Chapter 56
Ibukota Ragna, Kekaisaran Gra Valkas.
11 Juni 1640.
0900.
Suara letusan senjata dan gemuruh tank menggema di tengah reruntuhan Kota Ragna. Asap hitam membubung tinggi, menelan matahari dan menyelimuti kota dalam bayang-bayang keputusasaan.
"Tank RPTO mendekat! Mana peluncurnya?!" Teriak seorang prajurit pemberontak dengan wajah penuh peluh.
"Tidak ada! Itu tadi yang terakhir kau tembakkan!" Balas rekannya dengan nada putus asa.
"Anjinglah, mereka datang terus tanpa henti!"
Prajurit-prajurit pemberontak Valkas terkepung. Amunisi mereka semakin menipis, dan tenaga manusia yang tersisa hanya bayangan dari kekuatan mereka yang dulu. Kini, mereka bertahan di pusat kota—tempat gedung-gedung menjulang seperti saksi bisu dari pertempuran yang kian brutal.
Di tenda komando yang dipenuhi suara radio berderak dan peta-peta penuh coretan, Kolonel Kaspar berdiri tegak. Veteran perang melawan Karsland dan Kerajaan Surgawi Kain di Yggdrasil, Kaspar adalah sosok yang hidup di medan tempur dan mati-matian mempertahankan apa yang tersisa dari kehormatan pasukannya.
"Kolonel Kaspar! Peleton Tank ke-34 berhasil mematahkan serangan RPTO dan Loyalis dari utara, tetapi mereka kehabisan amunisi. Mereka meminta pasokan dari kita," lapor seorang prajurit muda dengan wajah cemas.
Kaspar mengerutkan alis. Wajahnya yang penuh guratan lelah mencerminkan beratnya keputusan yang harus diambil.
"Bilang pada mereka kita tidak punya amunisi saat ini. Perintahkan Peleton ke-1 dan ke-15 untuk menyerang depot amunisi yang direbut Loyalis dua hari lalu. Ambil kembali depot itu dengan cara apa pun." Ujarnya dengan nada dingin.
"Pak, Peleton ke-15 sudah kehilangan 70 persen anggotanya di pertempuran sebelumnya. Mereka tidak cukup kuat untuk serangan frontal!" sang prajurit memprotes, suaranya bergetar.
"Bilang pada mereka untuk melakukannya! Aku akan mencari orang untuk menggantikan yang gugur!" Geram Kaspar, matanya menyala dengan api yang tak kunjung padam.
Belum sempat Kaspar memberi perintah lebih lanjut, teriakan panik dari luar tenda memecah suasana. Ia segera keluar, dan pandangannya tertuju ke langit. Enam sosok raksasa setinggi 15 meter meluncur dari angkasa, membelah asap hitam dan menghantam tanah dengan gemuruh dahsyat.
Suasana seketika hening.
"...Apa yang kalian tunggu?! Itu musuh! Tembak! Tembak mereka sekarang juga!" teriak Kaspar, suaranya menggema di antara reruntuhan.
Namun, sebelum perintahnya terlaksana, keenam raksasa itu mengangkat senjata mereka. Deru tembakan membahana, menyemburkan peluru seperti hujan badai yang tak terbendung. Dalam hitungan detik, ratusan prajurit pemberontak tumbang—nyawa mereka direnggut tanpa ampun.
Kolonel Kaspar, sang pejuang gigih, bahkan tidak sempat mengucap kata terakhir. Tubuhnya hancur lebur di tengah tembakan brutal itu, menyatu dengan debu dan darah yang membanjiri tanah Ragna.
Di dalam salah satu raksasa baja, suara mekanis terdengar:
"Semua target telah dinetralkan. Tidak ada tanda-tanda kendaraan lapis baja."
"Dimengerti. Melanjutkan pencarian musuh."
Hanya dalam empat jam, Marinir Republik Indonesia yang baru tiba sehari sebelumnya berhasil menghancurkan pos komando pemberontak terakhir di Ragna. Perang berdarah di ibu kota Kekaisaran Gra Valkas pun berakhir dengan cara yang cepat dan kejam.
Sebanyak 2.700 Marinir Indonesia tiba dengan operasi militer terkoordinasi, mendukung RPTO untuk mengamankan kota. Namun, misi utama mereka lebih besar: menyelamatkan Kaisar dan keluarganya—simbol terakhir dari otoritas Kekaisaran Gra Valkas.
Di tengah reruntuhan kota yang kini sepi, bau mesiu bercampur kematian melayang di udara. Kekaisaran Gra Valkas, yang dulu gagah, kini hanya menjadi bayangan suram dari masa jayanya. Tetapi bagi Marinir Indonesia, pertempuran ini bukanlah akhir, melainkan langkah pertama menuju masa depan dunia yang penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan.
