3: Cantik?
Naura memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia mendekatkan wajahnya hingga berjarak kurang dari sejengkal. "Jelek banget."
Naura menghela napas, memegang kedua pipinya yang tembam hingga bibirnya mengerucut, lalu kembali menghela napas setelah merasa wajahnya tidak ada imut-imutnya melakukan hal itu. Kenapa idol Korea terlihat imut kalau bergaya seperti itu? Tidak adil.
Naura beralih mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya yang lengket. Ia memang jarang keramas. Jorok? Lebih tepatnya, ia hemat air.
"Aduh, duh. Ini rambut kok ada permen karetnya?! Sejak kapan?!"
Pasti ulah murid iseng yang tidak ada kerjaan. "Ini sih harus digunting. Ish, nyusahin orang aja sih." Naura mulai mencari gunting di laci lemarinya, lalh menggunting ujung rambutnya yang terkena permen karet. "Yah, panjangnya jadi nggak rata, dong?"
Naura akhirnya memilih mandi untuk mencuci rambutnya yang lengket, sekalian agar lebih mudah dipotong nanti. Naura memang sudah sering memotong rambutnya sendiri. Ia sudah ahli, kok. Paling hanya miring sedikit.
Ia terlalu malas untuk ke salon dan ia juga tidak mungkin meminta tolong mamanya. Ia terlalu takut.
Mama; seseorang yang penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. Entah apa yang salah, tapi Naura tidak pernah merasa mamanya seperti itu. Seperti mama yang ada di drama-drama. Mamanya sangat dingin. Alasannya, mungkin karena Naura tidak pernah membuatnya bangga ataupun bahagia.
Naura tidak pernah mendapat penghargaan apa pun, beda sekali dengan Zavi--adik lelakinya. Zavi berbakat di bidang seni ataupun pelajaran. Mama selalu terlihat sangat menyayangi Zavi seolah Zavi adalah dunianya.
Naura? Ia tidak pernah merasa menjadi dunia mamanya. Ia lebih sering merasa menjadi beban bagi mamanya. Contohnya, ia selalu merasa bersalah setiap meminta uang bulanan sekolah. Walau selalu dikasih, mama pasti menghela napas seolah Naura sangat menyusahkan.
Makanya, nanti setelah lulus SMA, Naura tidak ingin kuliah. Ia takut tambah menyusahkan mamanya. Jadi, Naura akan langsung kerja untuk mencari uang. Gaji pertamanya nanti, akan dibelikan baju-baju yang cantik untuk mamanya. Walau masih tidak sebanding dengan jasa mama, setidaknya, Naura ingin membuat mamanya tersenyum. Walau hanya satu kali.
"Bismillah," ujar Naura sebelum memotong ujung rambutnya hingga rata dan lebih pendek. Ia pun menyisir rambutnya sambil tersenyum kecil, sudah lama sekali ia tidak memperhatikan rambutnya. Ia selalu menguncir rambutnya dengan asal setiap ke sekolah. Di rumah, ia juga jarang melepas kuncirannya.
"Mungkin, ini saatnya buat gue lebih perhatian sama diri gue sendiri. Kayak kata Kak Angga." Naura tersenyum saat teringat dengan kata-kata kakak kelas idolanya itu tadi sore. Angga terdengar begitu peduli dan hangat.
"Pertama, gue baik sama semua orang. Kedua, gue nggak kasihan sama lo, gue cuma peduli sama lo. Ketiga, mata lo yang seakan-akan minta tolong untuk diselamatkan. Gue nggak buta, makanya gue mau menolong lo. Gue nggak mau lo diganggu lagi."
Naura langsung menutupi pipinya. "Astaga, dia bilang, nggak mau gue diganggu lagi...."
Naura pun melompat ke tempat tidur, memeluk bantal sambil membayangkan wajah manis kakak kelasnya. "Yap. Gue harus mulai mencintai diri gue sendiri. Pertama-tama, gue harus diet!"
