5. Kembali Terulang
Aku membuka mata karena posisi tidur terasa tak nyaman. Terdiam. Mengingat kejadian sebelum tidur. Aku segera beranjak duduk, lalu mengedarkan pandangan, dan terfokus pada sosok yang masih duduk di kursi kerja dalam keadaan memejamkan mata. Aku tidur di sofa, sedangkan dia tidur di sana dalam keadaan duduk. Kain yang masih menutupi sebagian tubuhku tak kalah menyita perhatian. Kedua kali aku tidur di sofa dan dia melakukan ini. Semoga tidak ada hal aneh yang terjadi selama aku tidur. Sekarang aku harus apa? Ponselku tertinggal di bawah.
Setelah melipat kain, aku beranjak dari sofa. Suara ketukan pintu menggema di ruangan ini. Itu pasti Hana. Mana Kak Rey belum bangun. Apa aku harus bersuara?
"Kak Rey!" seru Hana.
Syukurlah Kak Rey terbangun karena seruan adiknya. Dia terlihat mengusap kedua matanya, lalu beranjak dari kursi dan merentangkan kedua tangan ke atas.
"Kak ..." panggilku ragu.
Tatapan Kak Rey langsung beralih padaku.
"Kak Aisha!"
Pandangan kami tertuju pada pintu ruangan ini. Aku masih bingung harus berbuat apa. Kak Rey langsung menyambar ponselnya untuk menghubungi sang adik. Ah, setidaknya aku cukup lega saat dia menyampaikan insiden semalam. Aku memilih untuk mengembalikan buku yang belum selesai dibaca ke rak, sedangkan dia sudah beralih menghubungi satpam kompleks. Dengan kejadian ini semakin membuatku malu saja di depan Kak Rey dan adiknya.
"Sebentar lagi satpam kompleks akan segera datang," katanya.
"Iya," balasku singkat tanpa ingin menatapnya. Memilih pura-pura sibuk dengan novel sebelumnya untuk menutupi rasa malu dan canggung. Setidaknya ini bisa menutupi sampai satpam datang untuk membukakan pintu.
Tak lama, terdengar suara Hana memanggil kakaknya dan mengatakan jika satpam kompleks sudah tiba. Aku merasa lega karena tidak lama lagi akan keluar dari ruangan ini, tetapi aku juga khawatir jika mereka akan berpikiran buruk tentang kami, termasuk Hana. Pikiranku buyar saat pintu ruangan ini sudah terbuka, lalu disusul pertanyaan Hana pada kakaknya mengenai insiden ini. Aku masih mematung di sudut ruangan ini.
"Kak Aisha nggak apa-apa?" tanya Hana padaku.
"Nggak apa-apa, Kak." Aku berusaha tersenyum ramah.
"Ini HP Kakak." Dia mengulurkan ponsel milikku. "Tadi ada yang telepon. Kak Sam," lanjutnya.
"Makasih, Kak. Aku telepon kakakku dulu," pamitku. Berlalu dari hadapan Hana. Sejenak, langkahku terhenti saat akan melewati Kak Rey yang sedang berbicara dengan satpam kompleks. Aku mengangguk, lalu melanjutkan langkah meninggalkan lantai atas.
Tujuan langkahku saat tiba di lantai bawah adalah kamar mandi. Aku segera masuk ke kamar mandi dekat dapur. Mataku terpejam, menggenggam erat ponsel sambil mengatur napas. Setelah cukup tenang, aku membuka ponsel. Beberapa panggilan telepon tak terjawab dari Kak Sam dan pesan masuk. Aku membuka pesan terlebih dahulu.
From: Kak Sam
Hari ini nggak jadi kirim muatan ke rumah Rey, tapi dia minta izin Kakak mau ajak kamu buat nemenin dia dan adiknya beli wallpaper. Kamu bilang ke dia aja langsung bisa apa nggaknya.
Berarti Kak Rey tidak bilang dengan Kak Sam jika aku menginap di rumah ini. Ah, mungkin karena bukan permintaannya, tetapi permintaan adiknya, jadi bukan hak dia minta izin pada kakakku. Setelah mengirim balasan pesan pada Kak Sam dan cuci muka, aku keluar dari kamar mandi. Lagi, aku dibuat kaget olehnya yang sudah ada di dapur. Kak Rey. Aku mengayun langkah untuk ke kamar Hana.
"Tadi Hana nyariin kamu."
Langkahku seketika terhenti. Masih terdiam.
"Aku bilang sama dia kalau kamu lagi bicara sama Sam, jadi aku suruh dia joging sendiri," lanjutnya.
Hanya menganggukan kepala yang aku lakukan.
