Chapter 57
Rumah Pensiun Wijaya, Bogor.
14 Juni 1640.
Langit Bogor yang cerah berangsur memudar menjadi jingga, memancarkan kehangatan matahari sore yang menembus tirai-tirai tipis di ruang tamu rumah pensiun Wijaya. Pria berusia akhir 50-an itu duduk di sofa tua dengan posisi sedikit membungkuk, menatap layar televisi yang menyiarkan berita tentang hasil akhir Perang Dunia Baru. Wajahnya penuh kerutan, memancarkan kelelahan yang tidak hanya datang dari usia, tetapi juga dari perjalanan hidup yang panjang dan penuh lika-liku.
Di dapur, Indah berdiri di depan kompor. Wanita dengan rambut ungu pendek sebahu itu kini memasuki usia 40-an, namun pesonanya tetap terpancar dalam kesederhanaan. Tangannya terampil mengaduk semur daging dalam panci, aroma rempah khas Indonesia memenuhi ruangan, menghadirkan kehangatan rumah yang terasa akrab.
"Kau harus berhenti menatap layar itu terus-menerus, Jaya." Ucap Indah tanpa menoleh. "Berita itu hanya membuatmu semakin banyak berpikir, dan perut kosong tidak akan membantu."
Wijaya tersenyum tipis, lalu menjawab tanpa memalingkan pandangan dari layar. "Bukan berpikir yang membuatku lelah, tapi kenyataan bahwa sejarah selalu mengulang dirinya sendiri."
Sebelum percakapan itu berlanjut, pintu kamar mandi terbuka, dan seorang wanita berjalan keluar. Marian, dengan rambut pirang keemasan yang panjang hingga punggungnya, mengenakan gaun sederhana namun tetap menunjukkan keanggunannya. Meskipun tampak muda dengan kulitnya yang bercahaya, matanya menyiratkan pengalaman hidup yang panjang dan berat. Marian adalah seorang putri dari Imperium Nusantara—peradaban pertama yang berdiri 65 juta tahun lalu. Ia adalah saksi dari kehancuran peradaban yang megah, dan sekarang ia memimpin pengungsi dari masa lalu ke dunia baru bernama Terra.
Marian melangkah ke ruang tamu, pandangannya langsung tertuju pada Wijaya. "Berita lagi?" Tanyanya dengan suara yang terdengar tenang.
"Berita lagi." Balas Wijaya sambil mematikan televisi. "Tapi tidak ada yang benar-benar baru, hanya pengulangan dari tragedi yang sama."
Marian duduk di kursi di dekat sofa. Wajahnya yang tenang memancarkan kewibawaan seorang pemimpin, meskipun ia tidak lagi memiliki kerajaan untuk dipimpin. Indah datang dari dapur, membawa segelas teh hangat untuk Marian, dan duduk di sisi lain ruangan. Hubungan antara mereka bertiga tampak unik, penuh dengan sejarah yang rumit.
Marian menatap Indah dengan senyum pahit. "Aku masih ingat saat aku bertunangan dengan kakakmu. Kau masih seorang gadis kecil waktu itu, menjamu semua orang, aku sangat menyesal dulu tidak pernah membantumu sebelum diusir."
Indah membalas. "Tidak apa-apa Kak, yang namanya hidup tidak ada yang tahu." Ia meletakkan gelas di meja kecil di depan Marian. "Aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi dalam kondisi seperti ini."
Wijaya menyimak percakapan mereka dengan penuh perhatian. Ketika peradaban itu hancur oleh kekuatan besar yang tak terbayangkan, hanya beberapa orang yang selamat, termasuk Marian dan Indah.
Wijaya, Mantan anggota Kopassus dari Indonesia, pernah terlempar ke masa lalu dalam sebuah peristiwa aneh saat Counteroffensive di Tiongkok. Di sana, ia bertemu dengan Indah, seorang gadis muda dari Imperium Nusantara, dan tanpa disadari, memulai kisah cinta yang tak seharusnya terjadi. Setelah ia kembali ke masanya, Indah dan Marian menyusulnya, membawa seluruh beban sejarah mereka ke dunia baru.
Marian menatap ke arah jendela, memperhatikan matahari terbenam di balik pepohonan. "Aku selalu berpikir bahwa kita akan menemukan cara untuk membangun kembali peradaban kita. Tapi kini aku sadar, apa yang telah hilang tidak mungkin kembali." Suaranya terdengar datar, tetapi ada kegetiran yang sulit disembunyikan.
Indah menghampiri Marian, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita tidak perlu membangun kembali apa yang telah hilang, Kak Marian. Dunia ini memberikan kita kesempatan baru. Kita hanya perlu belajar menerima dan melangkah."
Wijaya, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kalian sudah melewati hal-hal yang bahkan tidak bisa kubayangkan. Tapi kalian masih di sini, masih berjuang. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kalian punya kekuatan untuk bertahan."
Marian menoleh ke Wijaya, menatapnya dengan pandangan yang penuh rasa hormat. "Dan kau, Wijaya, entah bagaimana selalu tahu bagaimana menyatukan kami yang tersisa. Kau mungkin manusia biasa, tapi hatimu lebih besar dari banyak raja yang pernah kukenal."
Wijaya hanya tersenyum kecil, menunduk sedikit untuk menyembunyikan rasa malu.
Indah, yang melihat percakapan itu, kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya. "Sudahlah, makan saja dulu nanti. Semua bicara soal masa lalu tidak akan mengisi perut kita." Katanya sambil tertawa kecil.
Mereka bertiga akhirnya berkumpul di meja makan kecil. Nasi hangat, semur daging, dan lalapan sederhana tersaji di meja. Tidak ada kemewahan di sana, tetapi kehangatan terasa begitu nyata. Di tengah semua tragedi dan kehilangan yang pernah mereka alami, momen ini adalah pengingat bahwa hidup terus berjalan, dan ada kebahagiaan kecil yang layak dirayakan.
