4. Cafe Euphoria
Sudah berminggu-minggu berlalu sejak kejadian Putri waktu itu dan sekarang janji kami untuk bertemu kembali dan liburan ke Jogja kota kenangan akan segera tiba masanya.
☀️☀️☀️
Pukul 07.15 pagi, aktivitas di Cafe Euphoria itu sudah berjalan. Banyak karyawan Cafe yang bersiap untuk bekerja.
Dapur Cafe itu juga sudah ramai dengan peralatan masak. Terdengar dari suaranya yang cukup berisik. Tukang bersih-bersih juga sibuk menyiapkan meja dan kursi untuk pelanggan. Karyawan lain juga melakukan tugasnya masing-masing untuk persiapan buka Cafe.
Jam segini Cafe masih tutup bisa dilihat dari luar papan tulisan "Tutup" belum dibalik menjadi "buka". Cafe akan dibuka saat jam 08.30 dan mereka juga sedang menunggu seseorang datang.
Cring
Lonceng di pintu berbunyi menandakan kalau ada yang masuk. Semua karyawan yang melihatnya langsung menyapanya.
"Selamat pagi."
"Pagi juga."
Seorang gadis dengan penampilan Casual berjalan memasuki Cafe sambil sumringah. Karyawan lain yang menyapanya juga disapa balik oleh gadis itu dengan ramah.
"Ecieee, lagi happy bos?"
"Gak tuh. Lagi sedih kok," ucap gadis itu sambil tertawa dengan candaan temannya yang sedang mengelap meja kasir.
"Al, kau beneran akan ke Jogja ya?"
"Iya. Doakan beneran jadi ya?"
"Amin."
Gadis itu adalah Alma. Pemilik dari Cafe ini yang juga ikut bekerja agar lebih dekat dengan karyawannya.
Alma berperan sebagai pelayan di Cafenya sendiri agar segala komplein dari pelanggan bisa ia dengar secara langsung.
Sekarang ia sudah siap dengan seragam pelayan dengan celemek melingkar di pinggangnya, rambutnya pun sudah dikuncir rapih. Sambil menunggu Cafe buka ia bersantai dulu duduk di meja kasir sambil mengecek pesan di ponselnya. Terdapat notifikasi yang baru saja terkirim di grup.
(Aku) : Sejak aku bilang akan ke Jogja 1 minggu waktu itu, sepertinya emak marah sama aku.
(Aku) : Gimana ini? Aku diceramahi siang malam cuma gegara ini.
Alma yang membaca pesan itu otomatis langsung tertawa membuat temannya yang jaga kasir jadi terheran-heran sendiri. Ia pun berhenti tertawa dan mulai mengetik sesuatu di ponselnya. Tak berapa lama kemudian notifikasi kembali muncul.
(Alma) : Sabar, nanti kalau sudah berangkat mungkin di ijinkan.
(Aku) : Kau sendiri jadi tidak?
(Alma) : Aku usahakan untuk hadir. Masih agak susah buat ngebujuk orang tuaku.
(Aku) : Jadi saja. Tinggal beberapa hari, lho.
(Alma) : Maka dari itu.
(Lusi) : Berangkatnya kapan?
(Alma) : 3 hari lagi.
(Lusi) : Cepet banget.
(Aku) : Kau sendiri ikut apa tidak, Lus?
(Lusi) : Kalau tersesat gimana?
(Putri) : Hilanglah.
(Lusi) : Putri jangan gitu.
(Alma) : Haha, sudahlah kasian.
Saat lagi asik dengan ponselnya, temannya yang jaga kasir tadi menepuk pundak Alma membuatnya sedikit terkejut.
"Al, sudah waktunya buka. Kenapa tidak bersiap?"
Dia melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 08.32 pagi. Alma mengangguk dan mengetik sesuatu di ponsel sebelum mematikannya dan melangkah ke pintu Cafe.
(Alma) : Sudah dulu, ya. Aku mau kerja dulu.
