Part 1.

Maafkan aku. Kupikir itu marga, dan kamu malu menggunakannya. Maka aku tersinggung, sebab nama depanmu sama seperti margaku. Sung.

***

Jam di pergelangan tangan kanannya mendekati setengah sepuluh. Ara menyeret koper menuju pintu keluar terminal 1 bandara Incheon. Sengaja tak memakai troli, ia hanya membawa satu ransel di punggungnya dan satu tas jinjing yang ia taruh di atas koper 24 inch berisi keperluannya untuk empat bulan ke depan.

Tak sempat mengagumi kemegahan bandara Incheon, sebab menurutnya setiap bandara utama di suatu negara pasti luas dan megah. Tapi untuk kebersihan dan suasananya, ia menilai bandara yang beroperasi sejak tahun 2001 itu memang jauh lebih baik dari Soekarno Hatta. Maklum, hanya dua itu saja bandara utama suatu negara yang pernah ia singgahi.

Sampai di pintu keluar Ara mencari-cari seseorang yang memegang kertas bertuliskan namanya. Pihak office telah memberi informasi akan ada dua staf yang menjemputnya, Kim Chun Ae dan Sung Jae Won. Sebenarnya ia sudah pernah bertemu dengan Chun Ae, tapi ia mendadak kesulitan mengingat wajahnya begitu melihat wajah-wajah yang setipe bertebaran di sana.

Jembar Segara - Indonesia

Matanya menemukan kertas bertuliskan namanya. Bergegas ia menghampiri dengan senyum lega.

"Annyonghaseyo, Chun Ae eonni dan Mr. Sung. Saya Jembar Segara. Ara," sapa Ara dalam bahasa Korea. Ia memang telah belajar cukup lama, dan lawan bicaranya tahu itu.

"Ah, ya ya. Akhirnya kita bertemu juga selain via email ya. But, please, jangan panggil aku mister, panggil saja oppa. Jae Won oppa."

Pria bermarga Sung itu tertawa. Ia meralat panggilan Ara untuknya. Tak mau terlihat lebih tua dengan panggilan yang menurutnya terlalu formal.

"Baiklah, kita langsung ke Seoul saja."

Jae Won menyetir mobil dengan santai. Sesantai obrolan yang mengalir sepanjang 76 km perjalanan mereka. Ara sendiri tak butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan dua orang yang akan menjadi rekan kerjanya selama empat bulan ke depan. Mungkin karena topik perbincangan mereka tak lepas dari pekerjaan yang memang menjadi penghubung mereka sehari-hari.

Sesekali kedua netra gadis keturunan Jawa itu mengamati kanan kiri. Ia berkata dalam hati, Bener kata Mas Heru, orang Korea memang nasionalismenya tinggi. Di jalanan, hampir nggak ada mobil selain brand dalam negeri. Peralatan elektronik yang biasa mereka pakai sehari-hari juga begitu. Dan satu lagi, makanan. Mereka sangat menggemari makanan dari negerinya sendiri.

Dua yang terakhir Ara belum melihat sendiri, tapi ia percaya sebab ia pun pernah membaca mengenai hal tersebut.

Jae Won menghentikan laju mobilnya di sebuah kedai. Mereka bertiga turun dari mobil untuk sarapan. Ara tak tahu namanya, ia menyebutnya sebagai bubur ayam, dan ia yakin itu termasuk makanan halal. Tentunya hanya dalam hati saja.

"Ini namanya dakjuk. Kalau di Jakarta namanya bubur ayam. Halal." Jae Won seolah mengerti apa yang Ara pikirkan.

"Sarapan kesukaan Heru," sahut Chun Ae, disambut tawa dua lainnya.

"Ada banyak jenis bubur di sini. Kamu nanti akan tinggal bersama Chun Ae. Biar dia memasakkan semua jenisnya untukmu. Dia jagonya masak bubur, sampai suaminya meninggalkan dia gara-gara setiap hari diberi bubur."

Laki-laki itu kembali terbahak. Chun Ae menghadiahi satu tinju di lengannya.

"Beginilah kami, Ara. Kamu tak perlu sungkan-sungkan. Di office, kami semua dekat seperti keluarga."

"Dan ada tiga orang yang muslim di office. Kita bisa salat berjamaah."

Jae Won memang sedikit bawel. Ia selalu bicara dan memberi keterangan lebih dari yang diminta. Begitulah.

"K-kita?"

"Ya, kita. Aku termasuk dari yang tiga itu. Jadi kamu tenang saja, kamu tak akan kesulitan menemukan makanan halal dan melaksanakan ibadah selama di sini."

