Chap 3:Believe in you

Aldrian cuti selama empat hari.

Setelah hari aku menjenguknya, aku memeriksa ulang CV yang ia masukkan saat mendaftar. Di sana ia menulis bahwa ia Beta.

Masa' ada obat yang bisa mengubah eksistensi? Kalau tidak ada, berarti dia sudah berbohong? Kenapa dia berbohong?

Aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing soal dia Omega. Hanya saja aku ingin tahu alasan dia berbohong.

Sebab saking memikirkan apa alasan itu, aku terus memikirkan semua praduga hingga saat acara makan malam empat hari lalu dengan keluargaku, aku yang setengah fokus tanpa sadar keceplosan mengucapkan Omega dan semuanya langsung spontan ribut menyangka aku sudah menyiapkan calon pengantin Omega. Terutama ayahku yang langsung bersemangat.

Aku tak bisa mengelak dan terpaksa berbohong. Ayah memintaku untuk membawanya ke rumah satu minggu lagi karena sebentar lagi akan ada pesta untuk merayakan ulang tahunnya.

Kepalaku pusing. Siapa yang harus kubawa untuk berpura-pura jadi pasanganku? Aku tidak bisa sembarangan memilih karena sudah di ancam ayahku kalau pasangan yang kubawa ini harus jadi persinggahan terakhir. Ditambah, dua hari lagi aku akan bertemu dengan ayah dan sampai sekarang belum menemukan Omega yang harus kubawa.

Ampun . . . . . Kepalaku pusing.

Aku tak bisa konsentrasi bekerja hingga Fardhan mengamuk parah karena proyek sedang berjalan jadi lambat dan ruang kerjaku jadi tambah parah akibat stresku. Padahal biasanya kerjalah pengalih stresku, karena aku seorang workaholic.

Aku butuh penyegar.

Di tengah waktu luangku hari ini, aku membuka software tukar pesan yang terhubung dengan seluruh komputer di kantor. Iseng aku menscroll hingga bawah lalu kembali ke atas dan menemukan nama Aldrian muncul dan sedang online. Ternyata dia hari ini masuk kerja. Aku berniat ingin mengajaknya mengobrol. Tapi baru beberapa kata ku ketik, aku langsung menghapus semuanya.

Aku bingung harus memulai obrolan apa dengan lelaki -yang baru di konfirmasi olehku ternyata seorang Omega- itu. Pasti obrolan di antara kami jadi canggung.

Ku tutup software itu dan pada akhirnya memilih untuk mengalihkan semua perasaan pada pekerjaan.

...

Aldrian tengah berkonsentrasi menggambar sketsa digital yang diminta Julian. Gambaran kasar konsep dan pallete warna yang akan dipakai sudah siap. Tinggal mengeksekusi gambar jadinya.

Awalnya ia bisa fokus penuh pada layar di depannya, namun di tengah-tengah tiba-tiba ia terbayang seseorang dan wajahnya muncul di layar komputer. Aldrian kaget, tapi ia segera menepis bayangan orang itu, ia fokus lagi. Tak berselang lama pikirannya kembali kacau karena orang yang sama.

Lelaki ini pusing sendiri dengan dirinya. Sejak ia memberitahu rahasianya, ia terus memikirkan bagaimana tanggapan bosnya.

Takut dan cemas menghantuinya. Ia ingin menemui bosnya, tapi melihat wajahnya saja ia tidak sanggup.

Aldrian merasa aneh. Padahal periode in heat-nya sudah lewat, tapi sampai sekarang ia masih merasa panas setiap kali terbayang wajah sang bos. Perasaan yang awalnya hanya sebesar benih biji kini mulai tumbuh di dadanya.

...

"Ndra. . . Narendra. . . . . Oi!"

PLAK

Fardhan memukul keras kepalaku yang terebah di atas meja dengan buku yang ia gulung.

"Ha-hah?"

Aku yang setengah tertidur langsung bangkit dan dengan jeda memfokuskan mata yang cukup lama. Aku mengusap mata lalu melihat Fardhan.

