SUN : ARIA
G e n e r a t i o n o f D r e a m e r s
P r o j e c t
S U N : A R I A
———————
R y z e 9 5
🌿
🌿
🌿
Disini lah aku, disebuah tempat yang dingin dan gelap—hitam mendominasi tempat ini, entah bagaimana caranya aku dapat berada disini aku tidak tahu.
—yang kurasakan hanyalah satu, sekarang aku sedang terbaring di suatu tempat, dengan kedua mata yang tertutup rapat.
Meski kelima indera ku masih belum berfungsi dengan benar, aku masih bisa merasakannya. Disini, disebuah taman, tidak, atau mungkin sebuah tempat yang lebih luas dari taman—padang rumput, mungkin saja.
Dari mana aku tahu?
Samar-samar pendengaranku dapat mendengar suara cicit burung yang berada diatas ku bernyanyi dengan suara yang merdu, mungkin saat ini aku tertidur dibawah pohon yang cukup rindang, aku dapat mendengar melodi dari dedaunan yang saling bergesekan tertiup oleh angin.
Lalu...
Samar-samar aku dapat mencium aroma harum dari bunga-bunga yang ada disekitarku—lily, dandelion, mawar, lavender, ah ya, aku juga dapat mencium bau tanah yang lembab, tempat aku berbaring saat ini. Sentuhan dedaunan yang ada diatas tanah seakan menggelitik kulitku, sedikit basah oleh embun pagi.
Ah... aku masih belum bisa membuka kedua mataku.
Meski begitu aku merasakan pipiku basah—mungkinkah aku menangis, tapi karena apa?
Memutar sedikit memori, aku masih belum menyadarinya. Kedua tangan dan kakiku, tubuhku, masih belum mau menuruti kehendakku—membeku, tidak dapat digerakkan dan jari-jari tanganku terasa sangat dingin dan kaku. Meski begitu, kini aku dapat mendengar sebuah isakan lirih yang keluar dari mulutku.
—ya, aku menangis.
Ayolah otak, apa yang aku tangisi?
Mengapa aku tidak dapat mengingatnya?
Sakit, dadaku terasa pedih, tepatnya dihatiku—menyakitkan. Kapan terakhir kali aku merasa seperti ini? Aku berusaha mengingatnya.
—sebuah memori dengan alunan sendu, muncul didalam ingatanku.
Jika dipikir lagi, apa yang kurasakan saat ini hampir sama dengan apa yang terjadi di masa lalu—namun ini sedikit berbeda, bukan rasa hangat yang terselip kebahagiaan, hanya ada rasa kesepian yang muncul sesaat aku mengingat memori itu.
Memori sendu, memori yang sudah kuanggap sebagai racun—racun yang selama ini menggerogoti jiwaku dan perlahan semakin meruntuhkan tembok pertahananku, hingga akhirnya aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri, bahkan tidak akan pernah memaafkan apa itu yang disebut dengan takdir.
—seluruh kebanggaan yang selama ini melekat dalam diriku seakan sirna setelah aku memiliki perasaan ini, dan aku menyesal karena memiliki kebanggaan ini.
Perasaan yang sebenarnya tidak boleh kumiliki bahkan merasakannya pun adalah sesuatu yang salah.
—ya, inilah alasan mengapa aku menangis, aku teringat akan satu hal yang berusaha ku kubur didalam memori ku yang terdalam, hal yang paling tidak dapat dilupakan olehku bahkan tidak dapat memudar dari ingatanku. Masih tergambar jelas, walau telah digerogoti oleh waktu.
Layaknya matahari yang tidak henti-hentinya membakar dirinya sendiri untuk menghangatkan alam semesta—rasa ini juga bagaikan matahari, memberikan kesan hangat serta kenyamanan dari pancaran sinarnya yang jauh.
Namun...
Jika aku berusaha mendekat untuk menggapainya atau mungkin menyentuhnya, maka aku akan hancur, terbakar. Dan hal ini memang benar terjadi pada diriku.
—perasaan ini disebut dengan cinta.
—dan perasaan ini adalah hal terkutuk yang harus aku jauhi, karena jika aku memilikinya dan semakin jatuh kedalam pesona-nya, aku akan hancur.
Itu adalah hukum yang mengikatku di masa lalu...
—
—
—
———ah, nampaknya tubuhku sekarang sudah mau menuruti perintahku, jari-jari tanganku mulai bergerak dan kelopak mataku mulai terbuka pelan.
Mengerjap beberapa kali sembari mengumpulkan kesadaranku yang hilang, tatapan yang sedikit kabur kini mulai kembali seperti semula. Hal pertama yang kulihat adalah warna hijau dari rerumputan yang tumbuh diatas tanah dan warna-warni bunga yang tumbuh dengan subur ditempat ini.
Mendudukkan tubuhku dihamparan padang rumput yang luas, aku melihat sekelilingku—dibelakangku terdapat sebuah pohon apel yang cukup rindang dengan buah apel yang telah masak berwarna merah masih menempel diantara ranting-ranting pohon, dari sela dedaunan cahaya mentari menerobos masuk, lalu bunga yang lumayan banyak tumbuh disekitar tempatku berada, angin sepoi yang membelai lembut helaian rambutku yang tergerai agak berantakan, hewan-hewan kecil yang bersembunyi dibalik dedaunan dan langit biru yang membentang luas dengan gumpalan awan tipis serupa kapas putih lalu mentari yang bersinar diatas langit.
