4: Tidak Layak


Nata masuk ke kelas Resya saat jam istirahat, ia duduk di depan Resya tapi matanya melirik ke kursi paling belakang--dekat jendela.

Nata tidak habis pikir, alasan dirinya mencemaskan cewek aneh itu. Ia tidak terlalu kenal dengan Naura. Seperti kata Naura tempo hari, Nata hanya sekadar tahu nama. Tidak bisa dibilang kenal apalagi dekat.

"Nat, gue nggak terlalu kenal sama lo. Lo juga cuma tahu nama gue. Jadi, gue mau ngasih tahu, cewek kayak gue juga nggak mungkin suka sama cowok kayak lo. Gue tahu diri, jadi, lo nggak perlu khawatir."

Kata-kata Naura terus terngiang di kepala Nata. Mungkin ucapan Nata keterlaluan, tapi ia tidak bermaksud seperti itu. Ia merasa bersalah, dan tidak ingin Naura terus salah paham. Nata tidak ingin dianggap brengsek oleh Naura, entah kenapa.

Aneh sekali. Padahal biasanya, ia tidak peduli semua penilaian orang-orang tentang dirinya. Apa jangan-jangan ... Naura bukan orang? Alien, mungkin?

Saat alis Nata berkerut karena berpikir keras, Resya yang ada di hadapannya tentu saja bingung. Resya memukul meja satu kali dengan kencang, hingga Nata terkejut dan menatap Resya.

"Lo kenapa, hmm?" Nata bertanya tanpa rasa bersalah. "Meja tuh buat belajar, bukan buat dipukul."

"Lo ngapain ngeliatin Naura? Naksir?"

"Waduh, ketahuan." Nata melebarkan matanya sambil tersenyum jail. "Lo punya nomor WA dia, nggak?"

"Sinting." Resya mendengus. "Selera lo rendah banget."

Nata mengernyit. "Rendah?"

"KAK Nata, apa lo buta? Naura tuh nggak ada bagus-bagusnya. Gue tahu lo sekarang playboy, tapi, jangan semua cewek lo deketin. Pilih-pilih, lah." Resya berbicara begitu santai, tidak sadar kalau kata-katanya berhasil membuat Nata kesal.

"Gue kira lo baik, Sya." Nata menatap lurus mata Resya. "Kenapa sejak lo jadi adek gue, wajah asli lo baru keliatan?"

"Apaan, sih? Gue sama aja."

"Nggak, lo beda. Gue baru tahu, lo teryata menilai semua orang dari fisik. Apa lo mau bergaul sama gue karena gue ganteng? Kalau gue jelek, pendek, item ... apa lo akan mau dekat sama gue? Bahkan, jadi adek gue?"

"Lo kok marah, sih? Bukannya lo sama aja kayak gue? Lo juga mau deket sama gue karena gue cantik dan populer, kan? Jangan sok suci." Resya bangkit berdiri, lalu mengacak rambut Nata dengan pelan. "Kita sama aja, Kak."

Setelah Resya pergi, Nata mengepalkan tangan di meja sambil mengingat hari-hari di mana ia baru jatuh cinta dengan Resya.

Apa Resya akan percaya, kalau Nata bilang, ia tidak menyukai Resya karena fisik semata?

"Gue suka lihat lo tersenyum. Bukan karena lo keliatan cantik saat tersenyum. Tapi karena senyum lo tulus, gue suka," gumam Nata pelan, nyaris tidak terdengar.

Namun sudah lama Nata tidak melihat senyum tulus itu di bibir Resya. Kenapa? Apa karena Resya tidak bahagia menjadi adik Nata? Padahal, Nata sudah mulai bisa menerima keadaan.

Nata mengalihkan pandangannya ke seseorang yang sejak tadi memperhatikan diam-diam. Mungkin menguping juga. "Apa lo liat-liat?! Emangnya gue pisang?!"

Naura berjengit kaget. "Ye, selow, dong!"

Nata lalu mendengus geli. "Kaget, ya, liat cowok ganteng segalak ini?"

Naura tiba-tiba mual. Ia berlagak mau muntah, sebagai respon dari pertanyaan Nata yang terlewat narsis.

Nata semakin terkekeh. Ia bangkit berdiri dan pindah duduk ke hadapan Naura. Ia mudah sekali memutar bangku, agar bisa berhadapan dengan Naura. "Lo lagi apa?"

"Lagi nggak pengin diganggu," jawab Naura tegas.

"Oke. Gue diem." Nata menutup mulutnya rapat sambil memperhatikan Naura yang sedang mendengarkan lagu pakai headset. "Lo dengerin lagu apa?"

"Kita nggak sedekat itu, sampai gue mau ngasih tahu lagu favorit gue."

"Pelit." Mata Nata menyipit.

Naura melepas headset-nya, lalu melipat tangan di meja sambil menatap Nata tajam. "Apa tujuan lo ngajak gue bicara?"

"Hah? Tujuan?" Nata bingung dengan pertanyaan Naura. "Nggak ada. Iseng aja."

"Kalau gitu, pergi."

"Nggak mau."

"Ya udah, gue yang pergi."

Nata langsung menahan tangan Naura, dan menyuruhnya duduk kembali. "Waktu di UKS hari itu, lo salah paham."

"Maksud lo?"