Istana Kekaisaran Gra Valkas, Ragna.
11 Juni 1640.
Di aula megah yang kini terasa sunyi, Kaisar Gra Lux berdiri tegak. Jubah perwira militer Kekaisaran Gra Valkas yang membalut tubuhnya memancarkan aura kebesaran dan keangkuhan. Di sampingnya, Pangeran Cabal berdiri dengan pakaian perwira yang serupa, menampakkan sosok pewaris yang muda dan penuh ambisi. Di belakang mereka, Maryna, sang permaisuri, mengenakan gaun merah darah yang memancarkan kilau anggun dari perhiasan-perhiasan berharga, berdiri dengan tenang namun tegas di balik suaminya.
Di hadapan mereka, delegasi dari Indonesia dan RPTO berdiri dengan penuh percaya diri. Diplomat Tono dan Direktur Kaios, dipilih bukan hanya karena pengalaman mereka, tetapi juga karena reputasi mereka yang tak tergoyahkan dalam perundingan yang paling rumit sekalipun. Di belakang mereka, tujuh Marinir Indonesia berdiri siaga, mengenakan Power Armor Fencer, baju tempur canggih yang memancarkan aura intimidasi.
Tono melangkah maju sedikit, memperhatikan suasana sekitar sebelum berdehem dengan tenang.
"Kaisar Gra Lux, saya pikir ini adalah pertemuan pertama kita. Perkenalkan, nama saya Tono, dan di samping saya adalah Direktur Kaios. Kami hadir di sini sebagai perwakilan resmi Indonesia dan RPTO," katanya dengan suara yang tegas namun sopan.
Kaisar Gra Lux menatap Tono dengan pandangan tajam yang sulit dibaca. Dengan gerakan halus, ia memperkenalkan dirinya.
"Diplomat Tono, Direktur Kaios, senang bertemu dengan kalian. Seperti yang kalian tahu, aku adalah Kaisar Gra Lux. Di belakangku berdiri Maryna, istriku, dan di sampingku adalah Pangeran Cabal, pewaris takhta kekaisaran ini."
Maryna mengangguk singkat, tatapannya dingin seperti es yang tak bisa ditembus. Cabal, dengan tubuh tegap dan sorot mata penuh amarah yang tertahan, memperhatikan delegasi itu tanpa berkedip.
Namun Direktur Kaios, dengan alis yang sedikit terangkat, bertanya dengan nada ingin tahu, "Hmm… hanya kalian saja? Tidak ada perwakilan dari Menteri Luar Negeri Kekaisaran?"
Pangeran Cabal langsung menyela sebelum Kaisar Gra Lux sempat menjawab. Suaranya rendah namun penuh nada gelap.
"Urusan ini tidak membutuhkan mereka. Lagipula, kalian sudah membunuh mereka saat menghancurkan kota-kota kami."
Suasana di ruangan itu tiba-tiba berubah tegang. Kata-kata Cabal seakan menjadi pisau yang dilemparkan ke arah delegasi. Namun, Tono hanya menanggapinya dengan wajah datar yang sulit diartikan.
"Ohh… begitu," jawabnya dengan nada acuh, seolah-olah perkataan Cabal tak ada artinya.
Pangeran Cabal mengepalkan tinjunya, menahan diri untuk tidak melampiaskan amarah. 'Mereka ini?!' pikirnya penuh kebencian. Wajah tanpa ekspresi Tono hanya semakin memicu keinginannya untuk menghancurkan pria itu, tetapi ia tahu, saat ini bukan waktu yang tepat.
Sementara itu, Kaisar Gra Lux mengamati semuanya dengan diam, matanya menyipit seolah sedang menilai delegasi di hadapannya. Ia menyadari bahwa permainan ini bukan hanya soal diplomasi, tetapi juga adu kekuatan, tekad, dan kesabaran.
Maryna, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara lembut namun penuh otoritas. "Kalian datang ke sini membawa kehancuran. Namun, di sini kami berdiri, menatap langsung ke mata musuh kami. Katakan, Diplomat Tono, apa sebenarnya yang kalian inginkan?"
Tono menarik napas dalam, sebelum melangkah lebih dekat, memecah jarak yang hampir simbolis antara kedua pihak. Dengan tatapan yang tak goyah, ia menjawab, "Yang kami inginkan sederhana, Yang Mulia: sebuah perdamaian. Tetapi perdamaian itu harus dilandasi oleh keadilan, dan untuk itu, kekaisaran Anda harus menerima kenyataan bahwa masa-masa kejayaan Gra Valkas telah berlalu."