Senyum Ara mengembang lebar. Ia bersyukur tiada henti. Allah selalu memberikan kemudahan untuk dirinya.

"Alhamdulillah. Kamsahamnida, Jae Won Oppa."

"Ah, ya ya. Aku suka panggilanmu."

Mereka mengakhiri makan pagi dan segera meluncur menuju office yang terletak di distrik Gangseo.

"Oh ya, tadi sajangnim berpesan padaku untuk langsung mengantarmu menemuinya sebelum kamu berkenalan dengan yang lain," ucap Chun Ae.

Ara bahkan belum sempat memoleskan bedak dan lipstik tipis-tipis seperti biasanya. Wajahnya masih polos, tak terlihat seperti seorang pekerja kantoran. Di airport tadi ia hanya sempat cuci muka dan gosok gigi, mengoleskan pelembab, dan mengganti baju dengan yang lebih rapi.

"T-tapi, aku merasa penampilanku belum pantas untuk menemui beliau."

"Tak apa. Dia mengerti kondisimu."

Chun Ae sudah mengetuk pintu, tak ada kesempatan bagi Ara untuk mengajukan argumen yang lain lagi.

"Maaf, Sajangnim. Ara sudah datang."

"Hemm. Suruh masuk saja." Datar suara yang terdengar dari dalam.

Ara menelan ludah. Dihelanya napas panjang dan melepasnya perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mencoba menguasai keadaan, meyakinkan diri bahwa tak ada masalah dengan kondisinya saat ini.

"Santai saja, Ara. Dia memang datar, tapi baiknya luar biasa. Percayalah." Kim menguatkan.

"Terima kasih," jawab Ara sambil.melempar senyum. Mencoba mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tepatnya mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Ia sudah melewati pintu sekarang. Berdiri di hadapan pria muda yang menduduki posisi sebagai CEO pada perusahaannya sendiri.

"Duduklah."

Ia bicara tanpa mengangkat wajahnya. Tampak serius membaca selembar kertas. Mungkin *Purchase Order bernilai besar.

"Baik, Sajangnim. Terima kasih."

Ara duduk. Menunggu sang direktur yang masih menunduk.

"Sung Jembar Segara. Sung. Apakah itu semacam marga? Kalau iya, kenapa kamu tidak menuliskannya dengan lengkap. Kamu malu dengan margamu?!" Dia mendongak, menatap tajam mata Ara.

Kenapa juga harus hal ini yang ditanyakan?

Ara mendadak gelisah. Gugup. "B-bukan, Sajangnim. Itu---"

"Bagi kami orang Korea, marga itu sesuatu yang menjadi kebanggaan. Warisan leluhur, yang sampai kapanpun akan melekat pada anak keturunan kita." Nada suara pria itu meninggi.

"T-tapi itu b-bukan marga."

Perasaan bersalah mendera. Ara merasa telah melakukan sebuah kebohongan. Ia terpaksa. Baginya itu sebuah aib yang mesti disembunyikan, apalagi di depan orang yang satu leluhur dengan kakeknya, sang pemilik marga yang melekat pada namanya.

"Lalu apa?"

"Emm, dalam bahasa Jawa, sung itu berarti ... emm, memberi. Ya, memberi."

Satu dari tiga kalimat bijak Ki Hajar Dewantara terlintas di kepalanya. Ing ngarso sung tuladha, artinya di depan memberi teladan. Ya, sung di sini artinya memberi.

"So ...."

"Jembar segara adalah sebuah frasa khusus dalam bahasa Jawa yang artinya mudah memaafkan. Jadi, Sung Jembar Segara artinya orang yang mudah memberi maaf. Tidak suka menyimpan dendam. Bukankah nama adalah doa bagi pemiliknya?"

Tatapan tajam yang Ara terima perlahan melembut. Sekali lagi ia gugup. Membalas pandang pada mata itu pun ia tak sanggup.

"Maafkan aku. Kupikir itu marga, dan kamu malu menggunakannya. Maka aku tersinggung, sebab nama depanmu sama seperti margaku. Sung. Sung Yeo Joon."

Ia bahkan sampai merasa perlu menyebut nama panjangnya.

"Tidak apa-apa, Sajangnim. Lagipula kalau ada orang di negara kami yang menggunakan marga, biasanya letaknya ada pada nama belakang."

"Seperti orang barat?"

"Ya, betul."

"Padahal marga adalah sesuatu yang sakral. Seharusnya dia diletakkan di depan, bukan malah di belakang. Seperti kami."

Hmm, kecintaan pada negerinya agak berlebihan nih kayaknya.

