2. Benang Yang Mulai Terikat

Pagi itu aku dicegat oleh Sevi di gerbang kampus. Dia terus mengomentari penampilanku yang acak-acakan seperti orang yang habis kesasar.

Rambut tak disisir, seragam tak rapih, mata hitam bengkak seperti panda, dan coba lihat hal terburuknya kenapa aku lupa bawa tasku. Yang namanya sekolahkan harus bawa tas untuk meletakkan buku tapi tasku saja ketinggalan dan sekarang juga hampir masuk.

Aku kaget juga kelimpungan. Bingung bagaimana dengan tasku. Selama aku kebingungan seperti ini dari arah lain Felix terlihat keluar dari bus membawa 2 tas. Dia menemukanku yang kebingungan didepan gerbang dan menghampiriku.

Saat melewati kami dia melempar asal tasku sampai mengenai mukaku. Kau pikir tidak sakit apa mukaku dilempar tas begini.

"Lain kali jangan kelupaan. Tasmu tadi masih berada di bus. Bayar bus saja juga belum, seenaknya keluar saja," cetus Felix.

Tadi, Felix bilang apa? Di bus? Aku belum bayar? Arg, segitunya stres aku ini sampai lupa segala hal.

"Lha, itu tasmu 'kan. Sudah ketemukan sekarang ikut aku. Ayo!"

Sevi menarik asal tanganku menuju kamar mandi dan menyisiri rambutku sampai rapih. Kemudian, dia menyuruhku masuk kamar mandi untuk membenahi penampilanku yang acak-acakan.

"Begini?"

"Nah, gitukan rapi. Jadi cewek itu harus rapi penampilannya, jangan seperti anak laki-laki SMP yang entah apa kabar penampilannya."

Deg

Kalimat itu. Aku pernah mengucapkannya waktu SMP saat mengomentari kuncir rambut Cindy yang terus berantakan.

Entah kenapa kalimat itu membuatku teringat akan hal itu. Tanpa sengaja air mataku lolos dan kejadian itu ditangkap mata Sevi membuatnya khawatir.

"Kau tidak apa-apa? Apa aku harus mengantarmu ke-UKS? Kau sakitkah?"

"Aku baik-baik saja. Sebaiknya kita kembali ke kelas saja sebelum dosen datang."

Baru juga diperingatkan tapi sudah ambruk didepan kamar mandi. Terakhir aku melihat Sevi berlari keluar sambil menjerit histeris. Entahlah, tidak tau lagi aku terlalu khawatir tidak bisa bertemu mereka.

☀️☀️☀️

Dijam yang sama namun ditempat yang berbeda. Disebuah kampur ternama di kota besar yang jauh dari tempat tinggalku. Universitas Kristen adalah Universitas yang terbesar di kota itu walau mahasiswa/i semuanya beragama Kristen.

Sebenarnya Universitas itu adalah Universitas yang diambil Cindy setelah lulus wajib sekolah. Dia direkomendadikan oleh mamanya untuk mendaftar disitu dan katanya juga fasilitasnya memadai. Dan dari kami berlima hanya Cindy yang Kristen. Walau berbeda agama tapi kami akurnya luar biasa kok. Akur sampai hampir sableng itu ada.

Disepanjang lorong di kampus itu ada seorang gadis dengan penampilan feminim berjalan menuju sekolah. Rambut panjang yang dikuncir, kacamata bundarnya, rok selutut, baju tanpa lengan ditambah tas kecil yang cangklong.

"Pagi Cindy."

"Pagi juga."

Cindy disana mengambil jurusan Bahasa Inggris katanya dia ingin pemantapan agar bisa fasih. Lha, aku apa daya yang Bahasa Inggris saja tidak bisa.

Ngomong-ngomong, dia dulu pernah cerita denganku kalau dia menyukai seseorang di kampus itu. Namanya Eric dan orang itu sekarang sedang membawa laporan setebal kamus menuju kantor dosen.

"Eric, mau aku bantu?" tanya Cindy menghampiri Eric yang berjalan berlawanan dengannya dan mengikutinya.

"Tidak perlu, lagi pula ini 'kan berat."

"Berikan aku 1/3 nya saja kalau begitu. Lagian punyaku masih ditas."

"Baiklah."

Cindy mengeluarkan laporannya dari dalam tas kemudian diletakkan diatas tumpukan laporan lain yang dibawa Eric dan mengambil laporan untuk dibawanya lebih banyak.