"Jangan tidur di atas kertas proposal! Kau mau membuat pekerjamu menangis sambil mengerjakan revisinya hanya karena air liurmu yang menetes di atas proposal yang dia buat sungguh-sungguh?" Omel Fardhan. Ia menaikkan daguku dengan gulungan buku dan menatapku dengan tatapan intimidasinya sambil berkacak pinggang.

"Maaf, maaf. Tadi tiba-tiba saja aku ngantuk. Lihat, proposalnya masih aman, kok. Tenang saja." Aku membela diri sebisa mungkin sebelum diterkam olehnya.

Lelaki ini tampak sewot dengan keteledoranku. "Lain kali jangan di ulangi." Ia menarik gulungan bukunya.

Aku bernafas lega dan refleks meraba leher. Meski pun hanya satu gulung buku, tapi ketajaman serta sakitnya tak kalah dengan pedang.

Mataku menangkap jam yang menggantung di dinding. "Jam 5? Sudah sore, toh." Aku menyandarkan punggung ke kursi.

"Makanya aku membangunkanmu. Aku pulang duluan. Kalau urusanmu sudah selesai, bereskan mejamu dan kunci pintu. Lalu sempatkan juga cek seluruh ruangan, mungkin saja ada yang sedang lembur. Jam 8 nanti tunggu aku di rumahmu." Pesan Fardhan sebelum meninggalkan ruanganku.

"Oke." Balasku sambil lalu dengan melambaikan tangan sekilas.

Fardhan membiarkan pintu ruanganku tetap terbuka sementara dia kembali ke ruangannya. Aku memutar-mutar kursiku karena bosan. Proposal sudah kubaca dan kutanda tangani. Yang revisi juga sudah kuberi tanda. Pekerjaan hari ini sudah selesai, tapi aku enggan pulang.

Pikiranku melayang sejauh-jauhnya hingga tanpa sadar aku bisa menghabiskan satu setengah jam hanya untuk merenung, duduk diam di kursi, dan melakukan gerakan kecil seperlunya saja.

Meski di dalam ruangan, aku bisa merasakan keheningan kantorku setelah jam pulang. Hari ini sepertinya tidak ada yang lembur atau menginap mengerjakan proyek. Tapi tak ada salahnya juga mengecek setiap ruangan seperti pesan Fardhan tadi. Lumayan buat buang-buang waktu.

Aku bangkit dari kursiku dan keluar ruangan. Menyusuri denah kantorku yang terdiri dari gedung tiga lantai dengan bentuk bangunannya yang berbentuk huruf L dan di korner gedung terdapat taman dan gazebo untuk bersantai. Di lantai atas, ada ruanganku, ruang Office, ruang HRD, ruang rapat, dan ruang server. Di bawahnya ruangan divisi-divisi. Di lantai paling bawah sebagian diisi untuk tempat bersantai, perpustakaan, dan ada bar serta dapur.

Aku jadi teringat saat dulu bisa membeli gedung ini dan melakukan perubahan di sana sini dengan bantuan Fardhan, Julian, dan beberapa temanku dulu yang sempat ikut membangun perusahaan ini. Saat ini yang tinggal hanya dua orang itu saja, sisanya mencari jati diri di tempat lain. Aku tak menghentikan mereka, toh memilih itu hak semua orang.

"Mengenang masa lalu memang manis, tapi sayangnya ada beberapa bagian yang pahit buat di kenang." Gumamku. Baper karena nostalgia yang sulit si hapus.

Aku saat ini sedang menyusuri lantai dua. Setiap ruangan divisi sudah di tutup dan lampunya sudah mati. Tapi ada satu ruangan yang lampunya masih menyala.

Ruangan divisi desain.

Aku menelan ludah. Tidak berpikiran aneh-aneh dulu. Mungkin saja itu Julian, dia kan hobi ngelembur buat dapat gaji tambahan. Ah iya, hari ini aku belum menemui sahabatku yang satu itu. Ngobrol dengan sahabat lama mungkin bisa meredakan stres dalam dada.

Klek

Aku membuka pintu ruangan dan tidak menemukan Julian di mejanya. Siapa yang belum pulang jam segini? Hampir saja aku mematikan lampu ruangan kalau tidak melihat sosok paling ujung sedang berkonsentrasi ke kerjaannya sambil mendengarkan lagu lewat headphone.

Speak of the devil.

