Bab 1 🧚
Hamparan toko itu selalu ramai, wajar saja karena berdekatan dengan stasiun kereta api. Tempat semua orang migrasi hilir balik setiap harinya. Melangkahkan kaki menuju sumber penghidupan.
Di salah satu gang besar tak jauh dari stasiun, berdiri sebuah sekolah cukup megah. Jalanan nya selalu ramai dengan para murid berseragam rapih. Ada yang berjalan dengan santai atau terburu mengejar jadwal piket atau mungkin tugas sekolah yang tak sempat dikerjakan semalam. Ada juga yang meng-goeskan pedal sepeda dengan santai seraya menyapa teman yang dikenalnya.
Di salah satu para pejalan murid itu terdapat siswa ramah berparas cantik yang tengah menikmati roti selai cokelat sebagai sarapan dengan earpods yang menutupi kedua indra pendengaran nya akan tetapi ia masih bisa membalas sapaan beberapa murid yang melewatinya dengan senyum.
"Hai Lyvia." Sapa seseorang yang datang dari arah belakang membuat gadis itu sedikit tersentak.
Tak sengaja mereka berhenti tepat di depan sebuah pohon rindang. Lyvia terkejut, ranting dari pohon itu ikut sedikit bergoyang, menjatuhkan dedaunan yang sudah layu. Membuat keduanya menoleh bersamaan.
"Kau ini mengejutkan ku, Hani." Komentar Lyvia dengan melepaskan earpods dari telinga.
"Maaf maaf, habisnya kau ku lihat asik sekali berjalan sendirian."
Lyvia melanjutkan langkah dengan Hani yang mengekorinya di samping. Roti selai itu sudah habis sebelum teman kecilnya itu datang untuk mengejutkan.
"Kata siapa? Aku sedang memikirkan turnamen nanti."
"Kau serius ingin tetap ikut turnamen renang itu? Bukankah minggu depan kita sudah ujian?"
Angin lembut membelai rambut mereka yang terurai. Lyvia mengangkat bahu cuek sedangkan Hani mendengus sebal diberikan respon seperti itu.
Hanya saja ada satu hal yang tidak mereka sadari sedari tadi. Disetiap Lyvia melangkah, akar pohon ikut memanjang menempel di dinding gang, tembok rumah rumah serta melilit tiang listrik.
🍂🍂🍂🍂🍂
Seperti kebiasaan nya yang sudah ia lakukan sejak duduk di bangku pertama SMA, di jam istirahat Lyvia akan menyempatkan diri untuk menyirami taman bunga di belakang sekolah. Padahal tidak disuruh oleh guru, ini hanya keinginan nya sendiri. Karena hal itu membuatnya di cap sebagai maniak bunga, bahkan ada beberapa guru yang melintas memberikan nya doa agar Lyvia memiliki toko bunga di masa depan.
Dia memang menyukai bunga sejak kecil karena dengan melihat bunga-bunga itu tumbuh dengan baik membuatnya teringat wajah senang mendiang ibunda.
Lyvia piatu sejak duduk disekolah dasar. Ibunya sakit keras, saat itu Lyvia yang belum memahami apapun hanya dapat menjaga apa yang ibunya senangi, yaitu merawat tumbuh-tumbuhan. Rumahnya kini dipenuhi berbagai jenis tanaman serta bunga. Lyvia merawat mereka dengan dukungan ayahnya. Walaupun sibuk bekerja, ayahnya akan menyempatkan diri untuk menjenguk.
Seekor kupu-kupu singgah dibahu dan Lyvia tak menggubris nya. Bagai putri salju yang ada di dalam cerita, setiap kali ia menyirami bunga di sekolah dengan bersenandung kecil, pasti ada burung atau kupu-kupu yang bertengger di tubuhnya.
Seolah mereka ikut menemani Lyvia agar tidak cepat kelelahan.
"Lyvia Lyvia!"
Suara yang meneriaki namanya itu membuat Lyvia menoleh, mematikan kran air kemudian tersenyum menyambut kedatangan teman sebangku yang terengah karena berlari pada nya.
"Ada apa? Kau seperti dikejar sesuatu."
Hani meraup nafas beberapa saat sebelum mengungkapkan maksud kedatangan nya.
"Ruang olahraga kembali berantakan. Kali ini ada korban"
🍂🍂🍂🍂
Aula gedung olahraga sudah ramai ketika Lyvia dan Hani sampai. Bermodalkan tubuh yang kecil mereka berusaha mendesak menyelinap kerumunan.
Hani tak seberuntung Lyvia. Gadis itu gagal menyelinap karena desakan dorongan murid lain yang juga ingin melihat, beruntung Lyvia yang segera mengambil tempat kosong di sisi gedung aula.
"Hei kalau sudah puas melihatnya cepat kembali ke kelas kalian!"
Itu teriakan pak Noel, guru olahraga. Wajahnya sangar menyuruh kerumunan murid untuk segera bubar.
Lyvia melihat seorang siswa laki laki di dalam tandu yang akan digotong menuju ruang UKS. Di fikiran nya tentang korban itu ada yang tewas atau terluka. Namun Lyvia masih bingung kenapa murid berkumpul hanya untuk melihat siswa yang pingsan.
