6. Keputusan

Dari semalam aku bahkan tidak bisa tidur. Perkataan Felix kemarin terus terngiang-ngiang di kepalaku. Ditambah lagi aku terus memimpikan itu akhir-akhir ini. Sepertinya aku perlu diruqiahin.

Ting Tong

"Iya, sebentar."

Terdengar suara bel pintu yang disambut oleh Emak. Aku beranjak dari kasur dan mengintip dari jendela siapa yang datang.

"Ugh, sudah datang," pekikku semangat.

Aku bergegas berlari menghampiri mereka di ruang tamu. Emak berpesan kalau aku diminta menemani mereka sementara beliau membuatkan teh.

"Bisa ke kamar saja tidak enak kalau bicara disini."

Mereka mengangguk. Salah satu gadis yang sebaya denganku itu menepuk pundakku dan berkata, "Tidak apa-apa."

Itu Sevi dia tersenyum memaklumi maksudku. Aku pun membalas senyumannya sambil berlalu duluan mengantar mereka ke kamarku. Aku juga memberi tahu ibu kalau mereka berada di kamarku. Selain Sevi salah satu tamu yang lain adalah Felix.

Mereka sekarang duduk di karpet yang dipisah oleh meja kecil yang terdapat dua gelas teh dan beberapa cemilan lain. Sementara aku duduk di kasur sambil memeluk bantah.

"Jadi gimana Aria?"

☀️☀️☀️

'Felix tersenyum! Waah fenomena langka!' pekikku dalam hati.

"HAHAHA."

Aku tertawa terpingkal-pikal sementara itu Felix memandangku heran. "Kenapa?" tanya Felix.

"Hahaha, Felix kau bisa tersenyum? Hahaha."

"Aku anggap itu ejekan." Responnya tak terduga! Walau dia bilang begitu tapi dia malah tersenyum dan sekarang lebih lebar dari sebelumnya. Bisa dibilang senyum dua jari.

Felix masih mempertahankan senyumannya sambil menopang dagu dan minum tehnya dengan santai. Perasaanku sekarang campur aduk, ANTARA AKU YANG GERAM ATAU AKU YANG GEMAS MELIHATNYA.

Ingin sekali aku memukulnya!

"Hahaha, astaga Felix! Kau gemesin banget sih. Jadi pengen mukul."

"Hmm?"

Tunggu dulu! Apa yang aku ucapkan tadi. Sialan, malu-maluin. Seketika aku diam menunduk meruntuki yang aku ucapkan tadi. Pipiku memanas aku bisa merasakan semburat merah mulai merambat naik menuju ubun-ubun kepalaku.

"Pffft, bukannya yang gemesin itu kau ya, Ar. Hehehe."

'F-Felix tertawa!' Langka sih tapi aku sudah terlanjur malu. Jadi aku diam saja menerima semua responnya.

"Ehem, maaf. Jadi sampai mana tadi," ucap Felix yang sudah kembali datar. Rambutku walau pendek ternyata masih bisa menutupi wajah terkejutku.

"Jadi gini, jika kau menyetujui ideku. Bagaimana jika saat kau ke Jogja nanti ditemani oleh Sevi. Ibumu mencemaskanmu waktu berangkatnya yang sendirian bukan? Kau berangkat dengan di jemput oleh Sevi yang ke rumahmu dan minta izin ke ibumu untuk berangkat bareng ke Jogja."

Aku tak pernah menyangka jika idenya se-Wow itu. Kenapa aku tidak kepikiran hal ini sebelumnya? Ibu sih biasanya akan pasrah jika ada yang mengajakku. Karena sudah terlanjur datang kasian kalau ditolak.

Hanya saja apakah Sevi akan menyetujui ide ini atau tidak? Bagaimana jika ia ada urusan lain dengan keluarga atau temannya?

"Tenang saja kau bisa tanya dia besok. Lebih baik dibahas besok saja yang detailnya. Untuk sekarang lebih baik santai saja anggap ini sebagai refresing."

Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Memang tujuan jalan-jalan ini untuk refresing. Aku tidak boleh kebanyakan pikiran harusnya aku santai.

'Ck, dasar Tsundere.'

☀️☀️☀️

"Jadi gimana keputusanmu, Sevi?"

Dia terlihat berpikir sebentar kemudian tersenyum sambil melihat bingkai yang terpajang di tembok belakangku. Itu foto aku dan sahabatku sewaktu wisuda SMA dulu.

"Aku mengerti maksudmu, tidak masalah bagiku karena orang tuaku juga sudah memaklumiku yang sering traveling sendirian. Dari kecil aku memang suka jalan-jalan. Jika kau mau ditemani tidak masalah. Setidaknya kau sudah berusaha," ucap Sevi sambil tersenyum.

Aku begitu bahagia mendengar ucapan. Baru aku rasakan ternyata seberuntung ini diriku memiliki sahabat yang perhatian.