"Sini, aku sudah buatkan cokelat panas buat kamu. Ada yang mau aku omongin."
"Masalah apa?" Aku memastikan sebelum menuruti permintaannya.
"Kamu menginap di sini tanpa sepengetahuan Sam."
Aku menelan ludah. Dia tahu?
"Nggak usah khawatir. Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab. Ayo duduk, nanti minumannya keburu dingin."
"Aku kira Kakak sudah bilang sama Kak Sam, jadi aku nggak kasih tau dia," balasku sambil berjalan ke salah satu kursi.
Kak Rey meletakkan gelas berisi minuman dan sepiring makanan di hadapanku. Aroma cokelat langsung menguar. Tanpa diminta bibirku langsung mengembang karena senang. Aku segera meraih gelas itu, lalu menyesap isinya. Enak banget. Cokelat buatannya seakan menjadi candu untukku.
"Jadi yang mau Kakak omongin apa mengenai aku menginap di sini?" tanyaku setelah puas menikmati cokelat panas, sedangkan Kak Rey sudah kembali ke dapur dan berkutat di sana.
"Kamu mau bilang sama Sam kalau nginep di sini?" tanyanya.
"Nggak. Sudah telanjur nggak tau."
"Kalau dia tau?"
"Nggak mungkin. Kecuali Kak Rey bilang ke kakakku, atau ada laporan dari orang kos kalau tadi malam aku nggak pulang."
"Jadi, kamu mau tetap merahasiakan ini atau aku bilang ke Sam?"
"Biarin aja, deh. Kalaupun nantinya tau, ya, itu konsekuensiku dan harus terus terang."
Mungkin aku bisa berkata seperti itu di depannya, tetapi sebenarnya aku juga takut. Aku tahu bagaimana jika kakaku sudah marah. Semoga saja dia tidak tahu.
"Kabari aku jika dia marah masalah ini. Aku yang akan menghadapinya." Kak Rey meletakkan mangkuk berisi nasi goreng di atas meja.
"Aku bisa menghadapinya sendiri," balasku ragu.
"Yakin?"
Aku menggigit bibir, lalu mengangguk tak yakin. Sedangkan Kak Rey beranjak duduk di kursi kosong. Posisi kami berhadapan, hanya terhalang meja. Suasana mendadak hening.
"Kamu nggak suka dengan sarapan buatanku?"
"E-enggak." Aku menatapnya.
Tatapan kami bertemu. Dia menatapku dengan ekspresi susah kutebak. Kenapa dia menatapku seperti itu?
Suara dehaman membuat kami saling membuang wajah. Hana hadir di antara kami. Aku khawatir jika dia akan berpikir tidak baik mengenai kejadian tadi.
"Sofa sudah datang di depan. Sudah aku suruh masuk juga," terang Hana.
Tanpa janjian, aku dan Kak Rey beranjak dari kursi. Ponsel di atas meja segera kuraih untuk memastikan jam. 08.16.
"Kalian sarapan duluan saja, biar aku yang menemui mereka, nanti aku menyusul." Kak Rey berlalu dari ruangan ini.
"Aku mandi dulu kali, ya, Kak," pamitku pada Hana.
"Sarapan dulu aja, Kak. Sudah nanggung di sini." Hana beranjak duduk.
Aku kembali duduk di kursi, mengurungkan niat untuk ke kamar Hana. Lagi pula penampilanku masih seperti ini: mengenakan kaus putih polos dan celana pendek levis sebatas paha. Bagaimana jika orang kiriman Kak Sam melihatku di sini dalam kondisi seperti ini? Bisa saja dia melapor pada kakakku. Lebih baik aku di sini saja sampai mereka pergi.
***
Pandanganku masih pada luar kaca karena saat ini hanya berdua dengan Kak Rey di dalam mobil. Setelah mengantar Hana pulang ke rumah, Kak Rey mengantarku pulang ke indekos. Hana memilih tak ikut karena kakaknya akan bertemu dengan Mas Kukuh. Sudah tentu pertemuan mereka untuk membahas pekerjaan.
Hari ini, rasanya cukup melelahkan. Sesuai rencana, setelah membantu Kak Rey menata buku di ruang pribadinya, kami bertolak ke mal khusus perlengkapan rumah. Cukup banyak yang mereka beli selain wallpaper. Maklum, rumah itu baru direnovasi setelah kosong cukup lama, jadi butuh aksesoris untuk menghidupkan suasana. Selama menemani mereka, aku hanya menjadi pengikut, akan bersuara jika diajak ngobrol atau diminta saran. Selebihnya, aku hanya mengamati kakak beradik itu yang sedang berbelanja, walaupun terkadang diselingi dengan pertikaian kecil.