"Ada apa?" Lyvia berbisik pada salah satu murid disebelah nya. Padahal ia tidak mengenal murid itu.
"Dengar dengar sih tadi ada murid yang melompat dari gelanggang kursi penonton. Tidak terlalu tinggi memang tapi dapat menyebab kan patah tulang."
Lyvia mengangguk beberapa kali. Mungkin saja siswa itu depresi berat hingga mencoba cara bunuh diri paling kecil untuk simulasi.
🍂🍂🍂🍂🍂
"Aku pulang."
Tak ada balasan dari salam nya. Keadaan rumah itu sepi. Kedua orangtuanya masih sibuk di tempat kerja, mereka akan pulang ketika Lyvia terlelap di atas tilam kemudian akan berangkat ketika Lyvia masih terlelap menjelajahi alam mimpi.
Lyvia segera pergi ke kamar, tak memikirkan ingin makan apa untuk mengisi perutnya yang berbunyi. Tidur akan membuatnya hilang.
Setelah mengganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai, ia segera merebahkan dirinya ke atas kasur.
******
Ketika matanya terbuka, langit telah berganti menjadi malam. Matahari telah usai melakukan tugasnya untuk hari ini. Jam berapa sekarang Lyvia juga tidak tahu. Ia mengucek mata mencoba menetralisir penglihatan yang masih sayup sayup kemudian menguap kecil.
Kepalanya menoleh ke arah jam beker. Pukul delapan lewat lima belas menit, cukup lama juga ia tertidur.
Badan nya direnggangkan, melepaskan otot-otot yang kaku akibat posisi tidur yang tidak benar.
Tadinya ia ingin pergi mandi. Tubuhnya lengket karena usai sekolah tadi ia langsung tidur akan tetapi sebuah cahaya yang memantul di jendela kamar berhasil menarik perhatian nya. Ia berjalan mendekat lalu membuka jendela itu, mencari cahaya kuning pendar yang mendadak hilang ketika jendela nya terbuka.
Siapa yang memainkan senter dengan iseng di malam hari? Mungkin hanya anak anak iseng fikirnya. Lyvia lalu menutup jendela itu kembali.
Kedua tungkai nya mendadak berhenti di ambang pintu kamar mandi ketika ia mendengar suara ketukan dari suatu arah. Netranya menatap ke seluruh ruangan, tidak ada hal aneh, membuat bulu kuduk merinding. Dengan cepat ia masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan mandinya.
🍂🍂🍂🍂🍂
Esok nya Lyvia pergi ke gedung olahraga. Ia masih penasaran dengan kejadian kemarin. Dirinya berputar ke seluruh ruangan, berharap mendapatkan petunjuk. Entah apa yang menghasutnya untuk melakukan investigasi tak berguna ini, hanya saja hatinya merasa ganjal.
Sebuah pintu tertutup rapat. Itu ruang tempat meletakkan peralatan olahraga. Biasanya terkunci dan hanya dibuka ketika ada kelas yang akan melakukan olahraga. Ia melihat pintu itu sedikit terbuka, ada celah di sana itu artinya ada seseorang di dalam nya atau ada salah satu kelas yang olahraga hari ini.
Lyvia berjalan mendekat, mengintip dari celah pintu. Alangkah terkejutnya ia melihat pak Noel yang dikelilingi cahaya pendar kuning sama seperti yang ia lihat tadi malam. Pak Noel juga berbicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti sama sekali. Cahaya cahaya itu melingkari seluruh tubuh pak Noel.
Apa sebenarnya itu?
Secara tiba-tiba cahaya kuning itu menjauh, hilang secepat kilat. Membuat pak Noel menoleh ke arah celah pintu kemudian berjalan mendekat.
"Lyvia, butuh sesuatu?"
Tak ada ekspresi dari wajah tampan pak Noel. Datar seperti biasanya, berbeda dengan Lyvia yang menunjukkan ekspresi terkejut serta bingung.
"Eh itu pak saya mau ambil matras."
"Ada pelajar olahraga di kelas mu hari ini?"
Sebenarnya tidak ada, jam kosong malah karena guru biologi sedang halangan hadir dan kelas sudah diberikan tugas tapi Lyvia memanfaatkan jam kosong itu untuk berkeliaran. Ajaibnya ia tidak tertangkap guru piket yang berkeliling hingga ke sudut terpencil area sekolah.
"T-tidak sih, maksud nya iya ada. Nanti habis istirahat."
Jawaban itu memunculkan kecurigaan. Pak Noel terdiam untuk beberapa saat, hanya menatap Lyvia tanpa ekspresi. Sulit terbaca.
"Kalau begitu setelah istirahat saja kau mengambil matrasnya." Lantas pak Noel tersenyum kemudian menepuk bahu Lyvia pelan.
"Kembali ke kelas."
"Baik pak."
Lyvia menurut, ia segera pergi dari sana dengan langkah sedikit cepat. Tidak tahu apakah pak Noel menyadari ia telah melihat hal yang tak pernah bisa difahami akal atau tidak. Memang dari semua guru hanya Pak Noel yang jarang menunjukkan ekspresi pada wajahnya. Murid tidak tahu bagaimana suasana hati pak Noel ketika mengajar atau berpapasan.
Bersambung
Lanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top