7: I hate myself too
Jika kemarin Nata tidak membelikan Naura bubur ayam dan mengajaknya bicara, mungkin fisik juga mental Naura tidak akan sebaik ini.
Kemarin, kelakuan Resya sangat keterlaluan. Naura menjadi merasa sangat takut setiap melihat wajah Resya, bahkan dari jauh. Tubuhnya gemetar dan tangannya menjadi dingin. Berlebihan? Naura pun juga merasa ketakutannya lumayan berlebihan, tapi ia juga tidak mengerti bagaimana cara mengendalikan rasa takutnya.
Setiap melihat Resya dan kedua temannya, kaki Naura seolah menyuruhnya untuk lari dan menghindar.
Makanya kini Naura masih terdiam di depan kelas, enggan masuk saat melihat Resya sedang menyoret-nyoret papan tulis dengan spidol. Naura hanya bisa menunduk, memejamkan mata, dan mengepalkan tangan dengan kuat.
Jangan takut, jangan takut. It's okay, semuanya bakal baik-baik aja. Naura terus mengulangi kalimatnya dalam hati, sebelum kakinya melangkah masuk ke kelas.
Ketika Naura baru masuk kelas, matanya otomatis melihat papan tulis. Ada tulisan yang sangat besar dan dihiasi gambar bunga dan hati. Apa-apaan ini?
NAURA LOVE NATA FOREVER
Tulisan itu jelas pasti tulisan Resya. Namun, apa maksudnya? Kenapa Resya menulis Naura mencintai Nata? Itu namanya fitnah!
"Re-Resya, kenapa lo nulis kayak gitu?" tanya Naura, berusaha menghindari tatapan mengejek Resya.
"Kemarin lo kan ngaku ke gue, kalau lo tuh suka sama kakak gue yang ganteng itu. Lupa? Gue cuma mau semua orang di kelas ini tahu, bahwa lo lagi jatuh cinta sama Kak Nata. Salah?"
"Gue nggak pernah bilang gitu. Gue ... nggak suka sama Nata." Naura langsung menunduk saat Resya berjalan mendekat.
"Astaga, Naura. Nggak usah takut, gue nggak marah kok kalau lo bener suka sama Kak Nata. Gue malah seneng!" Resya tersenyum lebar, tangannya pun menyentuh rambut ikal Naura dengan pelan. Ia mengusap-usap kepala Naura dengan lembut. "Lo kan orang yang sabar dan ... hmm, apa ya? Kelebihan lo selain sabar tuh apa, ya? Gue bingung. Hehe."
Napas Naura mendadak semakin sesak. "Stop, Resya. Please...."
"Sebutin tiga kelebihan lo, baru gue izinin lo duduk," ujar Resya tersenyum manis. "Bisa?"
Kelebihan? Naura tidak tahu. Ia lebih mengetahui segala kekurangannya, dibanding kelebihan. Atau, apa Resya mungkin memang benar, bahwa Naura tidak memiliki kelebihan apa pun selain sabar?
"Kelebihan berat badan, Sya!"
"Kelebihan lemak, anjir!"
"Kelebihan dosa!"
Seruan dari anak-anak kelasnya semakin membuat Naura merasa kesal dan sedih. Mata Naura terasa perih, tapi ia berusaha menahan tangisnya agar tidak menjadi tontonan seru bagi yang lain.
"Gue memang nggak cantik. Gue juga bodoh dan gendut. Tapi, cuma orang jahat yang bisa menghina kekurangan orang lain semudah itu. Kalian bahkan nggak pernah menganggap gue ada di kelas ini, tapi sekarang ... kalian menghina kekurangan gue seolah tahu segalanya. Aneh banget, ya." Suara Naura memang gemetar, tapi suaranya dapat didengar oleh seisi kelas. Suaranya gemetar, tapi bukan berarti lemah.
"Ah, kasihan banget." Resya menatap Naura dengan iba, lalu melihat teman-teman kelasnya. "Kalian keterlaluan banget. Jangan main fisik gitu, dong!"