Suasana membeku. Kata-kata Tono bergema di ruangan, seperti guntur yang menghantam harga diri Kekaisaran Gra Valkas. Cabal hampir tak mampu menahan dirinya lagi, tetapi Kaisar Gra Lux mengangkat tangan, menghentikannya.
"Kau bicara soal keadilan? Setelah darah rakyatku membanjiri jalanan, setelah kota-kota kami dijadikan abu?" suara Kaisar Gra Lux menggema, penuh dengan nada dingin yang sarat kemarahan. "Kalau begitu, Diplomat Tono, tunjukkan keadilan itu pada kami. Apa artinya bagimu?"
Delegasi itu berdiri teguh, siap untuk menghadapi gelombang emosi yang tersimpan selama berbulan-bulan perang dan kehancuran. Di luar istana, suara angin yang menggoyang puing-puing Ragna terdengar seperti bisikan para arwah, menyaksikan sejarah baru yang akan tercipta dari pertemuan ini.
"Tidak ada." Kata Tono dengan nada datar, nyaris tanpa emosi.
Kata-katanya seperti batu yang dilemparkan ke kolam ketegangan. Ruangan yang dingin itu mendadak terasa semakin menyesakkan.
"Tidak ada?!" Kaisar Gra Lux membentak, suaranya meninggi, menggema di aula besar seperti lonceng kematian. "Apa maksudmu, tidak ada?!" Wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan, matanya seperti bara api yang siap melahap siapa pun di depannya.
Maryna, permaisuri Kekaisaran, segera melangkah maju, memegang pundak suaminya dengan tangan yang gemetar, meski ia mencoba menyembunyikan kelemahannya.
"Sudahlah, suamiku." Bisiknya, namun nada suaranya penuh ketegasan. Ia menatap delegasi di hadapannya, matanya memancarkan rasa sakit yang mendalam, seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya namun tetap berdiri demi harga diri terakhir yang tersisa.
"Kalian." Katanya dengan nada yang tajam namun penuh kelelahan. "Jangan memanas-manasi situasi. Tidakkah cukup kalian membunuh ribuan warga kami dalam serangan kalian? Tidakkah cukup kalian menghancurkan kota-kota kami, merobohkan istana kami, dan mencabik-cabik mimpi anak-anak kami? Seberapa lama kalian ingin kami menderita? Seberapa dalam lagi kalian ingin kami tenggelam dalam lautan darah dan kehancuran?"
Tono hanya diam, tatapannya tetap tenang, hampir seperti ia tidak mendengar keluhan penuh kesedihan itu. Namun, sebelum ia sempat membalas, Direktur Kaios berdehem pelan, suaranya memecah keheningan yang berat.
"Maafkan rekan saya ini." Katanya dengan nada profesional yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. "Dia memiliki kebiasaan buruk dalam menyampaikan maksudnya. Kami di sini bukan untuk membicarakan masa lalu. Kami datang untuk memastikan pengalihan kekuasaan dan penyerahan diri Anda kepada Republik Indonesia dan RPTO."
Kata-kata itu meluncur seperti pisau tajam yang menusuk ke jantung Kaisar Gra Lux. Sang Kaisar mengepalkan tinjunya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela istana. Di sana, ia melihat reruntuhan kota Ragna—bekas simbol kejayaan Kekaisaran Gra Valkas, kini hanya puing-puing berdebu yang terbakar di bawah matahari yang redup.
Maryna menundukkan kepala. Air mata menggenang di sudut matanya, namun ia menahannya agar tidak jatuh. Ia tahu, sekali air mata itu mengalir, seluruh dinding pertahanan yang ia bangun selama ini akan runtuh.
Cabal, yang berdiri di samping ayahnya, tidak mampu menahan amarahnya lebih lama. "Kalian bicara tentang pengalihan kekuasaan seolah-olah itu adalah hal yang sepele! Tahukah kalian apa arti semua ini bagi kami?! Kekaisaran ini telah berdiri selama berabad-abad, membawa keadilan, kekuatan, dan kemakmuran bagi rakyat kami! Dan sekarang, kalian ingin kami menyerah begitu saja?!" Suaranya bergetar, penuh dengan kemarahan yang bercampur dengan rasa frustrasi.
Kaios tetap tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Ia menatap Pangeran muda itu seolah-olah kemarahan dan dendamnya hanyalah halangan kecil yang tidak berarti. "Kami tidak meminta. Kami memastikan," ujarnya dingin.
Pernyataan itu membuat udara di ruangan semakin berat, seperti ada tangan tak terlihat yang mencengkeram tenggorokan setiap orang.
