4
"Dhea!"
Dhea pergi menghampiri ibunya yang memanggil dari ruang tengah. Kerutan di dahi Laura nampak jelas, air muka wanita itu menyiratkan kegelisahan.
"Kamu liat Bi Mina? Ngak ada orang di sini. Orang yang mau beli rumah juga ngak bisa dihubungi."
Dhea menggeleng sebagai respons. Bunyi petir yang tiba-tiba menggelegar membuat ia menoleh. Niat awal untuk menjawab pun urung. Fokusnya kini berpusat pada jendela kaca di sisi kanan, titik-titik air perlahan muncul di sana. Hujan turun dengan sangat cepat.
Laura juga ikut menoleh. Menatap hujan yang semakin deras, wanita itu mengembuskan napas gusar.
"Kita terpaksa menginap. Mamah harus ketemu Bi Mina sebelum pergi."
Laura memijat pelipisnya sembari melangkah pergi.
"Jangan lupa kunci pintunya, kalau kamu lapar ada nasi kotak di dapur."
Itu menjadi suara yang terakhir Dhea dengar sebelum ibunya menghilang di balik pintu.
••••••
Pintu sudah dikunci. Karena belum merasa lapar, Dhea enggan ke dapur. Ingatan tentang sebuah pintu yang terlintas di pikiran kini menjadi tujuannya. Pintu itu berada di lantai dua.
Dhea menaiki anak tangga yang lebarnya masih meninggalkan jarak ketika kaki jenjangnya berpijak. Tiga belas adalah angka yang ia ingat sebagai jumlahnya. Dhea tidak habis pikir, mengapa dulu ia suka sekali menghitung setiap susunan tingkatan yang ia naiki.
Melewati ujung tangga, Dhea berbelok ke kiri. Sebuah lorong menyambutnya di sana. Bunyi decitan di lantai mengiringi setiap langkah. Menambah bisingnya malam di tengah riuh hujan dan angin serta petir yang berbunyi sesekali.
Lantai itu sedikit berdebu, Dhea bisa merasakannya. Tidak heran, rumah tak berpenghuni selalu seperti itu. Dulunya Dhea selalu bertanya-tanya, kenapa rumah yang ditinggalkan selalu saja kotor padahal pintu tidak pernah dibuka. Lalu suatu waktu Dhea merasa menemukan jawabannya setelah melihat lubang ventilasi yang tidak pernah tertutup.
Keadaan rumah ini untungnya tidak seburuk rumah yang benar-benar kosong. Wanita pemilik julukan Bi Mina selalu datang untuk membersihkan. Dia adik Namira—nenek Dhea—yang paling bungsu. Usianya hanya berjarak tujuh tahun dengan Laura—anak tunggal sang pemilik rumah.
Aneh.
Dhea membatin bukan untuk mengomentari keadaan rumah lebih dalam. Ini tentang sesuatu yang lain.
Tidak biasanya sesepi ini.
Rumah yang bersisian dengan hutan lalu hanya ada ia dan ibunya tidak mengherankan jika memang sepi. Namun, bukan kesepian itu yang Dhea maksud. Sepi yang hanya bisa diartikan olehnya dan orang-orang seperti dirinya.
Dhea mengerling, baru menyadari sesuatu. Selain pertemuannya dengan Billy tadi, ia tidak melihat satu pun mereka di sini. Sepanjang ia hidup, selama Dhea sudah dapat membedakan antara makhluk astral dan nyata, jika kalian bertanya tentang di mana saja mereka hadir maka Dhea akan menjawab: mereka selalu ada di mana-mana.
Mereka ada di belakangmu, di bawah kursimu, di kasurmu, di dalam lemarimu, berjalan bersisian denganmu, memperhatikanmu, mengekor di belakangmu. Mereka berseliweran di mana pun. Bahkan jika kau tidak menyadari mungkin saja ... kau baru saja menyenggol bahunya.
Berdasarkan pengalamannya, Dhea dengan yakin mengatakan tidak satu pun sebuah rumah tanpa kehadiran mereka. Namun, sejak ia sampai di halaman hingga kini masuk ke dalam, Dhea melihat rumah ini bersih. Tak seorang pun hantu muncul di sini. Ini merupakan keadaan janggal. Masih segar di ingatan ketika dulu saat pertama kali Dhea menginjak rumah ini, Dhea mendapati rumah sang nenek penuh dengan mereka seolah Namira tengah berternak hantu di sini. Pemandangan itu pun masih sama saat Dhea datang terakhir kali untuk mengantar jasad Namira ke pusara. Namun, kali ini berbeda.
