3
Dari Alaga Kota, butuh tiga jam untuk sampai di Desa Wajuk, desa yang seperempat tanahnya dipenuhi perkebunan teh. Tiga jam adalah jarak yang sedikit jika ditempuh sesekali. Walaupun begitu, dengan kesibukan orang tua yang tidak Dhea pahami, butuh setidaknya enam bulan sekali bagi keluarganya untuk berkunjung. Semenjak kepergian sang nenek lima tahun lalu, jarak yang ada terasa semakin jauh. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia dan ibunya baru akan berkunjung sekarang dan dengan tujuan yang terlalu malas untuk ia ingat.
Entah apa yang Laura lakukan sebelumnya, jam keberangkatan seharusnya pukul sepuluh pagi kini undur hingga lima jam. Dhea tidak bertanya apa alasannya, ia terlalu malas. Komentarnya tidak akan merubah apa pun.
Dhea membiarkan ibunya menyetir sendirian sedangkan ia memilih duduk di belakang. Tiga puluh menit menggulir layar ponsel, kantuk yang menyerang membuat Dhea tertidur tanpa sadar. Niat awal ingin mengambil gampar pemandangan senja di bukit yang akan dilewati nanti pupus sudah. Ketika ia terbangun, mobil yang ia tumpangi telah berhenti. Suara pintu ditutup menyambutnya. Mengintip di jendela, pemandangan sebuah rumah yang berdiri kokoh di halaman luas mengkonfirmasi pikiran Dhea bahwa mereka baru saja sampai.
Merasakan pergerakan lain, Dhea melirik dan mendapati Laura memasuki rumah dengan langkah terburu-buru. Ia hanya memandang sejenak sebelum perhatiannya kembali beralih ke sekitar.
Sudah mulai gelap.
Dhea menggeser posisinya, meluruskan pinggang yang terasa kaku sementara tangan kanannya mencari ponsel yang terlepas dari genggaman. Pencariannya terhenti saat Sneakers putihnya menginjak benda keras. Ia benar-benar ketiduran sehingga membiarkan ponselnya jatuh di bawah sana.
Alis Dhea mengerut melihat angka 17.50 yang tertera di lookscreen ponselnya. Mereka sampai sedikit lebih cepat. Dhea menjadi paham. Akan mengherankan jika Laura tidak terburu-buru sementara wanita itu sudah menaruh janji. Jelas ibunya harus merasa bersalah setelah membuat kliennya menunggu lama.
Mengabaikan pikiran tentang penjualan rumah, Dhea memilih melangkah turun.
Sepi adalah hal pertama yang ia pikirkan. Suasana pedesaan kental menyambut, keheningan yang selalu Dhea sukai.
Rumah kayu dua lantai berdiri di depan. Jejeran kayu ulin sebagai dindingnya tidak meninggalkan jejak lapuk. Warna coklat alaminya terlihat jelas di beberapa bagian. Cat hijau tua yang sudah memudar memberi kesan suram. Pemandangan lain yang cukup mengusik, tetapi Dhea sadar, waktu telah mengubah banyak hal.
Dhea beralih ke sekitar, hutan lebat di belakang rumah masih sama. Hanya tanah luas di kiri dan kanan yang kini terasa semakin lengang. Dhea seharusnya tidak begitu merasa asing, rumah sang nenek yang berada di ujung dan jauh dengan rumah lainnya memang selalu sesepi ini. Namun, Dhea baru saja berpikir seandainya tanaman-tanaman yang biasa tumbuh mengelilingi rumah masih ada, mungkin akan ada sedikit pengecualian. Mau bagaimana lagi, semua sirna bersama dengan pemiliknya yang telah pergi.
Nek ... aku kembali.
Dhea memasuki rumah tanpa ragu. Tidak lupa membuka sepatu sebagai kebiasaan yang selalu sang nenek ajarkan. Pendar kuning lampu tua memberi kesan temaram. Ruangan asing namun familier seketika membangkitkan kenangan yang hampir luput di ingatan. Senyum teduh sang nenek adalah yang paling mendominasi. Kerinduan menyeruak mengisi setiap relung kosong di hati Dhea. Bayang-bayang itu terasa nyata, seolah baru kemarin sang nenek membelai rambut hitamnya, membangunkan Dhea yang tidak sengaja tertidur di sofa.
Langkah Dhea berjalan pelan, sementara netranya menyusur tiap sudut ruang. Struktur yang masih sama juga wujud dan memorinya. Hanya sedikit mungkin perbedaan; pelitur yang sebagian sudah mengelupas juga pemiliknya yang tidak lagi di sini.