Kaisar Gra Lux akhirnya berbalik, menatap delegasi Indonesia dan RPTO dengan pandangan yang sarat kebencian dan kehinaan. "Kalian datang ke sini dengan senjata, menghancurkan segalanya, dan sekarang kalian berbicara tentang memastikan? Apa kalian pikir kami ini anjing yang hanya tunduk pada cambuk kalian?" suaranya rendah, penuh dengan rasa pahit.
Tono akhirnya berbicara, nadanya tetap tenang, hampir dingin. "Kami tidak pernah menganggap kalian sebagai anjing, Yang Mulia. Tetapi hari ini, kalian harus memutuskan apakah ingin tetap menjadi seorang pemimpin yang dihormati dalam sejarah, atau sekadar nama lain dalam daftar panjang penguasa yang runtuh karena keras kepala."
Kata-kata itu menancap seperti paku di peti mati Kekaisaran Gra Valkas. Maryna memalingkan wajah, air matanya akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipinya yang pucat. Cabal hanya bisa menatap kosong ke arah lantai, tinjunya yang gemetar menunjukkan betapa ia ingin melawan, namun sadar bahwa perjuangan itu sia-sia.
Percakapan pun berlanjut dengan suasana yang semakin tegang. Kaisar Gra Lux menatap dalam-dalam pada Direktur Kaios dan Diplomat Tono, kedua orang yang kini memegang masa depan Kekaisaran di tangan mereka. Maryna tetap berdiri di samping Kaisar, wajahnya pucat, tapi pandangannya tajam. Pangeran Cabal berdiri dengan dagu terangkat, meskipun gemetar kecil pada tubuhnya menunjukkan perjuangan batinnya untuk tetap tegar.
"Kalian memaksa kami untuk tunduk pada pengalihan kekuasaan ini." Ujar Kaisar Lux dengan nada berat. "Dan kami telah menyerah, seperti yang saya umumkan dalam pidato saya. Penyerahan tanpa syarat. Namun, pertanyaan yang harus saya ajukan adalah: bagaimana nasib rakyat saya setelah ini? Bagaimana sistem pemerintahan kami akan berjalan setelah Dinasti Kekaisaran ini runtuh?"
Kaios menyesuaikan posisi duduknya, tampak nyaman dalam suasana yang begitu menekan. "Tentu, Yang Mulia. RPTO tidak datang hanya untuk menghancurkan. Kami juga memiliki kewajiban moral untuk membangun kembali. Gra Valkas akan berada di bawah administrasi sementara RPTO selama proses transisi, dengan dukungan dari Republik Indonesia. Pemerintahan baru akan disusun berdasarkan asas demokrasi, dengan perwakilan dari seluruh wilayah Kekaisaran Anda."
"Demokrasi." Gumam Maryna dengan getir, nyaris seperti mengejek. "Kalian ingin menggantikan sistem kami yang berabad-abad dengan sesuatu yang bahkan tidak dimengerti oleh rakyat kami?"
"Benar." Jawab Kaios tanpa ragu. "Sistem lama Anda telah gagal. Ini adalah kesempatan untuk membangun sesuatu yang lebih baik, yang tidak hanya melayani keluarga kekaisaran, tetapi seluruh rakyat Gra Valkas."
Pangeran Cabal tidak mampu lagi menahan dirinya. "Kalian bicara tentang ‘kesempatan’ seolah-olah ini hadiah! Apa kalian lupa bahwa kesempatan ini dibayar dengan darah rakyat kami? Dengan kehancuran kota-kota kami? Dengan nyawa ribuan tentara yang berjuang untuk mempertahankan tanah mereka?"
"Kami tidak lupa, Pangeran." Sahut Tono, suaranya tetap tenang meski ada nada tajam di dalamnya. "Tetapi perlu Anda ingat, rakyat Gra Valkas juga menderita karena sistem kekaisaran ini. Perang kalian dengan bangsa-bangsa lain, penindasan terhadap wilayah-wilayah yang kalian jajah, itu semua adalah buah dari kebijakan Dinasti Anda. Kehancuran yang Anda alami sekarang adalah akibat dari benih yang Anda tanam sendiri."
Kata-kata itu menusuk hati Kaisar Lux, namun ia tetap menahan diri. Ia tahu bahwa perlawanan verbal tidak akan mengubah kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Dengan napas panjang, ia berkata, "Dan bagaimana peran RPTO dalam membantu Gra Valkas bangkit?"