Mereka berjalan menuju kantor dosen berbarengan. Walau dia suka pada Eric tapi masih belum tersampaikan. Entah disudut pandang Eric dia mengetahuinya atau tidak.

"Untuk lomba minggu depan kelas mengajukan apa?"

Eric yang merasa ditanya melihat kesamping dimana Cindy yang sedang bicara.

"Lomba minggu depan banyak yang memilih teater, band, dan dance. Untuk 1 minggu 'kan angkatan kita?"

"Iya, perangkatankan seminggu. Aku tak sabar melihat pementasan kakak tingkat."

"Pasti seru sekali itu. Kampus kita 3 minggu full lomba terus."

Mereka tertawa bersama sambil menuju ruangan dosen. Selama diperjalanan itu setelah membicarakan lomba Cindy jadi merasa lesu. Dia masih memikirkan pesan semalam yang tidak pasti kita semua bisa bertemu lagi karena terlalu sibuk.

Bukan cuma aku yang pusing memikirkan bagaimana cara kami bisa bertemu ternyata Cindy juga sama pusingnya.

"Nanti ada jam praktik terakhir Bahasa Inggris. Ujian Lisan, sebaiknya kita semangat!" seru Eric.

Menunggu beberapa detik tidak ada jawaban dari Cindy dia pun melihat raut wajah Cindy yang bengong.

"Hoi, lagi mikirin apa?"

Eric menjentikkan jarinya didepan wajah Cindy yang membuatnya terkejut.

"Kembali ke kelas, yuk!"

"Iya."

Hening selama diperjalanan sampai Cindy penasaran akan sesuatu.

"Eric, liburan musim panas nanti kau akan kemana?"

"Aku akan berlibur dengan keluargaku bertamasya. Rencanamu apa?"

"Ah ... itu. Katanya mau reuni bareng sahabat masa sekolah tapi tidak tau, sih. Jadi atau tidak masih menunggu kabar dari yang lain."

"Rindu ya?"

"Sangat!"

"Sama dong aku tidak bisa bertemu sahabatku tahun ini karena ada tamasya dengan keluarga. Tapi yang lain minta pas libur semester berikutnya."

"Oh, tapi bukannya itu lama?"

"Memang! Tapi kami berniat ingin bertemu jadi apapun yang terjadi harus bisa bertemu. Pasti ada caranya."

"Kau benar pasti ada caranya."

Selama menuju ke kelas Cindy terus melamun. Bagaimana caranya agar bisa bertemu mereka? Dia tau pasti ada caranya tapi apa?

Karena memikirkan ucapan Eric tadi di kelas Cindy tidak konsentrasi dalam ujian akhirnya dan hampir gagal padahal saat latihan semalam begitu mantap fasihnya. Nilainya harusnya sempurna jika dia tidak mengalami kesalahan.

Sekarang Cindy berada di kantin dengan temannya bernama Gata. Dia terus murung dengan nilainya yang dikurangi karena ketidak fokusanya.

"Cepat makan makananmu nanti dingin!"

"Aku tidak selera."

"Lagian tadi kau sudah fasih itu sudah cukup toh setiap kata benar."

"Bagian terakhir kau tidak ingat? I am aku baca ayam. House aku salah baca jadi ghost. Memalukan!"

Cindy mendorong makanannya untuk memberikan tempat untuk kepalanya. Dia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengannya.

"Lagian bukan cuma itu yang aku cemaskan."

"Ada lagi? Ceritakan saja!"

Cindy menghela kembali duduk dengan benar dan menghadap Gata, siap untuk bercerita.

"Bulan Juli besok sahabatku mengajakku untuk ketemuan."

"Bagus dong. Biar kau tidak merengek rindu terus kepadaku."

"Lupakan bagian itu aku tidak ingin mengingatnya. Masalahnya adalah ada yang tidak bisa datang dan itu antara batal dan dilaksanakan."

"Pergi saja tanpa orang yang tidak bisa datang itukan bisa ketemu lain waktu."

"Kalau ada waktu lagi, sih."

"Arg, aku pusing."

"Sisimu yang lain sangat lucu tau. Orang pasti tidak bisa mengira kau bisa merengek seperti itu."

"Diam kau! Mereka berbeda sudah seperti keluarga bagiku."