Makan malam itu diwarnai dengan obrolan ringan, tawa kecil, dan kenangan yang dibagikan. Marian bahkan sempat menceritakan beberapa kisah dari masa lalunya bersama abang Indah, membuat Indah terkekeh dan Wijaya mendengarkan dengan penuh minat.
Setelah makan, Marian kembali duduk di ruang tamu, menatap bulan yang kini mulai menggantung di langit. Indah menghampirinya, membawa secangkir teh hangat. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Kak. Tapi kita masih punya satu sama lain."
Marian mengambil cangkir itu dan tersenyum tipis. "Kau benar. Mungkin inilah cara kita untuk memulai lagi—bukan dengan mencoba menghidupkan apa yang telah hilang, tetapi dengan menciptakan sesuatu yang baru."
Wijaya berdiri di ambang pintu, memandang mereka dengan pandangan penuh rasa bangga. Di tengah segala kerumitan dunia, ia tahu bahwa keluarga kecil yang terbentuk dari masa lalu, masa kini, dan dunia yang berbeda ini adalah hal yang patut ia lindungi.
Malam di rumah pensiun Wijaya di Bogor terasa tenang, namun suasana di ruang tamu tidak sejalan dengan keheningan malam. Marian duduk di sofa, kedua tangannya saling bertaut di depan wajahnya. Wijaya duduk di seberangnya, meminum kopi dengan tenang, tetapi jelas menunjukkan minat pada percakapan yang baru saja dimulai. Di dapur, Indah baru saja selesai mencuci piring dan berjalan ke ruang tamu untuk bergabung.
"Jadi, bagaimana hasil pertemuanmu dengan Sakura tadi?" Tanya Wijaya, memecah keheningan. Matanya tertuju pada Marian, yang tampak sedikit lelah setelah melalui hari yang panjang.
Marian menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sakura mendengar semua yang kubawa ke meja perundingan, tapi masalahnya lebih kompleks daripada yang kukira. Banyak hal yang masih menggantung."
"Mulai dari mana?" Tanya Wijaya sambil meletakkan cangkir kopinya di meja kecil di samping kursinya.
Marian menatapnya dengan sorot mata yang serius. "Pertama-tama, soal warga Imperium Nusantara. Mereka membutuhkan tempat tinggal—tempat di mana mereka bisa memulai hidup baru tanpa mengganggu keseimbangan yang sudah ada. Tapi ini tidak mudah. Sakura mengusulkan agar mereka ditempatkan di daerah perbatasan, seperti Kalimantan Utara atau Papua, yang penduduknya tidak terlalu padat. Tapi kau tahu, Wijaya, budaya dan teknologi warga kami berbeda jauh dari masyarakat dunia ini. Mereka belum tentu bisa beradaptasi dengan cepat."
"Tapi itu lebih baik daripada tidak ada tempat sama sekali, bukan?" Sela Wijaya.
Marian mengangguk perlahan. "Benar, tapi kekhawatiran Sakura lebih besar dari sekadar adaptasi. Kerajaan-kerajaan yang menjadi anggota RPTO, seperti Kekaisaran Parpaldia, Kerajaan Quila, dan Qua-Toyne, sudah mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap kehadiran kita. Meski mereka tidak menyerang Indonesia karena hubungan aliansi yang kuat, mereka khawatir soal penyakit yang tidak diketahui yang mungkin dibawa oleh pengungsi kami."
"Penyakit?" Indah bertanya, duduk di samping Marian.
Marian mengangguk lagi. "Ya, beberapa penyakit dari masa kami mungkin dianggap tidak lazim di dunia ini. Meski belum ada laporan langsung, RPTO sangat khawatir soal wabah yang bisa menyebar, terutama dengan teknologi medis mereka yang belum semaju milik Indonesia. Sakura meminta ahli dari Kementerian Kesehatan dan RPTO untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, tapi ini butuh waktu."
"Kekhawatiran yang masuk akal." Wijaya mengakui. "Tapi jika mereka tidak menyerang, itu sudah sebuah keberuntungan. Bagaimana dengan Tentara Kekaisaran Nusantara? Apa yang diputuskan tentang TKN?"
Marian terdiam sejenak sebelum menjawab. "Itu bagian yang paling rumit. Sakura bertanya apakah TKN akan digabungkan dengan TNI atau tetap berdiri sendiri sebagai entitas terpisah. Jika digabungkan, dia khawatir akan ada konflik internal karena perbedaan doktrin militer. Prajurit TKN berorientasi pada taktik modern yang lebih terukur, sementara TNI lebih memiliki mentalitas perang total yang tidak mengenal kompromi. Di sisi lain, jika TKN berdiri sendiri, ada risiko mereka dilihat sebagai ancaman oleh anggota RPTO lainnya, meskipun tidak ada niatan seperti itu."
"Dan kau? Apa pandanganmu?" Tanya Wijaya.
"Aku ingin mereka bergabung dengan TNI." Jawab Marian dengan tegas. "Tapi aku juga tahu mereka perlu diberi waktu untuk beradaptasi. Para prajurit TKN masih membawa trauma dan ideologi dari masa lalu kami. Mereka harus diajarkan cara berpikir yang baru. Sakura meminta pendapatku tentang bagaimana mengintegrasikan mereka, dan bahkan menanyakan apakah aku bersedia memimpin prosesnya."
"Dan kau?" Indah bertanya dengan nada lembut.
Marian tersenyum tipis. "Aku tidak yakin. Ini tanggung jawab yang besar. Jika aku gagal, maka dampaknya bisa menghancurkan kepercayaan RPTO pada Indonesia."
"Kau satu-satunya yang bisa melakukannya." Ujar Indah dengan penuh keyakinan. "Kau tahu cara berpikir prajurit TKN, dan kau juga sudah cukup lama tinggal di sini untuk memahami sistem modern. Tak ada orang lain yang bisa menjembatani keduanya sepertimu."
Marian terdiam. Kata-kata Indah seperti menguatkannya, meskipun ia tahu tanggung jawab itu akan sangat berat.