"Ehem ... kalian mau pergi berdua? Gimana jika aku juga ikut untuk melindungi kalian? Sebagai laki-laki itu sudah tugasnya untuk melindungi perempuan bukan," ucap Felix berbangga diri.

Bruk

Tumben banget dia lengah dan di lempar bantal saja sampai terlentang di lantai begitu?

"Dasar modus."

"Aku tidak boleh ikut ya?"

Felix kembali duduk dan giliran dia yang memeluk bantal yang aku lempar tadi. Aku menghela nafas, begitu bersalahkah aku jadi merepotkan banyak orang seperti ini?

"Baiklah."

"Yosh. Sekarang ayo minta ijin ke Ibumu, Ar," ucap Sevi yang sudah bergegas keluar menemui Emak. Ini tidak bagus! Aku kenal baik Emak itu seperti apa jika Sevi sampai berbuat seperti itu kemungkinan terbesar adalah penolakan lagi.

"Eeeh, tunggu dulu! Jangan sekarang aku punya ide yang lebih baik dari ini."

Sevi yang hampir keluar dari kamarku itu sekarang kembali duduk. Felix dan Sevi menatap tidak mengerti dan meminta penjelasan kepadaku.

"Memangnya kenapa?"

"Apa idemu, Ar?"

'Semoga yang satu ini berhasil hanya ini satu-satunya ide yang aku punya.'

Mereka menunggu jawaban dariku sementara aku yang masih bingung apakah ide ini berhasil dengan lancar atau tidak?

"Kalian kembalilah lagi besok dengan posisi siap berangkat. Sebelum kalian berangkat ke Jogja maka jemputlah aku. Aku akan keluar ketika Emak memanggilku karena ada tamu. Aku tau, aku akan menjadi anak yang tidak patuh tapi setidaknya aku sudah meminta ijin walaupun akhirnya ditolak sih. Jadi bagaimana?"

Hening beberapa saat mereka tampak berpikir untuk mengambil keputusan akan ideku ini. Felix tersenyum, astaga anak ini benar-benar menyebalkan. Kenapa aku selalu kaget tiap ia tersenyum? Lagian kenapa baru tersenyum sekarang setelah lima tahun sekelas bareng?

"Dasar licik!"

'Heh! Apa kau bisa membaca pikiran? Kau membalas ejekan ku tadi ya?'

Tidak bukan senyum Felix lebih ke menyeringai kepadaku. Apa salahku?

"Hei, kau itu licik sekali."

"Apa maksudmu licik?"

"Untuk orang seperti dirimu itu tergolong orang kreatif. Mencari cara apapun agar keinginannya bisa terwujud atau selamat dari bencana adalah hal yang wajar. Mereka tergolong cerdik dan dapat mengambil celah dari kesempatan sekecil apapun itu." Dia diam sebentar memperhatikanku yang mulai membara. "Tapi itu ide yang bagus. Ada kemungkinan besar itu akan berhasil."

Ternyata bagus juga menganalisisnya. Tak ku sangka ia bisa sadar maksudku semudah itu.

Bruk

"Haha, ternyata kau cerdas juga bisa menganalisis dengan sedetail itu. Hebat juga kau!" ucapku sambil tetawa geli karena berhasil melepari wajahnya dengan bantal untuk kedua kalinya. Disisi lain Sevi hanya duduk manis sambil menikmati teh buatan Emak.

☀️☀️☀️

Keesokan harinya aku bersiap untuk berangkat hanya tinggal menunggu mereka berdua saja untuk menjemputku. Dari tadi aku berusaha diam agar dikira masih tidur oleh Emak.

(Felix) : Tunggulah sebentar lagi aku hampir sampai.

(Aku) : Apa Sevi ikut?

(Felix) : Iya, tapi ia kembali ke rumah untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Tenang saja dia akan menyusul.

(Aku) : Syukurlah. Aku berada di kamar, jika kau mengetuk pintu kemungkinan Emak yang akan membukakan pintunya.

(Felix) : Dimengerti.

Ting Tong

'Cepat sekali. Apa benar mereka sudah sampai di rumahku?'

Aku berlalu menuju jendela. Yang aku harapkan tidak sesuai dengan yang aku kenyataan.

"Itu...."

☀️☀️☀️

Di waktu yang sama, di suatu tempat. Terdapat seorang gadis yang sedang berkemas. Ia tampak terburu-buru memasukkan barang bawaannya ke dalam koper.

Sesekali gadis itu menggerutu karena takut terlambat dan dapat amukan oleh sahabatnya. Bisa-bisa dia jadi rempeyek lagi.

"Buk, saya pamit dulu," ucap Lusi sembari mengenakan sepatu.

"Sarapan dulu, Lus."