Sedetik kemudian, perut Naura berbunyi. "Ah, dietnya besok aja, deh. Sekarang harus makan yang banyak, biar sehat."
Naura keluar dari kamar, berjalan menuju kulkas. Ia kira, di dapur tidak ada siapa-siapa, makanya ia berjalan sangat santai. Namun, ternyata ada mama. Naura otomatis berhenti berjalan dan siap-siap berbalik badan.
"Belom makan?" Suara mama terdengar tanpa emosi. "Nih, ada ayam, mama beli di jalan."
Naura tanpa sadar tersnyum, menerima ayam krispi yang mamanya belikan. "Makasih, Ma."
"Ya udah sana, oh iya, anterin ini ke kamar adek kamu. Dia pasti juga laper." Mama memberikan sekotak makanan, yang membuat Naura penasaran. Kok bukan ayam krispi juga?
Saat hampir sampai kamar Zavi, Naura sedikit membuka tutup kotak makanan untuk adiknya itu. Matanya melebar kaget. "Daging steak? Wow."
Naura menggigit bibir bawahnya, merasa tersakiti karena mamanya sudah pilih kasih. Seharusnya, Naura memang tidak perlu kaget. Biasanya bahkan lebih parah, kan?
Mungkin karena Naura sedang kedatangan tamu, makanya ia jadi jauh lebih sensitif.
Berusaha tersenyum, ia mengetuk pintu kamar adiknya, lalu masuk setelah terdengar suara Zavi menyuruh masuk. "Nih, makan. Dari mama."
"Oke, taruh aja di kasur. Gue lagi sibuk belajar," ujar Zavi, tanpa melihat Naura.
"Belajar apa?"
"Belajar Fisika."
"Ohh, oke." Naura pun bersiap keluar kamar, tapi Zavi bersuara lagi.
"Mama beliin ayam, bukan?"
"Hah? Bukan, lo dibeliin steak dari restoran. Kayaknya."
"Yah, gue padahal lagi pengin makan ayam. Itu yang lo pegang apa?" Zavi bangkit berdiri, lalu merebut seplastik ayam krispi yang dipegang Naura. "Ini ayam, kan?"
"Iya, tapi ini bukan buat lo. Ini ... buat gue."
Zavi mengambil sekotak makanannya yang ada di kasur, lalu menyuruh Naura memegangnya. "Beres? Kita tukeran aja, oke? Mama nggak akan tahu. Kalau ketahuan, gue yang bakal jelasin."
"Lo habis kesambet apa? Tumben--"
"Udah, sana pergi."
"Lo pasti pengin bikin gue tambah gendut, biar lo makin keliatan keren, kan?" tuduh Naura menyipitkan mata.
"Ya, ya, ya. Anggap aja kayak gitu." Zavi memutar badan Naura, lalu mengantar Naura hingga di depan kamar. "Makan yang banyak, biar makin kayak sapi. Dahh."
Zavi menutup pintu cukup keras, hingga membuat Naura menutup mata untuk sesaat. Setelah membuka mata, Naura memandang pintu di hadapannya seolah itu adalah adiknya. "Dasar jahat."
***
Naura ingin berubah mulai hari ini. Ia ingin cantik dan langsing seperti murid-murid yang lain. Seperti Resya, mungkin?
Resya tidak perlu berusaha, ia sudah terlihat cantik alami. Kulitnya putih mulus, sedikit merona, bibirnya juga merah alami. Tubuhnya langsing dan tinggi, rambutnya juga lurus dan berkilau. Tipe-tipe gadis idaman banyak orang. Sangat membuat Naura iri setengah mati.
Jadi, ia berusaha tampil secantik mungkin mulai hari ini. Ia akan memakai make up, seperti murid-murid di kelasnya. Ia bahkan memakai blush on, agar pipinya merona seperti Resya. Ralat, pipinya harus lebih merona dari Resya.
