9

Billy pun menceritakan semuanya.

Namira terlahir sebagai indigo. Sejak kecil ia suka bermain dengan hantu. Sepuluh tahun lalu, Namira telah melakukan kesalahan karena membiarkan dirinya terhasut roh jahat. Tepatnya sembilan tahun lalu, Namira akhirnya membuat dunia paralel yang ia sebut sebagai Sangia Walu. Tidak ada yang tahu arti nama itu, bahkan Billy si pencerita. Yang Billy ketahui Namira kesepian.

Sangia Walu tercipta, Namira memiliki tambahan teman. Billy, Chloe dan Elena serta beberapa lagi yang hantu kecil itu tidak ketahui. Namira sangat bahagia, ia seperti memiliki cucu. Ya, tadinya.

Belakangan Namira mulai menyadari ritual yang ia lakukan untuk menciptakan tempat itu rupanya meminta bayaran. Bayaran yang tidak pernah Namira bayangkan. Sebuah tumbal. Namira telah menumbalkan suaminya.

Satu bulan setelah terciptanya Sangia Walu, Rasmono--suami Namira-- meninggal karena muntah darah. Kepergian Rasmono menciptakan rasa sepi baru yang sulit untuk Namira tanggung. Terlebih kematian suaminya disebabkan oleh dirinya sendiri. Karena rasa rindu yang menguasai, tujuh tahun lalu Namira pun memutuskan untuk memakai cara itu; melakukan pemanggilan arwah. Melalui cara itu Namira ingin bertemu roh sang suami. Namun beberapa kali Namira mencoba, di antara Sumanga yang hadir Rasmono tidak pernah ada. Ia terus mencoba hingga tak sengaja sosok tak diundang ikut terpanggil. Roh jahat.

Roh itu mulai mengendalikan Namira, menebar teror melenyapkan energi spiritual yang Namira miliki. Sadar jika keberadaan roh itu akan sangat membahayakan, Namira mulai memikirkan cara untuk melenyapkannya. Namun, setelah menyadari niat itu, roh jahat tidak pernah melepas Namira hingga kemudian membunuhnya.

"Sebelum Nenek Namira meninggal, Nenek Namira menyuruh kami untuk usir Nenek Jahat. Tapi kami tidak berhasil. Nenek Jahat terlalu kuat. Elena dan Chloe ... mereka ditangkap." Billy mengakhiri ceritanya dengan raut sedih. Ia ketakutan.

"Jadi karna itu dulu Nenek suruh aku pulang cepat? Karna itu juga Kakek Mono meninggal." Mata Dhea mulai berkaca-kaca. Kenyataan ini begitu menohok. Seandainya ia tahu setelah kepulangannya Namira akan meninggal, ia tidak akan pergi.

Aku bisa lihat hantu, aku bisa bantu Nenek!

Dhea larut dalam pikirannya, menyesali semua yang terjadi. Tidak ia sangka dunia yang begitu ia sukai telah menelan nyawa orang-orang yang ia sayangi.

"Di mana Elena dan Clhoe?"

Mendengar pertanyaan Dino, Dhea baru kembali menatap Billy. Secerca harapan muncul, ia masih punya kesempatan untuk menuntaskan keinginan Namira.

"Di gapura--"

"Gapura itu?" Dhea teringat bayangan perempuan yang ia lihat di sana. Apa itu Clhoe atau Elena?

Billy yang ketakutan mengangguk. "Nenek Jahat membawa mereka ... a-aku takut."

"Bagaimana cara supaya Nenek Jahat pergi? Ayo kita selamatkan Elena dan Chloe." Dhea menghapus air matanya yang hampir jatuh, ia menatap Billy dengan yakin. Apa pun caranya, Dhea akan berusaha.

•••••••

Dhea akhirnya mengetahui fakta lain. Fakta di balik tingkah aneh yang Bi Mina perlihatkan. Rupanya roh jahat yang Billy ceritakan kini menggunakan raga Bi Mina untuk ia kendalikan. Hal lain yang bisa Dhea simpulkan: selama ini hidup Bi Mina tidaklah tenang. Itu adalah teror yang terlalu nyata. Bi Mina pasti ketakutan.

Dhea dan Dino kini mulai memasuki pintu dimensi. Seperti yang Billy katakan, untuk mengusir roh jahat itu, mereka harus menghancurkan rumah kecil yang digunakan untuk meletakkan sesajen. Mereka harus mencaput kayu penyangga yang menancap di tanah. Billy tida ikut bersama mereka, hantu laki-laki itu masih trauma dan Dhea tidak memaksanya.