"Nanti saja beli pas perjalanan, bapak sopirnya sudah nunggu dari tadi."

Setelah susah payah ia mengenakan sepatunya, akhirnya ia dapat berangkat juga. Lusi bersalaman dengan Ibunya terlebih dahulu sebelum berangkat.

"Hati-hati di jalan."

"Iya Ibuk."

Lusi berlalu menuju mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Sang sopir membantu Lusi untuk memasukkan koper ke bagasi.

"Tujuannya ke Stasiun Solo, ya?" tanya bapak itu memastikan tidak salah tujuan.

"Iya Pak, tapi tunggu sebentar adik saya belum naik."

"Siap."

Sembari menunggu adiknya, Lusi mengaktifkan ponselnya untuk mengabari sahabatnya.

(Lusi) : Hei, aku lagi di perjalanan. Adakah yang sudah berangkat?

Grek

Pintu terbuka menampakkan seorang laki-laki yang selisih lima tahun lebih muda darinya. Itu adalah adik keponakan Lusi bernama Bayu. Dia tampak tergesa-gesa masuk ke dalam mobil.

"Kau lama sekali."

"Ya, maaf."

"Sudahkah dek?"

"Sudah pak."

Mobil pun berangkat, menyusuri jalan di perumahan. Berbelok setelah sudah memasuki jalan raya. Suasana kota yang asri ini tampak di kanan kiri jalan. Keramaian juga menyerbu jalanan kota yang sibuk ini.

Sebenarnya juga sudah masuk musim liburan banyak orang yang dari kota besar berpulang ke rumah orang tuanya atau pergi berlibur. Setiap liburan juga mendekati hari raya, karena faktor itu kemungkinan bisa menyebabkan macet yang luar biasa di Stasiun nantinya.

Lusi tak habis pikir akan seperti apa keadaan di kereta nantinya dan berharap tidak penuh sesak. Dia sengaja mengajak adiknya Bayu agar punya teman perjalanan dan tidak tersesat saja. Bisa dibilang Lusi ini agak pelupa kalau arah jalan.

"Kak Lusi."

"Iya?"

"Kenapa kakak tidak reuni di tempat biasa saja?"

"Tidak tahu."

"Lha kok tidak tahu?"

"Hehee, kami ke Jogja bukan cuma untuk reuni tapi juga berlibur. Lagi pula disanakan tempat yang bagus."

Bayu tampak berpikir sesaat kemudian dia mengangguk dan pandangannya beralih ke arah jalanan. Mereka baru saja melewati perbatasan kota, itu terlihat saat tulisan selamat jalan di gapura besar yang melengkung.

Mobil ini melaju keluar dari jalan raya dan naik melewati Flay Over. Bisa terlihat atap rumah dan lantai dua gedung dari arah sini. Kendaraan yang berlalu lalang di bawah terlihat begitu kecil.

Cukup lama berputar-putar di jalan flay over ini dan ketika bertemu persimpangan mobil ini turun kembali ke jalan raya. Berbelok di lampu merah pertama dan tibalah di stasiun.

Lusi dan Bayu turun di ikuti oleh sopir yang membantu menurunkan barang bawaan mereka.

"Terima kasih, Pak." Lusi memberikan lembaran uang kepada sopir. Menarik kopernya dan berlalu memasuki stasiun.

Begitu masuk mereka disambut dengan aktifitas manusia yang berlalu lalang membawa barang bawaan mereka keluar masuk stasiun. Mereka menuju loket untuk membeli tiket, Lusi malah jadi terkejut saat membelinya.

"Mbak, ini harganya bener?"

"Iya, memang segitu harganya."

"Kok murah banget sih," gumam Lusi tidak percaya.

Bayu yang dari tadi melihat sekitar mendekati Lusi yang kebingungan.

"Ada apa Kak?"

"Ini kok tiketnya murah banget padahal aku beli dua."

"Memang segitu harganya, lagian kita kan cuma keluar kota gak sejauh itu juga perginya."

Bayu menggeleng dan menarik kakaknya untuk masuk mencari tempat duduk di ruang tunggu. Sebelum sampai di sana mereka menemukan stan cemilan dan mampir sebentar untuk beli sesuatu untuk mengganjal perut yang lapar.

☀️☀️☀️

Di stasiun yang sama, tepatnya di ruang tunggu. Alma sedang mengotak atik ponselnya. Sebuah headset tersemat di telinganya. Dia terlalu fokus dengan dunianya sendiri sampai tidak menyadari kali Rafiq, adiknya sudah kembali membawa dua botol minuman.

"Oh, sangkyu."

Alma membuka tutup botol itu dan meneguk minumannya sampai habis setengah. Perjalanan kali ini cukup menguras tenaganya.

"Kak, bukannya teman-teman kakak juga ke tujuan yang sama?" tanya Rafiq heran.