"Kau tahu, Sakura berusaha keras untuk menjaga kepercayaan anggota RPTO terhadap Indonesia." Marian melanjutkan. "Tapi kehadiran Armada Nusantara di atmosfer menambah kecemasan mereka. Meski aku sudah menjelaskan bahwa armada itu ada di sana hanya untuk melindungi para pengungsi dan membantu Indonesia, beberapa anggota RPTO tetap merasa terancam. Parpaldia, misalnya, mengirimkan nota diplomatik yang meminta jaminan bahwa armada itu tidak akan digunakan untuk ekspansi militer."
Wijaya mendengus kecil. "Bocah Ludius itu selalu terlalu paranoid. Tapi aku bisa mengerti posisi mereka. Armada sebesar itu, dengan teknologi yang jauh melampaui apa pun di dunia ini, tentu akan membuat siapa pun merasa tidak nyaman."
Marian mengangguk. "Itulah sebabnya Sakura ingin memastikan transparansi penuh dalam setiap langkah yang kita ambil. Dia ingin RPTO melihat bahwa kita tidak memiliki niat untuk mendominasi, hanya ingin bertahan dan membangun masa depan bersama."
"Dia pemimpin yang hebat." Kata Wijaya dengan nada serius. "Tapi kau juga harus percaya bahwa kau punya kemampuan untuk membantu menyelesaikan semua ini, Marian. Kau telah melalui lebih banyak daripada yang bisa dibayangkan orang lain."
Marian menatap Wijaya, lalu Indah. "Kalian berdua selalu memberiku kekuatan." Katanya pelan. "Aku hanya berharap aku bisa benar-benar membuat keputusan yang tepat untuk semua orang."
"Kau akan melakukannya." Kata Indah sambil menggenggam tangan Marian. "Kita akan melakukannya bersama. Apa pun yang terjadi."
Malam semakin larut, dan pembicaraan mereka berlanjut dalam suasana yang lebih ringan. Di tengah tantangan besar yang mereka hadapi, setidaknya ada satu hal yang pasti: mereka tidak sendirian.
Istana Kekaisaran Parpaldia, Esthirant.
15 Juni.
Di dalam ruang rapat megah Istana Kekaisaran Parpaldia, Kaisar Ludius duduk di kursi singgasananya. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kaca patri, menerangi ruangan dengan warna-warna yang indah. Namun, wajah Ludius terlihat tegang. Di hadapannya, Panglima Arde berdiri dengan postur tegap, sementara Permaisuri Remille duduk di sampingnya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
"Arde, apa kabar terakhir mengenai protes di ibu kota?" Ludius membuka pembicaraan dengan nada yang berat.
Panglima Arde memberi hormat singkat sebelum menjawab. "Yang Mulia, situasinya masih terkendali, tetapi semakin panas. Kelompok buruh dan petani dari pinggiran kota terus berdatangan ke ibu kota untuk bergabung dengan para demonstran. Mereka menuntut perubahan kebijakan industri yang dianggap merugikan rakyat kecil."
Ludius mengernyitkan dahinya. "Kebijakan industri kita dirancang untuk mempercepat modernisasi Parpaldia dan mengamankan posisi kita sebagai salah satu kekuatan dominan di RPTO. Apa mereka tidak mengerti bahwa ini semua demi kejayaan kekaisaran?"
"Yang Mulia, mungkin masalahnya bukan hanya soal kebijakan itu sendiri, tetapi cara kebijakan ini diterapkan." Ujar Permaisuri Remille dengan suara lembut namun tegas. "Banyak petani kehilangan tanah mereka untuk proyek-proyek industrialisasi, dan para buruh merasa upah mereka tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Rakyat melihat ini sebagai pengorbanan yang tidak adil."
Ludius menghela napas panjang. "Kalau begitu, apa saranmu, Remille? Haruskah kita menghentikan proyek industrialisasi dan kembali ke era feodal?"
"Bukan begitu maksudku." Jawab Remille dengan sabar. "Tapi mungkin kita perlu mengalokasikan lebih banyak dana untuk program kesejahteraan rakyat. Mungkin juga perlu ada dialog terbuka dengan perwakilan dari demonstran, untuk menunjukkan bahwa kita peduli pada mereka."
Arde menyela dengan nada tegas. "Dengan segala hormat, Yang Mulia, terlalu banyak kompromi akan dianggap sebagai tanda kelemahan, baik oleh rakyat kita sendiri maupun oleh anggota RPTO lainnya. Kita tidak boleh lupa bahwa militerisasi yang berlebihan akibat surplus perangkat keras militer setelah perang adalah salah satu pemicu keresahan ini. Rakyat merasa kekayaan negara terlalu banyak digunakan untuk membangun senjata, sementara kebutuhan dasar mereka diabaikan."
Ludius mengetuk meja dengan jarinya, berpikir dalam-dalam. "Militerisasi itu penting untuk menjaga posisi kita dalam RPTO, terutama dengan kehadiran Armada Nusantara di atmosfer dan tekanan dari anggota lainnya. Tapi aku mengerti, kita tidak bisa mengabaikan dampaknya pada ekonomi dan stabilitas sosial. Apa yang kau usulkan, Arde?"
Arde menjawab dengan tegas, "Kita perlu mengurangi produksi perangkat keras militer yang tidak dibutuhkan dan mengalihkan dana itu ke proyek-proyek yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, kita harus mempercepat integrasi wilayah Riem dan Mao, karena loyalis dari kedua kerajaan itu masih bergerak bebas, menyebarkan propaganda yang melemahkan posisi kekaisaran."
Ludius memandang Arde dengan tatapan tajam. "Integrasi itu berjalan lambat karena resistensi dari rakyat mereka, bukan karena kurangnya usaha kita."
Remille menimpali. "Itu benar, tapi mungkin kita juga perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih halus. Loyalis Riem dan Mao tidak akan begitu mudah tunduk pada kekuatan militer semata. Kita perlu memenangkan hati dan pikiran mereka. Program pembangunan infrastruktur atau kebijakan yang menunjukkan manfaat menjadi bagian dari Parpaldia mungkin bisa membantu."
