Liam Payne - The Promise

Seorang gadis kecil berumur 9 tahun berlari mengejar bola yang dilempar. Mengikuti arah layang bola itu sampai akhirnya berhasil menangkapnya. Lawan mainnya yang berusia jauh lebih tua berlari menghampirinya. Langsung menggendong gadis itu.

"Main lempar bolanya sudah ya. Aku capek." ujar lelaki yang bernama Liam. "Kau juga sudah berkeringat, Jane" Ia mengelap keringat di pelipis gadis itu dengan punggung tangannya sembari berjalan ke bangku taman terdekat.

Liam menempatkan Jane di pangkuannya. Mendekapnya erat layaknya kakak beradik.

"Liam, ayo main lagi" Jane menarik tangan Liam.

"Aku capek. Kalau main kuda-kudaan bagaimana?" Tawa Jane pecah saat Liam menggerakan kedua kakinya dan membuat Jane berguncang di pangkuannya. "Haha okay, sudah ya. Aku ingin memberi tahu sesuatu" Liam memindahkan gadis itu ke sebelahnya.

"Beri tahu apa?"

"Well, sebelumnya, aku ingin mengatakan kalau kau sudah ku anggap seperti adik sendiri selama 9 tahun ini. Kita selalu main tiap hari dan bercanda bersama. Terimakasih sudah jadi adikku ya." Liam mengacak poni Jane. "Tapi besok.. aku harus pindah ke New Jersey."

Bola yang dipegang Jane jatuh dari tangannya. Menggelinding entah kemana. Jane bergeming dengan apa yang barusan dikatakan.

"Kau... pindah?"

"Ya. Sekeluarga. Aku juga harus kuliah disana."

Jane diam. Ia menyilangkan tangannya, tidak mau menatap Liam sama sekali. Kebiasaan anak kecil-ngambek.

"Hey, Jane.. jangan menangis. Kita masih bisa main, mungkin lewat Skype? Come on.."

"Tapi akan terasa beda!"

"I know.. tapi bagaimana lagi?" Liam menarik Jane ke dekapannya. "Don't cry.."

"Liam"

"Hm?"

"Apa.." Jane menggigit bibir bawahnya. "Apa anak kecil boleh jatuh cinta?"

Liam mengedikkan bahu. "Why not?"

Jane mengangguk mengerti. Ia memeluk balik Liam, melingkarkan tangan kecilnya di sekitar perut Liam. "Kalau itu terjadi padaku bagaimana?" Alis Liam berkerut, menunduk menatap Jane. "Aku suka kau.

"Aku juga suka kau, adik."

"Noo, maksudku.. I'm falling in love.. with you."

Kini giliran Liam yang bergeming, masih memandang Jane dengan pandangan yang sulit dimengerti. Namun tak lama, ia tertawa. "You're funny. Percayalah, aku dulu jatuh cinta dengan ibuku. Tapi aku tidak cemburu saat melihatnya berciuman dengan ayah. Dan ternyata itulah cinta ibu dan anak."

"Tapi aku cemburu!" serunya. "Kau tahu Alice? Tetangga depan rumahmu? Waktu itu aku melihat kau sedang mengobati luka kakinya di teras. Dan aku tidak suka!" Jane terang-terangan.

"Kau bercanda."

"I'm serious! I'm fucking serious!"

"K-Kau bahkan mengucapkan kata kotor. I'm gonna tell your mum-"

"Don't!" Jane menarik tangan Liam saat ia hendak beranjak pergi. "Okay, I'm sorry."

Liam menggaruk kepalanya, tiba-tiba merasa awkward sendiri. Maksudnya, tidak mungkin anak 9 tahun menyukai pria 20 tahun sepertinya. Apalagi kalau misalnya mereka pacaran, Liam harus siap menerima julukan pedophile.

"Li" Liam menoleh Jane lagi. "Apa kau mau menikah denganku nanti?"

"Tapi kau.. sudah seperti adikku." jawabnya. Dia berpikir sebentar, kemudian turun dari bangku dan berlutut di depannya untuk mensejajarkan tinggi. "Begini saja," Ia melepas snapback hitam bertuliskan 'Payno' yang sedari tadi di pakainya. "Karena kau masih 9 tahun, aku akan menunggu."

"Menunggu?"

"Aku akan menunggumu. Aku akan menikahimu kalau kau sudah menginjak 20 tahun. Dan kau boleh ambil snapback-ku sebagai jaminannya" Liam memakaikan snapback tersebut di kepala Jane, lalu tersenyum.

"Yang benar?"

"Tentu saja. Mana mungkin aku bohong"

"Janji?" Ia mengangkat kelingkingnya.