Tiba Naura merasa mual, benar-benar mual seolah mau muntah, setelah mendengar kata-kata Resya.
"Lo ... bener-bener nyebelin, Sya," gumam Naura sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dan saat Naura merasa benar-benar ingin muntah, ia pun berbalik badan lalu berlari meninggalkan kelas secepat mungkin.
Naura terus berlari, melewati murid-murid yang masih duduk-duduk dan berkeliaran di lorong sekolah. Sesampainya di toilet, ia akhirnya muntah dan langsung menyuci mulutnya dengan air. Ia memandang dirinya di cermin toilet, lalu air matanya yang dari tadi ia tahan akhirnya keluar.
Naura merasa ... sangat membenci dirinya. Memang tidak ada yang bagus di dirinya, ia bahkan tidak berbakat dalam bidang apa pun. Bagaimana mungkin? Kenapa ia tidak bisa melakukan apa pun?
Angga dan Nata sama-sama menyuruh Naura untuk lebih mencintai diri sendiri. Namun, dalam benak Naura sebenarnya selalu terdapat pertanyaan: Bagaimana caranya mencintai diri sendiri, jika tidak ada yang layak dicintai di dirinya? Wajah? Tubuh? Ah, bahkan ia tidak menyukai rambutnya yang sulit disisir.
Naura membasuh wajahnya dengan air, lalu mengeringkannya dengan tissue. Jika bisa, ia tidak mau kembali ke kelas. Ia malu, kesal, dan takut untuk kembali. Apalagi, ia tidak mau melihat Resya.
"Gue harus gimana?" tanya Naura pelan, setelah baru keluar dari toilet. Ia bahkan masih memakai tas.
"Minta pindah kelas aja," jawab seorang cowok dengan santai sambil bersandar di tembok. "Gampang, kan?"
"Lo ngapain di sini?" tanya Naura lumayan terkejut. "Tunggu, apa maksudnya pindah kelas? Emangnya lo tahu apa? Nggak usah ikut campur, Nat."
Ya, cowok itu adalah Nata. Ia sempat hampir ditabrak oleh Naura beberapa waktu lalu. Lalu saat melihat Naura berlari sambil menutup mulut--Nata jadi penasaran dan jadi mengikutinya.
Lalu selama ia menunggu, ia mendapat pesan dari temannya yang sekelas dengan Naura. Temannya itu bahkan mengirim foto papan tulis yang berisi tulisan besar 'NAURA LOVE NATA FOREVER'.
Bima: Tulisan itu hasil karya adek lo, Nat. Awalnya gue heran sama tujuan dia nulis kayak gitu. Tapi, kayaknya itu buat ngejek dan bikin malu Naura.
Bima: Tadi mereka berdua kayak lagi main drama di depan kelas, dan gue lihat Naura kayak ketakutan. Dia juga tiba-tiba pergi gitu aja. Anak-anak kelas juga ikut ngejek Naura soalnya, karena dipancing sama Resya.
Bima: Gue lapor gini karena merasa Naura nggak seharusnya dipermalukan kayak tadi. Karena nama lo terlibat, jadi sisanya gue serahkan pada lo, Bro! Good luck!
Setelah mengetahui apa yang terjadi, otomatis Nata memilih menunggu Naura hingga keluar dari toilet.
"Ikut campur?" tanya Nata mendengus, "bukannya nama gue juga terlibat di papan tulis?"
"Lo nggak salah paham, kan? Gue nggak cinta sama lo, itu semua Resya yang nulis...."
"Gue tahu, nggak usah lo jelasin. Gue yakin, lo nggak mau balik ke kelas Lo lagi, kan?"
Naura mengangguk lemas. "Tapi, gimana caranya pindah kelas?"
"Kelas lo tuh sering dibilang sama guru sebagai kelas biang masalah. Makanya mereka kurang baik dan pada bego. Lo harus pindah ke kelas gue, karena kelas gue ... semuanya pada baik dan pasti mau jadi temen lo." Nata terlihat sedikit malu di akhir kalimat. "Gimana? Lo mau, kan?"
