6. Kamar Impian
Tiga hari tak datang ke rumah itu membuat hatiku cukup tenang. Semoga sampai keadaan hatiku membaik. Terutama karena memang tak ada kerjaan di sana. Selama tiga hari, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan indekos. Kak Rey pun tak menghubungiku sampai saat ini. Hanya Hana yang sering mengirim pesan, walaupun hanya sekadar bertanya mengenai pemberiannya cocok atau tidak untukku. Apa aku merindukan mereka? Entah. Aku justru lebih tenang jika tak berada di sana. Berada di sana membuatku tak tenang, terutama berhadapan dengan Kak Rey. Masih teringat jelas kejadian saat kami terkunci semalaman di dalam ruangan pribadinya, lalu kejadian saat di dapur, dan ditambah kejadian saat diantar pulang olehnya empat hari lalu. Tambahlagi perihal uang pemberiannya yang terbilang cukup banyak buatku. Lima ratus ribu. Belum lagi pemberian Hana. Dia memberikan dua atasan, satu celana jin, dan beberapa makanan ringan. Mengenai kakakku, semua baik-baik saja seperti ucapan Kak Rey. Kak Sam tak marah sama sekali denganku perihal itu, hanya mengingatkan agar meminta izinnya terlebih dahulu jika akan menginap di rumah itu atau di rumah temanku.
Aku kembali memastikan penampilan sebelum berangkat ke kantor. Atasan putih dipadu celana jin hitam terlihat sepadan menghiasi tubuhku. Rapi. Aku segera keluar dari kamar indekos untuk berangkat ke kantor. Suasana indekos cukup sepi. Sebagian besar sudah berangkat kerja sejak pukul tujuh pagi. Hanya aku yang paling santai ke kantor. Maklum, kantor milik kakak sendiri. Cuaca pagi ini terlihat cerah. Matahari terasa hangat menerpa kulit saat aku keluar dari indekos. Belum sempat membuka pagar, ponsel di dalam tas berdering. Aku segera meraih benda itu. Nama Kak Sam menghiasi layar ponselku.
"Iya, Kak," sapaku setelah menempelkan ponsel pada telinga.
"Tadi Rey telepon, katanya mau pasang wallpaper hari ini. Kamu ke sana, ya. Hana nggak tau soalnya masalah gituan, jadi dia minta tolong kamu buat awasin," jelasnya.
"Emang dia ke mana?" tanyaku sambil membuka gerbang.
"Katanya lagi ada urusan di luar. Buruan ke sana. Kakak sudah suruh tukang ke sana duluan."
Sambungan telepon kuakhiri karena harus segera memesan ojek daring. Kenapa dadakan seperti ini? Dia juga tak mengabariku. Kalau saja mengabariku, mungkin aku bisa siap-siap terlebih dahulu. Aku merasa tak tenang, menanti ojek daring pesananku tiba. 10 menit menanti akhirnya ojek daring pesananku tiba. Aku segera naik ke jok penumpang setelah mengenakan helm, lalu meminta sopir agar cepat melajukan motor ke alamat tujuan.
Setelah bejibaku dengan jalanan kota Jakarta selama 40 menit, aku tiba di tempat tujuan. Aku segera turun dari motor, memberikan helm pada sang sopir, lalu menyusul tarif perjalanan. Tak lupa berterima kasih padanya karena sudah tancap gas agar segera sampai. Pandangan kuedarkan dan terlihat motor milik karyawan Kak Sam ada di halaman. Setelah menekan bel, aku bergegas masuk. Pintu utama terbuka saat aku tiba di teras, dan sosok Hana terlihat berdiri di sana.
"Akhirnya Kakak datang. Aku sudah khawatir Kakak nggak mau menerima tawaran kakakku," ungkapnya dengan wajah semringah.
Aku hanya bisa tersenyum paksa. Kami masuk ke dalam untuk memberi instruksi pada orang-orang yang akan bekerja memasang wallpaper. Ruangan yang akan dikerjakan adalah ruang tengah, kamar Hana, ruang pribadi, dan kamar Kak Rey. Sejak masuk ke rumah ini, aku belum pernah sekalipun masuk ke dalam kamar Kak Rey. Sudah tentu aku penasaran isi di dalam kamarnya. Dilihat dari orangnya, dia termasuk orang yang menjaga kerapian dalam penampilan. Ruang pribadinya pun rapi. Entah kamarnya.