"Bahkan jika kita melakukannya." Ujar Arde. "Kita tetap harus memonitor aktivitas loyalis dengan lebih ketat. Intelijen kita melaporkan bahwa beberapa kelompok masih menerima dukungan dari elemen-elemen asing, meskipun kecil. Jika ini dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman serius bagi kekaisaran."
Ludius memandang keduanya dengan sorot mata yang dalam. Ia tahu bahwa masalah ini tidak memiliki solusi yang mudah. Inflasi yang merangkak naik, protes rakyat yang semakin membesar, surplus militer yang membebani ekonomi, dan integrasi wilayah yang tersendat—all ini adalah tantangan besar bagi pemerintahannya.
"Baik." Kata Ludius akhirnya. "Kita akan membuat rencana aksi untuk mengatasi semua ini. Arde, aku ingin kau menyusun strategi untuk mengurangi surplus militer secara bertahap tanpa melemahkan kekuatan kita. Dan kau, Remille, bantu aku menyusun program yang dapat meredakan keresahan rakyat. Kita akan mengalokasikan sebagian dana dari surplus militer untuk program ini. Soal integrasi, aku ingin laporan detail tentang semua loyalis yang masih aktif di wilayah Riem dan Mao. Kita akan menindak mereka dengan tegas, tetapi juga menunjukkan kepada rakyat bahwa menjadi bagian dari Parpaldia adalah sebuah keuntungan."
Keduanya mengangguk. "Kami akan melaksanakannya, Yang Mulia." Kata Arde.
Remille menambahkan. "Kita bisa melewati ini, Ludius. Dengan pendekatan yang tepat, kekaisaran kita akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya."
Kaisar Ludius memandang keluar jendela, ke arah ibu kota Parpaldia yang sedang bergolak. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah ujian besar bagi pemerintahannya. Tetapi sebagai Kaisar, ia tidak akan mundur dari tanggung jawabnya.
Istana Kerajaan Quila.
15 Juni.
Dalam ruang pertemuan besar di Istana Kerajaan Quila, Raja Quila duduk di kursinya, dikelilingi oleh beberapa penasihat dan menteri terdekatnya. Udara terasa berat, mencerminkan suasana hati semua yang hadir di ruangan itu. Peta-peta wilayah yang terdampak kerusakan lingkungan akibat perang dan eksploitasi minyak tergantung di dinding, mengingatkan mereka akan masalah yang tak kunjung selesai.
Raja Quila, dengan rambutnya yang mulai memutih akibat tekanan berat, memandang ke arah Perdana Menteri Helder, yang baru saja memaparkan laporan situasi sosial dan ekonomi kerajaan. "Helder." Katanya dengan suara pelan namun penuh kekuatan. "Laporan ini lebih buruk dari yang kukira. Ketimpangan sosial semakin dalam, rakyat menderita, dan lingkungan kita hancur. Belum lagi dampak bekas serangan Nod yang terus meracuni negeri kita. Bagaimana bisa kita sampai ke titik ini?"
Perdana Menteri Helder mengangguk pelan, merasa tekanan besar dalam pertanyaan itu. "Yang Mulia, Perang Dunia telah menguras sumber daya kita. Industri minyak yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru memperdalam jurang antara kaum kaya dan miskin. Para pengusaha minyak, dengan monopoli mereka, hanya memperkaya diri mereka sendiri tanpa memikirkan rakyat kecil. Dan selama pembangunan besar-besaran untuk memulihkan infrastruktur pasca-perang, banyak imigran dan buruh lokal diperlakukan tidak manusiawi. Semua ini menimbulkan ketegangan di masyarakat."
Di sisi lain meja, Menteri Lingkungan, Lady Sybilla, menambahkan. "Yang Mulia, masalah ini tidak hanya sosial, tetapi juga ekologis. Hutan-hutan yang menjadi penyangga kehidupan kita telah dibabat habis untuk perluasan ladang minyak. Sungai-sungai tercemar akibat limbah industri. Bencana alam mulai terjadi lebih sering, dan rakyat mulai menyalahkan pemerintah atas penderitaan mereka."
Raja Quila menghela napas panjang. "Dan sekarang, bekas serangan Nod masih menyisakan luka yang belum sembuh. Gurun yang menjadi kaca akibat senjata mereka, wilayah yang terkontaminasi... Aku bersyukur Indonesia telah mengirim unit-unit mereka yang terbiasa menangani dampak serangan Nod. Tetapi kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan luar. Kita harus menemukan cara untuk mengatasi masalah ini sendiri."
Helder, dengan hati-hati, menjawab. "Yang Mulia, kita tidak memiliki pilihan selain mulai mereformasi kebijakan kita. Tapi itu tidak akan mudah. Para pengusaha minyak memiliki pengaruh yang sangat besar, baik secara politik maupun ekonomi. Mereka akan melawan setiap upaya pemerintah untuk mengatur atau membatasi aktivitas mereka."
Raja Quila mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, kita harus menunjukkan bahwa kita tidak takut. Rakyat menderita, Helder. Sebagai raja, aku tidak akan membiarkan ini terus berlangsung. Reformasi harus dilakukan, apa pun risikonya. Kita harus memulai dari mana?"
Lady Sybilla memberi usul. "Yang Mulia, langkah pertama adalah menegakkan regulasi lingkungan yang lebih ketat. Jika kita bisa menunjukkan komitmen kita untuk melindungi lingkungan, rakyat akan mulai mempercayai pemerintah lagi. Selain itu, kita perlu menciptakan insentif bagi industri untuk beralih ke sumber energi terbarukan. Meskipun itu akan memakan waktu, ini adalah investasi untuk masa depan."
Helder menambahkan. "Dan untuk masalah sosial, kita harus mulai dari pengusaha minyak. Pemerintah bisa memperkenalkan undang-undang yang mengatur upah minimum dan kondisi kerja yang layak. Ini akan membantu mengurangi ketimpangan sosial dan meredakan ketegangan di masyarakat."