Alma membalik papan yang tergantung di pintu. Dari tulisan "Tutup" menjadi "Buka". Alma kembali ke meja kasir memasukkan ponselnya ke laci meja kasir dan berlalu ke dapur.
Cring
Pintu terbuka menampakkan seorang pria yang terlihat tergesa-gesa saat datang. Keringat bercucuran dari dahinya, wajahnya tampak gelisah, dia terlihat terengah-engah sambil mengatur nafasnya.
"Telat nih, ciee," ejek teman Alma yang menjaga kasir.
"Diam kau ... hah, Sis."
Gadis di meja kasir itu bernama Siska tertawa melihat tingkah pria itu. Pria itu menarik kursi dan duduk di depan meja kasir sambil mengatur nafasnya sampai terbatuk-batuk.
"Kakak, dimana?"
"Di dalam sedang mengambil barang."
"Arg, pasti aku akan diomelin. Sial!"
"Ra, makanya jangan lelet, telatkan."
Laki-laki itu bernama Rafiq, adik dari Alma yang bekerja sambilan di Cafe milik kakaknya sendiri. Rafiq masih Sma dan kebetulan hari sabtu sekolahnya libur jadi dia membantu kakaknya bekerja.
Sekiranya sudah pulih dari lelah ia pun berdiri dan hendak bersiap. Sayangnya, Alma kakaknya sudah keluar dari dapur sambil membawa tumpukan buku menu dan beberapa kotak tisu di atasnya.
Mereka berpapasan, Rafiq terlihat terkejut akan kehadiran kakaknya hanya cengar cengir tak jelas. Alma hanya manyun sambil memberikan buku menu kepadanya.
"Ra, telat lagi?"
'Sudah tau kenapa masih nanya sih, Kak?' batin Rafiq sambil cengar cengir.
"Maaf."
Alma memintanya untuk mengikutinya sambil membawa tisu dan menu tersebut.
"Lain kali kalau di bangunin itu langsung bangun. Capek juga tau teriak-teriak gak jelas di pagi hari," tutur Alma sambil meletakkan tisu dan menu disetiap meja.
"Maaf, Kak. Soalnya semalam ngerjain tugas sampai tengah malam," balas Rafiq sambil ikutan meletakkan kotak tisu dan menu tersebut.
Selesai meletakkan barang Alma menyuruh Rafiq untuk bersiap dan memakai seragamnya.
"Tunggu Kak! Kakak jadi pergi ke Jogja?" tanya Rafiq yang dijawab anggukan Alma.
"Gimana kalau Ibu tidak mengizinkan? Kakak tau sendiri 'kan kalau akan ke rumah Bibi karena ada acara keluarga?"
"Itu hal biasa bukan? Nanti bilang ke Ibu kalau aku sangat ingin ke Jogja ketemu sahabatku."
"Gimana kalau semisal tidak diizinkan?"
Alma diam berpikir sebentar, ia pun berbalik menghadap adiknya dan berkata, "Apapun itu aku harus bisa atau tidak sama sekali!" ucap Alma dengan sedikit pasrah dan penekanan.
"Sudah bahas lain waktu saja. Bersiaplah dan cepat siram pot yang tergantung di dinding itu, airnya sudah mulai surut."
Rafiq hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan kakaknya untuk bersiap. Sementara itu Alma kembali ke dapur dan mengambil menu dan kotak tisu untuk beberapa meja yang masih kosong di lantai atas.
Cring
Pintu terbuka menandakan ada pelanggan yang datang.
"Selamat datang. Eh... "
"Halo, Sis."
Terdapat 2 orang gadis yang berlalu masuk dan salah satunya mengenali Siska sampai membuatnya terkejut.
"Put, lama gak ketemu. Apa kabar?"
"Baik. Eh, pesan Thai Tea 3 dong."
"Okey, tunggu sebentar ya."
Itu Putri dan Riska yang akan nonton bersama dan kebetulan melewati Cafe ini jadi mampir sebentar untuk membeli bekal diperjalanan.
"Dia temanmu?" bisik Riska.
