo Joon berhenti sejenak.
"Apa gadis Seoul tak ada yang seperti itu?"
"Sampai saat ini aku belum pernah menemui yang seperti itu. Bukan sekali dua kali aku bertemu muslimah Korea yang secara fisik cukup menarik, tapi dunia kami berbeda."
"Oke. Aku mengerti. Tapi...." Chun Ae mengalihkan pandangan sebelah kanan kaca jendela.
"Kau kenapa sih? Tak suka pada Ara?"
"Bukan begitu, Yeo Joon-ah. Aku hanya merasa kalau...."
"Kalau apa? Katakan!" Terlalu bersemangat hingga ia terkesan menghardik. Sungguh, Yeo Joon tak sengaja.
"Iya, iya. Baik, Sajangnim."
Yeo Joon tertawa, "Maaf kalau aku terlalu keras, aku tak bermaksud seperti itu. Tapi kau menyebalkan kalau sudah memanggilku begitu."
"Mau dilanjutkan atau tidak yang tadi?"
"Tentu saja. Memangnya kau merasa apa?"
"Aku merasa kalau... Jae Won juga menyukainya."
Hening. Sepi. Sunyi. Pembicaraan seperti berakhir begitu saja.
Yeo Joon memutar lagu asal saja. Suara Richard Marx mengalun, menimpali riak sungai Han yang terlihat tenang.
Sisa perjalanan diisi dua manusia yang saling diam. Sesekali mengalir senandung dari bibir Yeo Joon saat lagu kesukaannya terdengar.
My love for you will live in my heart
Until eternity's through....
I see your smile in the eyes of my child
I am who I am, Mama, Thanks to you
(Mama Thanks To You - Richard Marx)
Chun Ae melirik pria yang empat tahun lebih muda darinya. Ditepuknya dua kali paha Yeo Joon, lalu Chun Ae meletakkan tangan kirinya di sana. Dengan tangan kanan, ia menyusut bening di kedua sudut matanya sendiri.
Diam-diaman berlanjut sampai di kantor. Bahkan hingga seharian itu, situasi kantor yang biasanya santai dan ceria menjadi sedikit terganggu karena salah dua dari penghuni utamanya lebih banyak diam dari biasanya.
"Apakah aku melewatkan sesuatu, Noona?" tanya Jae Won usai melaksanakan salat maghrib.
"Kenapa memangnya?" Chun Ae balik bertanya, sembari membereskan barang-barang yang akan dia bawa pulang.
"Si bos besar lebih banyak diam."
"Bukannya dia memang begitu, Jae Won-ah? Kau seperti tak kenal dia saja."
"Ya tapi kamu juga melakukan hal yang sama, Noona. Dan kenapa hari ini Ara tak ke kantor?"
"Ini pertanyaan ke berapa tentang Ara? Aku kan sudah berkali juga menjawabnya."
"Tapi aku merasa ada yang masih kau sembunyikan, Noona. Let me know, please."
"Oke. Kemarin malam sampai di apartemen Ara pingsan."
"Hah? Pingsan? Kenapa kau tak memanggilku? Aku lho yang mengantarnya sampai di depan pintumu."
"Aku tak tahu. Dia tak bilang kalau kau antar."
"Lalu kau urus sendiri? Atau...."
"Aku memanggil---"
"Si bos besar? Huh! Pantas saja aku melihat mobilnya kembali ke arah apartemenmu. Tapi saat kutanya, dia bilang, bukan urusanmu." Wajah Jae Won tertekuk. Ia cemberut.
"Ya. Aku meneleponnya. Dia yang pertama terlintas di kepalaku."
"Pertama. Dan satu-satunya. Kau memang tak pernah menganggapku ada!" Jae Won kesal. Ia beranjak menuju mejanya, menyusul Chun Ae mengemasi barang bawaan, dan segera pulang.
"Hei, kenapa jadi begitu, Jae Won-ah?!"
"Aku juga akan pulang sekarang. Ikut mobilmu ya, Noona?"
"Sayangnya aku nggak bawa mobil. Aku berangkat dengan Yeo Joon."
"Dia ke apartemenmu? Jangan bilang dia ke sana khusus untuk menjemputmu. Bukan begitu kan ceritanya?" Rupanya feeling Jae Won sudah ke arah yang benar.
"Hemm. Dia mengantar juk untuk Ara." Chun Ae menjawab dengan hati-hati.
"Baiklah. Aku pulang sekarang."
"Kita pulang bertiga." Seperti yang sudah-sudah, Yeo Joon sering sekali muncul tiba-tiba.
"Oke. Siapa takut? Kau akan ke apartemen Chun Ae dan berhenti di sana kan? Kebetulan. Aku juga akan ke sana," sahut Jae Won. Rasa kesal tertangkap jelas dalam bicaranya.
"Santai saja, Mr. Jason Sung."
Tak ada senyum dari Yeo Joon. Datar, sesuai default-nya. Ia bergegas pergi meninggalkan office. Chun Ae mengekori. Jae Won melakukan hal yang sama.
Selanjutnya, hanya kerlip lampu kota Seoul yang meramaikan perjalanan mereka. Ketiganya diam. Bagai aliran Han-gang, yang terlihat tenang tapi sesungguhnya beriak.
Senandung kecil sesekali meluncur dari bibir Yeo Joon. Sedangkan Jae Won yang duduk sendirian di deret belakang sudah sedari tadi menyumpal kupingnya dengan lagu-lagu Korea kesukaannya. Selera musik mereka berdua memang berbeda jauh.
Sesampainya di apartemen Chun Ae, bukannya menuju tempat parkir, Yeo Joon malah menghentikan mobilnya di depan lobi.