Raja Quila memandang keduanya, matanya penuh dengan tekad. "Aku setuju. Kita akan mulai dengan dua hal itu: regulasi lingkungan dan reformasi sosial. Aku juga ingin program bantuan bagi wilayah yang masih terdampak serangan Nod ditingkatkan. Pastikan unit-unit Indonesia mendapatkan semua yang mereka butuhkan untuk membantu kita memulihkan wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, panggil perwakilan dari RPTO. Kita perlu berdiskusi tentang cara mengatasi dampak pasca-perang ini secara bersama-sama. Kerajaan Quila tidak bisa berdiri sendiri dalam menghadapi ini."
Helder dan Sybilla mengangguk serempak. "Kami akan mulai menyusun rencana segera, Yang Mulia." Kata Helder.
Raja Quila bangkit dari kursinya, menatap ke luar jendela istana, di mana matahari mulai tenggelam di balik cakrawala. "Perang telah selesai, tetapi pertempuran kita baru saja dimulai. Kita harus membangun kembali negeri ini, untuk rakyat kita, dan untuk masa depan mereka."
Di dalam hati, Raja Quila tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah. Tetapi sebagai pemimpin, ia bertekad untuk menghadapi tantangan ini dengan keberanian dan kebijaksanaan. Karena itulah tugas seorang raja—mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, apa pun yang terjadi.
Istana Kepresidenan, Jakarta.
15 Juni.
Presiden Sakura duduk di ruang kerjanya yang luas namun minimalis. Di depannya, sebuah meja panjang penuh dengan dokumen yang berisi laporan terkini mengenai proses demiliterisasi besar-besaran yang sedang berlangsung. Mata Sakura, yang penuh ketegasan namun juga kebijaksanaan, menyapu dokumen-dokumen itu, sesekali berhenti untuk menandatangani perintah eksekutif atau memberi catatan kecil.
Di sebelahnya berdiri Menteri Pertahanan yang telah menjadi penasihat terpercaya selama masa transisi ini. Wajahnya mencerminkan campuran rasa bangga dan kekhawatiran saat ia menjelaskan situasi terkini.
"Bu Presiden." Katanya dengan nada serius. "Demiliterisasi besar-besaran ini berjalan cukup mulus sejauh ini. Hingga hari ini, hampir 2 juta personel telah diberhentikan dengan hormat. Sebagian besar dari mereka adalah wajib militer dan relawan yang bersedia kembali ke kehidupan sipil. Kendaraan tempur, termasuk tank, pesawat, dan kapal perang, sedang dikembalikan ke gudang dan menunggu keputusan akhir untuk pembongkaran atau repurposing. Namun, ada beberapa tantangan yang harus kita perhatikan."
Sakura mengangguk pelan. "Sebutkan." Katanya dengan nada lembut namun tegas.
Menhan pun menjelaskan berbagai masalah dari surplus alat militer yang berlebihan, ladang pekerjaan yang tidak cukup untuk prajurit-prajurit yang berhenti dari wamil dan berbagi isu sosial lainnya.
Sakura memberi beberapa saran berupa perluasan lapangan pekerjaan, mengurangi ketergantungan akan Industri otomatis dan lain-lain.
Menhan menulis catatan di buku kecilnya. "Baik, Bu Presiden. Saya juga ingin menyinggung tentang persepsi internasional. Beberapa anggota RPTO, terutama Parpaldia dan Quila, sudah menyampaikan kekhawatiran mereka tentang potensi ancaman kesehatan dari Armada Nusantara yang masih ada di atmosfer. Mereka takut akan penyakit yang tidak diketahui yang mungkin datang bersama Armada itu."
Sakura terdiam sejenak, merenungkan informasi itu. "Saya mengerti kekhawatiran mereka. Kita akan segera mengirim tim medis terbaik kita untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Armada Nusantara dan memastikan bahwa tidak ada risiko kesehatan bagi siapa pun di Dunia Baru ini. Selain itu, kita akan berkoordinasi dengan RPTO untuk transparansi penuh dalam proses ini. Saya tidak ingin ada kesalahpahaman yang dapat merusak hubungan kita."
Andika tersenyum kecil, merasa lega bahwa Presiden Sakura selalu memiliki jawaban untuk setiap masalah. "Saya akan mengatur semuanya, Bu Presiden."
Sakura berdiri, menatap peta besar Dunia Baru yang terpampang di dinding kantornya. "Ingat, Kita akan memimpin dengan memberikan contoh, bukan dengan paksaan. Pastikan semua langkah yang kita ambil mencerminkan nilai-nilai itu."
"Siap, Bu Presiden." Jawab Menhan dengan penuh keyakinan.
Dengan itu, mereka kembali bekerja, mempersiapkan langkah-langkah yang akan menentukan arah baru Republik Indonesia di dunia yang asing namun penuh peluang ini.
..
....
Bushpaka Latan, Kekaisaran Annonrial
20 Juni 1640.
Bushpaka Latan, pulau lumayan besar di utara Benua Annonrial yang dulunya dikenal sebagai jendela keluar dari Kekaisaran Annonrial, kini menjadi simbol kehancuran dan kekalahan. Tidak seperti benua utama Kekaisaran yang dipenuhi kota-kota modern dengan pencakar langit megah, jalan raya besar, dan teknologi maju, Bushpaka Latan adalah cerminan masa lalu. Kota-kotanya bergaya klasik Napoleonic, dengan bangunan-bangunan batu yang dihiasi ukiran megah, jalan-jalan berbatu, serta pelabuhan besar tempat kapal-kapal layar masih menjadi alat transportasi utama. Kekaisaran dengan sengaja menjaga pulau ini tetap tradisional agar tampak lemah di mata dunia luar, sebuah strategi untuk mengalihkan perhatian dari kehebatan benua utama mereka.
Namun, strategi itu tidak mampu melindungi Bushpaka Latan dari senjata orbital Indonesia. Dalam hitungan detik, serangan presisi tinggi menghancurkan pelabuhan, benteng-benteng utama, dan pusat pemerintahan di pulau itu. Api membakar bangunan yang dulunya berdiri megah, dan tanah yang dahulu subur kini hancur, dipenuhi kawah akibat ledakan. Debu bercampur dengan aroma hangus yang begitu menyengat hingga sulit bernapas.