Aku memang tak ingin berpikir macam-macam, tapi sosok Aldrian lah yang sempat kupikir ada di dalam ruangan ini. Mimpi jadi kenyataan.

Sepertinya Aldrian tidak menyadari keadaanku karena terlalu fokus dan volume lagu di headphone-nya terlalu kencang. Baguslah. Aku berniat untuk kabur, tapi mendadak berhenti sebelum sempat melangkah. Ku tatap sosok lelaki Omega di sana.

Figurnya yang sedang konsentrasi bekerja itu entah kenapa terlihat indah dimataku. Aku memijat kening, jangan-jangan minus-ku tambah. Tapi itu tak ada hubungannya. Terus saja kutatap sosok Aldrian, semakin kurasa dia itu manis.

God! Inilah efek feromon berbahaya Omega yang bisa memancing Alpha mendekat. Seperti madu manis yang mengundang semut untuk berdatangan.

Aku mungkin masih bisa menahannya kalau di jarak segini, tapi tidak tahu apa yang bakal terjadi kalau mendekat. Aku dilema antara harus mendekati lelaki itu atau tidak.

"Bos. . . . ."

Suaranya yang sudah lama tidak kudengar tiba-tiba mengudara. Aku menoleh dengan mata yang sedikit terbelak. Dari posisinya, ia yang sudah menurunkan headphone pun tampak terkejut dengan keberadaanku yang tak ada angin atau bahkan hujan sudah ada di sana, datang tanpa permisi seperti hantu.

"Oh. Hai." Sapaku canggung.

Ia menutup mulutnya yang terbuka, mengalihkan wajah, dan mengangguk pelan. Ah, dia malu.

Aku menelan ludah, memperbaiki gestur, menenangkan diri, dan memantapkan pandangan. "Tumben lembur." Kataku berbasa-basi.

"Aku sedang memperbaiki gambar desainku yang di revisi mas Julian. Ini sebentar lagi selesai." Katanya tanpa melihatku.

Aduh, situasi malah tambah canggung kalau dia tidak kasih feedback.

Aku menggaruk tengkukku yg tidak gatal. Jelas aku tidak nyaman dengan situasi ini.

"Aldrian." Panggilku.

Lelaki itu hanya melirik.

Aku mengulas senyum gugup. "Istirahat sebentar, yuk. Temani aku minum kopi." Ajakku.

Aldrian berpikir sebentar dan melirikku lagi. Aku sudah siap dengan penolakan, tapi plot twist yang terjadi dia menoleh dan mengangguk.

Perasaanku sedikit lega. "Suka kopi hitam?"

Dia menggeleng. "Cappucino."

Senyumku terulas tidak canggung lagi. "Oke. Tunggu ya, aku ke bar sebentar."

Aku melangkah cepat turun ke lantai bawah. Dadaku menggebu tak menentu. Tidak sabar. Ingin cepat-cepat bersamanya lagi. Tanganku beberapa kali gemetar dan hampir saja aku melakukan kesalahan saat meracik kopi di mesin kopi karena begitu tidak sabarnya.

Tenang, Narendra. Fokus.

Selang lewat sepuluh menit kemudian aku kembali keruangannya dengan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

"Hati-hati, masih panas." Kataku saat menyerahkan bagiannya.

"Terima kasih." Ia mengambil cangkirnya. Matanya langsung fokus menatap cappucino di dalam cangkir.

Aku berdiri dengan bersandar pada mejanya sambil menunggu kopi yang ku pegang sedikit menghangat.

Kulirik Aldrian di sampingku yang sedang meniup cappucino-nya. Ia coba pelan-pelan mengambil tegukan pertama. Tapi baru bibirnya menyentuh ujung cangkir, ia langsung menjauhkan wajah dengan ekspresi yang jelas memperlihatkan kalau kopi itu masih panas. Tanpa sadar aku terkekeh melihat tingkahnya.

Aldrian mendongak. Ia menatapku sesaat, lalu kembali menarik wajahnya yang berubah sendu. "Bos, apa anda marah?" Tanyanya memecah kesunyian.

Aku menatapnya. "Soal kau Omega? Aku tidak marah, kok."

Aldrian menaruh cangkirnya di atas meja. "Tapi aku sudah membohongimu." Sesalnya.

