7. Tiba-tiba Ditembak

Tap bintang dulu sebelum baca.
Koment juga boleh, apalagi follow.

♡♡♡


.

Lima hari telah kulalui tinggal di rumah ini bersama Hana. Kabar kepulangan kakaknya pun masih belum pasti. Aku cukup betah tinggal di sini, terutama karena Hana mudah diajak bekerjasama untuk membagi tugas membersihkan rumah.  Sekarang, aku tahu alasan Kak Rey tidak mempekerjakan pembantu di rumah ini. Selain karena dia sering ke luar kota atau kembali ke negaranya, dia memiliki alat-alat canggih untuk membersihkan rumah. Masalah makan, dia bisa pesan di luar atau minta dikirim dari restoran miliknya. Jujur saja aku tinggal di sini karena memang nyaman dan tenang. Jika gabut saat malam karena bosan nonton film atau tidak ada kerjaan di rumah, maka aku dan Hana akan keluar untuk jalan-jalan atau duduk di balkon depan sambil cerita-cerita. Masalah makan selama lima hari ini, kami pesan makanan di luar, atau minta dikirim dari restoran pribadi milik mereka. Apa yang menjadi kebiasaan Hana, sebagian banyak kuikuti. Salah satunya menonton drama, aku jadi ketagihan. Lalu gaya pakaiannya, aku pun mulai mengikuti. Dia memang lebih modis. Beda denganku yang terkadang main pakai saja asal nyaman.

Malam ini, aku dan Hana tidak ada rencana keluar karena seharian lelah menjadi mandor dan membersihkan rumah. Kami butuh istirahat. Besok, kami tak ada rencana apa pun, karena hari ini tuntas, semua pesanan Kak Rey sudah selesai dipasang dengan rapi. Tinggal menunggu pemilik rumah kembali dari Korea dan memastikan semua sesuai harapannya. Tak terasa pula ternyata aku sudah tiga pekan lebih menjadi penanggungjawab proyek di rumah ini. Tentu aku bangga dan bersyukur karena semua berjalan lancar. Aku mendaratkan tubuh di sofa ruang tengah untuk menyelesaikan bacaan novel yang sempat tertunda karena sejak beberapa hari ini sibuk menjadi mandor. Sedangkan Hana di kamar seperti biasa, menghabiskan sisa episode drama yang sempat tertunda. Aku belum tertarik menonton drama kolosal. Entah kenapa merasa kuno saat menonton drama genre itu. Sesekali aku menguap karena kantuk mulai menyerang. Aku merebahkan tubuh di atas sofa berbantalkan tepian, meletakkan novel di atas tubuh, menatap langit-langit putih. Kembali menguap. Perlahan mataku terpejam karena tak tahan dengan kantuk.

Aku membuka mata karena merasa pegal seluruh tubuh. Rasanya seperti belum lama terpejam, tetapi posisiku saat ini miring dan ada selimut menutupi sebagian tubuhku. Pasti Hana. Aku menyibak selimut, lalu beranjak duduk. Novel yang semalam kubaca terlihat ada di atas meja. Pandanganku mengarah pada jam dinding di sisi kanan. Jam empat pagi. Tujuh jam aku tidur di sofa. Suara dari arah dapur mengusik telingaku. Apa Hana? Aku berjalan perlahan menuju sumber suara untuk memastikan. Terlihat laki-laki mengenakan kaus tanpa lengan wana putih dipadu celana pendek warna hitam, berdiri di depan kompor seperti sedang memasak sesuatu.

"Kak Rey." Aku memastikan.

Dia menoleh ke arahku. Benar. Itu Kak Rey. Dia sudah pulang.

"Kamu sudah bangun? Apa aku mengganggu tidurmu?" tanyanya sambil menuang air yang ia masak ke dalam cangkir.

"Nggak, Kak, emang kebetulan bangun. Pas mau ke kamar Hana, eh, denger suara dari arah sini," jawabku sekenanya.

"Aku buatkan coklat panas, sekalian ada yang mau aku bicarakan." Dia meraih cangkir lain dan serbuk coklat kemasan yang biasa aku minum.

"Apa nggak lebih baik nanti saja. Kakak pasti capek karena habis perjalanan jauh. Kita bisa bicarakan nanti." Bisa-bisanya dia lebih mementingkan urusan lain ketimbang dirinya sendiri yang lelah.

"Belum ngantuk." Dia berjalan menuju meja makan sambil membawa dua cangkir berisi minuman, lalu meletakkannya di atas meja. "Ayo," ajaknya agar aku ikut bergabung.

