Part 13

Hari telah hampir senja. Sepoi angin pegunungan membelai wajah Kamala yang berjalan menyusuri jalan setapak menuju permakaman. Dia memilih waktu senja dengan memanfaatkan kepercayaan warga desa yang mewejangi tak boleh keluar rumah saat sendakala.

Permakaman begitu sepi, hanya terdengar suara kelelawar yang mulai keluar dari sarang-sarangnya dan mengepak ke berbagai arah. Kicau kedasih yang bertengger di pohon trembesi menyambut langkah Kamala yang melewati pusara-pusara hingga berhenti di depan pusara dengan nisan bernama Hardi.

Lama perempuan itu terdiam menatap nisan sebelum berjongkok dengan menopangkan lutut pada gundukan tanah. Selendang hijau yang tersampir di bahunya, dia rentangkan dan pakaikan menutupi kepala. Seketika nestapa membaluri wajahnya. Tangannya gemetar membelai nisan dan pusara. Kamala tergugu.

“Kang, aku merindukanmu.” Kamala meletakkan sekuntum mawar talita pada pusara tersebut.

Mawar talita merupakan bunga pertama yang Hardi berikan kepadanya setelah pernikahan mereka. Bahkan di rumah mereka, Hardi menanam khusus mawar talita untuk dipersembahkan kepadanya. Setiap mawar-mawar itu berbunga, Hardi akan memetik dan menyelipkannya di telinga Kamala. Di antara kembang-kembang yang berada di halaman rumah, hanya mawar talitalah yang Kamala sukai.

Mengenang masa-masa itu, air mata Kamala menitik. Kerinduannya makin berkelindan dengan puncak nestapa yang mengiris tiap-tiap asa. Setiap kali Kamala membayangkan Hardi maka kepiluannya makin lara. Pun sekarang, air mata itu telah rebas menitik melalui dagunya.

Pikiran Kamala masih menyelami memori masa lalu saat tak disadarinya sesosok wanita tua keluar dari balik pohon beringin. Matanya mencelang memelototi punggung Kamala. Meskipun mata kirinya hampir menutup karena luka, tetapi jelas dia melihat cahaya hijau yang melingkupi Kamala.

“Dia pemilik guriang,” desisnya sambil berjalan perlahan-lahan.

Kamala terperenyak dan menghentikan tangisnya kala merasakan pancaran panas dari belakang punggung. Namun, dia berusaha tenang sambil mengambil salah satu sisi selendang lalu menyelubungi setengah wajahnya.

“Serahkan guriang-guriang itu kepadaku, Anak Muda!”

Kamala mengambal, memperhatikan situasi.

Langit mulai diperam malam. Kamala tak tahu berapa lama menyerana di sisi pusara Hardi. Saat dia mendongak, permakaman itu telah dipadati makhluk-makhluk tak kasat mata yang bersembunyi di kegelapan. Mereka terang-terangan tak menampilkan diri, itu berarti wanita tua di belakang Kamala bukanlah sembarang orang.

“Aku tak mempunyai urusan denganmu. Sebab itu, pergilah!” Kamala menjawab dengan suara yang tenang.

“Tentu saja kita berurusan. Tujuh kekuatan yang ada pada dirimu adalah milikku.”

Kamala tersenyum sinis. Dia berdiri lalu berbalik menghadapi Nyai Bayan. “Apa pun yang ada padaku, adalah milikku.”

Nyai Bayan mendesis. “Kau tak tahu apa-apa tentang tujuh guriang yang bernaung di dalam dirimu. Aku berniat menolongmu untuk memusnahkan mereka.”

Di balik cadarnya, Kamala tersenyum sinis. “Kukatakan sekali lagi, kita tak memiliki urusan. Pergilah! Apa pun yang kauinginkan tak akan pernah kuberikan.”

Selesai mengatakan demikian, sebuah dahan kayu mahoni patah lalu melesat menuju Kamala. Dia berkelit dengan berguling ke belakang. Diraihnya segenggam tanah lalu dilemparkannya kepada Nyai Bayan. Tanah-tanah tersebut berubah menjadi sekumpulan lebah yang menyerang serentak.

Sementara Nyai Bayan memberangus lebah-lebah tersebut, Kamala berbalik dan melesap ke dalam kabut. Melihat buruannya lari, Nyai Bayan murka. Dia melibas lebah-lebah hingga kembali menjadi tanah.

Pipi Nyai Bayan berkedut-kedut membuat bekas-bekas luka terlihat lebih mengerikan. Dia menoleh dan memandang pusara Hardi. Otaknya memutar cepat sebuah rencana untuk memancing sang pemilik guriang keluar.

***

Keesokan harinya, ketika matahari telah merajai langit, warga dikejutkan dengan apa yang dilakukan Juragan Hadiningrat. Sang juragan datang bersama centeng-centengnya mengikuti wanita tua yang berpakaian lusuh memasuki permakaman. Darma menyusul kemudian bersama tiga orang anak buahnya. Mereka berhenti dan mengerumuni makam Hardi.

Darma tak mengerti mengapa ayahnya datang ke makam Hardi disertai wanita pengemis itu. Sejak ayahnya ditolong pengemis itu, tingkah lakunya makin aneh dan tak biasa.

“Hancurkan makam ini!” perintah Nyai Bayan.

Juragan Hadiningrat tertegun, tetapi kemudian memerintahkan anak buahnya untuk melaksanakan perintah Nyai Bayan. Dia tak akan bertanya untuk apa karena Juragan Hadiningrat memercayai Nyai Bayan sepenuhnya.

“Tunggu!” Seseorang berteriak sambil menyeruak kerumunan centeng-centeng Juragan Hadiningrat.