"Cari cara buat bisa ketemu lengkap gitu."

"Tapi, bagaimana caranya?"

"I don't know."

"Gata!"

"Becanda, nanti aku bantu."

"Thank you."

Cindy kembali menarik piringnya kembali dan melahapnya pesanannya dengan tenang. Gata tersenyum melihat Cindy tidak merengek sedih lagi.

☀️☀️☀️

Hari sudah malam. Jam pulang adalah jam untuk beristirahat dan mampir ketempat-tempat yang menarik untuk bawa oleh-oleh pulang. Karena Cindy pulangnya naik bus dan akan menunggu lama dia mampir ke toko beli es krim sebentar sambil menunggu bus.

Bus itu berhenti dan Cindy pun masuk. Dia duduk dikursi depan yang berlawanan dengan pintu sambil mengenakan headphone mendengarkan lagu kesukaannya.

Di pemberhentian berikutnya bus itu berhenti. Cindy masih melihat keluar jendela tidak menghiraukan siapa yang masuk dan masih terpaku dengan pemandangan diluar jendela itu.

Saat itu di bus aku dan Felix masuk, karena aku masih agak pusing jadi jalanku agak lambat. Aku duduk di baris kedua yang berlawanan dengan pintu masuk di sampingku ada Felix. Aku mengomelinya karena duduk denganku tapi dia tidak menggubrisnya sama sekali.

Walaupun aku bilang jika aku mengomeli Felix bukan berarti aku jerat jerit begitu tidak aku tau ini di bus tidak sopan jerat jetit seperti itu. Semaksimal mungkin suaraku aku lirihkan.

Aku melihat ponselku yang mati karena baterainya habis. Menggeledah mencari powerbank, aku hendak mengecas ponselku namun tanganku licin dan tidak sengaja menjatuhkannya.

Karena bentuknya yang silinder, alhasil powerbank itu menggelinding ke depan tanpa sengaja menyentuh kaki Cindy.

Karena dia merasa kakinya tersentuh sesuatu akhirnya dia mengambil benta itu.

"Ck ck ck ... Cerobohnya."

"Diam kau Falix!"

"Iya."

"Duh, hilang kemana tadi?"

"Tuh, dibawa orang yang didepan. Biar aku ambilkan."

Felix berdiri melihat orang didepannya itu yang sedang menggenggam powerbank bertuliskan namaku disana.

Cindy melihat seksama powerbank itu sambil membaca namanya. Dia tak pernah melihat powerbank itu namun nama yang tertulis itu jelas namaku. Dia berpikir kalau itu punyaku sampai Felix memanggil Cindy.

"Permisi, bisa minta powerbank yang kau pegang itu?"

"Oh, ini punyamu? Maaf tadi saya menemukannya menggelinding di kakiku."

Cindy menyerahkan powerbank itu dan Felix kembali duduk sambil menyerahkan benda itu kepadaku.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

Cindy masih mengingat nama itu. Terukir nama 'Aria' dibenda itu tapi saat berbalik yang mengambilnya bukan sahabatnya melainkan seorang laki-laki yang dia tidak kenal.

Cindy menggeleng dan mengabaikan kejadian itu. Dia pun kembali menatap jalanan yang ramai di hiasi lampu dengan langit gelap.

"Pasti cuma kebetulan namanya sama."

Bus itu berhenti disebuah lampu merah dan Cindy berdiri membayar kemudian turun. Saat dia sudah sampai disebrang dia melihat kembali bus yang berhenti itu. Namun, matanya menangkap ada yang ganjil didekat kursi yang didudukinya tadi.

Dia menangkap siluet seorang gadis yang sedang mengotak atik ponselnya. Wajahnya tidak jelas karena tertutup helaian rambutnya. Tapi, anehnya Cindy seakan merasa hangat dengan gadis itu.

"Arg, aku terlalu pusing. Sebaiknya aku cepat pulang saja."

Bus itu berlalu pergi karena sudah lampu hijau. Cindy pun yang tadi bengong di trotoar memperhatikan siluet itu berlalu pergi menuju rumahnya.

Dari pemberhentian bus tadi Cindy hanya perlu berjalan kaki kearah selatan. Kurang lebih 5 menit perjalanan sudah sampai.