Alma kembali menutup botol minumannya dan menatap Rafiq. "Iya, kenapa memangnya?"

"Kan rumahnya masih satu daerah. Harusnya masuk ke stasiun yang sama, dong."

Menyadari sesuatu Alma langsung cekikikan sambil menepuk pundak Rafiq berkali-kali. Membuatnya merasa kesal karena tangan Alma yang tak hentinya menepuk pundaknya. Baru menyadari sesuatu Alma langsung membuka ponselnya dan mencari grup dengan sahabatnya. Alma mengetik sebuah pesan dengan tergesa-gesa sampai banyak typo yang bermunculan.

(Alma) : Hei, Man teman. Kalian ada di Stasiun di daerah suni kah? Iya 'kan? Harusnya iya.

(Alma) : Syuni

(Alma) : SINI

(Alma) : Typo terus

Alma menunggu notifikasi cukup lama. Pesannya tak kunjung di balas oleh yang lain. Akhirnya dia menekan fitur 'pesan di terima' dan tidak ada satu pun nama kontak yang muncul. Itu berarti ponsel kami berempat itu mati semua.

Dia langsung kesal dan memasukkan kembali ponselnya ke tas. Rafiq yang memperhatikan kakaknya dari tadi seketika bingung. Seakan tatapannya ittu berkata 'kenapa lagi anak ini?!'

Tak lama kemudian, kereta pun datang. Alma dan Rafiq langsung menata barangnya untuk bersiap masuk ke dalam kereta. Cukup lama sampai kereta berhenti sepenuhnya, banyak orang yang keluar masuk kereta. Alma dan Rafiq masuk ke gerbong yang telah di tentukan. Saat memasuki kereta mereka langsung mencari nomer tempat duduk mereka.

Di sisi kiri terdapat dua kursi kosong yang kebetulan juga nomernya sama seperti di tiket mereka. Baru hendak ke sana, Alma di tubruk oleh orang yang seenaknya menerobos dari belakangnya.

Untung saja tidak sampai jatuh. Rafiq langsung marah-marah ke laki-laki yang menubruk kakaknya. Laki-laki meminta maaf dengan Alma dan Rafiq dengan alasan terburu-buru. Alma yang melihat orang itu hanya melongo bingung. Dia merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi dia tidak ingat.

"Kak, duduk saja yuk." Ajakan Rafiq itu tidak di indahkan oleh Alma. Dia masih bengong, saat Rafiq mengguncang tubuh kakaknya barulah ia sadar.

"Kenapa kak?"

"Bukan apa-apa, hanya ... sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi aku gak ingat, lupakan saja!" ujar Alma sambil memasukkan kopernya ke tempat barang di atas tempat duduk kereta itu.

"Kakak punya pacar rupanya."

"Heh, endaklah. Orang itu sepertinya seumuran denganmu. Usianya beda jauh kali."

"Masa? Memangnya kakak tahu orang itu berapa tahun?"

"Kan cuma ngira-ngira saja kalau dia seumuran denganmu."

Rafiq menyerah berdebat dengan kakaknya. Pasalnya dia selalu kalah jika urusan debat. Rafiq menaruh kopernya di dekat koper kakaknya dan memberi jalan untuk kakaknya duduk duluan.

Sebelum Alma hendak duduk, ia mendengar suara orang marah-marah. Suara itu serasa akrab di telinganya. Saat ia berbalik dan mencari orang itu. Ia mendapati seorang gadis tepat di belakangnya berlalu melewati Alma menuju bangku di belakang.

Gadis berambut panjang yang di kucir pony tail, pakaiannya sederhana, perawakannya begitu anggun mengingatkannya pada seseorang.

"Bayu, kau jangan ninggalin aku di ruang tunggu dong. Nanti aku bingung, gimana kalau nyasar?!" bentak gadis itu yang langsung duduk di bangku belakang yang letaknya membelakangi pandangan Alma. Jadi dia cuma melihat punggungnya saja tanpa tahu wajahnya.

"Kak, lagi-lagi kau aneh. Harusnya kalau gak enak badan di rumah saja," ceplos Rafiq.

Alma tersadar dari lamunannya dan memelototi Rafiq. "Bilang saja kalau gak mau nemenin!"

Alma langsung berlalu dan duduk di kursi. Tampangnya dibuat Rafiq jadi kecut karena protesnya. Rafiq hanya menghela nafas pasrah dan duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan Alma.

'Kenapa suaranya familiar ya? Terus nama 'Bayu' sepertinya tidak asing. Tapi siapa?'

Alma kembali bergelut dengan pikirannya sendiri sampai kereta itu mulai berjalan. Rafiq yang memandang kakaknya heran sendiri. Perubahan perilaku kakaknya itu terasa aneh bagi Rafiq. Dia tahu kalau Alma biasanya tidak bersikap seperti itu.

☀️☀️☀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top