8. Pembuktian


Lima hari ini aku dilanda galau. Selama itu pula aku mengabaikan pesan dan telepon dari Kak Rey untuk menenangkan diri sekaligus mencari jawaban. Terakhir membalas pesannya perihal gaji darinya. Pikiranku masih dipenuhi dengan permintaannya untuk menikahiku. Lebih tepatnya menerima cintanya terlebih dahulu. Dia pasti sangat menunggu jawaban dariku. Buktinya, dia selalu mengirimku pesan walaupun berakhir dengan tanpa balasan. Aku bingung akan memberinya jawaban apa. Jika menilai dari rupa, sudah tentu dia sempurna dan terbaik. Jika melihat dari hati, ini yang menjadi masalah. Aku bahkan belum lama mengenalnya, bagaimana aku akan menerimanya. Tetapi, aku pun tak ingin menolaknya. Lebih sialnya lagi, aku tak memiliki orang terpercaya untuk meminta saran. Apa aku cerita saja dengan Kak Sam?

"Belum balik, Sha?" Pertanyaan itu membuat pikiranku buyar. Mas Kukuh berjalan melewati meja kerjaku.

"Bentar lagi, Mas. Mau ngomong sesuatu dulu sama Kak Sam." Aku beranjak dari kursi, lalu menuju ruangan kakakku.

Saat membuka pintu, aku langsung disambut sosok Kak Sam yang sama-sama berdiri di balik pintu. Penampilannya sudah rapi dan bersiap untuk pulang. "Kak, ada yang mau aku omongin," ungkapku segera.

"Ada komplainan?" tanyanya.

Aku membuka pintu lebar, lalu masuk dan menutup pintu dengan rapat. "Bukan masalah pekerjaan. Ini masalah ..." Aku menggantungkan kalimat karena bingung akan memulainya dari mana.

"Apa, Sha? Jangan bikin gua bingung. Atau jangan-jangan masalah Mama," tebaknya. Nada suaranya terdengar khawatir.

"Bukan, Kak. Ini masalah aku. Aku ... aku bingung mau cerita dari mana dulu."

Kak Sam terlihat menyipitkan mata. Memang dia harus tahu. Aku harus mulai dari mana?

"Sha?"

"Temen Kakak ngajak aku nikah," ungkapku akhirnya.

"Siapa? Kukuh? Raden? Atau ..." Kak Sam menggantungkan kalimatnya.

"Kak Rey," ketusku.

"Terima saja."

"Haish! Serius, ih."

"Ya, gua serius."

"Kakak tau kan kalau aku belum lama kenal dia, terus tiba-iba ngajak nikah. Kalau dia sudah punya istri gimana?"

"Emang dia serius ngajak lu nikah? Apa cuma bercanda saja dan lu anggap serius?"

Aku mengayun langkah dengan kasar menuju kursi, lalu duduk. "Kakak kalau nggak percaya tanya saja sama orangnya," gerutuku.

"Dia sudah izin sama gua masalah itu."

Seketika mataku melotot. Dia terlihat melebarkan senyum sambil bersandar pada dinding, memasukkan kedua tangan pada saku celana. "Ih, kenapa Kakak nggak bilang?"

"Ngapain gua bilang? Bukan urusan gua ikut campur masalah hati kalian. Gua cuma bisa kasih saran saja, jangan lama-lama kasih jawaban ke dia."

"Kakak tau kan kalau aku belum kenal lama dan seperti apa dia."

"Memang mau langsung nikah? Enggak, kan?"

Iya, sih. Dia tak memaksaku untuk ke jenjang itu.

"Gua jamin, dia orangnya baik."

Berharap dapat solusi, ternyata justru semakin membuatku galau.

"Gua cabut dulu. Malik sudah nungguin di rumah minta jalan-jalan." Kak Sam berlalu dari ruangan ini setelah mengatakan hal itu. Sedangkan aku masih duduk di sini, sibuk dengan pikiran sendiri mengenai jawaban untuk diberikan pada Kak Rey.

Aku menyusul keluar ruangan karena tak ingin semakin hanyut memikirkan jawaban. Kemungkinan besar aku akan menerima. Minim sekali perasaanku untuk menolaknya. Lihat saja bagaimana nanti saat berhadapan dengannya.

Jalanan terlihat cukup ramai karena masuk waktu pulang kerja, apalagi ini malam minggu. Aku memilih jalan kaki untuk pulang sambil menikmati suasana dan udara sore. Biasanya, jika malas jalan, aku akan naik angkutan umum untuk pulang ke indekos. Jarak dari indekos ke kantor sekitar 600 meter. Aku mempercepat langkah saat tinggal 100 meter dari indekos. Terlihat mobil yang tak asing dalam ingatanku parkir di depan pagar indekos. Seketika aku menghentikan langkah saat tahu siapa pemilik mobil itu, karena aku ingat nomor platnya. Pintu mobil terbuka dan keluarlah sang pemilik. Aku hanya bisa menelan ludah. Kaki seakan tak bisa diajak kerjasama, sulit digerakkan.

