6
Di luar belum terlalu terang, tetapi pemilik wajah oval dan iris coklat itu sudah berkutat di sofa dengan ponsel di tangan. Layar ponselnya memperlihatkan kolom chat, Dhea sedang membalas pesan seseorang. Tulisan 'Guru Privat Bu Yani', tersemat di pojok kiri atas.
Sebuah notifikasi yang ia ingat sebagai balasan pesan dari Bu Yani, berbunyi bersamaan dengan suara ketukan di pintu. Dhea membiarkan ponselnya, lebih dulu membuka pintu. Begitu daun pintu disibak, seseorang sebagai pengetuk memunculkan diri.
Bi Mina dengan raut gusar dan napas terengah berdiri di sana.
"Aduh Dhea, syukurlah kalian belum pulang. Hujan tadi malam deras sekali, saya ngak sempat datang.''
Ngak sempat datang?
Ucapan itu menambah keheranan yang melanda Dhea. Ia tidak mungkin lupa ia bertemu Bi Mina tadi malam di lantai atas.
"Bukannya sema--"
"Bi?"
Bi Mina menoleh, mengabaikan ucapan Dhea yang terputus lantaran Laura yang tiba-tiba menyapa.
Alis wanita paruh baya itu membentuk kerutan saat melihat Laura berjalan dengan menenteng tas selempangnya. Ia lantas masuk untuk menghampiri.
"Kamu mau pergi? Kok buru-buru? Sarapan dulu yah, Bibi masakin."
"Ngak sempat Bi ... banyak kerjaan di kantor."
Seusai menutup pintu, Dhea mengabaikan obrolan itu dan beranjak kembali ke sofa, menyusul Bi Mina dan Laura yang lebih dulu duduk. Masih larut dalam pikirannya sendiri, Dhea hanya diam sembari sesekali mengecek ponsel.
"Dhea tinggal?"
Dhea menoleh sebentar ketika namanya disebut.
"Enggak Bi, dia harus belajar. Ngak bawa alat tulis juga si ini." Laura mengabaikan embusan napas pasrah Bi Mina dan kembali berbicara. "Kok ditunda seminggu lagi beli rumahnya. Nanti malah ngak jadi."
Mengenai penjualan itu, sang pembeli sudah menghubungi Laura semalam tentang pengunduran yang diajukan. Sayangnya informasi itu sampai ketika sudah larut malam. Laura sedikit menyesal, sudah berjalan jauh tetapi malah sia-sia.
"Yah terserah pembelinya, mungkin masih ragu. Ngak jadi juga ngak apa-apa. Kalo jalan-jalan ke sini 'kan jadi enak, ada rumah."
"Iya ngak apa-apa, tapi siapa yang rawat. Kasian Bi Mina bolak-balik. Lagian masih ada rumah Bibi."
Bi Mina menggeleng sembari tangannya bergerak sebagai ungkapan ketidaksetujuan; ciri khas Bi Mina yang sangat mudah dihafal.
"Rumah kecil begitu," ucapnya menyesali keadaan.
Di sisi lain, Dhea yang tidak bergabung dengan obrolan masih sibuk memikirkan kejadian semalam. Ia sesekali melirik Bi Mina, bukan untuk mendengar ucapannya melainkan memberi tatapan heran karena keberadaannya yang tidak wajar. Sementara ia berpikir, Laura mulai berpamitan ingin segera pergi karena terkejar waktu. Saat sang ibu mengajaknya untuk beranjak, Dhea tiba-tiba bersuara.
"Aku masih mau di sini."
Tidak hanya ibunya yang terkejut, bahkan Bi Mina yang sebelumnya meminta Dhea untuk tinggal, tidak dapat menyembunyikan kerutan di dahinya.
••••••
Dhea memandangi kamar Namira. Ruangan 3x4 dengan dinding di cat coklat. Tampak begitu asing, berbeda dari yang dulu ia ingat. Kamar ini kosong, barang-barang Namira sudah dipindahkan, dibawa Laura entah ke mana. Yang tersisa hanya sebuah lemari tua dan cermin besar yang tingginya hampir menyamai dirinya yang diletakkan di sudut ruangan.