Kaios melirik sekilas ke Tono, lalu menjawab. "RPTO akan memastikan stabilitas wilayah Anda. Kami akan mengirimkan bantuan kemanusiaan, membangun kembali infrastruktur yang hancur, dan melatih pemerintahan lokal untuk mempersiapkan transisi ke sistem baru. Namun, bantuan ini datang dengan syarat: tidak ada lagi militerisasi besar-besaran, tidak ada lagi imperialisme. Gra Valkas harus menjadi bagian dari tatanan dunia baru, bukan kekuatan yang mengancamnya."
"Jadi, kalian tidak hanya menghancurkan kami, tapi juga mencabut harga diri kami." Ujar Maryna dengan suara lirih. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini ia tidak mencoba menyembunyikannya. "Kami bukan hanya kalah dalam perang ini. Kami kehilangan segalanya—kebanggaan, identitas, dan bahkan masa depan anak-anak kami."
Ruangan itu menjadi sunyi. Kata-kata Maryna menggantung di udara seperti kabut, berat dan tak terhindarkan. Bahkan Tono dan Kaios tidak segera menjawab, seolah-olah mereka sendiri merasakan beban yang begitu mendalam dari apa yang telah mereka lakukan.
Akhirnya, Kaios berbicara, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Kami tidak bisa menghapus luka yang telah ditimbulkan. Kami hanya bisa memastikan bahwa penderitaan ini tidak akan terulang. Ini bukan akhir, Yang Mulia. Ini adalah awal yang baru, meski jalannya sulit dan penuh dengan kepedihan."
Kaisar Gra Lux menatap lurus ke arah Kaios, matanya kosong tapi penuh beban. Ia tahu, tidak ada pilihan lain selain menerima. Dinasti Kekaisaran Gra Valkas telah berakhir. Dan dengan itu, seluruh dunia yang ia kenal pun runtuh, digantikan oleh sesuatu yang asing, penuh ketidakpastian, dan jauh dari mimpi kejayaan yang pernah ia bayangkan.
"Baik." Kata Kaisar akhirnya, suaranya lemah tapi penuh keputusasaan. "Kami akan menyerahkan segalanya. Tapi ingatlah ini: dunia ini mungkin memaafkan kalian, tapi sejarah tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan di sini."
Ragna, Kediaman Sementara Kaisar Gra Lux.
Malam Hari.
Langit malam di Ragna berwarna kelabu pekat, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang tampak enggan memancarkan sinarnya. Suasana mencekam dari siang hari sebelumnya telah mereda, digantikan oleh keheningan yang terasa menyiksa. Di sudut balkon sebuah gedung yang kini menjadi markas sementara, Tono berdiri dengan secangkir kopi di tangannya. Pandangannya menatap kosong kearah luar, mengamati reruntuhan kota yang kini terlelap dalam dingin malam.
Langkah-langkah lembut terdengar dari belakang. Maryna muncul dalam balutan gaun malam sederhana, jauh berbeda dari gaun merah darah yang ia kenakan saat pertemuan dengan para delegasi. Tatapan matanya masih menunjukkan kesedihan, tapi ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah pergolakan batin yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang telah mengkhianati, dan mencintai, pada saat yang bersamaan.
"Kopi di malam seperti ini... Masih setenang itu, ya?" Maryna membuka percakapan, suaranya rendah namun tajam.
Tono tersenyum tipis tanpa berbalik. "Hanya kopi yang tidak menghakimi siapa pun, Maryna. Setidaknya itu yang saya pikirkan. Kau tahu, aku sering bertanya-tanya apa rasanya berada di posisi seperti dirimu."
Maryna melangkah mendekat, berdiri di samping Tono. Ia menatap ke luar jendela, ke arah kota yang dulu penuh dengan kemegahan dan kini hanya menyisakan puing-puing. "Sejujurnya, aku sendiri sering bertanya-tanya, apakah semua ini layak. Semua kebohongan, semua pengorbanan."
Tono menyesap kopinya sebelum menoleh padanya. "Tapi kau berhasil, Maryna. Kau menyusup ke Kekaisaran ini, mendekati Kaisar, bahkan menjadi istrinya. Kau menguasai peranmu dengan sempurna, sampai-sampai kau membawa Kekaisaran Gra Valkas ke lutut mereka. Direktor Dzahir bahkan menyebutmu sebagai salah satu agen terbaik yang pernah dimiliki BIN."
Maryna tersenyum pahit. "Aku mungkin agen terbaik, tapi itu datang dengan harga yang tidak pernah kubayangkan."
Tono menatapnya lebih tajam, meletakkan cangkirnya di atas pagar balkon. "Apa maksudmu?"
Maryna menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta pada Lux. Tapi dia... berbeda. Dia bukan hanya seorang Kaisar yang berambisi besar, tapi juga seorang pria yang tulus menyayangi keluarganya, seorang ayah yang ingin melindungi rakyatnya, meskipun dengan caranya yang keliru. Aku mencintainya, Tono. Dan itu adalah kebenaran yang tidak bisa aku tolak."
