Miss
Aku dengan jelas bisa mendengar langkah kakiku sendiri, terdengar begitu berpadu bersamaan dengan langkah orang sekitar. Pada hiruk-pikuk perkotaan suara alunan musik yang memasuki telinga mengalahkan semuanya, begitu fokus mendengarkan bagaimana suara pemuda yang kurindu begitu merdu hingga lupa mungkin saja diri ini akan menabrak seseorang. Lalu, itu benar-benar terjadi. Aku merasa begitu nyeri pada kening. Dada orang yang kutabrak sepertinya begitu keras, atau bisa dibilang ... kuat? Sepertinya itu adalah tubuh seorang lelaki, menjadi jelas ketika aku membuka netra yang awalnya aku pejamkan lantaran refleks saat merasa sakit. Aku mulai mendongakkan kepala, mendapati lelaki dengan suarai hijau tengah berdiri. Mimiknya terlihat begitu khawatir, membuatku ikut gagap seketika.
"Maaf!"
Dua kata itu terucap bersamaan, suara pemuda yang kutabrak terdengar begitu tak asing. Dalam sekali mendengar pun aku bisa tahu itu suara siapa.
"Shiina-san?"
Tanpa sadar aku menjadi lebih gagap dari sebelumnya, walaupun wajah itu tertutup masker ataupun mengenakan topi aku jelas tahu bahwa itu memang dia. Bagaimana suara itu mulai menyapa telinga, membuat aku kembali teringat bayang-bayang masa lalu. Sebenarnya aku merasa sedikit kaget, tidak menyangka tubuh yang awalnya lebih pendek dariku tersebut sudah menjadi lebih tinggi. Pubertas anak lelaki memang sangat menyeramkan.
•
Ini terjadi saat aku masih berumur 14 tahun. Memang bukan hal yang sangat berkesan
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana suara tersebut menyapa telinga, bagaimana dia memanggilku "Onee-san" padahal umur kami hanya berjauhan sekitar dua bulan. Atau mungkin saat itu dia berpikir bahwa aku lebih tua darinya karena tubuhku lebih tinggi?
Kala itu aku baru saja selesai menangis, walaupun itu hanya karena hal sepele namun tetap saja bagiku itu sangat menyakitkan.
"Apa Kakak ingin mendengar sebuah lagu? Atau ingin aku buatkan sebuah kue?"
Tawaran itu adalah alasan kenapa kami semakin dekat. Kendati awalnya aku sempat menolak. Namun, dia terlihat tak goyah untuk mendekatiku. Pada akhirnya aku benar-benar mengatakan "baiklah" padanya.
Indra penciumanku masih sangat ingat, bau harum dari sebuah kue buatan pemuda tersebut. Tatapan yang begitu bersemangat saat memasak tersebut sedikit membuatku tertarik, dan ... itulah awal bermulanya kisah ini.
Aku tersentak kaget kala tangan tersebut menyentuh bahuku dengan begitu lembut, refleks langsung melepas headphone yang aku pakai. Suaranya saat mengatakan bahwa kue telah jadi benar-benar membuatku jatuh, apalagi ketika garpu dengan sepotong kecil memasuki mulut. Terasa begitu lembut dalam lembutku.
Setelah hari itu dia mulai sering datang ke rumahku, membuatkan aku sebuah makanan. Kulkas yang awalnya kosong sekarang mulai berisi bumbu-bumbu untuk memasak. Untuk aku yang hanya tinggal sendiri, dan cukup sibuk sebenarnya ini cukup membantu untuk menambah asupan giziku.
"Oh ya, siapa nama Kakak?"
Jujur pertanyaan itu terdengar begitu lucu, mengingat bahwa kami telah mengenal selama 2 bulan lebih. Mungkin kebiasannya yang terus memanggilku kakak membuat dia lupa untuk menanyakan hal yang sangat penting saat pertemuan pertama.
"Hima Sakura. Itu namaku. Lalu, siapa namamu?"
Kemudian yang lebih lucunya lagi, selama ini pun aku melakukan hal yang sama.
"Niki Shi— ah, ittai!"