Naura berjalan sambil tersenyum riang, karena ia merasa banyak orang yang mulai memperhatikannya. Itu artinya, ia tidak diabaikan. Jadi seperti ini rasanya?
"Itu dia habis kesambet apaan, dah?"
"Kayak habis digebukin, anjir."
"Kagak, itu badut ulangtahun kenapa nyasar ke sekolah coba?"
"Gila, gila, dia pede banget! Nggak ngaca dulu apa?"
Setelah Naura baru sadar alasan orang-orang memperhatikannya, barulah ia merasa menyesal. Ia menutupi wajahnya dan berlari tidak tentu arah. Jika bisa, ia ingin meminjam kekuatan super hero yang bisa menghilang detik ini juga.
Memalukan sekali.
"Gue cuma mau cantik...." Naura duduk di kursi taman yang sepi, di belakang gedung sekolah. Ia mulai menangis. "Kenapa semua orang bisa cantik, tapi gue nggak?"
Tanpa Naura sadari, ternyata ada seseorang yang memperhatikan diam-diam sambil memegang bola basket. Cowok itu melempar bola basket ke depan Naura, lalu pura-pura berlari untuk mengambil bola itu. "Astaga, kenapa nih bola kelempar sampai ke sini, sih?"
Naura langsung menunduk ketika melihat cowok itu di hadapannya sambil memungut bola basket. "Lo ngapain?"
"Lo yang ngapain? Sebentar lagi bel."
"Bukan urusan lo, Nat."
"Lo cantik. Semua perempuan itu cantik dengan caranya masing-masing. Tanpa make up tebal kayak gitu, lo sebenernya terlihat ... lumayan cantik." Nata menggaruk tengkuknya, lalu duduk di sebelah Naura.
"Pembohong. Lo bilang gitu, cuma biar gue merasa terhibur, kan?" sinis Naura.
"Kok tau?" Nata terkekeh. Naura langsung memukul lengan Nata. "Eh, gue jadi penasaran. Kenapa lo tiba-tiba dandan kayak begini? Lo beneran habis kesambet?"
Naura menghela napas. "Gue cuma capek diganggu sama temen--bukan, mereka bukan temen gue. Hmm, gue capek diganggu sama anak-anak satu kelas. Makanya gue pengin lebih cantik, biar mereka nggak ganggu gue lagi."
Nata mengeluarkan sebungkus tissue basah, lalu mengambil satu lembar tissue itu dengan canggung. "Kalau lo masuk kelas dengan make up kayak gitu, yang ada lo malah makin diganggu."
"Iya, gue tau." Naura mengambil tissue pemberian Nata, lalu menghapus make up di wajahnya dengan kasar. Nata sampai mengernyit melihatnya.
"Ish, pelan-pelan, bego." Nata menahan tangan Naura, lalu mengambil tissue yang ada di tangan cewek itu. "Kalau bersihin muka, jangan asal. Nanti muka lo malah makin jelek."
Naura terdiam, membiarkan Nata membersihkan wajahnya yang penuh blush on. Ia mulai menggerakan kakinya karena merasa sangat canggung. Ia bahkan merasa tenggorokannya sangat kering untuk mengatakan apa pun.
"Lo juga pakai lipstik? Ya ampun...." Nata mengambil tissue basah lagi.
"Gue bisa sendiri!"
Nata menyipitkan mata memandang Naura. "Ya iyalah, harus. Lo pikir gue mau ... astaga, apa lo berharap kayak gitu?"
Naura refleks menginjak kaki Nata, lalu bangkit berdiri. "Nggak! Nggak pernah! Puas, lo?"
Nata meringis mengusap kakinya yang terasa nyeri. "Selow, dong! Astaga, lo galak banget. Pantes aja jomblo!"
"Berisik, lo juga jomblo!"
"Eits, sok tau!"
[]
A/n:
Sorry ending partnya gak jelas, rada ngebut nulisnya wkwk
By the way, aku senang cerita ini berhasil masuk readinglist LY 💜
Thank you so much! Xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top