Jantung Dhea berdegup tak karuan. Melihat tidak adanya satu pun hantu di dimensi ini, Dhea seketika merasa khawatir.

Mereka hanya perlu merusak rumah kecil itu, terdengar mudah andai mereka tidak ketahuan. Kedua orang itu sebelumnya sudah memeriksa keberadaan Bi Mina tapi wanita itu tidak ditemukan di mana pun. Itu telah menjadi masalah. Karena kini langkah Dhea dan Dino harus terhalang. Bi Mina rupanya telah mendahului mereka. Bi Mina ada di Sangia Walu.

"Dhea? Mau ke mana?" Wanita itu berdiri membelakangi gapura. Seringai yang ia tampilkan membuat Dhea sadar jika wanita di depannya ini bukanlah Bi Mina

"Bi Mina dikendalikan."

Dhea mengangguk pada Dino di sampingnya. Tanpa pria itu berintahu Dhea sudah menyadari.

Seperti yang mereka duga, sebuah bayangan keluar dari tubuh Bi Mina membentuk sosok berambut panjang dengan wajah menghitam. Matanya kosong, hanya ada warna hitam. Seluruh tubuhnya diselubungi kabut gelap.

Dhea dan Dino sama-sama membelalak. Dhea beralih menatap Bi Mina, namun sorot matanya menatap kosong.

"Bi Mina! Sadar Bi!" Dhea mencoba berteriak tetapi tidak ada reaksi di wajah wanita yang di panggil, sebaliknya, sosok di sampingnya lah yang menyeringai.

Dhea mengepalkan tangan, buku-buku jarinya yang kurus semakin mencuat. "Lepaskan Bi Mina! Hantu Jelek! Pulang kamu ke asalmu!"

Teriakan Dhea disambut lengkingan tawa dari sosok berwajah gelap. Alih-alih mengikuti perintah, sosok itu malah kembali masuk ke tubuh Bi Mina. Setelahnya, wajah Bi Mina mendongak. Perubahan di wajah itu tampak jelas. Pupil di mata Bi Mina menghilang entah ke mana.
"Jangan harap! kalian yang akan menjadi tawananku." Suara yang keluar dari mulut Bi Mina bukan lagi suara yang Dhea kenal.

Tidak ingin menunggu lagi, Dhea memberi kode pada Dino agar mereka berpencar untuk menuju rumah kecil itu. Sayangnya, pergerakan mereka diketahui. Bi Mina yang masih dalam pengaruh, mengepalkan tangannya. Ia mulai berteriak.

Bersamaan dengan itu, angin kencang mulai berembus di sekitar. Dahan-dahan di pepohonan meliuk, dedaunan di sekitar berterbangan. Begitu tangan Bi Mina terangkat, tubuh Dhea dan Dino ikut melayang ke udara. Leher mereka seolah dicekik. Tangan Bi Mina kembali bergerak hingga tubuh dua orang itu terhempas menabrak dinding rumah.

Baru saja meraup udara, leher Dhea kembali merasa dicekik. Tubuhnya kembali terangkat, kali ini tertahan di dinding rumah. Hal yang sama juga dialami Dino. Kedua orang itu memberontak. Mulai kehabisan napas.  Air mata Dhea perlahan menetes. Wajahnya memerah, ia kesakitan tapi tak satu pun kata dapat ia keluarkan.

Aku tidak boleh mati! Aku harus bantu Nenek!

Tekad kuat Dhea menggetarkan seluruh tubuhnya. Namun, hanya menangis yang bisa ia lakukan. Dhea sudah berusaha. Ia ingin melepas sesuatu yang menggerogoti lehernya. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Ia hanya melukai kulitnya sendiri.

Air mata Dhea bercucuran lebih banyak.

Sakit. Lehernya terasa sakit. Ia benar-benar tidak bisa bernapas. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan bibirnya.

H-hai p-pa ... ra ... s-sua ..ra ke -man ... per ... gi

Dhea tidak berharap Billy mendengar nyanyiannya tetapi ia terus berusaha menggerakkan bibir. Semangat yang tadi membara mulai hilang bersamaan dengan tubuh Dhea yang mulai mati rasa.

Maafkan aku Nenek.

Saat itu Dhea mulai memejamkan matanya. Pasrah dengan keadaan. Ia hanya punya tekad tapi dunia tidak memberinya kesempatan. Ketika keputusasaan benar-benar melandanya. Dhea merasakan tekanan pada lehernya melonggar. Seketika ia membuka mata. Dhea sempat melihat sosok hantu anak kecil mendorong tubuh Bi Mina hingga tersungkur di tanah. Selanjutnya ia yang harus pasrah saat tubuhnya jatuh bebas, kepalanya membentur lantai. 