Pandangan Dhea terkunci pada bingkai persegi panjang yang bergantung di dinding. Sosok wanita yang ia rindukan mematung di sana; tersenyum anggun dalam balutan batik. Sanggul yang dibentuk rapi membangkitkan sebuah kilasan; rambut putih panjang itu pernah di sisir oleh jemarinya.
Kendati berbagai emosi mulai berkecamuk, sedikit pun reaksi tak tampak di wajah oval itu. Tatapan Dhea belum beralih, masih nyaman bertengger di sana. Hanya melihat seperti ini entah kenapa terasa nyata, ia seperti sedang berhadapan langsung dengan sang nenek. Tanpa sadar senyuman di foto itu menular padanya.
Pandangan Dhea tak kunjung beralih, begitu pula senyuman itu. Dhea masih ingin di sana, masih ingin melebur rindunya. Namun, seketika senyuman di wajah Dhea memudar. Entah apa yang salah, tetapi ia benar-benar yakin. Dhea tidak mungkin salah melihat. Saat ini ... wajah di foto itu tidak lagi tersenyum.
Mata Dhea membola menangkap perubahan itu. Keinginan memalingkan wajah akhirnya timbul, tapi tubuhnya tidak lagi bisa digerakkan. Usaha itu semakin sia-sia saat pandangan Dhea masuk semakin dalam. Di sana, tidak ada lagi wajah cantik sang nenek. Kini kedua mata Dhea tengah bersitatap dengan mata besar tanpa pupil yang tiap detiknya mulai mengeluarkan darah. Mulutnya membuka seolah berbicara tetapi tidak ada suara yang terdengar. Dhea menangkap itu bukan sesuatu yang baik, ekspresi sosok yang ia lihat menampilkan sebuah kemarahan.
Bertahun-tahun hidup dalam bayangan-bayang mengerikan, entah kenapa kali ini untuk pertama kalinya Dhea merasakan sesuatu yang berbeda.
Ia ketakutan.
Dhea benar-benar merasa takut.
Dhea merasa tenggelam, wajah sosok itu mulai mendekat, tiap detiknya semakin membesar, tetapi tubuh Dhea masih tidak dapat digerakkan.
To-tolong.
Dhea ingin berbicara tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Semakin dekat dan besar, sosok itu sudah berada tepat di depannya. Mulutnya yang hitam membuka sangat lebar. Saat merasa mulut itu sudah menelannya, Dhea tiba-tiba tersentak saat sesuatu yang dingin menggenggam tangannya.
Tersadar. Dhea menoleh dengan cepat, memastikan apa yang menggenggam tangannya barusan. Ia segera mengambil langkah mundur begitu melihat hantu anak kecil dengan kepala retak berdiri di sebelahnya. Refleks ia menarik tangan hingga genggaman itu terlepas.
Bukan takut, ia hanya terkejut.
Dhea memperhatikan sosok di depan. Hantu itu masih menatapnya. Terlepas dari wajahnya yang penuh lumuran darah, hantu anak kecil ini terasa tidak asing. Celana panjang hitam dan kaos putih yang ia kenakan mengingatkan pada seseorang. Ukuran tubuhnya memang sepinggang sekarang, namun berbeda jika itu tujuh tahun lalu.
Dulu tinggi mereka sama.
Setelah mengingat tiga hantu anak kecil yang sering bermain dengannya dulu, lalu memastikan ada salah satu di antara wajah itu yang mirip dengan sosok di depan. Sebuah nama seketika muncul di kepala. Tanpa ragu Dhea menyebutkan nama itu.
"Billy?"
Hantu anak laki-laki itu tidak menjawab. Hanya menatap lekat ke arah Dhea dengan pandangan yang tidak ia mengerti. Dhea lalu teringat dua temannya yang lain. Dua hantu anak perempuan yang memang tinggal di rumah ini. Dengan raut kebingungan ia kembali menatap Billy, tidak biasanya hantu itu menemuinya di sini.
"Kamu sendirian?"
Billy tetap diam, masih tidak menjawab.
Jika ada yang menyambut kedatangannya seharusnya itu bukan Billy. Hantu anak kecil itu hanya akan hadir ketika dipanggil. Ini tidak seperti biasanya. Ke mana dua teman lainnya?
"Di mana Clhoe dan Elena?"
Ketika mendengar dua nama itu disebut, Dhea terkejut karena Billy tiba-tiba berbalik-berlari hingga hilang menembus pintu. Dhea baru akan mengejar tetapi sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Dhea!"
Sebelum memenuhi panggilan itu, Dhea kembali menoleh pada bingkai di dinding. Wajah sang nenek tersenyum seperti seharusnya. Alis Dhea mengerut. Penampakan mengerikan yang ia lihat sebelumnya seolah tidak pernah ada.
Apa aku baru saja berhalusinasi?
•••••••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top