Rumahnya terletak di pinggir jalan. Tidak terlalu besar juga tidak kecil. Rumah bernuansa kebarat-baratan itu dihiasi lampu dengan gerbang besi berukir salib didepannya.

"Mama, aku pulang."

Cindy melepas sepatunya, meletakkan di rak sepatu dan masuk kedalam rumah.

"Cindy, gimana sekolahnya? Oh, hari ini ada ujian akhir kan, bagaimana hasilnya?"

Pertanyaan yang tidak diharapkan Cindy keluar dari mulut mamanya yang duduk sambil meminum teh itu.

"Hasilnya bagus kok, ma. Cuma ada kesalahan dibagian akhirnya saja."

"Apa yang kau pikirkan sampai tidak konsentrasi seperti itu?"

Cindy hanya cengar cengir saja dibuatnya. Mamanya menyuruhnya untuk lekas mandi dan beristirahat. Selesai mandi Cindy dipanggil mamanya karena ada yang mau dia bicarakan.

"Akhir bulan nanti kita kerumah nenek, ya. Sudah lama 'kan tidak kesana."

Cindy terkejut akan ucapan mamanya itu. Dia diberi waktu 2 minggu untuk libur dan sekarang diajak mamanya ke rumah nenek. Bagaimana dengan reuninya?

"Liburmu 2 minggu jadi nanti bisa nginep disana lama."

"T-Tapi...."

Mamanya meletakkan gelas ke meja dan mulai memperhatikan Cindy.

"Akhir bulan nanti sahabatku mengajakku untuk reuni."

"Tanggal berapa reuninya?"

"Belum ditentukan, ma."

"Kau nanti tidak ikut ke rumah nenek?"

"Itu ... tidak tau."

'Kenapa tambah lagi halangannya?' batin Cindy lesu.

Pada akhirnya Cindy disuruh ke kamar mandi untuk mandi dan tidak melanjutkan percakapan tadi dengan mamanya.

Setelah mandi dia bergegas mengambil ponsel dan berbaring di kasur. Mengotak atik ponselnya untuk mencari nomer seseorang.

(Cindy) : "Saat liburan nanti aku diajak mamaku kerumah nenek. Gimana reuninya jadi atau tidak?"

Cindy terus menatap layar ponsel dengan penuh harapan. Sangat lama dia menunggu sampai jenuh dibuatnya. Karena tidak ada jawaban dia meletakkan ponselnya disisi lain kasur dan menutup wajahnya dengan bantal.

Antara kesal dan rindu yang bercampur itu dia jadi frustrasi sendiri. Pikiran negatif mulai berdatangan saat itu. Bagaimana jika tidak jadi dilaksanakan reuninya?

Ting tong

"Cindy, bukakan pintu! Mama lagi sibuk di dapur."

"Iya, ma."

Cindy berjalan kearah pintu meninggalkan ponselnya yang terus bergetar di kasur.

Bel rumah terus berbunyi. Cindy memperingatkan orang yang ada di balik pintu itu kalau dia akan segera membukakan pintunya. Pintu terbuka dan menampakkan 2 orang paruh baya dengan raut senang dan ceria.

"Om! Tante!" seru Cindy sambil memeluk mereka.

Cindy mempersilahkan mereka masuk dan memanggil mamanya di dapur.

"Mama! Om dan Tante datang kesini."

"Benarkah? Mama temui dulu. Cindy buatkan 2 teh, ya!"

Mama pun berjalan menuju ruang tamu dan Cindy mengambil gelas yang diberi gula didalmannya dan menuangkan teh. Meletakkan kedua gelas tadi di atas nampan dan membawanya keruang tamu.

"Om dan Tante selama musim panas akan tinggal disini."

Ucapan Om tadi seperti memberi harapan untuk Cindy.

"Tapi, nanti saat Cindy liburan mau kerumah nenek. Kalian ikut atau ditunda saja, ya?"

"Nanti bisa ikut saja. Berangkat barengkan enak."

"Baguslah."

'Mama, kenapa bilang itu?' batin Cindy merengek.

Lenyap sudah harapan Cindy untuk waktu luangnya.

"Mama, aku 'kan mau reuni sama sahabatku."

"Tentukan dulu tanggal reuninya kapan nanti bisa mama pertimbangkan!"

"Baik mama."

Cindy kembali hendak mengembalikan nampan, namun berhenti melihat ponselnya di kasur yang terus bergetar. Dia meletakkan nampan di meja rias dan duduk melihat ponselnya. Beberapa pesan masuk dari sahabatnya.