Salah satu tanganku terangkat dan menyentuh pipiku yang basah lalu menyeka air mataku,
"Mimpi itu lagi, kah?"
Bergumam pada diriku sendiri, dadaku masih terasa sesak, namun kedua ujung bibirku sedikit tertarik keatas, menyunggingkan sebuah senyuman.
Menatap kearah langit, cahaya matahari yang menerobos dari dedaunan sedikit menyilaukan hingga aku harus menyipitkan kedua mataku.
"Ayo ingat kembali, kenapa aku bisa tidur ditempat seperti ini?"
Memejamkan mata sejenak, aku benar-benar lupa apa yang sebenarnya kulakukan ditempat ini.
—hingga satu suara yang memekakkan telinga terdengar dan membawa memoriku kembali.
Suara peluit panjang kereta lokomotif, asap hitam hasil dari pembakaran yang keluar melalui cerobong asap pada kepala kereta, dan orang-orang yang bergegas masuk kedalam kereta dengan tergesa-gesa—wajahku berubah pucat, segera kuraih tas ransel yang berada disampingku dan bergegas menuju kearah kereta,
"Gawat, aku bisa ketinggalan kereta!"
🌿
🌿
🌿
Semua yang terjadi di dunia ini, pasti menyimpan banyak cerita, namun cerita yang manis pasti selalu menyimpan kebohongan.
—faktanya, dunia ini memang indah, namun rapuh.
Dan suatu hari, dunia yang indah ini pasti akan bertemu dengan suatu masa yang disebut dengan kehancuran.
Banyak cerita yang terkesan manis di dunia ini, namun semuanya hanya berisi kebohongan—karena sebenarnya tidak ada satupun cerita di dunia ini yang berakhir dengan bahagia.
Karena kebahagiaan di dunia ini, hanyalah sebagian kecil dari keajaiban.
Mereka yang menginginkan harapan, namun malah menerima kutukan, tapi dengan bodohnya walaupun hanya sedikit kesempatan—atau mungkin tidak ada sama sekali, mereka terus berjuang untuk mewujudkannya.
—karena tidak ada satu hal pun di dunia ini yang praktis.
—intinya, untuk mewujudkan sesuatu yang kita inginkan, pasti harus ada pengorbanan. Sama halnya dengan diriku, kita—kami...
Kami terlahir dari sebuah keajaiban yang diciptakan oleh dunia ini. Dulu, kami adalah mahluk yang disebut manusia, namun karena suatu hal, takdir kami menginginkan kami untuk menemui kematian.
Ironisnya, tidak lama setelah kami mati, ternyata takdir yang mengikat kami tidaklah terputus melainkan takdir memang menginginkan kematian kami, untuk menjadikan 'kami' yang baru. Dengan kata lain, takdir merubah kehidupan kami—kami yang mati kini hidup kembali sebagai mahluk baru dan memeroleh keabadian.
Kami adalah Valkyrie.
Valkyrie—mahluk yang diciptakan oleh dewa dari roh-roh gadis muda yang mati dalam keadaan suci. Kami hidup kembali dalam bentuk manusia, namun dengan keistimewaan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Dan semua ini tercipta atas dasar keajaiban.
Namun...
Sebagai ganti atas keajaiban yang diperoleh, kami harus menyerahkan jiwa kami pada takdir yang penuh dengan pertikaian. Kehidupan kami yang baru, seluruhnya berada di medan perang.
Takdir kami, hidup kami, adalah untuk memenuhi keinginan para dewa-dewi. Tuntutan yang harus kami penuhi hanya satu hal...
—kami tidak boleh jatuh cinta untuk menjalani kewajiban yang diperintahkan oleh dewa.
Memilih roh-roh dari ksatria yang tewas di medan perang kemudian membimbing mereka untuk dibangkitkan kembali menjadi seorang Einherjar—ksatria yang terpilih untuk bertarung bersama dewa-dewi saat perang besar tiba di penghujung dunia—adalah tugas kami.
Sampai saatnya itu tiba, sembari menjalani takdir ini, aku harus menerima dengan tulus apa yang telah diberikan oleh takdir padaku.
Namun setelah lama berada di putaran takdir yang tak berujung ini, sesuatu mengusik hatiku, perasaanku dan perlahan menyadarkanku jika kewajiban yang kujalani selama ini adalah sebuah kutukan yang diberikan oleh dewa.
—dia, orang itu, telah membuatku jatuh pada satu hal yang disebut dengan 'cinta'.
"Katanya hati yang diisi dengan cinta perlahan akan menjadi rapuh hingga akhirnya hancur..."
—akhirnya aku mengerti maksud dari kata-kata ini.
Berapa lama aku berada di dunia yang rapuh ini? Aku benci dengan takdir yang mengikatku dengan suatu hal yang disebut dengan keabadian.
—
—
———terlalu lama digerogoti oleh takdir, aku bermimpi bertemu kembali dengan senyuman yang kukenal.
Senyuman lembut dari seseorang yang hampir saja kulupakan, seseorang yang pernah menyinari kehidupanku yang baru, dia adalah matahariku.