"Dari mana saja?" tanyanya sambil berjalan mendekatiku.

"Ke-kerjalah." Ah, kenapa gugup seperti ini?

Dia berdiri di hadapanku saat ini, lalu menatap jam di pergelangan tangannya. "Harusnya setengah jam yang lalu sudah pulang."

"Tadi aku ngobrol dulu sama Kak Sam. Pulang juga jalan kaki. Kalau nggak percaya, Kakak telepon saja kakakku."

Tiba-tiba dia mencekal lenganku, lalu menariknya. Walaupun tak ditarik kasar, tetap saja aku kaget dan terpaksa mengikutinya. Dia melepas cekalan saat kami tiba di dekat mobil, lalu membuka pintu mobil belakang dan meraih sesuatu. "Cepat siap-siap dan pakai baju ini." Dia memberikan barang itu padaku. Lebih tepatnya tas karton. "Waktumu hanya sepuluh menit," lanjutnya.

"Maksudnya apa?" Aku protes.

"Hari ini, aku akan meminta jawaban darimu. Jika jawabanmu 'iya', maka kamu harus selesai bersiap dalam waktu sepuluh menit dan pakai baju pemberianku," jelasnya.

Penjelasan darinya membuatku tak bisa berkata. Membawa baju pemberiannya saja sudah menjadi salah satu tanda setuju. Pikiranku buyar saat dia menyentuh kedua lenganku, lalu memutar tubuhku dan mendorong agar aku masuk ke dalam gerbang. "Jangan buang-buang waktu," katanya.

"Kasih aku waktu lagi." Aku masih berusaha negosiasi.

"Waktumu sudah hampir habis, tinggal delapan menit lagi. Cepat masuk dan mandi, lalu keluar."

"Kalau aku nggak keluar, Kakak mau apa?"

"Aku akan datangi kamarmu."

"Siap-siap saja dapat ultimatum dari kakakku."

"Cepat masuk atau aku antar kamu sampai ke depan pintu kamar."

"Iya!" Aku masuk ke dalam gerbang dengan langkah kesal. Secara tidak sadar, aku telah memberi jawaban untuk menerimanya. Astaga.

Setibanya di kamar, aku segera mengeluarkan baju pemberian Kak Rey dari dalam tas karton, lalu menghamparkannya di atas tempat tidur. Terusan warna putih berlengan pendek dan panjang sebatas lutut itu masih menjadi pusat perhatianku. Kenapa Kak Rey memilihkan baju ini untukku? Apa dia tidak tahu jika aku sangat menghindari baju seperti ini? Tak ingin berpikir panjang, aku segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Pikiranku masih tak tenang antara mengenakan baju darinya atau pilihan sendiri. Masalahnya, aku tak memiliki baju lain yang semisal dengan itu. Beberapa baju yang aku bawa belum dicuci, karena niatnya malam ini aku akan mencuci.

Deringan ponsel menggema saat aku keluar dari kamar mandi. Aku yakin jika itu telepon Kak Rey. Tak peduli. Pikiranku masih sibuk mengenai baju. Pada akhirnya, aku tetap tak memiliki pilihan. Menyebalkan. Suara ketukan pintu menggema saat baju pemberian Kak Rey sudah menghiasi tubuhku. Seketika mataku membulat saat mengingat ucapan Kak Rey. Aku segera meraih ponsel, lalu mengirim pesan padanya.

To: Kak Rey
Kakak nggak seriusan nunggu aku di depan pintu kamar, kan?

Ponsel kulempar ke atas tempat tidur, lalu segera merapikan rambut dengan cepat. Supaya lebih cepat, aku mengikat rambut menjadi satu, lalu segera merias wajah. Deringan ponsel kembali menggema. Sumpah. Demi apa pun dia sangat mengesalkan. Di waktu bersamaan terdengar pintu kamarku diketuk. Aku meraih ponsel, lalu menggeser ke atas. "Bisa tunggu nggak, sih?" tanyaku kesal saat tersambung.

"Tunggu apaan?"

Aku menatap layar ponsel karena itu bukan suara Kak Rey, melainkan suara kakakku. Astaga. Pengeras suara kutekan. "Nggak, Kak. Kenapa?" Aku tersenyum getir. Telepon dari Kak Rey pun terlihat masuk.