Penduduk lokal, manusia bersayap yang dikenal sebagai keturunan ras cahaya Ravernal yang eksis ribuan tahun lalu, kini berkumpul di reruntuhan kota dengan tatapan kosong. Mereka, yang selama ini percaya bahwa Bushpaka Latan adalah tempat aman, kini terjebak dalam pendudukan yang mencekam.
Jalan Utama Kota Eldoras, Ibu Kota Bushpaka Latan.
Di jalan utama kota Eldoras, barisan panjang manusia bersayap dengan pakaian sederhana berjalan dengan kepala tertunduk. Mereka digiring oleh pasukan TNI bersenjata lengkap yang memastikan tidak ada perlawanan. Pasukan Indonesia, berpakaian seragam modern dan dilengkapi senjata otomatis, berdiri kontras dengan pemandangan kuno di sekitar mereka.
Di antara para penduduk, seorang anak laki-laki kecil menangis sambil menarik ujung pakaian ibunya. "Ibu… apa yang terjadi? Mengapa kita diusir?" Tanyanya dengan suara penuh kepolosan.
Sang ibu, seorang wanita bersayap dengan wajah pucat karena kelelahan, memeluk anaknya erat-erat. Ia tidak menjawab. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa dunia mereka telah runtuh dalam sekejap? Bahwa serangan tidak terduga telah menghancurkan segalanya? Matanya yang memerah menatap jauh ke depan, ke arah bangunan utama kota yang kini hancur menjadi puing-puing.
Di pinggir jalan, seorang pria tua bersayap duduk di tanah, tak sanggup melanjutkan langkahnya. Sayapnya yang besar terlihat kotor dan compang-camping, sayap yang dahulu ia banggakan sebagai simbol identitasnya kini hanya menjadi beban. Ia memandang pasukan Indonesia dengan tatapan penuh kebencian, lalu memaki dengan suara parau. "Kalian semua monster! Kalian menghancurkan kami seperti binatang, tanpa memikirkan nyawa kami!"
Seorang tentara Indonesia mengarahkan senjatanya, tapi komandannya segera menghentikan. "Biarkan saja." Katanya dengan dingin. "Dia tak bisa melakukan apa-apa."
Namun, suasana tetap tegang. Di sekitar jalan, penduduk Bushpaka Latan saling melempar pandangan penuh kebencian kepada pasukan pendudukan. Kebencian itu tidak lagi tersembunyi. Mereka tahu mereka kalah, tapi harga diri mereka belum sepenuhnya hancur.
Di salah satu kamp yang didirikan di pinggiran kota, ribuan manusia bersayap ditampung dalam tenda-tenda darurat. Kamp ini dijaga ketat oleh pasukan Indonesia, dengan drone yang terus berpatroli di udara dan pos-pos penjagaan di setiap sudut. Penduduk lokal yang tinggal di sana hanya diberi makanan dan air secukupnya, cukup untuk bertahan hidup, tetapi tidak lebih.
Di salah satu tenda, seorang pria muda bersayap berbicara dengan nada berbisik kepada kelompok kecil di sekitarnya. "Mereka pikir mereka bisa menghancurkan kita hanya dengan senjata mereka. Tapi kita bukan manusia biasa. Kita adalah keturunan Ravernal. Kita tidak akan tunduk begitu saja!"
Salah satu wanita dalam kelompok itu, yang mengenakan pakaian usang tapi bersih, menjawab dengan nada getir. "Kau ingin melawan? Dengan apa? Sayap kita? Kita bahkan tidak bisa terbang tinggi tanpa tertembak jatuh."
Pemuda itu mengepalkan tinjunya. "Mungkin sekarang kita lemah. Tapi bukan berarti kita akan terus seperti ini. Mereka tidak tahu siapa kita. Mereka tidak tahu bahwa darah Ravernal mengalir di tubuh kita."
Percakapan itu terhenti ketika salah satu penjaga Indonesia masuk ke dalam tenda. "Kalian semua diam." Kata penjaga itu dengan nada tegas, senapannya tergantung di bahu. Ketegangan terasa, tapi tak ada yang berani menantang penjaga itu secara langsung.
Di malam hari, pulau itu tenggelam dalam keheningan yang menyeramkan. Suara burung-burung malam yang biasanya mengisi udara kini digantikan oleh dengungan drone yang berpatroli tanpa henti. Langit penuh bintang yang dahulu menjadi simbol keindahan malam kini terlihat suram, seperti mencerminkan nasib penduduk Bushpaka Latan.
Di salah satu sudut kota yang gelap, seorang pria tua duduk sendirian di atas reruntuhan. Ia memandang ke arah langit dengan tatapan penuh kesedihan, bibirnya bergetar mengucapkan doa kepada leluhur mereka yang lama menghilang. Tapi di dalam hatinya, ia tahu doa-doa itu tak akan menjawab. Kekaisaran mereka telah runtuh, dan harapan mereka terbang bersama reruntuhan kota ini.
Namun, dalam keheningan malam, sebuah ide mulai tumbuh di hati banyak orang. Kekaisaran mereka mungkin telah kalah, tetapi jiwa mereka belum hancur. Di bawah pendudukan ini, dalam bayang-bayang kehancuran, api perlawanan perlahan mulai menyala. Dan bagi mereka, Bushpaka Latan bukan hanya tanah, tetapi simbol kehormatan dan harapan.
..
....
Bushpaka Latan, Markas Komando Pasukan Ekspedisi Indonesia
27 Juni 1640.
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti reruntuhan kota Eldoras, menciptakan suasana muram yang menggambarkan nasib tragis Bushpaka Latan. Di tengah kehancuran ini, tenda-tenda militer Indonesia berdiri dengan rapi di pusat kota, menjadi markas komando pasukan ekspedisi. Di dalam sebuah tenda besar berlapis kain tahan peluru, Jenderal Marinir Sutrisno, komandan tertinggi pasukan ekspedisi Indonesia di Annonrial, berdiri di depan meja taktis holografis, memandang peta digital Bushpaka Latan yang penuh tanda kerusakan dan pos-pos pendudukan.