Tono terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. Wajahnya berubah, dari terkejut menjadi dingin. "Maryna, kau tahu ini tidak mungkin diterima. Kau agen Esper dari Indonesia. Kau bekerja untuk negara. Cinta seperti ini adalah pengkhianatan bagi misi, bagi semua yang telah kita perjuangkan."
Maryna menatapnya dengan penuh keberanian, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan, Tono. Aku tidak peduli apa yang negara pikirkan. Aku telah memberikan segalanya—tubuhku, jiwaku, seluruh hidupku—untuk Indonesia. Tapi ini... ini adalah satu hal yang aku tidak bisa lepaskan."
Wajah Tono mengeras. "Kalau begitu kau tahu apa konsekuensinya, bukan? Kau tahu apa yang terjadi jika kau membangkang. Obat Esper yang kau konsumsi setiap bulan... kami bisa menghentikan suplai itu. Tanpanya, tubuhmu akan mulai runtuh perlahan-lahan. Kau akan menderita, Maryna, dan aku yakin kau tahu seberapa parah efeknya."
Maryna terdiam, tapi tidak goyah. Ia menegakkan tubuhnya, menatap langsung ke mata Tono. "Jika itu harga yang harus kubayar, maka aku akan menerimanya. Aku lebih memilih menderita sepanjang hidupku daripada mengkhianati satu-satunya cinta sejati yang pernah kumiliki."
Tono menatapnya dengan ekspresi campuran antara kagum dan marah. "Kau bodoh, Maryna. Kau benar-benar bodoh."
"Dan kau terlalu dingin untuk memahami apa itu cinta." Balas Maryna dengan nada penuh keberanian.
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara angin malam yang berhembus di antara reruntuhan. Tono menghela napas panjang, mengambil cangkirnya kembali, lalu berjalan meninggalkan Maryna tanpa sepatah kata pun.
Maryna tetap berdiri di sana, memandang ke langit malam. Di dalam dirinya, ia tahu ia telah membuat keputusan yang akan mengubah segalanya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar bebas, meskipun ia tahu kebebasan itu datang dengan harga yang sangat mahal.
Ragna, Ibukota Kekaisaran Gra Valkas.
12 Juni 1640.
Fajar menyingsing di atas reruntuhan Ragna, menyinari kota yang kini dipenuhi bayangan kekalahan. Di ruang pertemuan besar istana, di mana megahnya mosaik dan ukiran dinding menjadi saksi sejarah Kekaisaran, para delegasi dari Gra Valkas, Republik Indonesia, dan RPTO duduk berhadapan di meja panjang yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Kaisar Gra Lux mengenakan seragam militernya, tapi tanpa mahkota dan tanpa jubah kebesaran. Wajahnya muram, garis-garis usia yang dalam menandakan malam tanpa tidur. Di sisinya, Pangeran Cabal duduk dengan rahang terkatup, kemarahan terlihat jelas di matanya. Maryna berdiri di belakang mereka, tetap tegar meskipun jiwanya terasa hancur.
Di sisi lain meja, Diplomat Tono dan Direktur Kaios tampak tenang. Mereka tahu bahwa momentum ada di pihak mereka. Dokumen perjanjian damai yang telah disiapkan sebelumnya terbentang di atas meja, penuh dengan pasal-pasal yang jelas menunjukkan ketidakadilan bagi pihak Gra Valkas.
"Ini adalah akhir resmi dari konflik ini." Kata Tono dengan nada datar. "Seperti yang Anda lihat, perjanjian ini mencakup seluruh konsekuensi yang harus ditanggung Kekaisaran Gra Valkas atas tindakan agresif mereka selama ini. Kami berharap Anda memahami bahwa ini adalah harga yang harus dibayar oleh bangsa yang kalah."
Kaisar Lux memandang dokumen itu dengan mata yang berat, tangan gemetar saat memegang pena. "Harga yang harus dibayar..." Gumamnya pelan. "Berapa banyak lagi yang harus diambil dari kami? Rakyatku, tanahku, kehormatan bangsa ini... semua hancur."
*Semua itu adalah akibat dari pilihan yang Anda buat, Yang Mulia." Direktur Kaios menyela, tanpa belas kasihan. "Ketika Anda memutuskan untuk menundukkan bangsa-bangsa lain dengan kekuatan, Anda telah memilih jalan kehancuran ini."
Lux menghela napas panjang, suaranya pecah saat ia berbicara. "Aku menandatangani ini bukan karena aku setuju. Aku menandatangani ini untuk mereka yang masih hidup. Untuk mereka yang masih punya harapan, meski hanya sedikit."
