5: Berubah?

Cinta itu bisa membuat seseorang yang biasanya makan tiga mangkok bakso, sekarang jadi hanya makan apel dan pisang saat jam istirahat.

Naura menghela napas. Ia merasa belum kenyang, tapi ia tidak mau makan bakso ataupun mi ayam di kantin. Diet! Diet! Diet! Demi Kak Angga!

Saat Naura baru mau bangkit berdiri untuk membuang kulit pisang dan apel yang sudah tidak berbentuk, ia tiba-tiba kembali duduk saat melihat Resya, Erina dan Rika masuk kelas. Padahal mereka bertiga tidak melihat ke arah Naura, tapi tetap saja refleks Naura selalu ingin duduk manis yang jauh setiap di dekat mereka.

"Kenapa gue jadi takut buang sampah, sih?" gerutu Naura tidak jelas. "Kan mereka diem aja, nggak keliatan mau nyiksa gue."

Baiklah. Naura bangkit berdiri, berusaha berani untuk membuang sampah di luar kelas. Ia sempat menahan napas saat melewati meja Resya yang berada di paling depan. Berharap Resya diam saja.

"Eits, tunggu." Harapan Naura pun lenyap. Resya bangkit dari duduknya, berjalan pelan hingga berdiri di hadapan Naura yang menunduk. "Kemarin lo ke perpustakaan? Gue lihat lo sama Kak Nata."

"Ng... nggak. Lo salah lihat," jawab Naura gugup.

"Jadi, lo mau bilang kalau mata gue bermasalah? Buta, gitu?" Resya mendengus geli. Lalu seketika menjambak rambut Naura. "Heh! Kalau diajak ngomong tuh jangan nunduk!"

Naura meringis kesakitan, tapi enggan untuk berteriak. Ia akhirnya menatap mata cokelat Resya dengan terpaksa. "Ma-maaf, Sya."

Resya terus menjambak rambut Naura, senyum miring menghias wajah cantiknya. "Lo suka sama kakak gue? Kakak tiri gue yang ganteng itu? Suka?!"

"Amit-amit! Nggak! Sum-sumpah!"

"Amit-amit? Sok kecantikan banget lo." Resya terkekeh. "Kak Nata yang harusnya amit-amit kalo disukai sama lo, ngerti?!"

Napas Naura terasa sesak, perutnya mendadak perih. "I-iya, maaf."

"Jangan deket-deket sama kakak gue, kalau nggak mau gue jambak kayak gini lagi. Lo jauh dari Kak Nata, gue akan jauh juga dari lo. Enak, kan?" Resya tersenyum manis.

"Oke, Sya. Oke! Lepas!"

Resya melepas cengkeramannya. Membuat Naura kehilangan keseimbangan dan punggungnya menabrak meja.

"Ups." Resya bukannya membantu Naura, ia malah mengambil kulit pisang yang terjatuh di lantai, lalu menaruhnya di atas kepala Naura. "Nah! Sekarang lo jadi sedikit cantik, deh!" seru Resya riang, "pertahankan. Awas kalo dibuang!"

Saat Resya keluar dari kelas entah mau ke mana, Erina dan Rika menatap Naura dengan iba. Namun, tidak ada yang berniat menolong Naura. Mereka hanya melewati Naura sambil berdecak prihatin, lalu menyusul Resya yang sudah berjalan di depan mereka.

Di kelas yang sepi, hanya tersisa Naura, akhirnya Naura berani menangis. Terduduk di lantai sambil memegang pinggangnya yang sakit karena terbentur meja. "Apa salah gue, sih? Kenapa?"

"Kamu kenapa, Ra?"

***

Angga sedang berjalan menuju lapangan basket, tapi di koridor dekat kelas 11 IPA-2, terdengar suara tangisan. Ia sampai merinding.