"Ini buat kamu."
Aku kontan menoleh. Terlihat dia mengulurkan sebuah amplop padaku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan dan tatapan tertuju pada kemudi. "Ini apa?" tanyaku memastikan.
"Bonus buat kamu karena sudah menemani aku dan Hana mencari keperluan rumah," ungkapnya.
"Itu sudah tugasku kalau menyangkut tanggung jawab proyek rumah, jadi Kak Rey-"
"Anggap saja ini rezeki kamu," katanya memotong ucapanku.
"Kak-"
"Terima atau aku kasihkan lewat Sam?"
Menyebalkan. Lebih menyebalkan saat dia memaksaku untuk duduk di sampingnya seperti saat ini. Aku terpaksa menerima pemberiannya karena diancam. Lebih ke arah takut jika dia akan terus terang pada Kak Sam perihal aku menginap di rumahnya.
"Terima kasih," kataku setelah menerima amplop itu.
"Sam sudah tau kalau kamu menginap di rumahku."
Kontan aku kembali menatapnya. "Kakak kasih tau dia?" tanyaku dengan nada mengandung kesal.
Dia menoleh sekilas ke arahku sambil tersenyum tipis, lalu kembali pada kemudi. "Aku pastikan dia nggak akan marah sama kamu. Aku sudah menjelaskan padanya jika kamu menginap di rumahku atas permintaan Hana."
Pandangan kembali kulempar ke luar kaca, lalu melipat tangan di dada. Kenapa dia nggak konfirmasi aku dulu sebelum kasih tau Kak Sam? Gimana kalau nanti Mas Sam marah sama aku? Ngeselin banget.
"Percaya sama aku, Sam nggak akan marah sama kamu."
Aku lebih tau dia daripada kamu.
"Maaf."
Maafmu nggak akan menyelamatkanku.
"Aku terpaksa kasih tau Sam karena nggak mau jadi beban juga buat aku, jadi lebih baik kita hadapi sekarang. Kalau dia taunya nanti, aku justru khawatir dia akan menuduhmu lebih banyak membohonginya," ungkapnya.
Ucapan Kak Rey ada benarnya, tetapi tetap saja aku kesal karena dia tak konfirmasi denganku jika akan terus terang pada Kak Sam.
Deringan ponsel menggema. Bukan suara ponselku. Tentu milik sang empunya mobil. Kak Rey menepikan mobil. Posisi kami sudah tak jauh dari indekos.
"Iya, Sam."
Kak Sam? Duh, aku jadi takut.
"Adik gue udah balik?" tanya Kak Sam bisa kudengar karena Kak Rey mengeraskan suara.
"Ini aku lagi di jalan buat anter adikmu ke tempat kos. Sepuluh menit lagi aku ke kantormu."
"Oh, ya udah, gue tunggu di kantor."
"Nggak mau ngomong sama adikmu?"
"Nggak usah. Gue udah WA dia. Nanti juga dibales. Kayak masalah gede aja."
"Oke. Aku tutup, ya. Ini hampir sampai di kost adikmu."
Telepon terputus setelah Kak Sam membalas. Kak Rey kembali melajukan mobil karena tak jauh lagi sampai di tempat tujuan.
"Masih belum percaya?" tanya Kak Rey padaku.
"Lima puluh persen," jawabku sekenanya.
Dia hanya terkekeh.
Tetapi, setidak aku cukup lega mendengar obrolannya dengan Kak Sam. Entah apa yang dia katakan sehingga kakakku berkata seperti itu. Berbeda saat aku masih pacaran dengan Dani dan tahu aku pulang malam setelah jalan berdua di malam Minggu.
Akhirnya kami tiba di depan gerbang indekos. Sebelum turun, aku menyempatkan untuk berterima kasih, lalu membuka pintu.
"Aisha," panggilnya menjeda gerakanku menutup pintu.
Dia terlihat meraih sesuatu di jok belakang. Tas karton putih. Apa ...
"Titipan dari Hana," ungkapnya.
"Nggak usah, Kak. Udah cukup-"
"Ini dari Hana, bukan dariku. Hargai juga pemberiannya."
Aku meraih tas itu dengan hati ragu. Jujur, rasanya tak enak hati menerima kebaikan mereka. Aku dikasih uang oleh Kak Rey, lalu ini. Kak Rey pun pamit, sedangkan aku hanya bisa menatap kepergian mobilnya yang perlahan menjauh dan tak nampak. Sejenak, aku menghela napas, lalu beranjak masuk ke dalam indekos.
***
Bersambung ...
Kangen nggak sih sama aku? Wkwkwk
Jangan lupa jejaknya dulu dan sila spam koment.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top