🌿
🌿
🌿
Aku tidak ingat kenapa aku bisa jatuh cinta padanya, ingatanku mungkin sudah memudar karena terlalu banyak waktu yang telah kulalui hingga tidak dapat terhitung banyaknya.
Yang masih teringat jelas adalah saat itu, ketika hari dimana sebuah perang besar yang melibatkan seluruh alam semesta akan terjadi beberapa hari lagi—Ragnarok, adalah sebutan perang itu.
Hari itu, aku bersama dengan dewi Freya—ratu dari para valkyrie—mengunjungi Alfheim, salah satu dunia dari kesembilan dunia yang berada di daratan mitos yang bernama Yggdrasil, untuk menemui dewa Freyr—salah seorang dewa yang dijuluki sebagai lord of the elves, sekaligus saudara kembar ratu Freya.
Tanpa sadar, langkah kakiku membawaku ke suatu tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu saat menunggu dewa Freya menyelesaikan urusannya—sekarang aku berada di sebuah taman luas yang ditumbuhi oleh ribuan tangkai bunga lily putih.
Salju mulai turun lagi, angin dingin mulai berhembus menerpa tubuhku—segera ku rapatkan mantel bulu angsaku agar tubuhku tidak menggigil.
"Apa yang kau lakukan ditempat seperti ini dengan baju perangmu?"
Menoleh tepat ke belakang, disana telah berdiri seorang pemuda elf yang sangat tidak ingin kutemui sekarang.
"Luce..." ujarku setengah berbisik.
—dia elf pertama yang kukenal dan juga salah satu pengawal dari dewa Freyr.
"Dimusim seperti ini, seharusnya kau memakai pakaian hangat, bukan baju perang dengan zirah yang terbuat dari besi seperti ini."
Lucio—Luce, membuka mantelnya dan memakaikan mantel itu padaku, hangat.
"Kau sendiri, bukankah kau akan kedinginan jika tidak memakai mantel?"
Lucio menarik nafas panjang, uap udara tipis keluar dari helaan nafasnya,
"Tidak masalah untukku, kau lebih membutuhkannya," ujarnya tanpa menoleh kearahku.
Tidak ada kata-kata lain yang keluar setelah itu, kami hanya saling diam dengan pandangan tertuju pada hamparan bunga lily putih yang sebagian telah tertutup oleh salju.
Sibuk dengan pikiran kami masing-masing, jujur aku merasa tidak nyaman dengan hal ini. Berdekatan dengan Lucio sedekat ini sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungku. Susah payah ku atur emosiku agar tetap seperti biasa—tetap menjadi seorang gadis dengan tatapan dingin.
"Sebentar lagi, hari itu tiba..." kata Lucio, ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di wajahnya.
Aku hanya bisa mengangguk untuk membenarkan kata-kata Lucio.
"Apa kau akan ikut terjun ke medan perang?" tanya Lucio.
Aku menghela nafas panjang, "Tentu, aku akan ikut. Karena sudah bagian dari tugasku untuk memimpin Einherjar dalam perang ini."
—hening kembali.
Diam-diam aku melirik Lucio dari ujung ekor mataku, dia sedang menatap awan hitam yang terus-menerus menurunkan salju putih dari atas langit.
"Hei..."
—sial, tatapan kami bertemu.
"...kau yakin?"
"Yakin untuk apa?"
"Setelah perang berakhir, mungkin kau akan menghilang dari dunia ini," ucap Lucio.
Aku memalingkan wajahku kearah langit, tidak ingin lama-lama menatap Lucio. Aku takut jika kelemahanku terlihat oleh Lucio, karena jika kutunjukkan padanya, aku yakin hatiku tidak mampu untuk bertahan.
"Aku akan menerima semua hal yang akan terjadi tanpa penyesalan," jawabku—meski begitu, hatiku masih ragu.
"Hrist..."
—setiap kali dia memanggil namaku, jantung ini semakin berdetak tidak karuan. Namun yang terjadi, aku terus menyembunyikan apa yang kurasakan dan berharap tidak pernah merasakannya.
"...ikutlah denganku."
Lucio menggenggam tanganku, menciptakan tautan dari jari-jari tangan kami yang saling terhubung. Aku merasakan tangannya yang dingin, mungkin ini efek dari suhu yang semakin rendah.
"Maksudmu?"
"Apa kau akan menerima begitu saja takdirmu?"
Aku mengangguk, karena tidak mungkin aku bisa lari dari takdir yang telah mengikatku.
"Jika perang ini selesai, kau akan menghilang," sambung Lucio.
Kupejamkan mata, memikirkan kata-kata yang tepat untuk kusampaikan pada Lucio. Namun nyatanya aku hanya memikirkan sebuah kebohongan untuk meneguhkan hatiku.
"Luce, kau tau jika seharusnya aku memang sudah tidak ada di dunia ini, waktuku telah direnggut oleh kematian," aku menatap Lucio, "namun para dewa berkata lain, aku dibangkitkan kembali dalam wujud seorang valkyrie..."
"—tugas valkyrie akan berakhir jika perang ini selesai, maka aku harus menerimanya. Entah itu aku akan tetap dalam wujudku sekarang, atau mungkin aku akan menghilang bersamaan dengan berakhirnya perang, aku tidak tahu."
Lucio menggeleng, "Kau masih bisa merubahnya, Hrist..."
