7.

Tangan Dhea sibuk dengan sendok, tetapi pikirannya berkelana memikirkan pertemuannya dengan pria bernama Dino. Pengakuan Dino atas pengetahuannya tentang Sangia Walu telah mengusik Dhea lebih jauh. Ia sudah akan mendapatkan informasi andai saja Bi Mina tidak segera memanggilnya makan. Semua ini membuat Dhea semakin tidak berselera dengan santapannya.

Makan siang yang sepi bukanlah hal baru, Dhea memang terbiasa makan sendiri. Bi Mina yang sebelumnya menemaninya sudah selesai dua menit lalu dan sudah pergi entah ke mana. Hanya menyisakan piring di wastafel sesuai permintaan Dhea, ia yang akan membersihkan.

Dhea benar-benar kehilangan selera makan. Lagi-lagi ada nasi yang tersisa. Ia enggan melanjutkan, langsung berpikir untuk bersih-bersih. Membuang isinya di tempat sampah yang tersedia, Dhea mulai meraih spons cuci piring, menuangkan dua tetes cairan hijau di atasnya. Piring pertama ia bilas dengan sorot matanya yang menatap kosong ke dinding. Lalu, pada piring ke dua yang seharusnya itu milik Bi Mina, gerakannya terhenti saat menyentuh sesuatu yang aneh. Dhea menunduk hanya untuk melihat segumpal rambut mengisi piring itu.

Rambut?

Dhea tersentak nyaris melepaskan pegangannya. Ia mematung. Bagaimana bisa ada rambut sebanyak itu di piring? 
Dhea merasakan bagian punggungnya meremang.

Menepis pikiran, Dhea dengan cepat membuang rambut itu di tempat sampah. Membersihkan dengan cepat lalu beranjak dari sana. Bagi Dhea, darah dan wujud menyeramkan yang menempel pada hantu itu adalah sesuatu yang pasti juga sebatas mengerikan untuk dipandang. Namun, mengenai hal misterius seperti ini, benar-benar mengusik ketenangan. Tidak tahu sedang berhadapan dengan apa. Tidak tahu harus menghindar atau pasrah.

•••••••

Tidur adalah salah satu cara yang tepat untuk menanangkan pikiran, tetapi tak kunjung terlelap adalah sebuah masalah baru. Nyaris satu jam terbenam di kasur, mata Dhea tak juga mau tertutup. Benar. Tidak ada yang bisa tidur dengan pikiran terganggu.

Merasa usahanya sia-sia, Dhea mengganti rencana dengan mengunjungi dimensi paralel. Baginya, Sangia Walu memang tercipta untuk itu. Tempat yang cocok untuk melarikan diri dari peliknya kehidupan nyata. Namun, agaknya kali ini dimensi itu tidak juga bersahabat. Kekalutan yang melanda Dhea semakin bertambah saat di dalam sana ia melihat seseorang sedang berjalan menenteng sesuatu.

Bi Mina.

Apa yang Bi Mina lakukan di sini?

Dhea bersembunyi dari balik gorden. Menatap lekat pada Bi Mina yang pergi menuju gapura. Tidak. Wanita itu berbelok ke rumah kayu, sesuatu yang ia penggang ia letakkan di sana.

Nyaris sepuluh menit, Dhea tidak bisa melihat jelas apa yang Bi Mina lakukan. Gerakannya terhalang dinding yang ukurannya tidak seberapa. Dhea masih menunggu tidak bergeser sedikit pun.

Ketika Dhea tengah menghindar dari salah satu hantu yang lewat, saat itu Bi Mina tiba-tiba berbalik. Kembali berjalan dengan sorot mata menatap ke depan. Dhea menahan napas ketika wanita itu sudah sampai di pintu. Seperti yang di harapkan, Bi Mina tetap berjalan lurus kembali ke lantai dua dan menghilang di balik dinding.

Tanpa menunggu lagi. Dhea langsung bergerak menuju gapura. Rasa penasaran terlalu melingkupi, ia harus segera melihat sendiri.

Di sana aroma kemenyan menyambutnya. Wadah berisi bara yang berasap itu terletak di samping sebuah benda berbentuk nyiru yang terbuat dari plastik. Dalam nampan bundar itu terletak berbagai macam makanan. Ada juga kembang dengan banyak jenis. Setelah mengamati lebih jauh, ada satu lagi yang tidak tergapai cahaya lilin. Itu seekor ayam hidup yang diikat. Dhea bergidik.

Sesajen?

Bukan waktunya untuk terkejut. Dhea harus segera beranjak dari sana karena ada aura aneh yang berasal dari dalam hutan. Beruntung Dhea menangkap keganjalan itu dan bergegas masuk ke dalam rumah. Mengambil posisi semula, Dhea kembali mengintip dari balik jendela.

Dhea tidak menghitung tetapi ada banyak bayangan hitam bermunculan, mereka menuju ke satu titik.

Rumah kayu.

Tengkuk Dhea meramang. Lupakan sejenak tentang bayangan hitam itu. Dhea semakin bergidik saat melihat semua hantu yang ada di dimensi ini turut melihat ke satu arah. Mereka menatap sosok yang baru bermunculan itu.