"Manusia bukan, ya?" Angga berjalan perlahan lalu mengintip dari jendela. Ia melebarkan mata ketika melihat seorang murid cewek menangis dengan rambut yang berantakan dan ada kulit pisang di atas kepalanya. "Siapa yang bikin dia kayak gitu? Astagfirullah."

Angga pun memasuki kelas itu dengan cepat. Ketika melihat name tag yang ada di seragam cewek itu, alis Angga otomatis mengerut kaget. Naura?

"Kamu kenapa, Ra?" Angga semakin bingung saat tangis Naura berhenti.

"Jangan mendekat."

Angga merasa miris setelah mendengar suara Naura yang gemetar. "Hei, it's okay. Ini Kak Angga. It's okay."

Angga duduk berlutut, mengambil kulit pisang yang ada di kepala Naura, lalu merapikan rambut Naura dengan hati-hati. "Apa yang sakit? Ayo, kita ke UKS."

"Kak Angga...." Naura masih menunduk dan kembali menangis. Banyak yang ingin ia sampaikan, tapi ia tidak bisa. Dadanya terasa sangat sesak.

Angga bingung harus berkata atau menanyakan apa lagi. Ia akhirnya meraih tangan Naura yang gemetar dan dingin. "Okay. Kamu tenang, ya."

Naura mengangguk pelan. "Apa aku boleh istirahat di UKS?"

"Tentu aja boleh. Ayo!" Angga membantu Naura berdiri, dan menuntunnya berjalan. Naura terlihat begitu pucat dan lemas. Angga jadi semakin penasaran. Siapa sebenarnya manusia jahat yang habis merundung Naura?

***

Naura masih menutup mulut dengan rapat setiap Angga bertanya. Angga sampai terlihat lelah bertanya. Ia akhirnya hanya bisa membuatkan teh manis hangat untuk Naura.

"Minum, ya. Gu--Kakak udah susah payah nih bikinnya."

Naura sedikit tersenyum, mengangguk pelan. "Makasih, Kak."

Setelah meminum sedikit teh buatan Angga, Naura kembali berbaring sambil memejamkan mata. "Kak Angga masuk ke kelas aja. Udah bel, kan?"

"Iya, sih. Tapi, kamu--"

"I'm fine." Naura membuka matanya, tersenyum meyakinkan kakak kelasnya itu.

"Okay." Sebenarnya Angga tidak percaya dengan kata-kata Naura. Tapi, ya sudahlah. Mungkin Naura memang ingin sendirian. "Pulang sekolah, mau bareng?"

"Nggak usah. Aku dijemput mama." Tentu saja Naura berbohong. Ia masih tahu diri, ia belum layak diantar pulang oleh cowok sesempurna kakak kelasnya itu.

"Ohh, okay." Angga menggaruk tengkuknya. Lalu tersenyum canggung. "See ya."

"Hati-hati, Kak."

Angga terkekeh pelan. "Siap, Bos!"

Setelah Angga pergi, Naura kembali memejamkan mata. Ia senang bisa sendirian, entah mengapa. Sangat tenang dan damai. Apa kematian akan terasa seperti ini?

Naura tidak sadar, gorden di sebelahnya tertutup karena ada alasan. Seseorang sedang berbaring di ranjang UKS, di sebelahnya. Mendengar semua perbincangannya dan Angga. Memang tidak sengaja, seseorang itu bahkan menutup mulut agar tidak ketahuan keberadaannya.

Namun, seseorang itu bukanlah orang yang sabar dan pandai menyimpan rahasia. Ia membuka gorden, lalu menyapa Naura dengan santai.

"Oi, lo sakit?"

Seketika, ketentraman Naura hancur setelah mendengar suara yang sangat tidak asing itu. "Menurut lo?"

"Lo nggak pura-pura kayak gue, kayaknya. Lo sakit apa? Sakit banget? Kok Kak Angga keliatan khawatir banget?"

"Bacot." Naura sangat jarang berbicara kasar. "Jangan ngomong sama gue."

"Kenapa? Gue kira, kita udah akrab?"