Butuh beberapa saat bagi Dhea untuk bangkit. Napasnya memburu, ia meraup udara dengan rakus. Darah mengucur dari pelipisnya, tetapi rasa sakit itu ia abaikan. Melihat Bi Mina yang masih tersungkur, ia kembali memacu larinya.

Sementara itu, Dino yang juga baru bangkit membiarkan Dhea berlari sendirian. Ia memutuskan menuju tempat Bi Mina berada, lalu menahan tubuh itu.

"Aaaaaaaaaaaaa!"

Bi Mina yang baru bangkit semakin murka. Melihat Dhea sudah mencapai rumah kecil itu. Ia mulai berteriak. Kali ini teriakan itu menggetarkan tanah.

Dhea berusaha abai. Ia tetap fokus menarik kayu yang menyangga rumah kecil. Saat itu Dhea menyadari rumah itu terbuat dari kayu ringan yang seharusnya mudah lapuk. Namun, untuk mencabut penyangganya yang menancap di tanah ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.

Urat-urat di leher Dhea mencuat keluar. Ia berusaha dengan mengeluarkan sisa-sisa tenaganya. Kini usahanya membuahkan hasil, Dhea merasakan kayu yang ia pegang mulai tertarik.

Teriakkan yang lebih keras terdengar seiring kayu yang ia tarik mulai keluar. Bersamaan dengan itu bunyi ledakan terdengar. Gapura yang berada di belakang Dhea mulai hancur. Pecahan-pecahan gapura mulai mengenai tubuh Dhea. Kendari kesakitan, gadis itu tidak melepas pegangannya. Tepat saat kayu itu benar-benar terlepas dari tanah, teriakan memilukan memenuhi sekitar. Dhea yang tidak memperhitungkan posisinya pun terdorong ke belakang.

Dengan napas yang masih memburu, Dhea menoleh ke samping. Ia melihat bayangan hitam keluar dari tubuh Bi Mina lalu wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Dhea lalu beralih pada sosok bayangan hitam yang menggeliat. Billy masih di sana ikut mematung bersama Dino.

Dhea tidak tahu harus berbuat apa. Ia sudah melakukan apa yang harus ia lakukan tetapi sosok roh yang mereka sebut jahat belum juga  hancur atau menghilang. Keheranan itu juga tergambar di wajah Billy dan Dino. Sesaat semua orang itu hanya bisa terdiam. Lalu sedetik kemudian perubahan tenggambar di wajah Dino.
"Dhea! Lilinnya!"

Mendengar itu Dhea sontak menoleh. Ia melihat makanan dan benda lainnya sudah berserakan di tanah. Dhea segera mencari lilin itu. Lalu cahaya yang berpendar dari dalam rumah kayu kecil mengalihkan perhatiannya.

Benar-benar masih menyala, pikirnya.

Tanpa menunggu lagi Dhea segera meraih rumah kayu. Saat tangan Dhea sudah menyentuh rumah kecil itu, lengkingan dari sang roh jahat kembali terdengar. Akibatnya, ledakan dari gapura yang masih tersisa tak terhindarkan. Pecahan kecil mengikis kulit wajah Dhea meninggalkan jejak di sana. Mengabaikan semua itu, Dhea tetap berusaha kembali mengambil rumah kayu. Namun, gerakannya terhenti saat pecahan yang lebih besar melayang hingga menindih kakinya.

"Aw." Dhea meringis merasakan kakinya seolah patah.

Saat serangan roh jahat mulai kembali ia rasakan, Dhea dengan sekuat tenaga mengabaikan rasa sakitnya. Ia kembali meraih rumah kayu, lilin yang entah kenapa walaupun sudah terombang-ambing, masih tetap menyala di dalamnya. Dalam sekali tarikan napas Dhea meniup lilin itu hingga padam.

Kelegaan dan rasa lelah datang menyerbu bersamaan. Saat itu Dhea benar-benar merasakan tenaganya menghilang. Tangannya tidak lagi dapat menopang tubuh. Tubuhnya yang tadinya terduduk jatuh menyapa tanah menyusul bagian bawah tubuhnya yang kini tertindih serpihan beton. Suara lengkingan yang lebih keras menjadi yang terakhir ia dengar, sebelum kesadaran benar-benar meninggalkannya, Dhea melihat dua anak perempuan keluar dari puing-puing gapura berlari menghampirinya. Entah kenapa hati Dhea tiba-tiba menghangat. Namun, belum sempat senyuman mekar di wajahnya, gelap lebih dulu menyapanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top