"Ikutlah denganku, kau masih bisa merubahnya. Jika kau menjadi manusia—"
"Lucio!" kataku, "kumohon, ini adalah pilihanku. Aku melakukan semua ini sebagai tanda terimakasihku pada dewa karena mereka memberiku kehidupan kedua, dan aku merasa sangat bahagia jika kehidupanku ini bisa berguna bagi orang lain sekalipun hal itu merugikan diriku sendiri."
—jantung, diamlah!
"Tapi Hrist, aku—"
Suara dewi Freya menggema dari lorong, aku segera menoleh kearah lorong dan bersyukur karena akhirnya aku bisa melepaskan diri dari Lucio.
Kulepas mantel Lucio yang berada ditubuhku dan memakaikannya kembali pada Lucio—meletakkan mantel tersebut dikedua pundaknya, karena dia tinggi, aku harus berjinjit untuk meletakkannya.
Aku menepuk kedua bahu Lucio dan tersenyum, "Sampai jumpa di medan perang, kawan!"
Lucio membisu, bibirnya bergerak-gerak namun tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.
Ya, inilah yang terbaik.
Aku menarik tanganku dan segera berbalik, namun pergelanganku ditahan oleh Lucio—ia menarik tanganku dan dengan lembut mencium punggung tanganku, layaknya seorang putri. Susah payah aku menyembunyikan keterkejutanku dan mempertahankan ekspresiku, namun rona merah dipipi ku tidak dapat kusembunyikan.
"Aku janji, akan melindungimu..."
—bukan kehangatan, hanya rasa dingin dari ujung jemari mu yang masih dapat kurasakan sebelum akhirnya kau pergi meninggalkanku ditaman yang mulai membeku.
Dan hal itu tidak dapat kulupakan sampai saat ini.
—
—
———terkenang akan hari-hari yang tidak dapat terulang kembali, ku hanya dapat menahan nafas, rasa ini begitu menyesakkan, ingatanku terkekang didalam taman ini, taman yang berisi bunga lily putih yang membeku.
🌿
🌿
🌿
Aku ingin bertemu dengan mu sekali lagi...
Liontin perak berbentuk sayap peri yang melingkar dileherku adalah satu-satunya kenangan yang ditinggalkan oleh Lucio—elf perak dengan lidah penggoda—itu sebutan yang selalu kukatakan pada Lucio dimasalalu.
Rasanya ingin tertawa jika mengingatnya...
Pikiranku menerawang jauh kembali, mengingat hal-hal yang mungkin hampir kulupakan.
Tentang liontin itu...
—saat itu, aku hampir mencapai batas. Disaat dunia dan alam semesta ini berguncang hebat sebelum akhirnya hancur, dia menyelamatkanku seperti janjinya.
Saat itu—kesadaranku mulai memudar seiring dengan banyaknya luka yang menghiasi tubuh ini, aku menghabiskan seluruh tenagaku di medan perang. Entah berapa banyak pasukan musuh yang berakhir ditanganku, aku tidak dapat mengingatnya. Begitu pula dengan berapa banyak luka yang aku dapatkan dari musuh hingga membuat tubuh ini hampir hancur.
Terkapar di padang luas dengan aroma kematian, tatapanku mulai buram dan sakit yang teramat sangat terasa disekujur tubuhku. Disekelilingku hanya ada mayat, mayat pasukan musuh maupun pasukan yang aku pimpin—bahkan mungkin temanku sesama valkyrie.
Dimataku, hanya ada kobaran api yang terlihat—merah, menyala dan membakar seluruh daratan ini. Pendengaranku mulai lumpuh, meski sayup masih dapat terdengar teriakan semangat dari pasukan yang masih berperang bersamaan dengan senjata yang saling beradu. Teriakan terakhir mereka di dunia ini—penuh dengan kebanggaan dan semangat.
Disaat itulah, ia muncul menyapaku...
Berlutut dihadapanku yang masih terkapar, kedua tangannya yang kokoh menyentuh tubuhku.
"Hrist..."
Lucio mengangkat tubuhku hingga setengah terduduk, ia memelukku dengan erat seolah ia telah menemukan harta yang berharga—tangannya sedikit gemetar, wangi tubuhnya yang seharum vanilla kini bercampur dengan aroma amis, bahkan rambutnya yang keperakan ternoda oleh warna merah dan debu padang pasir.
"Luce..." bisikku lirih, suaraku terasa tercekat bahkan menyebut namanya pun terasa sangat sakit.
"Tidak perlu bicara, kau terluka parah..." Lucio tersenyum hangat seperti biasanya.
Aku menyesal...
Ingin sekali kuungkapkan semuanya, seluruh isi hatiku yang selama ini tertutupi oleh kebohongan. Tentang aku, yang tidak bisa jujur dengan perasaan ini—namun, bibir ini membisu dan tidak mau menuruti apa yang aku perintahkan.
"Akan berakhir... semuanya akan hancur sebentar lagi..." ujar Lucio.
—ya, setelah ini semuanya akan berakhir, kesembilan dunia akan hancur bersamaan dengan berakhirnya perang ini.
"Luce... aku..."
Kurasakan tubuhku melayang, sepasang tangan yang kokoh menopang tubuhku dengan lembut diatas pangkuannya—Lucio setengah berlari sambil menggendongku menerobos api, membawaku menjauh dari tempat ini.