"Besok ke kantor sebentar. Pak Adi mau ambil contoh gambar granit, soalnya Kukuh nggak bisa karena pergi malam ini. Gua juga ada acara," ungkap kakakku.

"Jam berapa?" tanyaku memastikan.

"Tunggu saja dia WA. Gua sudah kasih nomer lu ke dia."

"Ya udah."

Ponsel kulempar ke atas tempat tidur. Pintu kamarku kembali terdengar diketuk. Aku menghela napas, lalu beranjak dari kursi, mengayun langkah menuju pintu dan membukanya. Mata kukerjapkan untuk memastikan. Bukan Kak Rey, tetapi salah satu penghuni indekos.

"Kak, aku mau bayar kos." Dia mengulurkan beberapa lembar uang padaku.

"Oh, iya. Nanti aku catat dan laporan ke kakakku, ya." Aku memaksa senyum.

Dia pamit setelah mendapat jawaban dariku. Sedangkan aku kembali masuk untuk melanjutkan dandan. Ada-ada saja kejadian, terlebih aku sudah berburuk sangka dengan Kak Rey. Dia pasti sudah menungguku terlalu lama. Aku harus segera selesai dan keluar sebelum dia meneror.

Aku keluar dari indekos setelah berulang kali menenangkan hati yang dilanda gugup dan tentunya memastikan penampilan yang terasa kurang nyaman. Walaupun terusan ini cukup panjang sebatas lutut, tetap saja aku kurang nyaman di bagian dada yang cukup terbuka. Kak Rey terlihat keluar dari mobil saat aku tiba di depan pagar. Dia langsung membuka pintu mobil samping kemudi, lalu memberi instruksi agar aku masuk.

"Aku nggak nyaman pakai baju ini," ungkapku sebelum menurutinya.

"Masuk saja," perintahnya.

Protes pun percuma. Kapan aku bisa menang darinya? Setelah aku duduk di kursi samping kemudi, dia pun menyusul masuk duduk di sampingku.

"Lepas ikat rambutmu."

Kontan aku menatapnya. "Ih, nggak," tolakku cepat.

"Lepas sekarang atau aku yang melepasnya?"

"Kenapa suka banget maksa?"

"Tadi kamu bilang nggak nyaman. Itu bukan kamu nggak nyaman, tapi karena hal lain, makanya aku minta kamu buat lepas ikat rambutmu. Atau mau ke salon?"

"Iya, aku lepas sekarang." Aku melepas ikat rambut dan terurailah mahkota di kepalaku. "Puas," lirihku kesal. Menyandarkan punggung dan membuang wajah ke kaca mobil.

Kak Rey terdengar membuka dasbor, lalu mencari sesuatu. "Aku akan merapikan rambutmu," ucapnya lembut.

"Nggak usah," balasku sebal.

Usapan terasa di permukaan rambutku. Aroma khas gel rambut menyeruak indera penciumanku. "Kamu bukan nggak nyaman, tapi risi karena bagian dada baju itu sedikit terbuka, makanya aku suruh lepas ikat rambut buat nutupin leher dan dan dadamu," jelasnya sambil mengusap rambutku. "Biar aku rapikan rambutmu," lanjutnya. Aku menegakkan tubuh, masih membelakanginya. Lebih tepatnya aku malu. Dengan lembut Kak Rey mengusapkan gel ke rambutku agar bisa ditata rapi. Sesuai ucapannya, rambutku ditata rapi olehnya agar menutupi dada. Setelah selesai, dia melajukan mobil ke tempat yang belum aku ketahui.

Hampir satu jam kami menikmati perjalanan hingga tiba di tempat tujuan. Tempat pilihan Kak Rey. Setibanya di lobi, seseorang langsung menghampiri mobil ini dan membuka pintu di sebelahku. Kak Rey pun bergegas turun dari mobil tanpa mematikan mesinnya. Melihat dia turun, aku pun menyusul ikut turun. Petugas yang membukakan pintu untukku langsung memasuki mobil Kak Rey dan membawa pergi kendaraan itu. Ah, aku mengerti sekarang. Pikiranku buyar saat benda tersampir di kedua bahu. Jas hitam yang tadinya dipakai Kak Rey telah beralih di tubuhku, menyisakan kaus hitam lengan panjang menghiasi tubuhnya. Aku menggigit bibir bawah untuk menahan senyum. Sudah tentu aku tersipu merasa malu.

"Ayo," ajaknya sambil menyentuh punggungku agar masuk ke dalam. Suasana di tempat ini tak begitu ramai, hanya terlihat beberapa orang hilir mudik di lantai dasar. Kak Rey membawaku naik lift menuju lantai 25.