Maryna diam, memandang suaminya dengan campuran rasa bersalah dan kasih sayang. Tono meliriknya sekilas, matanya dingin, tetapi ia tetap diam.
Dengan tangan yang terasa seperti membawa beban dunia, Kaisar Gra Lux menorehkan tandatangannya pada dokumen tersebut. Pena bergerak lambat, setiap goresannya terasa seperti paku terakhir di peti mati Kekaisaran.
Hari itu, Gra Valkas secara resmi menyerah tanpa syarat. Perjanjian damai tersebut mencakup:
•Pembatasan militer secara ketat, hanya diperbolehkan memiliki pasukan keamanan domestik.
•Pembayaran reparasi besar-besaran kepada RPTO dan Republik Indonesia selama 50 tahun ke depan.
•Penyerahan wilayah strategis kepada pihak RPTO untuk dijadikan pangkalan militer permanen.
•Penghapusan monarki absolut dan transisi menuju pemerintahan sipil yang diawasi penuh oleh RPTO.
Namun, tidak semua menerima kekalahan ini dengan tenang. Para pemberontak yang masih setia pada ideologi Kekaisaran melarikan diri ke hutan-hutan dan pegunungan terpencil. Mereka menjadi bayang-bayang yang menghantui stabilitas baru, menolak tunduk pada realitas kekalahan.
Di hari-hari berikutnya, Marinir Indonesia, bersama pasukan Valkas Royalis, memulai operasi pemburuan terhadap para pemberontak. Operasi ini brutal, tanpa kompromi. Setiap sudut kota, setiap desa terpencil, setiap lorong gelap dijelajahi dengan tekad menghancurkan perlawanan terakhir mereka.
Seorang perwira marinir Indonesia, Mayor Aditya, memimpin salah satu operasi tersebut. Dengan ganas mereka menekan kelompok pemberontak hingga ke titik terlemah mereka. Namun, bukan tanpa perlawanan.
Di sebuah desa kecil di perbatasan, sebuah bentrokan sengit terjadi. Pemberontak yang kehabisan amunisi dan sumber daya bertahan mati-matian. Mereka tahu, tidak ada jalan keluar.
"Serang! Jangan beri mereka ruang untuk bernapas!" Teriak Aditya di tengah suara tembakan.
Saat desa itu akhirnya dikuasai, pemandangan yang tertinggal hanyalah kehancuran. Tubuh-tubuh bergelimpangan, rumah-rumah terbakar, dan tanah yang kini berlumuran darah.
Di malam itu, Aditya menulis dalam jurnalnya:
"Apa yang kita perangi? Orang-orang yang percaya pada mimpi yang telah mati? Atau bayangan masa lalu yang enggan lenyap? Aku tidak yakin lagi. Semua ini terasa seperti siklus tanpa akhir—kekerasan yang melahirkan kekerasan."
Operasi ini, meskipun sukses, meninggalkan luka mendalam pada para prajurit dan rakyat Valkas. Setiap kemenangan terasa seperti langkah lebih jauh menuju kehampaan moral.
Gra Valkas kini hanyalah bayangan dari kejayaannya. Kota-kota yang hancur, rakyat yang kehilangan harapan, dan kekaisaran yang tak lagi memiliki arti. Tapi di balik reruntuhan ini, mungkin ada kesempatan untuk lahir kembali—jika mereka mampu bertahan dari luka yang menganga.
Namun, bayang-bayang pemberontakan tetap ada, seperti hantu yang tak pernah tenang. Dan di bawah langit kelabu Ragna, sejarah baru mulai ditulis dengan tinta darah dan air mata.
Istana Merdeka, Jakarta.
13 Juni 1640.
Presiden Sakura duduk di ruang kerjanya yang luas, diapit oleh jendela besar yang memberikan pemandangan Jakarta yang kini menjadi simbol kekuatan ekonomi dan militer Indonesia. Laporan akhir mengenai Perang Dunia Baru tergeletak di meja kayu mahoni di depannya. Dengan tangan yang anggun namun tegas, dia membalik halaman demi halaman, membaca detail kemenangan besar yang telah dicapai RPTO dan Indonesia.
Wajahnya menunjukkan kepuasan mendalam, senyum tipis tersungging saat membaca rincian kekalahan total Kekaisaran Gra Valkas, perjanjian damai yang telah disahkan, dan stabilitas yang kini berada di tangan RPTO. Baginya, ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan moral yang memperlihatkan dominasi Indonesia di kancah internasional.