Kesadaranku mulai memudar, kupikir ini adalah saat terakhir aku ada di dunia ini—namun itu salah.
Lucio membawaku ke sebuah tempat yang berada ditengah hutan, sebuah tempat yang tersembunyi diantara ribuan pepohonan yang rimbun. Ia membawaku kesebuah taman kecil yang ditumbuhi bunga lily putih, lalu membaringkan tubuhku diatas hamparan bunga.
"Kau akan baik-baik saja ditempat ini," Lucio menyentuh pipiku, kehangatan dari tangannya menjalar keseluruh tubuhku.
Tidak lama setelah itu, kurasakan guncangan besar yang berasal dari bawah tanah mulai mengguncang dunia ini—kehancuran dunia sudah dimulai.
Kutatap perubahan sikap Lucio sesaat setelah guncangan ini muncul, ia tampak menahan sakit yang ada diperutnya, tangannya tampak menekan dengan kuat perutnya hingga sedikit meringis dan cairan berwarna merah mengotori pakaiannya—dia terluka.
"Aku hampir mencapai batasku..." Lucio tersenyum getir.
Dadaku sedikit sesak—aku berusaha memaksakan tubuhku yang hampir lumpuh ini untuk bangun, bertumpu pada kedua tangan yang hampir kehilangan kekuatannya, aku berhasil bangun walau rasanya tubuh ini akan remuk jika aku bergerak lebih dari ini.
Kusejajarkan tatapanku dengan Lucio—aku tersenyum padanya, jika ini terakhir kalinya aku bertemu, setidaknya aku harus mengatakan hal ini padanya...
"Hrist..."
Guncangan semakin hebat hingga sulit untuk menyeimbangkan tubuh ini agar terus dapat tegap, aku tidak peduli, yang jelas Lucio harus tahu.
"Lu... cio... aku... aku..."
Aku tidak bisa mengatakannya, suaraku menghilang—air mata mulai membasahi kedua pipiku. Disaat seperti ini, aku tidak dapat mengatakannya, ini sudah terlambat.
Jika seperti ini, seharusnya aku jujur lebih awal...
Padahal jarak diantara kami cukup dekat, namun terasa sangat jauh. Kenyataan bahwa tubuhku tidak dapat bergerak lebih dari ini, membuatku tidak dapat melakukan hal lain. Aku merasa lemah dan tidak berguna, padahal Lucio sudah ada disini.
Setidaknya dia harus tahu...
—
—
———lalu, tangan itu menyentuhku.
Dengan tatapan hangatnya yang selalu dia tunjukkan, senyuman yang terukir dibibirnya mengandung banyak arti—begitu menenangkan.
"Hrist, aku yakin ini bukanlah sebuah akhir, aku yakin jika kita akan bertemu kembali suatu hari nanti, ditempat yang sama—denganmu, namun disuasana yang berbeda," ujarnya.
Tidak, jangan sekarang...
"Kita akan berjumpa kembali saat kedamaian menyapa daratan ini. Tanpa perang, tanpa harus mengacungkan senjata, tanpa harus terikat dengan peraturan bodoh valkyrie..."
Lucio melepas liontin perak yang selalu melingkar dilehernya—ia mengalungkan liontin itu dileher ku, rasa dingin yang menyapa dari liontin perak itu begitu menyesakkan.
"Dengan ini, aku telah menepati janjiku, aku sudah melindungimu dengan seluruh kemampuanku..."
—
—
———waktu pun habis dan kegelapan menyapa ku. Kesadaranku hilang, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya—hanya senyuman Lucio yang terakhir kulihat dimataku.
🌿
🌿
🌿
Jika aku mengingatnya lagi, rasanya semua itu bagaikan mimpi. Kenyataan bahwa aku masih hidup dan tetap bertahan hingga akhir bagaikan sebuah mimpi—keajaiban yang pahit.
Andai aku mati saat itu mungkin akan lebih baik—namun aku tidak mati.
Setelah dunia dan alam semesta hancur, keajaiban muncul menyentuh dunia ini sekali lagi. Era baru dimulai.
Yang jelas, saat aku terbangun di dunia yang baru, aku merasakan perasaan yang sama seperti saat tadi tertidur ditaman dekat stasiun kereta lokomotif yang akan membawaku pulang.
—aku terbangun di dunia yang baru dengan luka-luka yang telah sembuh total, masih tetap sebagai valkyrie, aku abadi dan tidak pernah menua. Namun hal yang aku sesalkan, aku tidak dapat menemukan Lucio.
Aku tidak tahu apakah dia telah tewas atau masih ada disisi lain dunia ini, aku tidak tahu.
Hari,
Minggu,
Bulan,
—hingga bertahun-tahun kulewati.
Aku tidak pernah kembali ke tempat itu—ketempat dimana valkyrie tinggal, aku ingin menjauh dari tempat itu, hal-hal yang mengingatkanku akan 'aku' yang dulu ingin segera kuhapus.
Dengan penyesalan yang semakin tumbuh menggerogoti hatiku, pikiranku, aku merubah hidupku.
Aku tinggal didaratan tempat manusia berada—tanpa mau berurusan kembali dengan para dewa dan kehendaknya yang mutlak. Mengasingkan diri dan berbaur dengan manusia kupikir adalah hal yang tepat.