Apakah posisi Dhea aman sekarang?

Dhea tidak yakin tetapi untungnya ia mengambil keputusan yang tepat. Selagi semua hantu menatap ke arah rumah kecil itu, Dhea segera angkat kaki dari sana dengan berusaha tidak menimbulkan suara.
Jangan tanya apa yang Dhea rasakan. Ia baru mau mengambil napas setelah melewati pintu dimensi.

"Aku benar-benar sudah gila. Apa yang kulihat barusan?!"

•••••

Tidak ada yang bisa Dhea pikirkan selain mencari keberadaan Dino. Pria itu sudah menyinggung tentang Sangia Walu sebelumnya, seharusnya ia tahu sesuatu.
Dhea berniat menghampiri rumahnya. Tidak ada alamat pasti memang. Jadi Dhea hanya mengikuti arah yang Dino tunjukkan sebelumnya.

Entah kebetulan dari mana, belum dua meter Dhea berjalan. Seseorang sudah menyentuh pundaknya dari belakang, Dhea lantas menoleh dan ia cukup lega karena orang yang ia cari ada di depannya sekarang.

"Dek Dhea mau ke mana?"

"Kak tentang Sangia Walu itu ...." Dapat berbicara terus terang tanpa basa-basi di pertemuan kedua tidak pernah ada dalam kamus hidup Dhea. Namun, Dhea anggap kali ini sebagai pengecualian. Abaikan kecanggungan itu! Keadaan memang mampu mengubah apa pun!

"Oh iya Sangia Walu. Kenapa memangnya Dek?"

"Tadi Kakak bilang gapura itu ada di Sangia Walu. Gapura itu sebenarnya apa Kak? Lalu rumah kecil di sebelahnya ... kenapa ada sesajen di dalamnya?''

Alis Dino mengerut. "Sesajen?"

Dhea mengangguk. Ia menatap penuh harap, menunggu Dino berbicara.

"Mungkin itu untuk memberi makan para Sumanga?"

"Sumanga?" Dhea kebingungan mendengar istilah baru yang sangat asing itu.

"Iya, arwah yang dipanggil."

Dhea tertegun. "Jadi bayangan hitam itu--"

"Kamu pernah lihat?"

Dhea mengangguk cepat. "Tadi Bi-Bi Mina--"

Bunyi dering disertai getar yang berasal dari  saku celana Dhea membuat ia menghentikan ucapannya. Meraih saku, tulisan 'Mamah' tersemat di layar panggilan ponselnya. Rupanya Laura yang menelepon.

"Hallo, Dhe, koper kamu udah Mamah titip ke travel. Nanti malam sampai. Cuman buat tiga hari. Ngak boleh lama-lama di situ."

Dhea membatinkan 'oh', Laura menghubungi hanya ingin menyampaikan ini.
"Iya Mah," jawab Dhea seadanya.

"Kamu lagi apa, Mamah baru nyampe rumah, tadi langsung ke kantor. Cape banget."

Dhea hanya mendengarkan tidak terlihat ingin menjawab.

"Loh? Dhea!"

Mendengar intonasi Laura yang tiba-tiba meninggi, air muka Dhea berubah, tetapi ia masih tidak bersuara.

" ... Udah berapa kali Mamah bilang jangan makan di kasur! Jangan mentang-mentang Mamah Ngak ada kamu bisa seenaknya."

Alis Dhea kembali mengerut. "Mamah tau dari mana aku di kasur?" Dhea memandang Dino, ia tidak dapat menyembunyikan kebingungannya.

"Mamah lagi mantau CCTV, kamu ngak usah ngelak."

"Mah ...." Dhea terdiam sejenak.
"Aku di luar rumah."

Dhea segera menutup panggilan tanpa sepatah kata. Ia dan Dino saling pandang sejenak sebelum Dhea memutuskan kembali ke dalam rumah dengan berlari cepat, tujuannya satu. Kamar Namira.

Dino ikut mengekor di belakang. Melihat raut tegang Dhea, pria itu memutuskan ikut.

Begitu sampai di kamar, Dhea kembali mematung di pintu saat melihat Bi Mina baru saja menutup lemari. Napas terengah membuatnya tidak lebih dulu bertanya.

Seakan mengerti tatapan yang menghujaninya, Bi Mina langsung bicara ketika menyadari kehadiran Dhea.

"Saya lagi cari sarung, warna coklat motif batik. Kamu lihat?"

Dhea hanya menggeleng, setelah teringat ucapan Laura, Dhea masuk lebih dalam untuk memeriksa kasur. Namun, tidak ada apa pun di sana.

"Saya cari ke tempat lain dulu, kayaknya saya salah simpan." Kekehan wanita itu mengiringi langkahnya yang hendak keluar.

Wajah datar Dhea tidak bereaksi, tidak pula menjawab. Ia masih dilanda kebingungan. Ketika ia kembali mengamati sekitar, Dhea seketika mematung melihat pantulan Bi Mina di cermin. Saat itu Dhea baru menyadari, ada sosok berpakaian putih dengan rambut panjang yang menggantung di punggung Bi Mina.

Dhea membelalak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top