"Cewek kayak lo, maksud gue, cewek galak yang suka ikut campur. Gue sama sekali nggak berpikir buat menghina fisik lo. Sumpah." Nata sedikit terbata-bata, karena gugup dan malu menjelaskan kepada Naura.

Naura sempat terdiam. "Lo serius?"

Nata mengangguk. "Makanya gue bingung waktu lo marah-marah di toilet."

"Ohh. Ya udah, lupain aja. Gue juga udah nggak marah sama lo."

"Seriusan?"

"Gue bukan orang yang mengumpulkan dendam. Tenang aja."

"Yey! Oke, sekarang gue bisa lega. Makasih, Ra."

"Ra?" Naura menaikkan satu alisnya.

"Iya, Ra. Nama lo Naura, kan? Kenapa? Lo mau gue panggil 'Beb', ya?" Nata terkekeh.

"Nggak! Ogah!"

***

Naura berjalan sambil membawa buku Tere Liye yang berjudul Pulang. Buku itulah yang membuatnya bisa mengobrol dengan Angga pertama kali. Dan kali ini, ia ingin menagih janji Angga waktu itu. Ia ingin mengobrol lebih banyak soal buku Tere Liye. Tenang saja, semalam Naura sudah membaca buku Pulang hingga selesai. Ia yakin bisa menjawab semua pertanyaan Angga soal buku itu.

Saat Naura ingin menghampiri Angga di perpustakaan, ia melihat pemandangan yang tidak menyenangkan. Ia memeluk bukunya lebih erat, menahan sesak yang mulai menjalar di dadanya.

"Kak Angga ... kok keliatan akrab banget sama Resya?" Naura terus memandang Angga dan Resya dengan penuh rasa iri.

Angga terlihat begitu nyaman mengobrol dengan Resya. Mereka bahkan tertawa, lalu terdiam saat sadar mereka sedang di perpustakaan. Naura penasaran, apa saja yang mereka bicarakan?

Apa lebih seru dari buku Tere Liye kesukaan Angga?

Naura merapatkan mulutnya, lalu berbalik badan untuk pergi. Namun seseorang tiba-tiba menutup mulut Naura, menarik tangannya dan menyeretnya untuk ikut bersembunyi di balik rak buku.

"Sstt, diem. Entar ketahuan." Ternyata Nata. Naura sempat ketakutan, mengira yang menariknya adalah orang jahat atau semacamnya. Eh, tunggu dulu. Nata kan juga belum bisa dibilang orang baik.

"Lo ngapain, sih? Kalau ngumpet, ngapain ngajak-ngajak?" dengus Naura.

"Nggak seru ngumpet sendirian." Nata terus memantau Resya dan Angga. "Lagian, gue cuma mau jadi kakak yang baik. Gue nggak mau adik gue salah pilih cowok."

"Salah pilih?" Naura mengernyit. "Maksud lo, Kak Angga kurang layak buat Resya?"

"Iyalah."

"Asal lo tahu, Kak Angga itu cowok paling sempurna di SMA ini. Gue malah heran, gimana bisa Kak Angga bergaul sama Resya?"

Nata mendelik. "Apa salah Resya? Dia cantik, pinter--"

"Sombong, manja, suka menghina orang lain. Ah, gue sangat mengenal Resya, Nat." Naura menghela napas. "Dia yang kurang baik buat Kak Angga. Paham?!"

"Terus? Lo layak buat Kak Angga, gitu?" Nata menaikkan satu alisnya.

"Gue lagi berusaha. Jadi, lihat aja nanti." Naura menginjak kaki Nata, lalu kabur secepat kilat sebelum Nata mengamuk.

"Heh! Malah kabur!"

"Kak Nata?" Resya tiba-tiba sudah ada di samping Nata, memandang kakak tirinya itu dengan heran. "Ngapain?"

Tentu saja Nata terkejut. Ia mengambil buku secara asal. "Gue mau minjem buku. Kenapa? Nggak boleh?"

"Buku ... Ekonomi? Jurusan lo bukannya IPA, sama kayak gue?" Resya melipat tangannya, menuntut penjelasan Nata.

"Apa salahnya anak IPA baca buku Ekonomi. Nggak dosa, kan?" Nata pun buru-buru pergi sebelum semakin banyak berbohong. "Aish, kenapa pakai ketahuan segala, sih?!"

Resya menatap kepergian kakaknya itu dengan curiga. Apa Nata memata-matai dirinya? Itu artinya ... apa Nata masih menyukai dirinya juga? Resya otomatis tersenyum.

"Sya, Nata kenapa?" Angga menghampiri Resya yang masih senyum-senyum sendiri. "Lo juga kenapa?"

"Gue harus cabut, Kak. Makasih ya, karena udah mau ngejelasin kriteria jadi ketua OSIS. Dah!" seru Resya dengan senyum lebar, dan melambaikan tangan ketika berlari.

Angga hanya mendengus geli melihatnya. "She's cute."

Semua orang berhak memilih, dipilih, menerima, mencintai, ataupun dicintai. Tidak ada kata 'tidak layak', karena semua manusia lebih dari layak untuk merasakan cinta.

[]
A/n:
Baru sempat update. Maaf yaa, semoga belom pada lumutan wkwk

Q: Menurut kalian, salah nggak kalau kita ingin berubah demi orang yang kita suka? Alasannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top