Liam ikut mengangkat kelingkingnya dan melilitkannya pada kelingking Jane. "Janji."

.

.

"Kau tidak boleh pulang." Jane kembali menahan Liam saat akan beranjak dari kasurnya.

"Kau terbangun ya?"

"Aku sebenarnya tidak tidur." jawabnya. "Aku takut kau meninggalkanku lebih cepat"

Liam tersenyum, mengacak rambut Jane, kemudian mencium keningnya. "Baiklah aku akan disini dan menyanyikanmu lagu, tapi kau harus tidur."

Jane mengangguk. Ia kembali mengistirahatkan kepalanya pada bantal.

" I hope you know, I hope you know

That this has nothing to do with you

It's personal, myself and I

We've got some straightenin' out to do

And I'm gonna miss you like a child misses their blanket

But I've got to get a move on with my life

It's time to be a big girl now

And big girls don't cry

Don't cry

Don't cry

Don't cry "

---

11 Tahun Kemudian..

Tangannya merogoh saku, mengambil ponsel yang sejak beberapa detik lalu bergetar. Ia mengangkatnya dan menempelkannya di telinga. "Ya halo?" Tangannya yang satu lagi sibuk meratakan bedak di keningnya. "Iya bu, aku baik-baik saja di New Jersey... iya, makan 3 kali sehari kok... besok aku pulang... baiklah, ibu juga baik-baik ya... bye."

Jane memasukkan ponselnya kembali. Iya mengecek tasnya, apa kertas itu sudah ada atau belum. "Ada." katanya setelah menemuka kertas kecil bertuliskan alamat. Ia tersenyum.

Ini lah Jane yang sekarang. Jane berumur 20 tahun yang baru saja lulus dari Universitas sama seperti Liam, teman masa kecilnya yang mempunyai hutang padanya. Dan berniat menagih nya hari ini setelah berhasil mendapatkan alamat Liam dari buku alumni.

Jane memakai snapback 'Payno' dengan terbalik, bergegas pergi setelah mengunci kamar flat.

Rumah Liam sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampus. Hanya berjarak sekitar 2 kilometer.

Jane celingak-celinguk ke tiap rumah, mencari nomor rumah yang sama dengan alamat tersebut. Tapi sudah setengah jam berjalan, tidak ketemu juga.

"Astaga.." Dia duduk di bangku sebuah taman kecil sambil meneguk minumannya yang tinggal 1/4. "Susahnya.." Jane meluruskan kakinya, memijat-mijat pelan betisnya sembari memandang jendela gereja tepat di depan taman itu.

Jendela itu bersinar terang karena memantulkan cahaya matahari yang memang sedang terik saat itu.

Keadaan di luar gereja ramai. Sepertinya sedang ada pernikahan.

Tak lama, pintu gereja itu terbuka lebar. 2 pasangan baru pun keluar, saling menggenggam tangan. Mereka pun melemparkan kelopak-kelopak bunga pada mereka.

Jane bergeming begitu melihat wajah pengantin pria lekat-lekat.

Senyumnya.

Kerutan matanya.

Dan postur tubuhnya.

Itu Liam.

Kertas alamat yang Jane pegang lepas dari genggamannya, terbang dihembus angin. Bagaimana tidak? Liam mengingkari janjinya. Liam menikah dengan perempuan lain dan itu bukan Jane. Liam selama ini memberi harapan kosong. Dan yang paling fatal, Jane menyaksikan sendiri pernikahannya.

"Li.. am..?"

Mulutnya bergumam, tak lama setelah itu, air mata jatuh membasahi pipinya. Dia memilih untuk mundur. Berbalik arah, kembali ke flatnya. Setidaknya, Jane tahu kalau Liam baik-baik saja selama ini. Jane tahu Liam bahagia.

Liam tak henti-hentinya tersenyum melihat keluarga serta kerabatnya senang atas pernikahannya. Ia melihat ke sekeliling, dan yap. Yang ia temukan hanyalah wajah-wajah bahagia.

Kecuali satu.

Seorang gadis muda yang berjalan menjauh kelihatan terisak dengan rambut yang menutupi wajahnya. Mata Liam tercekat pada apa yang dipakai gadis itu. Snapback 'Payno'.

"Jane..?"

Love has no age, no limit; and no death. ❞ - John Galsworthy

So, yeah, oneshot ini freak. Request emang ditutup, takutnya menghambat fanfic lain. Dan ini iseng-iseng aja mumpung lagi butek ide buat Cinderella "Converse" dan dapet ide buat oneshot. Siapapun yang mau didekasiin ini bilang aja yo. Free kok:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top