Sakura menekan tombol di interkom di mejanya. "Hubungkan saya dengan Menteri Luar Negeri dan Perwakilan RPTO. Kita buat statemen sekarang."
Beberapa menit kemudian, kamera internasional merekam Presiden Sakura berdiri di podium dengan latar belakang bendera Indonesia dan RPTO. Dengan suara penuh wibawa, dia berkata:
"Hari ini, sejarah mencatat bahwa perdamaian telah kembali, namun dengan harga yang sangat mahal. Kekaisaran Gra Valkas, yang selama ini menjadi ancaman bagi stabilitas dunia, telah resmi menyerah. Kami, Indonesia dan RPTO, berkomitmen untuk membangun kembali dunia ini dengan lebih adil dan damai. Kepada semua pihak yang telah berjuang bersama, saya ucapkan terima kasih. Dan kepada mereka yang masih memegang dendam, ketahuilah bahwa keadilan dan kekuatan akan selalu berpihak kepada kebenaran."
Sorak-sorai menggema di seluruh markas RPTO dan Indonesia. Media internasional menyiarkan pidato itu secara langsung, sementara di jalan-jalan, rakyat Indonesia merayakan kemenangan ini dengan semangat nasionalisme yang membara.
Malam itu, Istana Merdeka.
Sakura kembali ke ruang kerjanya setelah pidato yang diterima dengan antusias oleh rakyat dan sekutu. Tapi pikirannya terganggu ketika dia membuka laporan terakhir dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Laporan itu berbicara tentang Maryna, agen Esper yang selama ini menjadi mata-mata Indonesia di dalam Kekaisaran Gra Valkas. Namun, yang membuat laporan ini berbeda adalah fakta mengejutkan: Maryna telah berkhianat karena cinta pada Kaisar Gra Lux.
Presiden Sakura membaca laporan itu dengan alis berkerut, bergeming di kursinya. Laporan tersebut mencatat bahwa Maryna, meskipun telah membantu banyak operasi strategis untuk BIN, kini menolak kembali ke Indonesia. Dia bahkan menyatakan cintanya yang tulus kepada Kaisar Gra Lux, memilih untuk tetap tinggal di Ragna meskipun artinya dia harus meninggalkan semua dukungan dari BIN.
Sakura menghela napas panjang. "Cinta..." Gumamnya pelan, memandang keluar jendela ke arah langit malam Jakarta. "Bahkan agen terbaik kita pun bisa dikalahkan olehnya."
Dia memanggil Kepala BIN, Dzahir, untuk membahas situasi ini. "Apa langkah yang Anda sarankan?" Tanya Sakura, suaranya dingin namun tegas.
Dzahir menjawab tanpa ragu. "Penghapusan, Ibu Presiden. Dia tahu terlalu banyak. Jika dia tidak bisa diandalkan, kita tidak bisa membiarkannya hidup."
Sakura terdiam beberapa saat, lalu menggeleng perlahan. "Tidak. Menghapusnya sekarang akan menciptakan lebih banyak masalah. Apakah kita yakin dia tidak akan membocorkan informasi kita?"
"Kami sudah memperingatkannya. Tapi tanpa akses ke obat Esper, dia akan menderita, dan itu mungkin membuatnya berbicara."
Sakura memandangi laporan itu sekali lagi. Dia teringat pada apa yang pernah dikatakan ayahnya: "Kadang, keputusan yang paling sulit adalah membedakan antara kekuasaan dan kemanusiaan."
Akhirnya, Sakura mengambil keputusan. "Kirimkan obatnya seperti biasa. Namun, pastikan dia diawasi ketat. Jangan biarkan dia memiliki peluang untuk membocorkan apa pun. Jika ada tanda-tanda dia melanggar kepercayaan kita... maka lakukan apa yang perlu dilakukan."
Dzahir mengangguk. "Dimengerti, Ibu Presiden."
Setelah Dzahir pergi, Sakura duduk kembali di kursinya, mengangkat cangkir teh hangat yang telah disiapkan. Dia merenung panjang.
"Cinta itu lemah." Pikirnya. "Tapi anehnya, ia memiliki kekuatan yang mampu menundukkan bahkan para prajurit dan agen terkuat. Jika Maryna memilih jalan itu, maka dia telah memilih jalannya sendiri, dan aku tidak akan menghalanginya... selama dia tetap diam."
Langit Jakarta terlihat tenang malam itu, tapi jauh di dalam hati Sakura, ada badai kecil yang terus bergolak. Perang telah usai, tapi keputusan-keputusan seperti ini membuatnya sadar: Tidak ada kemenangan yang benar-benar damai.
TBC.
Hai gais aku kembali ke series ini dan waktunya menyelesaikan apa yang belum terselesaikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top