Deringan ponsel menggema saat aku sedang memilah wallpaper sesuai corak. Suara itu bukan berasal dari ponselku, melainkan milik Hana. Aku menatap sekilas layar ponsel itu. Oppa?
"Hana! Ada telepon!" seruku.
"Siapa, Kak?!" balas Hana dari arah dapur.
"Oppa!"
"Angkat saja!"
"Ih, nggak, ah!"
"Angkat saja, itu Kak Rey! Pasti mau ngomongin masalah kerjaan!"
Ponsel milik Hana segera kuraih. Bimbang melanda saat benda pipih itu sudah di tangan sampai deringan itu berhenti. Saat aku akan meletakkan ponsel Hana ke tempat semula, deringan ponsel kembali terdengar. Bukan ponsel Hana. Aku segera merogoh saku untuk meraih ponsel. Kak Rey.
"Iya, Kak," sapaku setelah menggeser layar ponsel dan menempelkan pada telinga.
"Kamu sudah di rumahku?" tanyanya di seberang sana.
"Iya. Sekarang lagi misahin wallpaper yang mau dipasang di kamar Hana. Tukang lagi siap-siap buat pasang di ruang tengah."
"Atur saja. Aku juga mau ngomong serius masalah rumah dan Hana."
Aku menelan saliva. Apa ada kesalahan?
"Bisakah kamu menemani Hana beberapa hari ke depan selama aku di Korea? Kemungkinan aku di Korea selama seminggu. Tapi kalau urusanku selesai lebih awal, mungkin nggak sampai seminggu aku sudah balik ke Indonesia. Sekalian biar kamu nggak bolak-balik juga karena Minggu ini akan ada beberapa barang yang jadi dan dipasang."
Hana terlihat berjalan ke ruangan ini sambil membawa nampan berisi minuman dan camilan. Dia menautkan kedua alis seolah ingin tahu apa yang sedang kami bicarakan. Aku terkesiap saat Pak Rey memanggil. "I-iya, Kak," sahutku terbata.
"Gimana?" Pak Rey memastikan.
"Kakak sudah bilang sama Kak Sam?"
"Belum. Lebih baik kamu yang izin. Kabari aku kalau sudah dapat izin dari Sam. Aku sudahi dulu karena pesawatnya akan take off."
"Iya, Kak." Aku mengakhiri telepon, menjauhkan ponsel dari telinga, lalu menghela napas.
"Kenapa, Kak?" tanya Hana. Mungkin karena melihatku galau.
"Kak Rey minta aku buat nemenin kamu selama beliau di Korea," balasku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.
"Serius? Kakak jawab apa? Mau, ya? Please ..."
"Tergantung kakakku juga, Han. Nanti aku telepon Kak Sam buat izin. Sekarang, aku mau fokus dulu ke wallpaper."
"Kenapa nggak sekarang aja?"
"Apa Hana saja yang mau minta izin sama Kak Sam?" tanyaku balik.
"Nggak deh, Kak." Dia tersenyum lebar.
Aku kembali fokus memilah wallpaper sambil mengamati dua orang yang sedang bekerja di hadapan kami. Suasana yang tadinya sempat hening menjadi ramai saat Hana bercerita kejadian lucu semasa sekolah. Bukan hanya cantik, tetapi dia juga baik, ramah, dan menghibur.
***
Kejadian beberapa hari yang lalu masih teringat jelas saat aku dan Kak Rey terjebak di ruangan ini. Ruang kerja Pak Rey. Apalagi saat bagian di mana Kak Rey akan meraih buku, kami dalam keadaan tak berjarak, hanya posisi yang membedakan. Perasaanku saat itu tak bisa digambarkan, campur aduk. Kenapa aku harus terjebak dalam siatuasi seperti itu?
"Kak, kita ke kamar kakakku dulu, yuk. Tadi pagi sebelum jalan, kakakku minta tolong buat beresin bagian walk in closet, karena besok katanya akan dipasang lemari."
Ajakan Hana sukses membubarkan pikiranku. Aku segera beranjak dari sofa untuk mengikutinya menuju ruangan yang belum pernah diinjak kaki ini. Sekaligus rasa penasaran yang terus menggelanyut akan suasana di dalam sana. Rasanya tak sabar. Jantungku berdetak tak menentu saat kami tiba di depan pintu kamar Kak Rey. Aroma citrus menyapa hidung saat pintu itu terbuka. Hana sudah lebih dulu masuk, sedangkan aku masih bergeming. Suasana di dalam sana masih terlihat gelap.
"Kak, ayo masuk," ajak Hana.