"Aku cuci muka dulu." Langkah kuayun menuju kamar mandi terdekat.

Masih tak habis pikir dengannya yang lebih mementingkan pekerjaan daripada kesehatannya sendiri. Padahal, aku bisa memaklumi jika dia tak membicarakannya sekarang. Selesai mencuci muka, aku keluar dari kamar mandi. Kak Rey masih menungguku, duduk di salah satu kursi. Tangan kanannya sibuk menggeser layar ponsel sedangkan tangan kirinya masih menyentuh gagang cangkir. Aku menghela napas sejenak, mengayun langkah ke arahnya, lalu duduk di salah satu kursi yang kosong di mana cangkir berisi coklat panas tersaji untukku. Kak Rey meletakkan ponsel di atas meja saat aku sudah duduk.

"Gimana semuanya saat aku tinggal?" tanyanya membuka obrolan.

"Semuanya sudah terpasang sesuai instruksi dari Kakak. Baju-baju yang Kakak minta buat dilaundri juga besok selesai dan akan diantar. Kakak bisa cek satu-satu. Kalau ada komplain, nanti aku sampaikan ke Kak Sam," ulasku.

Dia mengangguk. "Apa selama aku nggak ada Hana bikin kamu repot?" tanyanya kemudian.

"Nggak, Kak. Dia justru banyak bantu aku." Aku berusaha tersenyum.

Suasana kembali hening. Aku meraih cangkir, menyesap isinya untuk menghalau rasa kikuk.

"Apa kamu sudah punya pacar?"

Aku tersedak saat mendengar pertanyaan itu. Apa aku tidak salah dengar?

Kak Rey meraih gelas, lalu mengisinya dengan air putih yang sudah tersedia di atas meja kemudian mendorongnya ke arahku. Aku segera meneguk air putih pemberiannya.

"Kakak nggak salah nanya, kan?" Aku memastikan setelah cukup lega.

"Memangnya aku nanya apa?"

"Pa-car," ucapku ragu.

Senyum terlihat mengembang di bibirnya. "Nggak."

"Kenapa Kakak nanya masalah pacar?"

"Barangkali kamu mau jadi pacar aku."

Kali ini aku tertawa, tanpa suara. Entah apa yang aku tertawakan. Lucu saja. Bisa-bisanya dia bercanda.

"Putri Aisha Utami. Aku nggak lagi bercanda."

Tawaku mereda. "Iya, nggak bercanda, tapi Kakak sudah ngantuk. Lebih baik Kakak istirahat. Nanti jam tujuh aku pamit pulang karena tugasku di sini sudah selesai. Terima kasih coklat panasnya, aku mau ke kamar Hana dan siap-siap." Aku beranjak dari kursi, lalu melangkah untuk meninggalkan ruangan ini.

Seketika langkahku terhenti saat sebuah tangan menarik lenganku, membuat tubuhku kontan terbalik. Di luar dugaan, coklat panas di cangkir yang kupegang menyiram pakaian Kak Rey. Tentu membuatku kaget dan bingung. Anehnya, dia terlihat tak peduli, justru semakin mendekat ke arahku. Posisi kami saat ini berhadapan, hanya gelas di tanganku yang menjadi penghalang. Dia mengangkat tangan.

"Kak, aku bersihkan baju Kakak." Aku akan berlalu untuk melakukan sesuatu, tetapi dia kembali mencekal lenganku. Jantungku terasa berdetak lebih cepat.

Cekalan di tanganku terlepas. "Duduk lagi. Aku akan berganti baju, kamu tetap di sini sampai aku kembali. Aku nggak bercanda mengenai tadi." Dia berlalu dari hadapanku.

Napas kuhela, meletakkan cangkir di atas meja. Kebingungan melandaku. Apa jangan-jangan dia mabuk? Tidak mungkin. Dia baru saja pulang dari Korea, aku tak yakin jika dia mabuk-mabukan terlebih dahulu. Berbagai pertanyaan hinggap di hati. Aku masih berdiri dengan hati gundah. Tak lama, langkah kakinya terdengar dan mendekat. Aku kembali duduk di kursi sebelumnya, menarik napas berulang kali untuk mengurangi rasa gundah yang tak mau berkurang. Kak Rey tiba di hadapanku, meletakkan tas karton di atas meja, lalu duduk di sana.

"Maaf kalau kata-kataku tadi bikin kamu nggak nyaman. Aku bingung mau mulai dari mana. Yang jelas, aku nggak bercanda sama ucapanku tadi." Dia kembali membuka obrolan.