Jenderal Sutrisno adalah sosok yang mengintimidasi. Wajahnya yang penuh bekas luka dan tatapan matanya yang tajam menggambarkan kerasnya medan perang yang pernah ia hadapi. Sebagai salah satu pemimpin serangan ke HIVE Nod di Kashgar saat Indonesia masih berada di Bumi, Sutrisno dikenal sebagai pemimpin yang tegas, tanpa belas kasihan, dan fokus pada hasil, meskipun itu berarti menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi.
Ia menunjuk beberapa lokasi di peta holografis dengan jarinya. "Reruntuhan di sektor pelabuhan harus dibersihkan dalam waktu satu minggu. Aku tidak peduli bagaimana caranya." Katanya dengan suara berat, memecah keheningan di ruangan itu.
"Siap, Jenderal." Jawab salah satu perwira. "Tapi, bagaimana dengan tenaga kerja? Penduduk lokal sepertinya masih trauma dengan serangan kita."
Sutrisno mendengus, nada suaranya penuh ejekan. "Trauma? Kita tidak punya waktu untuk memanjakan mereka. Jadikan mereka pekerja paksa. Orang-orang bersayap itu harus memahami posisi mereka. Tidak ada belas kasihan untuk mereka. Kita di sini bukan untuk menjadi perawat sosial, kita di sini untuk memastikan stabilitas dan kepatuhan."
Seorang perwira muda tampak ragu sejenak. "Jenderal, bukankah kita harus mempertimbangkan... dampak politik dari keputusan ini? Bagaimanapun juga, dunia sedang mengawasi kita."
Tatapan Sutrisno tajam menembus si perwira, membuatnya langsung menelan ludah. "Dengar baik-baik, Letnan." Kata Sutrisno, berjalan mendekat. "Bushpaka Latan adalah simbol kekuatan musuh. Dunia harus tahu apa yang terjadi pada siapa pun yang melawan Republik Indonesia. Kita tidak di sini untuk main-main atau menjadi orang baik. Jika mereka harus bekerja dengan tangan berdarah, biarkan. Itu harga yang harus mereka bayar karena menjadi bagian dari Kekaisaran yang memusuhi kita dan mempermalukan kita dulu."
Di luar markas komando, penduduk lokal mulai digiring dari kamp-kamp pengungsian. Mereka, manusia bersayap yang dulunya hidup dalam kedamaian di pulau mereka yang sederhana, kini berjalan dengan wajah lesu dan tubuh lemah. Sayap-sayap mereka yang indah terlihat kotor, dan beberapa bahkan terluka akibat serpihan bangunan yang runtuh.
Pasukan Indonesia berdiri berjaga di sepanjang jalan, senjata mereka siap digunakan kapan saja. Di bawah perintah Sutrisno, ribuan penduduk lokal dipaksa membersihkan reruntuhan kota, membangun kembali infrastruktur, dan mengangkut puing-puing dari serangan orbital.
Di sektor pelabuhan yang telah hancur, seorang pria bersayap dengan tubuh kurus terlihat berjuang mengangkat balok kayu besar. Ia terjatuh, tubuhnya tergeletak di tanah berdebu. Seorang prajurit Indonesia mendekat dan menatapnya dengan dingin.
"Berdiri!" Perintah prajurit itu dengan suara keras.
Pria itu hanya terdiam, napasnya terengah-engah, terlalu lemah untuk menjawab. Prajurit itu mengangkat senjatanya, menghantamkan popor senapan ke tanah di dekat kepala pria itu untuk mengintimidasi. "Aku bilang berdiri! Atau kau mau kami tinggalkan di sini?"
Seorang wanita muda bersayap, mungkin istri pria itu, berlari mendekat. Ia berlutut dan mencoba membantu suaminya berdiri. "Maafkan dia." Katanya dengan suara lirih. "Dia sudah bekerja sejak pagi tanpa istirahat."
Prajurit itu memutar matanya sebelum berbalik, meninggalkan pasangan itu. "Kalian tidak akan mendapatkan belas kasihan. Ini bukan tempat untuk orang lemah." Gumamnya sambil berjalan menjauh.
Di bawah pengawasan ketat pasukan Indonesia, penduduk Bushpaka Latan bekerja tanpa henti. Namun, di balik keheningan dan kepatuhan mereka, api kemarahan perlahan menyala. Beberapa orang mulai membentuk kelompok kecil, berdiskusi secara diam-diam tentang perlawanan.
"Kita tidak bisa terus begini." Bisik seorang pria muda di sebuah sudut gelap. "Mereka memperlakukan kita seperti binatang."
"Tapi apa yang bisa kita lakukan?" Jawab yang lain. "Senjata mereka lebih kuat dari apapun yang kita miliki. Bahkan tentara terbaik Annonrial pun tidak bisa melawan mereka."
Wanita yang duduk di sudut ruangan itu, seorang ibu dengan mata penuh kebencian, menjawab dengan nada tajam. "Mungkin kita tidak bisa melawan mereka sekarang. Tapi kita tidak boleh lupa. Apa yang mereka lakukan di sini akan menjadi alasan kita untuk bangkit suatu hari nanti."
Di malam hari, penduduk lokal yang kelelahan kembali ke kamp-kamp mereka, hanya untuk menghadapi dinginnya malam tanpa perlindungan yang memadai. Di langit, suara drone patroli terdengar samar, mengingatkan mereka bahwa kebebasan adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan mereka.
Namun, di tengah penderitaan itu, para manusia bersayap tahu bahwa sejarah mereka tidak akan berhenti di sini. Darah Ravernal yang mengalir dalam tubuh mereka adalah bukti bahwa mereka berasal dari bangsa besar yang pernah menguasai dunia. Dan meskipun saat ini mereka hidup dalam bayang-bayang pendudukan, mereka percaya bahwa masa depan masih bisa berubah.