Namun nyatanya, rasa ini semakin terasa menyakitkan. Ternyata kejujuran itu lebih baik—kejujuran harus dikatakan walau menyakitkan...
Dan sekarang, pada siapa aku harus jujur?
Takdir?—dia tidak dapat diandalkan.
Walau begitu, aku masih berharap pada suatu hal yang disebut dengan keajaiban.
Aku berharap, Lucio masih hidup dan berada di suatu tempat di dunia ini.
🌿
🌿
🌿
Mencoba hidup dengan normal sebagai manusia, aku sering berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya—hal ini kulakukan hanya untuk menyembunyikan bahwa aku adalah mahluk yang masih mempunyai 'keabadian'.
—berganti nama, penampilan dan pekerjaan mungkin sudah kulakukan lebih dari satu kali.
Tahun ini, aku tinggal di sebuah desa yang berada di kaki bukit, tempatnya sejuk dengan beraneka macam bunga tumbuh subur—hampir saja lupa, disana juga banyak tumbuh pohon apel, jika aku berjalan disana dan sudah masuk musim panen, aku dapat mencium bau harum dari buah apel yang matang diatas pohon.
Bagaimana keadaan Freya, ya?
Kadang aku berpikir seperti itu ketika melihat langit luas yang terbentang diangkasa.
Rasanya aku merasa sedikit bersalah karena terlalu larut dengan penyesalan bahkan sampai tidak kembali ke Valhalla—tempat tinggal para valkyrie—dalam waktu yang sangat lama.
Aku tahu jika dewi Freya tidak ikut dalam perang besar itu—jadi mungkin dia masih berada di Valhalla. Kenapa aku tidak ingin kembali ke tempat itu, mungkin karena aku tidak mau membangkitkan kenangan itu kembali.
Kenangan bersama Lucio.
"Apa aku terlalu berlebihan ya?"
Gumamku pelan, sedikit meringis. Begini lah kebiasaanku jika sedang sendirian—sering memikirkan hal-hal yang terjadi dimasalalu dan sikapku yang terlalu larut dalam penyesalan.
Menghela nafas panjang, aku menatap langit biru tinggi yang terhampar luas di angkasa, "Musim panas sudah tiba..."
Matahari bersinar cukup terik disiang hari—wajar saja karena ini sudah masuk musim panas.
Akhirnya aku kembali ke desa, rumahku.
Semilir angin yang sejuk membelai tubuhku, membuat helai rambutku sedikit berantakan. Walaupun ini sudah musim panas udara di desa tidak terasa panas—bahkan sejuk dan menyegarkan. Sepanjang jalan desa ditumbuhi pohon apel yang menguarkan wangi harum, padang rumput hijau yang luas terhampar luas disekitar perbukitan, dan...
"Bunga matahari..." tanpa sadar, aku tersenyum.
—
—
———terdengar suara peluit panjang dari stasiun, kereta yang tadi membawaku kembali akan melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya.
Angin yang cukup kencang bertiup ke arahku—langsung ku tutup mataku agar tidak terkena debu.
"Gawat, kereta nya! Aku akan..."
—ada seseorang yang ketinggalan kereta rupanya.
Saat angin itu berlalu, kubuka kedua mataku kembali, dan sosok seseorang yang kulihat pertama kali membuat tubuhku membeku.
Aku dan orang itu, sama-sama saling tatap tanpa berkedip, jarak kami hanya lima meter.
Dibawah cahaya mentari yang bersinar terik, rambut pemuda itu yang keperakan terlihat halus dan lembut. Alisnya membentuk lengkungan sempurna, matanya yang berwarna emerald terlihat sejuk dengan ekor mata yang panjang. Hidungnya mancung dan bibir yang tipis...
—katakan jika ini adalah mimpi...
Bibirku yang sedari tadi tertutup rapat kini setengah terbuka—terperangah, tentu saja. Kurasa aku tengah melihat sebuah fatamorgana di cuaca yang panas.
Kugelengkan kepalaku dengan cukup keras, kemudian kembali menatapnya—sosok pemuda itu masih ada disana, angin yang berhembus sedikit membuat rambut pemuda itu berantakan, dan dibalik rambut yang membingkai wajahnya, aku dapat melihatnya...
—sepasang telinga elf yang runcing, katakan ini hanya halusinasi!
"Tidak mungkin..." sebelah tanganku terangkat keatas untuk meremas kepalaku, "Ini hanya fatamorgana yang diciptakan oleh imajinasiku."
Kututup mataku pelan, menarik nafas lalu membuka mata kembali—pemuda itu, kini ada dihadapanku dengan jarak yang sangat dekat, aku dapat melihatnya dengan jelas, dia sedang menatapku.
"—Hrist..."
Suara itu, suara yang kurindukan...
Semua terlihat begitu lambat dimataku karena aku terlalu terpaku pada sosok pemuda itu, sampai-sampai aku tidak bisa berkata apapun dan tidak menyadari jika saat ini dia tengah merengkuhku kedalam pelukannya yang hangat.
Wangi vanilla...
"Lu...cio..." satu nama seseorang yang selalu kuingat meluncur dari bibirku.
—Pemuda ini, Lucio. Lucio yang kurindukan.
