Part 3

Angin yang bertiup dari lereng Gunung Kendang membelai helaian rambut Kamala hingga beberapa kali menutupi wajah. Namun, perempuan itu mengabaikannya. Sisa-sisa air mata membuat sebagian helaian rambut melekat di pipi.

Dia tak peduli pada apa pun. Tangannya terus menggenggam selendang hijau warisan kakeknya. Beberapa warga yang datang dan ikut menguburkan jenazah Hardi hanya terhitung enam sampai delapan orang, salah duanya Janu dan rekan guru yang lain. Namun, meski mereka mengungkapkan belasungkawa dan sebagainya, pendengaran Kamala tersaput nestapa hingga dia tak menghiraukan mereka sama sekali.

“Mala.” Janu mendekat dan memandang perempuan berkubang sayu rayu itu.

“Aku membawakanmu makanan, istriku menyiapkannya pagi tadi.” Sedikit berbohong, Janu mencoba membuat hati Kamala kembali beriak. Namun, meskipun dia membuka pembicaraan, Kamala sama sekali tak menanggapi.

Janu menghela napas. Dia menyodorkan rantang berisi makanan yang dibelinya di warung Mak Kasna setelah selesai menguburkan Hardi. Ya, dia berbohong tentang makanan yang disiapkan istrinya. Bahkan mungkin, Kamala mengetahui kebohongannya ini. Karena itulah, perempuan itu tak menanggapinya.

“Hiduplah dengan bahagia, Kamala.” Ingin Janu berkata demikian, tetapi urung dia katakan.

Kesedihan pada raut wajah perempuan itu sangat terlihat berkelindan. Akan sangat sia-sia jika Janu mengatakan berbagai kata penghiburan.

“Mala ….”

“KANG!” Bentakan dari halaman rumah Kamala membuat Janu menoleh.

Irah, istri Janu, berkacak pinggang sambil memelototi suaminya. “Aku mengizinkanmu pergi hanya untuk menguburkan sahabatmu itu, bukan untuk menghibur jandanya.”

“Irah!” Janu melirik Kamala yang masih terdiam seolah-olah tak mendengar apa pun.

“Jaga ucapanmu, Rah! Teu pantes aya nu maot ngomongna sambarangan kitu.”

“Apa? Apa? Akang berani ngebentak Irah? Iyah?” Irah semakin melotot.

Janu menggeleng lalu menarik istrinya. Keduanya segera meninggalkan halaman rumah Kamala yang kian sepi tanpa satu pun pelayat lagi. Sayup-sayup masih terdengar pertengkaran mereka disusul suara Irah yang dipenuhi sumpah serapah.

Kamala berkedip. Setitik air matanya jatuh lalu disusul tetesan lainnya hingga rebas tak lagi terbendung. Dia menangkupkan selendang hijau ke wajahnya, menahan air mata, menahan luka hati yang makin menganga. Kamala merasa mati.

***

Terkadang sebuah kemalangan menimpa dengan dibuntuti kepahitan. Tiga hari setelah Hardi meninggal, desas-desus perihal Hardi dan Santika terus saja terdengar. Bahkan warga desa mulai terang-terangan meninggikan suaranya ketika Kamala lewat.

Di sungai, Kamala akan mendengar para gadis yang tengah mencuci akan mengutuk suaminya. Di pasar desa, para pedagang akan bersikap antipati terhadap dirinya. Puncaknya, tujuh hari meninggalnya Hardi, tak satu pun yang datang ke rumah Kamala.

Jiwa Kamala terus direngkuh nyenyat. Pikirannya bergelung dalam kesepian. Hanya gelang tujuh batu hijau yang tetap setia memberikan penghiburan kepadanya.

“Kamala, keluarkan kami. Kami bisa melindungimu.”

Kamala menempelkan telinganya makin rapat pada gelang tersebut. “Bagaimana cara kalian melindungiku?”

“Kau akan tahu jika mengeluarkan kami.”

Kamala menggeleng. Dia merasa sudah gila berbicara kepada gelang yang merupakan benda mati.

“Percaya kepada kami, Kamala. Kami adalah tujuh guriang penghuni tujuh gunung. Bersumpahlah untuk kami, Kamala. Bebaskan kami,” bujuk suara dalam gelangnya.

Kamala terkekeh-kekeh. Dia meremas rambutnya sambil menitikkan air mata. Dia benar-benar sudah gila hingga terus berhalusinasi mendengar suara-suara itu.

Diusapnya air mata sambil dibenahinya anak rambut. Hari ini, dia akan bertandang ke rumah kepala desa. Istri kepala desa merupakan teman Kamala. Temannya tersebut menyarankan Kamala membuat laporan ke kantor polisi untuk menyelidiki kematian suaminya yang dirasa janggal.

Awalnya Kamala tak menggubris, tetapi setelah dipikir lebih dalam, dan untuk membersihkan nama suaminya, Kamala memutuskan menerima bantuan temannya tersebut.

Lekas-lekas, dengan membawa selendang hijau sebagai bukti kuat, Kamala membelah jalan desa menuju rumah Kepala Desa. Sepanjang jalan, dia mengelus perutnya yang masih datar. Harapannya harus kembali bangkit demi anaknya dan Hardi. Kamala tak ingin membiarkan pembunuh itu terbahak-bahak melihatnya menderita.