"Iya, dulu kenal saat kita latihan dance bersama." Riska hanya ber-oh ria memahami maksud dari Putri.
"Rasanya apa saja, Put?"
"Original 2, Pure Green Tea 1."
"Tumben pesen 3 satunya buat siapa?" tanya Siska sambil mencatat pesanan.
"Untuk temenku."
Siska mulai heran sendiri, dia bilang untuk temennya maksudnya untuk gadis di sampingnya itu kah?
'Mungkin,' batin Siska.
Kebetulan Rafiq baru keluar dan akan menyiram tanaman. Ia di tahan oleh Riska dan memintanya untuk membuatkan pesanan pelanggan terlebih dahulu.
"Duduk dulu saja, Put."
Putri dan Riska duduk menunggu pesanan mereka di buatkan. Mereka duduk di dekat kursi dekat pintu dengan posisi Putri membelakangi meja kasir.
Putri terlalu fokus dengan ponselnya sampai tak menyadari kalau saat itu aku dan Felix juga datang ke situ. Waktu itu aku juga tak menyadari kalau Putri juga disitu sih.
"Selamat datang, mau pesan sesuatu?"
"Salad buah 2, Ice Cream coklat 1 dan Cofee Latte 1."
"Baiklah, silahkan duduk kami akan menyiapkan pesanannya."
Hening, saat berjalan melewatinya tak ada suara sedikit pun dan terfokus dengan kegiatan masing-masing. Waktu itu kami juga tak menyadari satu sama lain jadi tidak tau jika sudah dipertemukan lebih cepat tanpa sadar.
Aku duduk membelakangi Putri dengan Felix yang berhadapan satu garis lurus dengan kami. Entahlah kenapa aku tidak mengambil tempat duduk Felix saat itu jadi bisa melihat wajah Putri.
"Cepat selesaikan naskahnya! Sampai kapan kau akan mengumpulkan naskah terlambat terus?" keluh Felix yang lagi-lagi membuatku kesal.
"Iya iya akan aku selesaikan. Lagian untuk menulis naskah itu butuh ide atau akan blang di tengah jalan."
"Ingat deadline pengumpulan naskah hari ini."
Dengan kesal aku mengeluarkan leptop sambil terus memandang Felix seolah-olah adalah mangsa yang siap terkam kapan saja.
"Iya bapak bos!"
"Gitu saja kesal."
Sudah cukup! Karena kesal dengan cepat aku menginjak kakinya. Sayangnya pijakanku meleset dan menendang kaki meja sampai membuat telapak kakiku sakit.
"Makanya jangan kebanyakan gaya. Itu selesaikan dulu naskahnya."
Aku mulai menghidupkan leptop dan mengetik melanjutkan tugas naskah cerita. Biar tidak stres dan tetap fokus aku mengeluarkan headphone dan mendengarkan musik yang membuatku rileks. Saat sedang sibuk mengerjakan tugas, dari arah dapur pelayan lain keluar membawakan pesanan Putri. Di ikuti dengan Rafiq yang kembali mengambil air dan hendak menyiram pot.
"Ini kak pesanannya 3 Thai Tea, untuk pembayarannya silahkan ke meja kasir."
"Terima kasih," ucap Putri dan berlalu ke kasir meninggalkan meja.
Putri membayar minuman pesanannya, berterima kasih dan pergi dari Cafe bersama Riska.
Prang
Bunyi itu berasal dari lantai atas. Siska dan Rafiq langsung melihat tangga menuju lantai atas menunggu, kemudian seseorang bergegas keluar.
"Al, suara apa itu?"
"Tanganku licin vas bunga diatas pecah. Rafiq carikan vas bunga yang baru di ruang penyimpanan!"
Rafiq mengangguk dan pergi mengambil vas yang baru. Alma pergi ke dapur mencari sapu dan cikrak untuk membuang vas bunga yang pecah. Ketika sudah mendapatkannya ia berlalu ke atas untuk membersihkannya.