Pemuda ini terkikik geli, terselip nada kebahagiaan dalam tawanya, "Ini aku, Hrist. Aku kira kau sudah melupakanku..."
"Bagaimana bisa? Kau..."
"Ceritanya panjang, Hrist. Selama ini aku terus mencarimu namun ternyata pencarian dirimu membutuhkan banyak waktu..." Lucio tersenyum, ia membuat jarak diantara kami namun tidak melepaskan genggaman tangannya pada tanganku.
Apa ini yang disebut keajaiban?
"Kau—bukan hantu, kan?"
—ungkapan bodoh.
"Kau pikir hantu bisa melakukan hal ini?"
Wajah Lucio semakin mendekat, dan tubuhku masih membeku karena masih berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini—dan sebuah kecupan lembut di keningku membuatku sadar, jika dia memang nyata.
"Lucio!"
Tidak peduli—tidak peduli apa yang kulakukan, tubuhku bergerak sendiri untuk memeluknya.
"—aku rindu..." bisikku.
"Aku tahu, Hrist. Maaf karena meninggalkamu sendirian..."
Lucio mengelus puncak kepalaku dengan sayang—rasa sedih, senang dan sendu melebur jadi satu, seperti melodi aria yang mengalun merdu.
"Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu, Hrist..."
"Aku juga, aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
—
—
———di sebuah tempat, Urdarbrunn—tempat tiga dewi 'takdir' bernama Norns berada...
"Takdir mereka terhubung..." ujar salah seorang Norns berwujud seorang gadis cantik yang selalu menatap lurus kedepan.
"—setelah sekian lama, mereka dapat bertemu," sambung seorang Norns lainnya yang selalu menoleh kebelakang, lalu satu orang Norns lainnya berkata,
"Mereka tidak akan berpisah lagi, aku dapat melihatnya," ujar Norns dengan penampilan memakai tudung hitam dan membawa gulungan kertas ditangannya.
—mereka adalah tiga dewi Norns, tiga dewi yang mengukur dan mengontrol waktu.
Dibalik kegelapan muncul seorang sosok wanita cantik dengan rambut panjang keemasan dan iris mata secerah langit musim semi, dia tersenyum bahagia ketika melihat bayangan dua insan yang terpantul dipermukaan air —Hrist dan Lucio.
"Katakan Freya, apa ini sudah cukup?" Tanya Norns yang selalu menatap ke belakang—dia bernama Urd, dewi yang mengontrol masa lalu.
Freya—dewi Freya, melihat semuanya, ia mengangguk penuh rasa syukur.
"Kenapa kau melakukan hal ini, Freya?" tanya Norns misterius yang memakai kerudung, Skuld. Dewi yang mengontrol masa depan.
"Aku tidak percaya jika takdir mereka terhubung sampai seperti ini..." ujar Freya.
Dulu—sebelum dunia ini hancur dalam perang besar, Freya sudah tahu tentang kebimbangan yang dirasakan oleh Hrist. Hrist adalah salah satu valkyrie yang jiwanya selalu terperangkap dengan kenangan masa lalunya. Saat masih hidup sebagai manusia, Hrist sering mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya hingga ia dijual sebagai budak—dan mati saat mempertahankan dirinya dari seorang pria hidung belang yang membelinya.
—diangkat sebagai valkyrie karena ia tewas dalam keadaan yang suci, Hrist terkenal sebagai valkyrie yang sangat taat pada aturan, ia juga sering disebut valkyrie es, karena sikapnya yang sangat dingin.
Freya tahu, Hrist seperti itu karena ia tidak mudah untuk percaya pada orang lain, termasuk pada rekannya sesama valkyrie—dan Freya tahu, Hrist selalu berusaha untuk tidak mengecewakan dirinya karena ia telah memberikan kehidupan baru padanya.
Kehadiran Lucio—seorang elf yang berada di Alfheim merubah cara pandangnya pada orang lain. Lucio yang selalu mengajarkan Hrist untuk terus menatap kedepan tanpa dihantui oleh kenangan masa lalu, tentang ia yang mengajarkan untuk terus berusaha walau apa yang dia lakukan akan sia-sia.
—dan tentang bagaimana Lucio berhasil meluluhkan hati keras Hrist yang tidak mudah untuk memercayai orang lain.
Dan semua hal yang dilakukan oleh Lucio membuat Hrist jatuh cinta padanya.
Sementara Lucio, ia seperti melihat bayangan adiknya dalam diri Hrist—selalu memaksakan diri sendiri walau hal itu menyakitkan untuknya. Hingga adik Lucio tewas dalam keheningan peperangan, dan Lucio ingin menyelamatkan Hrist agar hal seperti itu tidak terjadi padanya.
Mereka saling mengisi kekosongan dalam hati—dan saling mengatakan jika "...dia adalah matahari yang menerangi kehidupanku yang baru."
"Aku tidak percaya jika takdir Hrist akan seperti ini. Walau ia terus mengalami kesulitan bahkan kematian, takdirnya terus berlanjut seperti aliran air yang tetap mengalir tanpa terputus..." ujar Freya.