Ke mana perginya mereka semua?
Dhea menepis pikirannya ketika langkahnya telah sampai di ujung lorong. Sebuah dinding kayu polos tanpa ornamen apa pun berdiri di hadapannya. Dhea mematung di sana. Seolah ada sesuatu di baliknya.
Benar saja, setelah sepersekian detik, tangan Dhea terangkat menyentuh dinding. Terdiam sesaat, Dhea menyeret tangannya menyebabkan dinding itu bergeser. Memperlihatkan sekat lain yang kali ini tidak sepolos sebelumnya; tekstur pahatan ciri khas sebuah pintu lengkap dengan kenop di sisi kanan.
Sebuah pintu.
"Dhea?"
"Hm?"
"Nenek punya sebuah rahasia, kamu mau dengar?"
Ingatan tentang Namira seketika berkelebat di pikiran; kepingan-kepingan memori saat sang nenek untuk pertama kali membocorkan rahasia tentang pintu itu.
"Rahasia? Bukannya rahasia tidak boleh diberitahukan ke orang lain?"
Sudut bibir Dhea tertarik mengingat dirinya yang saat itu masih polos menolak dengan halus pengakuan Namira.
"Tapi kamu bukan orang lain Sayang."
"Boleh begitu?" Dhea kecil masih memastikan.
"Tentu. Ikut Nenek, yang ingin kamu lihat ada di lantai dua."
Dhea memutus ingatan masa lalu. Menatap pintu di depan, rasanya seperti sama. Seolah ini kali pertamanya ia berdiri di sini.
Dengan sedikit keraguan, Dhea mulai meraih kenop pintu. Ia tidak memberi usaha berarti, pintu itu terbuka dengan mudah saat gagangnya ia tarik ke bawah. Di dalam sana, sejauh mata memandang, lorong yang sama membentang di depan. Ia seolah masih di tempat yang sama dan hanya membalik posisi. Namun, seperti inilah adanya. Dimensi lain refleksi dari dunia sebenarnya. Tempat yang sebelumnya Namira sebut sebagai rahasia. Sebuah dimensi paralel yang Dhea ingat sang nenek pernah menyebutnya, Sangia Walu.
••••••••
Hai para suara ... ke mana pergi ...
Hai yang di sana ... ke mana pergi ...
Aku memanggilmu lewat lagu kita ...
Hadirlah sekarang ...
Aku membutuhkan ...
Untuk teman kecilku ... hadirlah ....
"Suaramu bagus."
Anak kecil yang baru selesai dengan nyanyiannya berbalik begitu mendengar sebuah suara. Melihat seorang anak perempuan berambut sesiku yang tersenyum, lelaki kecil itu ikut melengkungkan bibir.
"Kamu .... " Anak laki-laki itu memiringkan kepalanya, kebingungan melihat seorang asing yang tidak pernah ia lihat di tempat ini.
Sadar akan kebingungan yang di tampakan, sang gadis kecil tanpa ragu memperkenalkan diri.
"Aku Dhea."
Anak kecil yang menyebut dirinya Dhea itu terus tersenyum. Siapa pun tidak akan paham mengapa sang gadis kecil begitu bahagia. Dua tahun hidup tanpa teman, di pandang sebelah mata, kesepian. Ketika akhirnya ada yang membalas senyumannya bahkan tak ragu melontarkan ucapan ramah, tanpa raut takut ataupun keinginan untuk kabur. Bagi Dhea tidak ada yang lebih membahagiakan daripada ini.
Berbagai ingatan lagi-lagi bermunculan. Memaksa Dhea menyatukan kembali kepingan-kepingan memori tentang temannya di masa kecil.
"Tadi kamu nyanyi? Lagu apa itu aku belum pernah dengar." Dhea kecil tanpa ragu bertanya.
"Itu laguku dan temanku. Begitu caraku memanggil mereka," anak laki-laki itu menjawab.
"Memanggil teman?"
Tepat saat Dhea bertanya, dua anak perempuan berambut pirang muncul bersamaan di sampingnya. Keduanya sama-sama mengenakan gaun. Satu berwarna merah dan satu lainnya warna biru yang sedikit memudar.
"Dia temanmu?" Dhea bertanya lagi.
Ia semakin melebarkan senyum, dua anak itu melambaikan tangan kepadanya.
"Iya, mereka Clhoe dan Elena. Ah aku hampir lupa." Anak laki-laki itu mengulurkan tangan.
"Namaku Billy."
•••••••••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top