Janu terengah-engah sambil mendelik kepada orang-orang yang membawa sekop dan cangkul. Bahkan nisan Hardi telah dicopot dan dibuang oleh mereka. “Apa-apan ini?”

Juragan Hadiningrat melengos lalu memerintah anak buahnya agar meneruskan perintah Nyai Bayan.

“Berhenti!” Janu mendorong salah satu dari mereka lalu merentangkan tangan berniat pasang badan. Akan tetapi, tubuhnya tak sekuat para centeng tersebut sehingga satu tendangan dari belakang membuatnya tersungkur.

“Lekas ratakan kuburan ini!” perintah Nyai Bayan.

Centeng-centeng tersebut segera mengerjakan apa yang diperintahkan Nyai Bayan. Mereka mengeduk, menginjak-injak, dan merusak nisan. Tak berapa lama, kuburan Hardi rata oleh tanah. Mereka tak menggubris Janu yang terus memohon.

Entah sudah berapa kali Janu terkena pukulan, tetapi pria itu terus berusaha maju. Hingga akhirnya sebuah tinju kuat membuatnya tersungkur dan merontokkan beberapa giginya. Janu menangis, bukan karena merasa sakit pada mulutnya melainkan rasa tak berdaya karena tak dapat melindungi makam sahabatnya.

Nyai Bayan memandangi sepenjuru permakaman. Namun, tanda-tanda kemunculan wanita itu tak juga terasa. Dia memejamkan mata, tetapi dengan mata batinnya pun sosok Kamala tak muncul juga. Nyai Bayan melihat sekeliling lalu berteriak lantang, “Wahai pemilik guriang, tunjukkan dirimu jika kau merasa pantas memiliki tujuh puaka itu.”

Darma hanya mengamati wanita tua itu. Dia menggeleng-geleng karena merasa ayahnya menjadi gila mengikuti Santika. Darma berdecak kemudian memerintahkan tiga anak buahnya untuk kembali. Namun, baru pun tiga langkah dia beranjak, suara jeritan seseorang berhasil menahan langkahnya.

Salah satu centeng Juragan Hadiningrat, Gundi, tergeletak di tanah. Dia mencakari tangan dan lehernya sambil berguling-guling di atas pusara Hardi yang telah rata. Gundi mencakar-cakar lehernya hingga berdarah.  Dia terus mengedau, tetapi sama sekali teman-temannya tak menolongnya. Mereka menyingkir, pun dengan Nyai Bayan yang hanya menatapnya dengan datar.

“Aaargh! Toloong!” Gundi mulai mencakari seluruh tubuhnya bahkan menggigit pergelangan tangannya sendiri.

Tubuhnya bersimbah darah, tetapi tangan-tangan Gundi sama sekali tak ingin berhenti mencakari dirinya. Tak ada yang menolong, semua sibuk waspada pada keanehan-keanehan tersebut. Tak terkecuali warga desa yang memilih meninggalkan tempat dan segera memasuki rumah masing-masing.

Warga desa masih ingat bagaimana dulu Hardi mati gantung diri. Mereka berpikir, Hardi menjadi setan untuk membalas dendam pada siapa pun yang mengganggu makamnya.

“Nyai ….” Gundi merangkak mendekati Nyai Bayan. Akan tetapi, belum sampai dia mencapai Nyai Bayan, Gundi kembali berteriak sambil memegangi perutnya. Dia mengeliat-geliat ketika rasa sakit dan panas bercokol kuat dalam perutnya. 

Juragan Hadiningrat memundurkan langkahnya. Dia memandang Nyai Bayan yang masih tenang memandangi salah satu anak buahnya yang kesakitan. Namun, melihat wanita itu tetap bergeming, Juragan Hadiningrat tak dapat berbuat apa-apa. 

Perut Gundi bergerak-gerak sebelum perlahan-lahan membesar. “To … long,” rintihnya sambil menggapai-gapai ke arah teman-temannya juga Nyai Bayan. Akan tetapi satu pun tak ada yang berani mendekat.

Bola mata Gundi berubah merah seiring pembuluh darahnya pecah. Perutnya kian membesar membuat Gundi tak dapat berguling mengekspresikan sakitnya. Dia terlentang mengenyam rasa sakit yang luar biasa. Hingga kemudian, perut tersebut bergetar, bergerak-gerak bagai ditusuk dari dalam. Jeritan Gundi setelahnya mengiringi ledakan dahsyat yang menghancurkan sebagian tubuhnya.

Potongan daging dan darah berjebai mengenai siapa pun yang berada di dekat Gundi. Nyai Bayan terkecuali. Wanita tua itu beringsut cepat ketika ledakan itu terjadi dan menutupi wajahnya dengan lengan tangan. Dia menyeranah dalam hati dan meyakini itu perbuatan wanita pemilik tujuh guriang.

Setelah hening beberapa saat, Nyai Bayan menurunkan lengannya. Namun, apa yang dilihatnya membuatnya membeliak marah. Orang-orang yang dibawanya tergeletak tak sadarkan diri karena terpercik darah dan daging Gundi.

Suara gamelan mengalun lembut membuat Nyai Bayan menoleh ke gerbang permakaman. Kabut bergumul-gumul memenuhi gerbang seiring aroma kenanga yang menyapa indra penciuman Nyai Bayan. Aroma memuakkan dari keturunan Sangkuriang. 

Perlahan-lahan, gerak gemulai wanita berkebaya merah dengan selendang hijau terlihat di tengah kabut. Tubuh Kamala melenggak-lenggok seolah-olah meritualkan tarian pengantar kematian.

Bersambung ….

Notasi:

Hari ini ada promo, harga novel Sumpah Tujuh Gunung 55ribu, hanya hari ini (4 September 2021). Ditunggu ya di WA 082126060596

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top