Jujur, aku merasa tak percaya diri jalan berdampingan dengannya. Perbandingan kita itu sangat jauh. Kulit tubuh Kak Rey sangat bersih, putih, dan tentunya terawat. Berbeda denganku yang langsat dan tanpa perawatan. Lalu perbedaan gaya pakaian kami. Walaupun pakaian dia terlihat sederhana saat ini, tetapi terlihat  keren dan staylist. Berbeda dengan aku yang selalu tak percaya diri dengan pakaian seperti ini, karena biasanya aku hanya pakai celana panjang dan kaus biasa. Masalah tinggi badan aku tak begitu peduli. 165 cm tak begitu buruk menurutku, walaupun masih lebih tinggi Kak Rey yang kira-kira 180 cm.

Ting. Pintu lift terbuka. Kami langsung di sambut seorang wanita berpakaian rapi yang kuyakini adalah pelayan. Kak Rey langsung menyebut nama sendiri dan ditanggapi ramah oleh wanita itu. Kami di antar olehnya menuju meja tujuan. Ah, aku baru paham jika sebelumnya Kak Rey sudah memesan tempat terlebih dahulu. Tempat ini terlihat cukup ramai. Aku yakin jika ini restoran mahal.

"Ai."

Perhatianku teralih saat mendengar Kak Rey menyebut namaku. Pelayan yang mengantar kami pun sudah pergi. Aku menatap Kak Rey dan pandangan kami bertemu. Senyum ramah menghiasi wajahnya, lalu menginstruksi agar aku duduk di kursi yang sudah ia siapkan. Aku pun bergegas duduk sambil tersenyum kikuk. Kak Rey menyusul duduk, lalu meraih buku menu yang sudah ada di atas meja.

"Kamu mau pesan makan apa?" tanyanya tanpa menatapku, sibuk membuka buku menu.

Buku menu kubuka. Berbagai jenis makanan khas eropa menghiasi setiap lembar buku menu ini. Aku bingung akan memesan apa karena tak pernah sekalipun memakannya, kecuali pasta home made.

"Aku bingung mau pesan apa, karena hampir semua belum pernah makan, kecuali spageti." Aku mengungkapkan.

"Aku pesankan?"

Hanya mengangguk yang kulakukan. Kak Rey mengangkat salah satu tangan tanda memanggil pelayan. Tak lama, pelayan datang menghampiri kami dan Kak Rey pun mengutarakan pesanan. Setelah cukup, pelayan pamit pergi.

"Kenapa kita nggak ke restoran Kakak saja kalau cuma buat makan malam?" ujarku sambil melepas jas, lalu memberikan padanya.

Kak Rey menerima jas itu sambil berkata, "Nggak spesial kalau kita makan di sana. Lagian tujuan kita bukan cuma makan malam saja." Menyampirkan jas itu di sandaran kursi.

Seketika aku menunduk setelah mendengar jawaban darinya. Mengingat, tujuan kami ke sini adalah untuk mengesahkan jawaban dariku.

"Will you marry me?"

Aku mengangkat kepala. Tangan Kak Rey terulur di hadapanku. "Apa Kakak nggak merasa ini terlalu cepat?" tanyaku memastikan.

"Jangan dijadikan beban. Ini hanya pembuktian saja jika aku serius dengan hubungan kita nantinya. Aku sudah memikirkan semuanya."

"Bagaimana jika aku ingin menikahnya tahun depan, atau dua tahun lagi, atau tiga tahun lagi?"

"Mungkin Ibu atau Sam akan menceramahimu setiap saat."

Senyum seketika mengembang di wajahku. Dalam keadaan seperti ini dia masih bisa mencairkan suasana. Aku menggerakkan tangan ragu, lalu menerima uluran tangannya. Kak Rey menggenggam tanganku erat, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Seketika mataku membulat. Menarik tangan dari genggamannya, lalu menatap jariku yang sudah terhias cincin. "Ini ..." ucapku tanpa mampu melanjutkan.

"Anggap saja sebagai salah satu bukti."

"Kak, aku-"

"Sarange."

Saat ini, rasanya seperti mimpi. Aku tak pernah mendapat perlakuan manis seperti ini. Tak pernah makan mewah seperti ini. Sekaligus tak pernah terbayang akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang belum lama aku kenal. Kim Rae Won. Laki-laki ini membuat aku tak bisa berkata atau sekadar memikirkan pilihan.

***

Bersambung ...

Gimana, gimana?
Jadi nikah nggak kira-kira?

Eh, udah follow belum?
Jangan luoa follow dulu biar tau aku update.
Tap bintang juga jangan lupa. Koment boleh. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top