Sesampainya di halaman rumah Kepala Desa, Marti segera menyambut Kamala. Marti seolah-olah tahu maksud Kamala dan segera membujuk suaminya untuk mengantarkan Kamala ke kantor polisi. Sang kepala desa terlihat ragu. Bahkan Kamala mendengar perdebatan mereka di dalam rumah.

Memang, berurusan dengan Darma bukanlah perkara mudah. Apalagi Kepala Desa baru menjabat beberapa bulan ini. Tentu, posisinya di desa itu akan goyah jika melawan Darma secara langsung.

Kamala beranjak. Dia tak akan merepotkan temannya. Tak boleh ada yang menjadi korban lainnya.

“Mala! Tunggu! Kau mau ke mana?”

“Aku ….”

“Kang Dadang sudah menyetujui untuk mengantarkanmu sampai ke kantor polisi.” Tatapan Marti penuh binar kebahagiaan. “Kau tenang saja, Mala, aku pasti akan membantumu.”

“Tapi ….”

“Ayo berangkat, hari sudah menjelang sore. Sebaiknya kita berangkat sekarang sebelum kantor tutup.” Suara Kepala Desa menghentikan percakapan mereka.

Marti sedikit menyeret Kamala menuju mobil pick up milik Kepala Desa dan mendorongnya duduk di kursi samping kemudi. “Tenanglah, Mala, suamiku akan membantumu.”

Kamala meremas tangan Marti, mengucapkan terima kasih sebelum mobil itu melaju meninggalkan halaman rumah. Dari kaca spion, Kamala masih melihat bayangan Marti yang melambaikan tangan.

Mobil terus melaju membelah jalanan desa dan berbelok ke arah kiri. Hal yang membuat Kamala mengernyit karena menuju kantor polisi seharusnya berbelok ke kanan.

“Kita kenapa ambil jalan ke sini, Pak?” tanya Kamala sambil melihat sekeliling jalan.

Sang kepala desa tak menjawab dan terus melajukan mobilnya. Tangannya terlihat kuat memegang kemudi. Jalanan lengang membuatnya semakin menekan pedal gas. Namun, jalanan tak mulus membuat mobil itu berguncang beberapa kali hingga membuat Kamala harus menekan perutnya, mengkhawatirkan kandungannya.

“P,Pak?” Kamala semakin kebingungan ketika mobil berbelok ke arah hutan lindung yang Kamala tahu tak ada lagi rumah-rumah penduduk di sana.

Mobil berhenti dengan rem yang diinjak kuat-kuat hingga membuat Kamala hampir terantuk dashboard. Belum mereda rasa kagetnya, pintu mobil dibuka paksa dari luar dan sepasang tangan menyeret Kamala keluar.

“Lepaskan!” Melihat para centeng-centeng Juragan Hadiningrat bermunculan membuat Kamala menjadi panik. Dia menoleh ke arah Kepala Desa yang memilih menunduk sambil menggeleng-geleng.

“Saya dan Marti ingin tetap hidup, Kamala. Kami masih mempunyai anak yang masih kecil. Saya juga baru beberapa bulan menjadi kepala desa. Saya tak ingin jabatan ini hilang, Kamala. Tolong maafkan kami!” Kepala Desa menangkupkan telapak tangannya.

Kamala tercengang. Dia tak menyangka bahkan orang-orang terdekatnya menjadi buas dan mengumpankannya kepada palung neraka. Marti? Mengapa dia melakukan ini? Kamala menggeleng tak percaya.

Ini bohong, bukan? Dia ingin meneriakkan kalimat itu. Namun, melihat Kepala Desa memundurkan mobil lalu segera pergi meninggalkannya begitu cepat kian menyadarkannya bahwa semua itu adalah nyata.

“Ikut kami!”

“Lepaskan!” Kamala menepis tangan pria kekar yang menarik lengannya. “Jika Darma ingin menemuiku, temui aku di sini!”

“Kau salah, bukan Den Darma yang menyuruh kami menculikmu.”

Kamala mengernyitkan kening memandang enam orang yang biasanya mengikuti Darma tersebut. “Bukan Darma? Apa maksud kalian? Sapa lagi yang dapat berbuat demikian jahat selain dia?”

Para centeng itu terdiam. Akan tetapi, dari balik pohon, suara lembut wanita menyeruak dalam sepoi angin sore, “Aku.”

Perlahan-lahan, seorang wanita bergaun kelabu keluar dan menatap dingin tepat pada mata Kamala.

Kamala tergemap, tetapi tak ditampakkan di wajah. Tebakannya memang meleset, tetapi tak mengherankan bila menemukan fakta Santika dapat berbuat apa pun semaunya.

Santika berdiri di depan Kamala dalam jarak dua langkah. Dia mengamati penampilan Kamala yang kusam dan pucat. Meski begitu, aura kecantikannya masih pula bersinar, terutama tatapan matanya.

Tatapan mata yang membuat Hardinya berpaling dan tergila-gila pada sinden itu. Mengingat hal tersebut, kabut kebencian kembali berkelindan di hati Santika.

“Hari ini, bahkan Tuhan pun tak akan dapat menyelamatkanmu dari kematian, Kamala!”

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top