"Setiap negara atau tempat punya kebiasaannya masing-masing, Sajangnim. Dan bukan kapasitas kita untuk menghakimi itu semua. Maaf."

Direktur itu mengangguk-angguk. Rautnya menunjujkan persetujuan pada pendapat Ara.

"Aku tadi menanyakannya pada Abdi."

"Menanyakan? Emm, menanyakan apa?" Ara mengerenyit mendengar nama anak bosnya disebut.

"Menanyakan S di depan namamu."

Lah, kepo juga ini bos.

"Oh."

"Mr. Abu Bakar sering menyebut namamu. Katanya kamu staf yang punya kinerja bagus, juga memiliki kemauan dan kemampuan belajar yang tinggi. Makanya dia memilihmu, walaupun kamu belum genap dua tahun bekerja pada perusahaannya.

"Kamu juga masih muda."

Direktur bermarga Sung itu kembali menekuri kertas di mejanya. Lantas mendongak dan menatap lagi pada Ara.

"23 tahun. Lulusan diploma."

Rupanya kertas yang dari tadi ia pandangi bukan berisi *PO, melainkan data diri Ara.

"Kenapa tidak melanjutkan ke jenjang sarjana?"

"Emm, dunia kerja lebih menarik buat saya, Sajangnim."

"Dunia kerja atau uangnya?"

Dih, ditambah pula rese.

Ara diam-diam merekam setiap perkataan dan sifat yang tercermin dari sang pimpinan perusahaan.

"Y-ya. Dua-duanya menarik untuk saya."

Bukan, sebenarnya bukan itu. Ia hanya tak punya cukup uang untuk melanjutkan kuliah sarjana. Lagipula sejak pertama memilih kuliah diploma, ia berharap bisa segera memanfaatkan ilmunya untuk diterapkan dalam dunia kerja, supaya menghasilkan uang tentu saja. Memangnya apa lagi?

"Baiklah. Kembalilah ke mejamu. Aku akan meminta Chun Ae mengenalkanmu pada penghuni kantor ini. Maaf."

"Emm, maaf? Untuk apa?"

"Sudah terlalu jauh mencampuri urusanmu."

Sebenernya orang Indonesia lebih kepo lagi sih kalau soal beginian.

"Tidak mengapa, Sajangnim. Baiklah, saya mohon izin untuk kembali ke meja saya."

Sung Yeo Joon hanya mengangguk tanpa sedikit pun melihat pada Ara.

Chun Ae sudah menunggu di depan ruang direktur. Begitu Ara keluar, ia segera menyeretnya menuju ruang-ruang di mana para pegawai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Meski demikian, mereka tetap berhenti sejenak untuk memberi sambutan yang hangat bagi Ara. Sungguh, orang Korea memang terkenal hangat dan hormat terhadap orang lain. Ara terharu.

Ada tiga ruang yang digunakan untuk divisi yang berbeda. Pemasaran, digital, serta administrasi dan keuangan. Jumlah mereka ada sebelas orang. Dua belas dengan si bos besar. Dan tiga belas dengan keberadaan Ara untuk empat bulan ke depan.

Ruangan lain adalah ruang direktur, ruang meeting, dan pantry yang cukup luas sebab sekaligus berfungsi sebagai ruang nongkrong menghabiskan jam istirahat. Mereka biasa menghabiskan waktu dengan bercanda ria atau bermain jenga sambil mengobrol ngalor ngidul.

Ada dua toilet dan ... tempat wudhu. Ya, ada tempat khusus untuk berwudhu di kantor Ara. Bahkan ada mushola yang cukup digunakan salat berjamaah untuk enam orang. Bersih, rapi, sejuk dan tentu saja nyaman. Ara senang menjadi bagian dari kantor ini.

Terakhir, Chun Ae mengantarnya ke meja yang akan ia tempati selama berada di Seoul. Terima kasih Ara ucapkan. Chun Ae lalu meninggalkannya untuk mulai mempelajari apa yang akan ia kerjakan selama di Seoul.

Bukannya segera bekerja, Ara justru diam melamun. Ia merasa bersalah atas kebohongannya mengenai nama keluarga saat ditanya bosnya tadi. Kenangan masa kecilnya menari-nari tanpa bisa diajak kompromi.

***

Kenangan tentang apa nih? Hehe...

Terima kasih sudah baca dan kasih apresiasi lainnya.

Kalau ada bagian yg mengganjal atau kurang pas, boleh kasih tahu aku ya. InsyaAllah nanti kuperbaiki.

Oke.
I love you all.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top