Saat hendak naik ke atas dari arah pintu masuk seorang gadis mengenakan kacamata bunda sambil memainkan ponselnya.
"Ris, tolong itu ada pelanggan." Karena terburu-buru Alma langsung berlalu ke atas tanpa melihat pelanggannya.
Riska hanya menghela nafas dan melayani pelanggan. Sekarang yang datang itu tak asing lagi bagi kami.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Pelanggan yang sekarang adalah Cindy, dia terlihat terkejut dengan sapaan Siska karena terlalu fokus dengan ponselnya.
"Saya pesan Ice Coffee Latte 2,"
"Silahkan duduk dulu, Kak. Nanti pesanannya diantar," ucap Siska yang dan dibalas anggukan Cindy.
Namun sebelum ia mengambil tempat duduk ada sesuatu yang ia katakan kepada Siska. "Kak, kalau ada gadis yang bertanya dimana meja Cindy, bilang saja dekat jendela."
"Okey, Kak."
Cindy berlalu melewati mejaku dan duduk tepat di belakang Felix dengan posisi membelakangi kami. Meja yang ditempati Cindy itu tepat ditengah jendela jadi cukup terang.
Aku rasakan jariku mulai pegal dan meregangkannya sedikit. Felix mengamatiku yang meregangkan jari begitu lama pun mulai bosan.
"Payah baru begitu saja sudah capek."
"Diam kau! Siapa juga yang membuatku susah payah untuk membuat naskah begini?"
Felix berdehem sebentar dan beralih memainkan ponselnya. "Aku 'kan tidak punya rekan kerja," ucapnya malas sambil menguap.
'Kau tau Felix seberapa gemasnya aku terhadap dirimu,' batinku kesal.
Dengan hitungan 3 2 1 kakiku perlahan terangkat dan hendak menendang kakinya. Senyuman samarku sungging di wajahku sambil meluncurkan kakiku.
Bruk
"Auh, sakit."
Memang salah kalau mengajak Felix untuk baku hantam. Alhasil aku dan kursiku yang terbalik. Kepala dan punggungku sakit menghantam lantai dingin Cafe ini. Headphone yang ku kenalan tadi lepas tergantung mengambang di meja.
Aku meringkuk memegangi kepalaku yang masih berdenyut.
Bagaimana aku bisa terbalik? Felix itu sangat lincah, dia terlihat santai tapi saat kakiku hampir menyentuh kakinya, tangannya turun dengan cepat menerima kakiku dan mendorongku hingga terjatuh. Hanya saja dia masih memegangi kakiku walau aku sudah jatuh.
"Uch, ada yang jatuh."
"Berisik! Lepaskan kakiku!"
Felix melepaskan kakiku dan kembali fokus ke ponselnya. Aku kembali bangun merapikan bangku dan duduk lagi.
Sekelebat, aku melihat gadis dibelakang Felix itu kembali melihat kedepan, sepertinya dia mengamatiku sejak tadi.
"Sudah cukup dengan ulahmu. Aku lelah." Aku langsung mengetik di leptop menyimpan file, kembali memakai headphone dan mendengarkan musik tak mau memperdulikan hal lain.
Menenggelamkan wajahku di kedua tanganku berusaha tidur. Samar-samar aku dapat mendengar Felix yang memintaku bangun dan suara pelayan yang datang.
Berkali-kali mendengar suara lonceng pintu berbunyi, suara kendaraan yang samar-samar bersahut-sahutan diluar, pada akhirnya hening tak ada suara Felix sedikit pun.
Pada akhirnya pun aku mulai mengantuk dan diantar ke alam mimpi oleh alunan musik yang merdu.
☀️☀️☀️
"Letakkan di situ nanti aku rapikan."
Alma membawa cikrak dan sapu dengan pecahan vas di dalamnya turun keluar dari Cafe. Saat sedang sibuk hendak kembali masuk ia mendengar sesuatu yang membuatnya terkejut.
Saat ia berbalik ada sekelebat gadis yang mengendarai sepeda. Gerak-gerik gadis itu membuatnya penasaran, rasanya ia seperti mengenali orang tersebut tapi siapa?