"Tapi, kelas lo kan emang kelas unggulan dan anak-anaknya pada pinter. Gue nggak yakin bisa pindah kelas."
Nata terkekeh. "Tenang aja, gue punya ide biar lo bisa pindah ke kelas gue."
"Really?" Naura terlihat kurang percaya. "Lo nggak meyakinkan, sumpah."
"Ikut gue," ucap Nata sambil tersenyum jail, lalu berjalan duluan di depan Naura.
"Lo mau ke mana?!" teriak Naura kesal sebelum menyusul Nata.
"Ke ruang guru, lah."
***
Angga berniat ke kelas Resya untuk memberikan formulir pendaftaran ketua OSIS. Namun, sesampainya di kelas Resya, mata Angga cukup heran melihat papan tulis yang sangat mencolok.
"Ini ... siapa yang nulis? Sebentar lagi bel, loh," ujar Angga sambil melihat adik-adik kelasnya.
"Erina yang nulis, Kak. Maaf, ya, biar aku aja yang hapus." Resya maju ke depan kelas dan menghapus tulisan besar tersebut.
"Ohh, Erina. Tapi, kenapa nulis kayak gitu? Kalian kan bukan anak SD, yang suka ngejek temennya." Angga mengakhiri kalimatnya dengan senyum ramah. "Jangan diulangi, ya."
"Tapi, Kak--" Erina tidak sempat membantah, karena Resya langsung memelototinya.
"Kenapa?" tanya Angga bingung melihat Erina, tidak menyadari ekspresi Resya.
"Nggak, Kak. Maaf." Erina pun menunduk.
"Oh iya, ada perlu apa ya, Kak? Kok repot-repot ke kelas ini?" tanya Resya ramah.
"Ini formulir buat pendaftaran ketua OSIS. Kamu isi, ya."
"Oke, Kak. Makasih, ya!" Resya terlihat begitu senang, dan Angga pun ikut tersenyum melihatnya.
"Ya udah, gue balik ke kelas kalau gitu. Kalian semua yang tertib, ya. Dan jangan ada yang nyoret-nyoret papan tulis lagi, oke?"
"Siap, Kak!" seru Resya tersenyum manis. "Dah, Kak! Hati-hati di jalan!"
Setelah Angga pergi cukup jauh, Resya pun bertolak pinggang dan menatap teman-teman sekelasnya.
"Kenapa kalian ngeliatin gue kayak gitu? Ada yang salah?!"
Tidak ada yang berani menjawab, tapi Bima hanya bisa bergumam pelan, "Cewek emang menyeramkan. Gue harus lebih teliti nanti kalo nyari pacar."
"Bima! Ngomong tuh yang keras!" seru Resya, yang pendengarannya cukup tajam.
"Gue ngantuk, bel berapa menit lagi, ya? Ha-ha."
"Tiga menit lagi. Jangan tidur!"
"Siap, Boss," jawab Bima lemas. Dalam hati, ia merasa dirinya begitu pengecut karena tidak berani memarahi Resya. Padahal sudah jelas, sikap Resya sangat salah dan ia tidak menyukainya. Seandainya ia punya keberanian seperti kakak kelasnya tadi, mungkin ia akan terlihat lebih keren.
[]
A/n:
Part ini aku nulis ulang, karena menemukan alur baru yang mudah-mudahan lebih seru ya! Aku juga nambahin tokoh baru, yaitu Bima ;)
Hope you like it!
Baca komen-komen lama tuh bikin aku merasa bersalah, karena dulu ngambil keputusan unpublish cerita ini dan malah nulis cerita baru yang ternyata juga nggak bisa selesai. Maaf, yaaa 😭😭😭
Bagi pembaca lama yang pernah baca cerita ini sebelumnya, terima kasih karena masih mau kembali baca cerita ini. Serius, aku seneng banget baca komen-komen kalian.
Thank you so much. Xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top