Menengadah, Dhea melihat sebuah kamera pengintai yang terpasang di sudut atas. CCTV yang selama ini dipakai untuk melihat keadaan Namira dari jauh. Lima tahun terakhir alat pengintain itu sudah tidak berfungsi, baru saja diperbaiki pagi tadi atas kehendak Laura.
Yah, begitulah. Dhea boleh tinggal asalkan sang ibu dapat memantau dari jauh. Alasan itu pula yang menjadikan Dhea menempati kamar sang nenek, kendati ia sudah menolak karena takut dapat membangkitkan kenangan. Akan tetapi tidak ada pilihan lain. CCTV hanya terpasang di kamar itu.
Dhea tidak mengerti apa yang di pikirkan ibunya. Padahal Dhea sudah memberitahu kalau Laura tidak perlu mengkhawatirkan jadwal belajarnya karena Bu Yani--guru privatnya, meminta libur beberapa hari. Namun alasan itu tidak cukup bagi Laura.
"Sejak kapan dia peduli," Dhea bergumam masih menatap pada sudut ruangan.
Gadis berwajah oval itu bukan tanpa sebab meminta menetap beberapa hari di Desa Wajuk. Ini masih ada kaitannya dengan Sangia Walu dan Bi Mina juga keganjalan lain yang ia rasakan di rumah Namira ini. Dhea ingin mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlebih mengingat sikap Billy yang tidak biasa juga keberadaan dua temannya yang belum pasti, hanya mengaitkan semua yang terjadi Dhea meyakini ada yang tidak beres di sini.
•••••••
Dhea baru teringat gapura yang ada di Sangia Walu. Ia berniat untuk mengeceknya. Berjalan keluar dari kamar, Dhea tidak merasakan keberadaan Bi Mina.
Pikiran tentang adik neneknya itu teralihkan begitu ia sampai di depan rumah. Seperti dugaannya, gapura yang ada di dimensi itu tidak ada di sini. Benar-benar sebuah keanehan.
"Gapuranya tidak ada," gumam Dhea. Ia melangkah lebih jauh sembari mencari-cari barang kali keberadaannya tidak tepat di depan rumah. Namun, di depan ini tidak ada keberadaan gapura yang ia cari.
"Permisi?"
Terkejut, Dhea refleks berbalik. Seorang pemuda yang ia tebak berusia dua puluh tahunan tiba-tiba berada di belakang.
"Cari apa dek?"
Dhea menggeleng sebagai respons. Air mukanya tampak nyata jika ia tidak nyaman dengan keberadaan orang asing ini.
Seolah tidak menyadari itu, pria di depannya masih bersikap ramah dan kembali berbicara.
"Kamu Dhea? Cucunya Nenek Namira?"
Hanya mendengar nama sang nenek disebut, pertahanan Dhea melonggar.
"Kakak kenal Nenek?"
Pria itu menggangguk. "Kenalkan saya Dino, saya tinggal di ujung sana. Dulu bapak saya kerja sama Nenek Namira, saya juga sering bantu-bantu."
Dhea mengikuti arah tunjuk pria yang menyebut diri Dino itu. Tidak begitu menampakkan, tetapi Dhea cukup kebingungan saat pria itu mengatakan ia tinggal di ujung sana. Sementara yang Dhea ingat, tidak ada satu pun rumah di sana. Rumah neneknya ini adalah rumah terakhir sebelum hutan.
"Dek Dhea cari apa? Tadi saya liat kaya lagi cari sesuatu."
Mulanya Dhea ragu untuk menjawab, karena pria ini rupanya mengenal Namira, ia mencoba untuk bertanya.
"Kak Dino, di sini pernah ada gapura?"
"Gapura?"
"Iya gapuran beton yang udah keliatan tua, udah ngak ada tulisan."
"Setahu saya ngak ada Dek, yang ada cuman yang di depan sana." Dino menunjuk ke arah pintu masuk desa. " ... tapi di sana cuma gerbang kayu."
Melihat Dhea yang terdiam, Dino kembali bertanya. "Kenapa Dek?"
"Ngak apa-apa Kak." Dhea tersenyum ragu.
Dino ikut terdiam sementara Dhea kembali mengamati sekitar. Setelah berpikir sejenak Dino dengan ragu berbicara.
"Kalau gapura yang Adek cari ini ... mungkin hanya ada di Sangia Walu."
Dhea langsung mendongak. "Kakak tau Sangia Walu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top