Alma begitu lama memandangnya sampai ia hilang berbelok ditikungan pun ia masih memandang jejak gadis itu.
Disisi lain saat gadis itu hendak melewati kaca Cafe. Aku dan Cindy mendengar suara seperti lonceng. Karena terkejut aku langsung melepas headphone dan mencari asal suara itu dengan gelisah. Felix yang melihatmu jadi bingung sendiri ada apa denganku.
Saat itu juga aku melihat dengan jelas seorang gadis yang sedang bersepeda melewati jendela Cafe. Cindy yang duduk di belakang Felix juga diam memandang jendela Cafe. Tanpa kemauanku sendiri air mataku jatuh dan membuat Felix terkejut.
"Kau kenapa?"
"Iーitu... bukankah itu...."
Seperti menyadari sesuatu Felix langsung menarik tanganku kembali duduk. Dia menggeser satu gelas didekatnya mendekat ke arahku.
"Minumlah!"
Aku menghapus air mataku dan meminum Coffee yang ia sodorkan tadi. Menarik nafas untuk menenangkan diriku.
"Jika kau sudah lelah istirahat saja. Aku antar kau ke rumah."
Felix mengemas barangnya sendiri kecuali ponselnya yang masih tergeletak di meja. Aku hanya memandangnya tanpa berkutik sedikit pun.
Aku juga heran saat dia mengambil alih leptop dan mematikannya, menggulung kabel headphoneku. Menumpuk dan menyingkirkan semua barangku ke tepi meja.
Ia kemudian mendorong mangkuk dan gelas lain di dekatnya. Menyisakan 1 mangkuk di hadapannya.
"Selesaikan makan dulu, setelahnya nanti aku antar."
Dia menarik kopi yang tadi aku minum dan mulai makan. Aku memandang pesanan yang ia makan dan pesananku. Sudah benar tapi kenapa rasanya tadi ada yang aneh, ya?
Mungkin cuma perasaanku saja. Aku pun kemudian ikutan makan.
Setelah selesai makan, dia membereskan alat makan menumpuknya ditengah dan memintaku untuk membereskan barangku yang sudah rapi di tepi meja.
Aku memasukkan semua barangku ke dalam tas dan berdiri meninggalkan Cafe dengan Felix dibelakangku.
Saat itu juga pintu Cafe terbuka, aku berpapasan dengan seorang gadis seperti anak kampus masuk kedalam. Ketika aku keluar dari Cafe yang membuatku terkejut adalah seorang pelayan Cafe yang berdiri di tepi pintu ngalamun melihat jalanan.
Heran dengan apa yang ia lakukan namun, tak terlalu memikirkannya jadi aku abaikan.
"Kak, meja atas nama Cindy?"
"Oh, itu di dekat jendela."
"Okey, terima kasih."
"Sama-sama."
Gadis yang baru masuk tadi menuju meja Cindy dan menepuk bahunya. Cindy terlihat terkejut dengan tepukan itu dan berbalik mendapati temannya berdiri di sampingnya. Namun, expresi yang ia keluarkan membuat Cindy bingung.
"Cin, kenapa kau menangis?" ucap Gata sambil mengusap air mata diwajah Cindy.
"Ah, maksudmu?"
Cindy tak mengerti dengan maksud temannya itu. Setahu Cindy ia duduk disini sedang menunggu Gata dan orang di belakangnya terjatuh dari kursi. Setelahnya...
'Tunggu! Tadi yang lewat bukannya... ' batin Cindy terkejut seperti menyadari sesuatu.
'Lusi?!'
Cindy malah tambah menangis dan membuat Gata menjadi bingung harus berbuat gimana?
Sementara itu Alma yang akan masuk ke Cafe melihat dibelakangnya baru saja keluar 2 orang namun, entah kenapa saat melihat sang gadis ia merasa begitu akrab.
"Mungkin cuma imajinasi."
☀️☀️☀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top