Part 10

Marti ditempatkan di sebuah ruangan bercahaya temaram. Ruangan itu tak berjendela hingga terasa pengap dan bau apak. Hanya ada satu kursi dan meja serta lampu bohlam yang cahayanya hampir redup.

Sebelumnya Marti ditempatkan di ruangan berjeruji besi bersama sembilan tahanan perempuan. Namun, tiba-tiba saja sang sipir mengeluarkannya dari penjara jeruji lalu memasukkannya ke ruangan temaram itu tanpa menjelaskan apa pun.

“Kau tunggu di sini. Akan ada orang yang ingin bertemu denganmu,” sahutnya lalu menutup dan mengunci pintu dari luar.

Marti hanya diam. Percuma dia minta dibebaskan karena mereka pasti tak akan mau mengabulkannya. Marti hanya berharap suaminya melakukan segala cara untuk menyelamatkan dari hukuman penjara. Dia tak ingin menghabiskan waktu seumur hidup di sini.

Kursi di dalam ruangan itu berdebu begitu pun dengan mejanya. Namun, Marti tetap menduduki kursi tersebut. Pikirannya menebak-nebak siapa yang ingin bertemu dengannya? Apakah suaminya? Marti berharap demikian. Dia tak tahan harus tidur berdesak-desakkan dan menghirup bau badan para penghuni penjara.

Suara pintu dibuka perlahan-lahan membuat Marti membelalang senang. Dia berdiri dari duduknya dan mengharapkan suaminya muncul. Namun, setelah beberapa detik menunggu, tak ada kemunculan siapa pun. Pintu itu terbuka seperempat sudut membuat Marti bertanya-tanya apakah mungkin ada yang membantunya untuk kabur.

Marti mendekati pintu, membukanya dengan lebar, dan melongok keluar. Sepi. Tak ada polisi atau siapa pun yang berjaga di lorong. Marti bimbang dan takut ini hanyalah jebakan agar dia mendapat hukuman yang lebih berat lagi nanti. Memikirkan hal itu, Marti segera kembali masuk ke ruangan dan menutup pintu.

“Aku telah memberimu kesempatan kabur, tetapi kau memilih ingin mati di ruangan ini, Marti.”

Marti terperenyak. Jantungnya mulai merenyut tak keruan kala mendapat sapaan dari suara manis itu. Peluh bahkan telah bermunculan di dahinya ketika harum kenangan merebak di sepenjuru ruangan.

Lagi-lagi Marti membenci tubuhnya yang kembali di luar kendali. Dia berputar dan melangkah mendekati Kamala yang duduk bertopang lutut di kursi. Meski berkali-kali otaknya memerintah berhenti, tetapi tubuhnya seolah-olah digerakkan sesuatu tak kasat mata hingga berlutut di depan Kamala.

“Mala … tolong maafkan aku.” Air mata Marti rebas seiring rasa takutnya berkelindan di hati. Tangannya menangkup membentuk sembah. Namun, orang yang dimintai maaf hanya memainkan selendang hijaunya hingga membentuk sebuah boneka kain.

Kamala tersenyum. Senyumannya indah, tetapi membuat Marti menggeligis.

“Apa kesalahanmu sehingga kau memohon maaf?”

Bibir Marti bergetar. Dia tak berani mendongak atau sekedar melirik Kamala. Harum kenanga yang menguar dari tubuh Kamala membuat tubuhnya makin gemetar.

“Aku hanya diminta Santika. Demi jabatan suamiku, Kamala. Demi keluargaku. Aku ….” Suara Marti tersekat. Dia tak berani melanjutkan penyangkalannya ketika tatapan Kamala terasa merunjam tenggorokannya.

“Marti … apa kau ingat, dulu ketika kecil, kita sering bermain boneka kain. Aku membuat boneka dari kain jarit lalu memainkannya sebagai wayang golek. Kau ingat cerita apa yang kusuka?”

Meskipun Marti tak menjawab, Kamala mengangguk-angguk. “Benar, Marti. Benar. Aku menyukai cerita Durga Babat Kalimati. Kau memang sahabat terbaikku, Marti.”

Melihat Kamala terkikik-kikik, air mata Marti makin rebas. Dia tahu cerita apa Durga Babat Kalimati tersebut. Cerita tentang Batari Durga yang menghukum penggal manusia-manusia jahat yang mencoba mencapai nirwana. Dengan kata lain, Kamala di sini datang untuk menghukumnya.

“Lalu, bagaimana jika kita sekarang memainkan hal serupa?”

“Tidak! Tidak Kamala … ampuni aku!”

“Ah, kalimatmu itu mengingatkanku pada cerita wanita yang dipenggal Batari Durga karena telah membunuh tetangganya sendiri untuk menguasai harta bendanya.”

Marti menggeleng-geleng. Dia makin cemas ancaman itu benar-benar dilakukan Kamala. Otaknya berputar memikirkan sesuatu hingga teringat kepada anaknya. Kamala sangat mencintai anak-anak termasuk sangat menyayangi anak Marti.

“Anakku masih balita, Kamala. Dia membutuhkan aku. Aku bersumpah akan melakukan apa pun untukmu. Tolong biarkan aku hidup!”

Senyum Kamala lenyap. Dia tertegun dengan pikiran melayang ke tiga tahun silam.