Aku memberanikan diri menatap bola matanya yang hitam. "Kakak nggak lagi mabok, kan?"

"Nggak. Aku sadar, seratus persen sadar." Dia tersenyum.

"Sumpah, aku masih bingung dan masih nggak percaya. Kakak tau kalau kita bertemu belum lama, malah belum satu bulan. Terus tiba-tiba Kakak bilang kayak gitu. Aku juga nggak kenal atau tau Kakak kayak apa, gimana aku jawabnya," ungkapku.

"Kita sudah pernah bertemu dan kenal sejak lama, Aisha. Hanya saja kamu lupa. Aku juga sudah tau kamu siapa, kayak apa, anak siapa, dan lain-lain."

"Nggak mungkin."

Dia menceritakan kejadian saat aku masih di bangku sekolah dasar, di mana waktu itu dia dan Kak Sam bermain bola. Aku datang untuk memanggil Kak Sam karena perintah Mama. Aku sama sekali tak mengenal siapa saja teman kakakku, kecuali yang kuingat seperti Mas Kukuh. Hal yang membuatku kaget, dia benar-benar tahu apa saja tentangku, termasuk orang tuaku. Apa selama ini dia memata-matai aku?

"Apa Kak Sam yang kasih tau?" Aku menatapnya curiga.

"Itu sama saja kamu nggak percaya dan mengenal gimana watak kakakmu."

Telak. Kak Sam memang bukan tipe yang mudah dirayu atau mudah bercerita. Masalah rumah tangganya saja tak pernah cerita dengan Mama atau minimal keluarganya. Apalagi ini masalahku.

"Aku bisa ngerti. Kamu nggak harus kasih jawaban sekarang. Tapi aku mau kamu pikirkan lagi tawaranku. Aku beneran serius ingin kenal kamu lebih dekat. Kalau mau, aku bisa saja langsung lamar kamu."

"Apa?! Pacaran saja masih belum bisa dibayangkan, apalagi tunangan. Jangan bercanda, deh, Kak."

"Aku nggak bercanda, Ai."

"Gimana kalau Kak Sam tau dan dia nggak setuju?"

"Coba saja kamu bicara dengannya. Aku nggak mungkin bercanda dengan adik sahabatku sendiri."

Iya juga, sih. Dia pasti tak berani macam-macam denganku karena tahu aku adiknya Kak Sam. Ah, tetap saja aku masih dibuat bingung olehnya.

"Ini buat kamu. Aku beli dua, satu buat kamu, dan satunya buat Hana. Ada satu oleh-oleh lagi buat kamu, tapi aku kasihnya nanti, karena kalau Hana lihat bisa iri." Dia mendorong tas karton itu ke hadapanku. "Gaji sesuai perjanjian akan aku transfer, karena aku nggak punya uang tunai banyak. Nanti kirim saja nomor rekeningmu," lanjutnya.

Aku masih terdiam, mengabaikan ucapannya. Entah apa lagi yang dia bicarakan.

"Jangan sungkan kalau mau bertanya." Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

"Alasan Kakak. Aku tau Kakak punya banyak teman yang cantik, tapi kenapa aku yang dipilih. Atau ..." Aku takut menuduhnya kalau dilanjutkan.

"Alasan utamanya karena aku mengenal keluargamu. Kedua, karena kamu adiknya Sam. Sisanya akan aku jelaskan jika kamu menerimaku."

"Minimal empat."

"Aku sudah ngantuk. Jangan lupa dipakai." Dia melirik ke arah tas karton, lalu beranjak dari kursi.

"Kak Rey." Aku menatapnya.

Dia menghentikan langkah, masih memunggungiku. "Jangan terlalu dipikirkan. Kasih jawaban sesuai dari dalam hati. Aku tunggu nomor rekeningmu." Melanjutkan langkah meninggalkanku di sini sendirian.

Napas kembali kuhela. Rasanya campur aduk. Aku membuka tas karton pemberiannya. Di dalam kotak terlihat tiga buah kotak. Dua di antaranya seperti parfum. Aku meraih kotak warna hitam, lalu membukanya.  Seketika aku melongo saat mendapati kotak ini berisi jam tangan. Terlihat mewah dan mahal. Warna talinya pun sesuai kesukaanku, cokelat. Bagaimana mungkin dia tahu apa saja tentangku sedangkan keleuargaku hampir tak tahu semuanya?

***

Bersambung ...

Terima nggak, nih?
Gimana kalo tukeran posisi sama kalian?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top