"Lalu, kau ingin aku mengatakan apa tentang itu?" Helaku.

Dia diam. Berpikir cepat. Ia tahu aku sedang serius, sedikit saja salah mungkin akan membahayakan posisinya saat ini. Tiga puluh detik. Aldrian mengangkat wajah, ia dengan berani menatapku dengan mata yang sedikit merah.

"Bos, tolong jawab pertanyaanku. Apa anda mempercayaiku?"

"Aku mempercayaimu." Kujawab dengan cepat.

"Apa anda akan memberitahu ke yang lain soal rahasiaku?"

"Oh, jadi itu rahasia?" Aku balik bertanya.

Ia tampak ragu menjawabnya.

Aku mengulas senyum. "Baiklah, aku akan merahasiakannya."

Raut kelegaan terpampang jelas di ekspresi Aldrian. "Lalu, apa saat ini anda punya niat untuk menyerangku?" Tanyanya dengan sedikit takut-takut.

Aku memutar mata. "Sebenarnya tadi sempat ada niat."

"Eh?" Wajahnya langsung pucat.

Aku memperhatikan ekspresinya. "Tapi aku berprinsip takkan menyerang kalau tidak di minta atau sebelum dapat persetujuan dengan pasanganku. Hubungan yang saling menyerang dan diserang itu lebih baik kalau ada cintanya." Kataku.

Wajah takutnya mengendur. Ia bernafas lega.

Aku memperhatikan setiap perubahan ekspresinya. Manis, pikirku sambil menyeduh kopi hitamku yang sudah cukup hangat di lidah.

"Lalu, apa kau mempercayaiku kalau aku akan menjaga rahasiamu dan takkan menyerangmu?" Kali ini giliranku yang bertanya.

Bola matanya yang bulat berkilat polos menatapku. Ia mengangguk. "Aku percaya anda." Ucapnya.

Aku tersenyum. Lega sekaligus senang mendengar jawabannya. Mendadak aku teringat sesuatu.

"Ah, aku ingin bertanya padamu sebagai seorang omega." Kataku.

Dia yang hendak mencicipi cappucino miliknya berhenti. "Bertanya padaku?"

"Heum. . . . . Mungkin pertanyaan ini sedikit ambigu, tapi aku harap kau mau menjawabnya."

Mendengar kemungkinan aku akan melempar pertanyaan berat, Aldrian tampak was-was. Ia melihat ke kanan dan kiri. "Disini hanya ada kita, kan?"

"Sepertinya. Aku sudah mengecek lantai tiga, di sini, dan di bawah tadi. Hanya ada kita berdua." Kataku sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku tahu dia masih was-was meski aku sudah mencoba meyakinkan dan menghangatkan suasana. "Apa yang ingin anda tanyakan padaku?"

Pertanyaan ini sebenarnya hanya sepintas terpikir di kepalaku tadi, namun entah kenapa aku sangat mengharapkan jawaban darinya.

"Apa lelaki Omega bisa hamil?"

Jelas sekali. Aldrian terkejut mendengar pertanyaanku, tapi hanya sebentar. "Benar."

"O-oh, benarkah? Darimana kau tahu?" Aku penasaran.

"Semasa SMA aku pernah mengikuti forum Omega lelaki di sebuah komunitas di internet. Di sana ada banyak yang memposting foto mereka hamil dan akhirnya berhasil melahirkan bayi mereka. Pengetahuan tentang Omega lelaki memang sangat jarang karena jumlahnya yang sedikit. Tapi di forum itu aku mendapat banyak pengetahuan dari orang yang juga sama sepertiku." Jelasnya.

Aku meneguk kopiku. Mengecap rasa pahit dan manis secara bersamaan serta harum kopi yang samar-samar tercium. Sebuah pemikiran terlintas di dalam kepalaku.

"Maukah kau mengandung anakku, Aldrian?"

Wajahku serius menanyakan itu padanya, namun ia kaget bukan main mendengarnya dan hampir shock.

Aldrian tergagap. Ia salah tingkah. Wajahnya memerah. Mulutnya hendak mengeluarkan kata-kata namun pikirannya kacau. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

"Anda serius?"

Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top