Anak, katanya? Kamala ingin tertawa terbahak-bahak. Ulah siapa yang membuat anaknya mati tanpa sempat mengenyam kasih sayang orang tuanya?

Kamala mendekati Marti hingga jarak wajah mereka hanya sejengkal. Dengan senyum semanis mungkin, dia berbisik, “Tenanglah, aku pun akan mengirim anakmu ke neraka.”

Baru saat itulah, Marti sepenuhnya menyadari, tak lagi ada celah maaf di hati Kamala. Dilihatnya Kamala mengelus-elus boneka kainnya. Bibirnya menyenandungkan langgam Batari Durga Kalimati. Amat merdu hingga membuat Marti mengingat-ingat kenangan waktu mereka kecil.

Begitu eratnya persahabatan mereka dulu. Apa pun yang Kamala miliki, Marti akan mendapatkannya juga. Saat itu, Marti merasa menemukan sahabat sekaligus keluarga. Namun, makin tak berdaya manusia memandang kebahagiaan manusia lainnya, maka sifat primitif itu pun muncul di diri Marti. Kedengkian, iri hati, motif yang tak bisa dilepaskan dari benaknya. Mengapa dirinya berbeda dari Kamala? Mengapa dia tak bisa sehebat dirinya? Karena hal itulah, dia menekan memori bahagianya dan menggantinya dengan rencana-rencana menyingkirkan Kamala. Baginya, sinar Kamala amat menyakitkan pandangannya.

Marti tergugu. Makin merdu lagu itu dinyanyikan, hati Marti makin sakit. Dia menggumamkan maaf. Namun, Kamala tak menghiraukannya.

Boneka kain di tangan Kamala diputar-putar. Sejenak dia tersenyum kepada Marti yang terus menangis. Jari jemarinya memutar-mutar kepala boneka.

“Ooo Batari Durga … ngiclak cimata abdi sasembah ….” Kamala mengakhiri lagunya.

Kepala Marti perlahan-lahan bergerak, menengok ke samping kanan. Dengan gerakan cepat, kepala itu berputar hingga suara tulang leher retak memecah keheningan ruangan. Tubuh Marti ambruk. Kedua tangannya bergetar sebelum terdiam.

Kamala memandangi wajah Marti yang mencelang sejajar punggung. Namun, tak ada rasa apa pun di hatinya melihat mantan sahabatnya mati dengan kepala terbalik. Dia melangkahi mayat tersebut lalu menghilang di kegelapan ruangan.

Tepat sesudahnya, pintu dibuka dengan keras. Dua anak buah Juragan Hadiningrat terbelalak kala melihat mayat Marti dengan posisi aneh tersebut. Mereka mundur dengan tubuh bergetar. Keduanya sempat terjatuh, tetapi lekas bangkit dan segera melarikan diri. Mereka datang berniat mengancam Marti. Namun, pemandangan di ruangan itu lebih dari kata mengerikan untuk mereka lihat.

Sipir penjara yang sebelumnya mereka sogok terlihat keheranan melihat dua orang tersebut. Mereka berlarian seolah-olah melihat setan. Khawatir Marti kabur karena pintu ruangan terbuka, lekas-lekas dia melihat keadaan. Namun, ketika menemukan kondisi mayat Marti yang aneh, sipir wanita itu menjerit dan terduduk. Jeritannya mengundang rasa ingin tahu para petugas lainnya dan bergegas menghampirinya

***

Nurdi baru saja keluar dari mobil sewaannya ketika melihat dua pria yang amat dikenalnya. Mereka Sardi dan Warta, anak buah Juragan Hadiningrat. Tato pada lengan kanan dan tengkuk membuat keyakinan Nurdi makin besar. Namun, mengapa mereka ke kantor polisi itu?

Rasa khawatir menyelusupi hatinya. Di dalam sana Marti di penjara. Tak mungkin ada hal baik jika anak buah Juragan Hadiningrat bertindak.

Dengan langkah lebar-lebar, Nurdi segera melangkah memasuki kantor polisi. Akan tetapi, suara jeritan yang terdengar mencekam membuat para petugas jaga beranjak mencari sumber suara. Perasaan Nurdi makin tak nyaman.

Mengikuti intuisinya, dia membuntuti para petugas tersebut menuju ruangan paling belakang. Hatinya makin cemas. Menerobos kerumunan para petugas yang menolong salah satu polisi wanita yang menjerit-jerit, Nurdi memasuki ruangan.

Sumber rasa tak nyaman itu terlihat di matanya. Marti terbunuh dengan kepala terputar. Matanya mencelang dengan lidah terjulur kaku.

Nurdi bersimpuh. Dia berteriak sambil meremas-remas rambutnya. “Marti! Marti!” Tak ada lagi kosakata lainnya selain nama istrinya. Dadanya bagai dirajam bara api, sakit dan membakar jiwa.

Teringat apa yang dilihatnya di depan kantor polisi, bara dendam untuk Darma dan Juragan Hadiningrat makin menyelar.

Tak ada yang menyadari sosok Kamala di kegelapan, tersenyum dingin, melihat satu pion telah berhasil diambil alih.   

Bersambung ….

Notasi: Gaes, khusus hari ini, novel STG harga spesial 60 ribu bagi yang pesan ke aku langsung. Ingat, hanya hari ini 😘

Atau bisa banget ke shopee untuk yang ingin gratis ongkir yaa ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top