Aku melangkah ragu untuk masuk. Walaupun tanpa penerangan lampu, tetapi cahaya dari balik tirai masih bisa menampakkan benda-benda di kamar ini. Posisi ranjang di tengah. Ada sofa di sudut ruangan dekat dengan jendela. Dua nakas mengapit ranjang. Posisi tak berbeda dengan kamar milik Hana, hanya ukuran yang membedakan, sudah tentu lebih luas kamar ini. Hana menyibak tirai dan cahaya langsung menerangi kamar ini. Aku kembali bergeming. Takjub. Di balik dinding kaca itu terlihat pemandangan kolam renang dan taman di sisi kanan dan kiri. Aku baru tahu jika rumah ini memiliki kolam renang.
"Bagus, ya, Kak?" tanya Hana.
Pandangan kulempar ke arahnya. Dia pun sama sepertiku, menatap ke arah kolam. "Hum ..." Aku tersenyum.
Hana berjalan maju, menggeser pintu kaca itu. "Mau lihat-lihat sebentar nggak?" tawarnya.
"Nanti saja, Han, katanya kita mau beresin ruang ganti baju." Aku mengingatkan.
"Ya udah, kita ke sini." Dia memasuki sebuah ruangan tampa pintu. Aku hanya mengikuti langkahnya.
Ruangan ini pun sama, gelap. Hana langsung menekan saklar lampu. Terlihat hanya ada satu lemari warna putih berukuran lebar sekitar dua meter dan tinggi sekitar tiga meter. Ada dua koper besar berjajar rapi di sisi lemari dan beberapa kardus di samping koper. Sedangkan di sebelah kanan ada dinding kaca yang menghubungkan pada kamar mandi. Ruangan ini cukup luas dan sudah rapi. Jadi, apa yang akan aku dan Hana bereskan di sini?
"Kakak gimana, sih. Disuruh beresin tapi tempatnya udah rapi kayak gini. Apa yang mau diberesin?" Hana terdengar menggerutu.
"Mungkin kamu salah dengar kali. Yang harus diberesin area tivi yang mau dipasang wallpaper," peringatku.
"Aku masih ingat, Kak, kakakku minta bagian sini yang diberesin." Dia kukuh.
"Telepon saja buat mastiin."
"Udah sampai belum ya kira-kira."
Oh, iya, aku baru ingat jika dia masih dalam perjalanan ke negara kelahirannya. Kita terpaksa menunggunya mengabari lebih dulu. Sementara itu, kami merapikan atas lemari pendek yang berhadapan dengan ranjang dan di atasnya terdapat televisi. Hana merebahkan tubuh setelah selesai beres-beres, sedangkan aku memilih duduk di ujung ranjang. Jangan tanya bagaimana empuk dan nyamannya ranjang ini. Bakal betah dan berdiam diri di kamar jika ini milikku.
"Menuruk Kakak, kamar ini gimana?" Hana membuka obrolan dengan pertanyaan.
"Bagus," balasku seadanya.
"Tadinya Kak Rey nawarin aku suruh pilih kamar bawah atau atas. Setelah lihat kamar ini, aku jadi nyesel pilih kamar di bawah."
"Kalau kamu pilih kamar di atas juga belum tentu akan kayak gini pemandangannya, Han."
"Iya juga, sih. Mau tantrum nggak enak sama Kak Rey," eluhnya.
"Emang kenapa?"
"Ya, karena kita aslinya nggak begitu dekat. Mulai dekat juga baru tiga tahun belakangan, itu juga kita jarang ketemu, kecuali Kakak memang lagi ke Bandung buat nengok aku."
Jujur, sebenarnya aku penasaran dengan kisah mereka, tetapi aku tak enak hati untuk bertanya, jadi aku hanya bisa menunggu dari salah satunya bercerita. Lebih tepatnya Hana, karena Jak Rey tidak akan mungkin mau bercerita.
Obrolan kami terpotong saat tukang menyampaikan jika pemasangan wallpaper di ruang kerja Pak Rey sudah selesai. Aku menginstruksi mereka agar melanjutkan ke kamar ini. Tak tahan dengan aroma lem, aku dan Hana memilih mengawasi dari teras kamar sambil sesekali menikmati pemandangan kolam renang. Tempat ini cocok untuk menenangkan diri atau bersantai. Pemandangan langit yang cerah pun seakan ikut menemani kami.
***
Bersambung ...
Doain semoga konsisten nulis biar cepat up.
Jangan lupa dukungannya juga biar aku semangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top