Aku menolehkan kepalaku, beralih fokus dari sebuah buku pelajaran ke arah anak tersebut. Saat itu aku mencoba menahan tawa kendati akhirnya tawa tersebut benar-benar terlepas. Dia terjatuh dari kursi yang ia jadikan kasur pengganti, lebih tepatnya ia tengah berbaring di sana. Niki mulai bangkit, mendudukkan diri pada bagian sisi ia terjatuh. Wajahnya terlihat begitu lucu saat cemberut, serius. Saat itu aku merasa ingin sekali mencubit pipi tersebut.
"Niki Shiina."
Ia mengulas sebuah senyum, pipiku entah mengapa terasa begitu panas. Perasaan baru yang aku temui, dan aku tidak mengerti.
"Salam kenal."
Aku membalas senyum tersebut. Entah mengapa, aku ... merasa hangat. Perasaan yang jelas telah lama aku lupakan.
Lima bulan telah berlalu, ada sesuatu yang baru saja jelas saat itu. Kenyataan tentang aku yang telah jatuh cinta. Aku baru tahu tentang perasaan tersebut saat bercerita pada sahabatku dan mendapat sebuah saran. Jujur, kala itu aku masih sangat asing dengan perasaan tersebut. Lalu, sebentar lagi sebuah penyesalan akan melanda diriku.
Rasa sakit yang aku rasakan saat itu masih kuingat dengan jelas, bagaimana netra yang selalu certa menatap dengan begitu pilu.
Ketika musim panas yang baru saja tiba.
Ketika sebuah bunga matahari pemberiannya aku pegang dengan erat.
Kami berpisah.
Bahkan cuaca cerah saat itu tak secerah perasaanku, begitu perih, hingga mata mulai meneteskan kristal bening.
"Mungkin kita akan jarang bertemu, karena itu aku memberimu ini."
"Kamu adalah bunga matahari bagiku, Sakura-san."
Itu adalah pertama kalinya Niki memanggil namaku, dan aku cukup terharu karena itu.
Saat itu aku sangat menyesal lantaran tak bisa mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padanya, aku juga tak bisa mengatakan bahwa aku harus kembali ke kampung halaman. Mengesampingkan hal tersebut aku memilih menurut.
Namun, pada akhirnya aku memilih untuk membangkang. Aku kabur dari rumah, demi sesuatu yang bahkan tidak jelas akhirnya seperti apa. Tapi pada akhirnya kami bertemu lagi, kendati kesan yang didapat tidak begitu bagus.
•
Malam itu cuaca terasa begitu dingin, padahal aku sudah mengenakan pakaian yang sangat tebal. Rasanya sangat gugup lantaran sudah lama tak bertemu, Niki juga terlihat begitu melelahkan. Apa pekerjaan menadi idol semelelahkan itu? Uap putih dari mulutnya terlihat begitu jelas, kantung mata tersebut membuat aku tahu jawaban pada pertanyaanku tadi. Sejujurnya, aku sangat senang dia baik-baik saja.
"Omong-omong, Niki. Kita akan pergi kemana?"
"Apartemenku."
Ah, aku memiliki firasat buruk soal ini.
Beberapa waktu berlalu dan aku sudah sampai sekarang, di apartemen Niki. Tepat di depan pintu masuk. Ia mulai merogoh kantong jaket yang ia kenakan, mengeluarkan sebuah kunci. Lalu, memasukkannya ke dalam kenop pintu. Memutar kunci tersebut, kemudian membuka pintu. Aku merasa sedikit ragu untuk masuk, firasatku benar-benar tidak enak sekarang.
"Permisi."
Aku yang awalnya terdiam mulai memasuki rumah saat Niki menawarkan untuk segera masuk. Netraku melihat ke sekeliling, mendapati sebuah surai merah yang sangat jelas aku kenal.
"Rinne-sama?!!"
Takdir memang kadang sangat lucu, aku masih sangat ingat bagaimana pemuda sialan itu memerintahku layaknya budak, kendati memang status keluargaku seperti itu. Tapi rasanya tetap sangat menyakitkan ketika ingat bahwa otot-otot kurusku ini dipaksa untuk bekerja hingga lelah.
"Oh, bocah pembantu."
Keparat sialan.
"Kau mengenalnya, Niki-Kyun~?"