Verdandi—Norns yang selalu menatap kedepan, dewi yang mengatur masa kini berkata, "Aku masih ingat ketika kau datang kemari untuk mengubah takdir Hrist, kau terlihat ketakutan dan penuh penyesalan, kau ingin membuat Hrist bahagia namun Lucio yang dia sayangi tewas. Untuk itu kau kemari untuk mengikat takdir mereka berdua agar mereka dapat selalu bersama walau terpisah sejauh apapun mereka pasti akan bertemu kembali."
Freya tersenyum, "Dan pada saat itu aku tidak tahu, ternyata takdir yang mengikat Hrist memang seperti itu, dan yang lebih penting lagi..."
Setetes air mata jatuh dipipi Freya, "Takdir Lucio dan Hrist memang telah terhubung sejak dulu."
Ketiga Norns tersenyum bahagia, Urd mengingatnya—ketika dunia hancur, Hrist tertidur cukup lama karena luka ditubuhnya sangat parah, ratu peri yang menghuni hutan itu sangat sedih melihat Hrist, ia pun menyembuhkan luka Hrist dengan sihirnya walau perlu waktu yang lama. Dia adalah Titania—sang ratu peri yang menghuni hutan Hoddmimis—sebuah hutan suci yang menjadi rumah bagi para peri.
Titania yang baik hati memberikan sebuah berkah pada Hrist yang masih tertidur—ia membuat Hrist tetap hidup.
Lucio dibangkitkan kembali, para peri hutan mengumpulkan roh-nya yang tercerai berai di hutan dan menggabungkannya kembali—setelah Lucio bangkit, Titania memberitahu semua yang terjadi pada Lucio, ternyata dulu Titania dan bangsa peri berhutang budi pada adiknya karena ia telah mengalahkan raksasa jahat yang memporak-porandakan hutan tempat mereka tinggal hingga adik Lucio tewas.
—mengapa Titania bisa tahu tentang adik Lucio hingga ia merasa berhutang budi? Itu karena Freya memberi tahu segalanya. Freya melakukannya agar Lucio dapat kembali, dia mencari tahu cara agar Titania mau memberi keajaiban pada Lucio agar dia hidup kembali.
Ini karena Freya ingin menghapus penyesalannya karena telah—secara tidak langsung—menyakiti Hrist.
Pada saat kembali ke tempat Hrist berada, gadis itu sudah menghilang. Lucio pun melakukan perjalanan untuk mencari Hrist—Titania mengatakan bahwa Hrist masih hidup dan berada di suatu tempat di dunia ini, terus mengembara.
—dan, mereka bertemu.
"Kurasa kau tidak perlu khawatir lagi, Freya, mereka sudah bersama."
Freya tersenyum pada Urd, " Ya, Hrist kembali menemukan matahari-nya."
Freya tidak ingin Hrist terlalu larut dalam penyesalan, ia tidak ingin Hrist menyesal karena ia seorang valkyrie. Ini adalah bentuk penyesalan Freya karena telah merenggut sesuatu yang berharga bagi Hrist hingga gadis itu tidak dapat jujur pada dirinya sendiri.
"Freya, sang dewi perang—tidak..." Skuld menggantungkan kata-katanya, ia menatap Freya dengan hati-hati,
"—kau lebih tepat disebut sebagai dewi cinta, karena hatimu sangat lembut dan penuh kasih."
Freya hanya tertawa, "Kuharap itu sebuah pujian."
Menoleh ke arah mata air, Freya menatap bayangan Hrist dan Lucio yang bahagia,
"...kuharap kau senang dengan hadiah dariku, Hrist."
🌿
🌿
🌿
"—jadi, begitu ya..." aku tidak bisa berkata-kata, ternyata selama ini, aku telah dibodohi oleh pikiranku sendiri.
Kupikir Freya akan kecewa padaku—dan aku kira selama ini aku dibuang oleh Freya karena telah mengecewakannya, namun nyatanya tidak. Dia malah melakukan ini untukku—mempertemukanku kembali dengan Lucio.
"Dewi Freya sangat mengkhawatirkanmu, ia ingin kau bahagia."
Lucio mengelus lembut puncak kepalaku, "Nah Hrist, sekarang aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
Lucio menghela nafas panjang dan menatap lurus Hrist,
"Hrista, maukah kau ikut bersamaku, selalu berada disisiku hingga waktu yang memisahkan kita?"
Mungkin dimata Lucio saat ini, mataku sedang berkaca-kaca—aku sangat bahagia, kali ini akan aku katakan apa yang kuinginkan, tidak akan ada kebohongan lagi...
"Ya, aku akan ikut bersamamu."
Kuterima uluran tangan Lucio dan menggenggamnya erat, kenangan yang lalu kembali teringat, tentang aku yang bodoh karena selalu terperangkap akan kenangan pahit—disini, aku menemukan seseorang yang mau menerima keberadaanku.
Terimakasih Freya...
—sekarang dan selanjutnya, bukan pedang atau apapun yang kuinginkan,
—hanya tangan ini lah yang ingin tetap ku pegang, apapun yang akan terjadi nanti aku tidak akan melepaskan tangan ini.
🌿
🌿
🌿
Event GOD membuat saya menulis 5k kata —prokprokprok—
Inspirasi dari mitologi Nordik 😄
Chara Lucio mau tau?? Oke kukasi tau...
Referensi dari Fate Grand Order 😂
—Lucio—
—Hrista a.k.a Hrist—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top