"Aku langsung pulang saja," ucapnya sambil menekan tombol unlock.
"Serius, kau tak ikut turun?" Chun Ae mengerenyit.
"Ya, aku langsung pulang saja."
"Ya sudah sih, Noona, terserah dia saja. Memangnya kau bisa mengaturnya? Berani benar kau mau mengatur bos besar."
Sindiran Jae Won membuat Yeo Joon tersenyum. Ia balas menyindir, "Kau memang anak muda yang peka dan berbakat, Jason."
"Tentu saja. Thanks, Hyeong. Be careful," jawab Jae Won santai. Ia melenggang meninggalkan mobil.
"Kupikir kau akan membawakannya makan malam?" Sebuah pertanyaan yang sejak tadi disimpan Chun Ae akhirnya keluar juga.
"Sudah. Aku sudah memesan samgyetang dan meminta pihak restoran mengantarnya ke sini. Kalian makanlah bertiga. Aku pulang dulu."
"Baiklah." Chun Ae bersiap turun. Tapi Yeo Joon menarik tangannya.
"Apa lagi?"
"Maafkan aku."
"Untuk apa?"
"Untuk situasi kurang menyenangkan hari ini."
"It's okey. Aku juga berterima kasih."
"Untuk apa?" Yeo Joon balas bertanya.
"Samgyetang." Seulas senyum tersungging di wajah Chun Ae.
Ia turun dari mobil, lalu kembali membalikkan badan setelah berjarak sekira dua meter. Yeo Joon buru-buru membuka kaca jendela.
"Hwaiting, Yeo Joon-ah!" serunya lagi.
Yeo Joon tertawa lepas dan membalas dengan teriakan, "Kau memang yang terbaik! Gomawo, Chun Ae. Salam untuk...."
Terlambat. Chun Ae sudah balik kanan maju jalan. Mungkin dia melakukan hal itu dengan sengaja.
Yeo Joon menutup kembali kaca mobil sebelah kanan depan, lantas memacu Sorento biru tuanya menuju apartemennya tak jauh dari sana.
Tiba di huniannya yang nyaman, yang ia lakukan pertama kali adalah mengeluarkan ponsel. Ia hendak mengirim pesan untuk Ara. Tapi ia kalah cepat, pesan dari Ara sudah lebih dulu ada di barisan teratas chatnya.
[Terima kasih, Sajangnim. Harusnya tidak usah repot. Terima kasih. Terima kasih banyak.]
Yeo Joon tersenyum.
[Kau sudah sehat, Ara?]
Hingga lima menit masih belum ada jawaban. Mungkin dia sedang makan malam bersama Chun Ae dan Jae Won.Pikir Yeo Joon.
Ia beranjak untuk mandi. Lalu melaksanakan salat isya dan naik ke mezanin setelahnya. Seperti biasa, ia selalu berusaha menambah hafalan setiap kali urusan dunianya hari itu selesai.
Mendekati pukul sembilan Yeo Joon menutup Al Qur'annya. Kedua netranya memandang Namsan Tower yang terlihat menjulang dari apartemennya di lantai delapan. Hamdalah terlontar berkali-kali dari lisannya. Bersyukur atas segala pencapaian yang Allah izinkan baginya. Hanya satu yang belum dia punya, pendamping hidup.
Ah, Yeo Joon jadi teringat kembali pada pesannya yang belum terbalas tadi. Ia meraih ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi lipat yang menghadap ke kaca. Pandangannya sudah beralih ke layar handphone. Senyumnya mengembang, ketika menemukan balasan yang diam-diam ia nantikan.
[Alhamdulillah, saya sehat, bahkan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Terima kasih untuk samgyetang yang Sajangnim kirimkan. Terima kasih. Terima kasih banyak.]
Begitu saja sudah membuat Yeo Joon teramat bahagia. Ia bahkan mengurungkan niatnya untuk menanyakan keberadaan Jae Won sekarang ini.
[Tidak perlu berlebihan. Besok kujemput pukul 7.30. Pakailah baju yang nyaman untuk kunjungan ke pabrik.]
[Oh ya, aku akan menraktirmu. Kita sarapan berdua ya.]
[Maksudku, kita sarapan bersama.]
Apa bedanya?
Tak jauh dari tempat Jeo Yoon duduk, Ara sedang melakukan hal yang sama. Duduk sambil tersenyum sendiri menatap layar handphone-nya. Desir-desir itu datang lagi, dan makin menjadi manakala satu lagi pesan ia terima.
[Baik, Sajangnim. Terima kasih. Terima kasih banyak.]
[Gut nait, Ara. Annyeonghi jumuseyo.]
Ara tersenyum. Yeo Joon tersenyum. Malam pun ikut tersenyum.
***
Aku nulisnya sambil senyum.
Kamu, bacanya sambil senyum juga nggak? Hehe...
*Notes:
- juk: bubur
- samgyetang: sup ayam ginseng khas Korea
- hwaiting: bisa diartikan sebagai "semangaaatt!!"
- jal jayo: selamat tidur (biasanya pada orang yang sudah akrab atau dianggap dekat)
- annyeonghi jumuseyo: selamat tidur (biasanya pada orang yang belum terlalu dekat)
Kemarin sama Ara, sajangnim pakai jal jayo. Sekarang pakai annyeonghi jumuseyo. Memang sengaja kok. Nggak tau deh, aku ngerasanya kayak lebih gimana gitu. Kayak si Yeo Joon nih kemarin diem tapi pengen kasih kesan sok-sok dekat. Sekarang jadi agak-agak jaga jarak biar kerasa kode-kodean alias pedekatenya. Halah...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top