Wajah Niki terlihat begitu tenang, ia mengatakan bahwa iya mengenalku. Jujur aku merasa sangat senang.
Tangan kekar itu mulai menarikku mengikutinya, aku ingin menolak tapi sepertinya lubuk hatiku tidak menginginkan itu. Dia menarikku masuk ke dalam kamar, menutup pintu lalu memelukku dengan sangat erat. Jelas aku merasa begitu kaget. Tidak menyangka dia akan berbuat seperti itu.
"Maaf, maaf, aku sungguh minta maaf."
"Maaf karena sudah lama tidak mengabarimu."
"Sekali lagi, aku minta maaf."
Isak tangis itu terdengar begitu jelas, sangat menyayat hati ketika tahu itu adalah tangisan dari orang yang kita cintai.
"Aku juga minta maaf."
"Maaf karena tidak memberitahumu bahwa aku harus pulang kampung."
"Ah, soal itu Rinne sudah memberitahuku."
Sebuah tawa ringan terdengar dari Isak tangis tersebut.
"Aku sangat merindukanmu."
Kami mengatakan itu secara bersamaan. Entah mengapa Isak tangisku juga ikut pecah, perasaan ini masih sangat terasa asing. Rasa ingin terus bersama, apa ini tidak terlalu egois. Aku sangat berharap hari-hari seperti tidak akan menghilang. Aku harap aku akan terus baik-baik saja. Aku harap aku tidak akan dikekang lagi. Aku sangat berharap akan itu semua.
"Aku mencintaimu, Niki."
Tanganku bergerak untuk memeluk balik, tubuhnya yang kekar terasa begitu hangat. Begitu juga ketika bibir itu mengatakan bahwa dia juga mencintaiku.
Tuhan, kumohon pertahankan perasaan ini. Biarkan untuk kali ini dan seterusnya izinkan aku bersikap seperti ini, maafkan aku yang egois. Tapi aku sungguh ingin bersamanya.
"Hei, aku ingin tahu apa maksud dari bunga matahari yang kau katakan saat itu?"
Kami sudah berhenti berpelukan yang kami lakukan sekarang hanyalah mengobrol di atas tempat tidur pemuda tersebut. Hanya duduk dan berbincang, bukan hal aneh.
"Itu ... sebenernya ketimbang bunga matahari, itu bisa dibilang matahari itu sendiri. Karena Hima sangat terang dan begitu lembut."
"Aku pertama kali bertemu denganmu saat kau sedang bermain dengan seekor kucing. Tatapanmu yang begitu lembut ... membuatku jatuh cinta."
Lagi, rasa hangat itu memasuki diriku.
"Bukankah yang seperti matahari itu kamu, Niki?"
"Kamu begitu ceria, lembut, dan sangat hangat. Bukankah matahari itu adalah dirimu?"
Dia mengulas sebuah senyum, samar tapi aku bisa melihat bagaimana wajah itu memamerkan sebuah semu.
"Mari menikah."
"Eh?"
Aku tidak pernah menyangka kata itu akan keluar, aku juga tak menyangka aku akan menerimanya. Kendati diriku juga cukup ragu, mengingat bahwa Niki sendiri adalah idol terkenal. Apa orang-orang akan menerima aku yang seperti ini? Anak seorang dari pelayan keluarga Amagi. Namun, walaupun begitu aku akan menerimanya. Sangat egois, aku jelas tahu itu. Tapi jujur aku sangat senang, bukankah jika seperti ini aku akan bisa terus bersama Niki.
"Iya, aku mau!"
Mimik bahagia, deru kendaraan pada malam hari. Angin malam yang begitu dingin kendati saat itu sedang musim panas. Musim panas kedua kami adalah musim yang sangat membahagiakan. Diamna dua perasaan saling menyatu, dan pada akhir musim tersebut dua cincin saling bertaut. Ada beberapa orang yang menolak, walaupun begitu tekad kami untuk bersama tetap tidak goyah. Aku sangat senang karena dia bisa menerimaku, aku juga sangat senang karena tak ramai yang menolak kami. Suara nyanyian yang aku rindukan itu kini bisa aku dengar dengan sangat jelas, setiap saat setiap waktu, begitu juga dengan kue manis semanis dirinya.
—fin—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top