Tetapi untuk sekarang, Bushpaka Latan hanyalah pulau yang hancur, terjebak dalam cengkeraman pendudukan yang tanpa ampun. Keheningan malam itu menjadi saksi bisu akan kekerasan yang terus berlanjut, menghapus kemegahan masa lalu dan menggantinya dengan penderitaan yang mendalam.
Suatu malam di Bar Fallen Mary.
27 Juni, 1640.
Langit malam di Bushpaka Latan dipenuhi awan gelap yang mengancam hujan. Di tengah kekacauan akibat pendudukan Indonesia, bar Fallen Mary menjadi tempat pelarian bagi banyak Marinir Indonesia yang ditugaskan di pulau ini. Tempat itu berdenyut dengan suara musik yang memekakkan telinga, tawa mabuk, dan suara gelas beradu. Lampu redup yang berwarna kekuningan menciptakan bayangan-bayangan panjang, menambah suasana suram malam itu.
Di sudut ruangan, seorang Marinir muda bernama Pratu Ardi duduk canggung di meja kecil. Wajahnya pucat dan tangannya terus-menerus meremas gelas bir yang sudah setengah kosong. Ia baru tiga bulan bertugas, dan malam ini, untuk pertama kalinya, ia keluar bersama rekan-rekannya.
Di hadapannya, beberapa Marinir senior tertawa keras sambil merangkul para wanita penghibur lokal, bangsa manusia bersayap khas Annonrial. Wanita-wanita itu berpakaian sederhana namun dengan riasan tebal, mencoba menyembunyikan kepedihan di balik senyuman yang dipaksakan. Ardi merasa tidak nyaman. Di kepalanya, ini bukan tempat untuknya.
"Hei, Ardi! Kenapa diam aja? Ayo, cari hiburan, Nak!" Seru seorang seniornya yang sudah jelas mabuk berat.
Ardi tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Nggak, Pak. Saya... Saya nggak terbiasa."
Seniornya hanya tertawa, kemudian kembali bercanda dengan wanita yang duduk di pangkuannya.
Ardi menghela napas panjang, berdiri dari kursinya, dan bergegas keluar. Ia butuh udara segar.
Saat Ardi membuka pintu belakang bar, angin dingin malam menyambutnya. Di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, ia melihat seorang wanita muda bersayap berdiri di pojok gang sempit. Rambut pirangnya yang kusut jatuh ke bahunya, dan matanya yang besar menatapnya lekat.
"Marinir?" Tanyanya dengan suara lembut namun penuh seksualitas.
Ardi tertegun. Wanita itu terlihat berbeda dari yang lain di dalam bar. Wajahnya jauh lebih polos, namun ada gejolak nakal.
"Iya?" Jawab Ardi ragu.
Wanita itu mendekat, sayapnya yang kotor dan penuh debu tampak jelas di bawah cahaya lampu. "Aku... Aku bisa menemanimu, kalau kamu mau." Katanya sambil menundukkan kepala, suaranya terdengar hampir seperti bisikan yang membiat Ardi tegang.
Ardi tersentak, merasa kelagapan. "A-Aku... Nggak usah, makasih."
Namun, wanita itu tidak menyerah. Ia menyentuh lengan Ardi dengan lembut, membuat Marinir muda itu kaku di tempatnya. "Tolong, aku butuh ini. Aku nggak punya pilihan." Katanya dengan nada memohon.
Melihat wajahnya yang terlihat penuh penderitaan, Ardi akhirnya menyerah pada rasa bersalah yang ia rasakan. "Baiklah." Katanya pelan.
Mereka berjalan menuju gang gelap di belakang bar, jauh dari suara musik dan gelak tawa. Cahaya lampu dari bar hampir tidak mencapai tempat itu, menciptakan suasana yang mencekam.
Ardi berhenti di dekat tembok, merasa tidak nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka. Wanita bersayap itu berdiri di hadapannya, wajahnya tampak kosong, namun matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Ardi baca.
"A-Aku nggak tahu gimana caranya..." Kata Ardi gugup sambil memegang pinggiran seragamnya.
Wanita itu mendekat, senyumnya samar namun dingin. "Tenang saja. Aku akan membantumu." Katanya pelan.
Sebelum Ardi sempat melakukan apa-apa, wanita itu dengan cepat meraih serpihan kaca dari saku bajunya yang longgar. Dalam satu gerakan cepat, ia menekan kaca itu ke leher Ardi dan menggoroknya tanpa ragu.
Ardi tertegun, matanya melebar saat ia merasakan darah hangat mengalir dari lehernya. Ia mencoba mengucapkan sesuatu, namun hanya suara kumur-kumur yang keluar. Tubuhnya gemetar hebat sebelum ia jatuh berlutut, tangannya memegang luka di lehernya yang terus mengeluarkan darah.
Wanita bersayap itu berdiri di atasnya, menatap tubuhnya yang mulai melemah dengan ekspresi dingin. Ia tidak menangis, tidak tertawa, hanya memandang dengan kebencian yang mendalam.
"Aku kehilangan semua karena kalian." Bisiknya sambil berjongkok di samping tubuh Ardi yang sekarang terkapar. "Keluargaku... rumahku... semuanya hancur karena kalian."
Lalu wanita itu mengambil belati kecil dan merusak mayat Ardi, hingga banyak sekali bekas lukas tusukan dan tebasan.
Ia berdiri, melangkah mundur perlahan, meninggalkan Ardi yang tergeletak di genangan darahnya sendiri.
Ketika matahari terbit keesokan harinya, seorang Marinir menemukan tubuh Ardi di gang belakang bar. Tubuhnya dingin, dengan wajah pucat yang membeku dalam ekspresi ketakutan.
Berita tentang pembunuhan itu segera menyebar di antara pasukan Indonesia di Bushpaka Latan. Rasa cemas mulai merayap di hati para Marinir. Malam yang sebelumnya penuh tawa dan pelarian kini berubah menjadi malam yang penuh dengan ketegangan.
Wanita bersayap itu, seperti bayangan di malam hari, menghilang tanpa jejak.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top