(Aku) :"Terus bagaimana reuninya?"

(putri) :"Apa dibatalkan saja? Tapi, masa dibatalkan."

(Aku) :"Please! Yang ini jangan dibatalkan, ya!?"

(Alma) :"Tapi, aku tidak ada waktu luang. Bagaimana caranya kita bisa bertemu?"

(Lusi) :"Reuninya jadi atau dibatalkan sebenarnya."

(Aku) :"Tidak, reuninya pasti bisa dilakukan. Cari cara! Pasti ada caranya!"

(Lusi) :"Bagaimana caranya?"

(Aku) :"Cari cara!"

(Putri) :"Jika dibatalkan aku akan ikut keluargaku kerumah nenek. Masalahnya jika aku tidak ikut kesana pasti aku ditinggal dirumah sendiri."

(Aku) :"Nah, itu dia. Cari waktu seminggu kita liburan bersama."

(Lusi) :"Liburan kemana?"

(Putri) :"Boleh juga. Dari pada aku dirumah sendiri, sih."

(Alma) :"Hei, bagaimana denganku? Waktu liburanku nyaris tidak ada dan lagi aku disuruh Ibu minta ijin seminggu ke Bibi. Itupun karena ada acara keluarga."

(Aku) :"Kau ikut acara keluarganya?"

(Alma) :"Tentu saja."

(Putri) :"Kau gak bisa, kah? Kalau tidak ikut saja."

(Alma) :"Gak tau, sih. Nanti aku kabarin lagi saja."

(Lusi) :"Oke, kita rencana liburan kemana?"

(Aku) :"Kita mendaki Gunung Lawu."

(Putri) :"Tidak! Nanti kalau tersesat gimana?"

(Alma) :"Jangan mendakilah! Capek lho."

(Aku) :"Kalian ada rekomendasi?"

(Alma) :"Jurug!"

(Putri) :"Mau cari kembaranmu disana?"

(Aku) :"Minta digetok, nih."

(Lusi) :"Hei, ke Jurug mau ngapain?"

(Aku) :"Gak tau, juga."

(Alma) :"Ayolah! 'Kan seru disana."

(Putri) :"Mau lihat satwa selama seminggu? Oke, nanti kita tinggal kau disana."

(Alma) :"Lha, kok gitu."

(Lusi) :"Alma, kesana seminggu mau ngapain?"

(Alma) :"Entahlah."

(Putri) :"Untung aku sabar."

(Aku) :"Tempat yang sejuk, pemandangan bagus, banyak tempat wisata. Ada yang tau?"

Pesannya berhenti disitu tapi masih ada yang online. Cindy berfikir sebentar mencari tempat yang bagus seperti dalam pesan diponselnya. Kira-kira apa?

Seakan punya ide bagus Cindy langsung mengetik membuat pesan diponselnya.

(Cindy) :" Bagaimana kalau kita liburan ke Jogja? Toh, kalian semua kan suka dengan kota itu. Kenapa tidak sekalian buat pengalaman disana?"

Benar kata Cindy kami memang suka dengan kota itu. Walau ramai tapi terbilang damai bagi kami. Disana juga banyak spot wisata yang menarik untuk dikunjungi.

(Aku) :"Ide bagus! Jadi kita bernostalgia lagi."

(Putri) :"Lumayan, nanti aku pesankan hotelnya. Eh, 1 minggukan?"

(Lusi) :"Iya. Tapi aku takut tersesat."

(Aku) :"Kau ingat jalan ke alun-alunnya?"

(Lusi) :"Iya tau."

(Putri) :"Nah, kau tunggu disitu saja nanti kita cari."

(Alma) :"Kau yakin? Alun-alun itu luas lho."

(Putri) :"Tidak apa-apa, yang penting ada kemungkinan dia disitu."

(Cindy) :"Baiklah. Jadi 1 minggu terakhir musim panas kita liburan bareng."

(Alma) :"Sip. Nanti aku cari cara buat tidak ikut acara keluargaku."

(Aku) :"Akhirnya jadi juga."

Lumayan memuaskan akhirnya mereka mau meluangkan waktu untuk reuni yang sudah lama tertunda. Malam itu kami bisa tersenyum dan tidur dengan nyenyak.

☀️☀️☀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top