"Kapan? Jangan sok akrab." Sesuai saran Resya, Naura harus menjauhi Nata.

Nata mendengus. "Lo amnesia? Kita kan udah baikan kemaren."

"Gue ngantuk." Naura berbalik badan, memunggungi cowok itu. "Jangan ganggu gue, Nat."

Sikap Naura sangat aneh di mata Nata. "Lo kenapa, sih? Apa salah gue?! Kenapa lo kayak benci banget ngomong sama gue, hah?!"

"Gue juga mau nanya hal yang sama ke adek lo! Puas?!" Tanpa sadar Naura sedikit berteriak. Naura menyesal karena sudah berhasil terpancing emosi.

"Resya? Dia ... ngapain?" Nata terdengar ragu bertanya.

"Nggak. Dia cuma ... nggak pernah mau ngobrol sama gue. Itu aja."

Ada ketakutan yang terdengar dari suara Naura. Nata yakin, ada yang tidak beres antara Naura dan Resya. "Dia nyakitin lo?"

Naura hanya bisa diam.

Nata turun dari ranjang, berdiri di samping ranjang rawat Naura. "Jawab!"

"Nggak. Lo salah paham."

"Salah paham? Makanya, jelasin, Ra!"

Naura menghela napas. "Gue nggak boleh deket sama lo. Itu aja. Jadi, lo mending jangan pernah ajak gue bicara lagi. Anggap gue nggak terlihat. Kayak sebelumnya."

"Kalau gue nggak mau, gimana?" Nata menaikkan satu alisnya.

"Adek lo ... bakal terus bikin gue sakit." Naura menutup mulutnya agar tidak terisak lagi. "Please, Nat. Pergi."

Nata berdecak. "Lo pikir, gue percaya? Resya nggak mungkin nyakitin lo. Lo pasti ngarang, biar gue kasihan. Basi."

"Gue nggak suka dikasihani. Terserah kalau lo nggak percaya."

"Gue nggak mau menjauh ataupun pergi."

Naura mendengus kesal. "Lo mau buktiin kalau gue ngarang atau nggak?"

"Resya nggak sejahat itu," ucap Nata pelan. "Lo pasti bohong."

"Ya, orang kayak gue memang susah dipercaya sama orang lain. Semua orang selalu lebih percaya sama perempuan yang cantik, kan? Ah, nyebelin banget." Naura menyeka air matanya, tapi nada suaranya terdengar begitu kesal. Ia menangis bukan karena sedih, tapi marah.

"Bukan gitu!" bentak Nata. "Gue baru kenal sama lo. Beda sama Resya. Makanya gue ... kurang percaya. Sorry."

"Apa lo nggak bisa cukup menjauh dari gue? Apa lo harus lihat kelakuan adek lo dulu, baru lo percaya?"

"Kalau dia bener nyakitin lo, gue akan ngelindungin lo."

"Mana mungkin?" Naura mendengus. "Lo pasti akan membela adek lo, lah."

"Nggak. Gue netral! Janji."

"Terserah. Gue capek." Naura menarik selimut hingga menutupi kepalanya.

"Lo udah makan?"

Naura dari balik selimut hanya memegani perutnya yang perih. Padahal sudah makan buah, tapi ia tetap lapar. "Udah."

"Gue beliin bubur ayam, oke?"

"Gue udah makan!" Naura membuka selimut, tapi Nata sudah menghilang. Cepat sekali kaburnya.

Naura sedikit tersenyum karena membayangkan bubur ayam yang hangat. Dia lapar sekali. Untung Nata tidak percaya kalau Naura sudah makan. Syukurlah.

[]

A/n:
Ada yang kangen Kak Angga? Gak tau kenapa, aku meleleh sendiri nulis bagian Kak Angga 😭

Kalo Nata ... kayaknya aku kurang membuat dia ngeselin. Kok malah jadi so sweet sih? Aneh :(

See ya next time!!! Xx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top