2
Bunyi dering ponsel di meja seberang tidak membuat Dhea terusik. Tangannya sibuk mengaduk makanan di piring yang ia pegang. Nafsu makan yang buruk membuat ia sulit menelan makanan dengan baik, tetapi ia harus tetap makan. Ia benci rasa perih yang melilit perutnya, tetapi omelan ibunya lebih menganggu untuk didengar. Jarum jam sudah menunjuk angka dua, jika menunggu sebentar lagi ia akan dimarahi.
"Hallo, iya benar dengan saya sendiri."
Dhea mengabaikan suara ibunya seolah keberadaannya jauh di sana. Semenjak ayahnya meninggal, walaupun Dhea dan ibunya akhirnya tidur sekamar, itu tidak membuat dinding es di antara kedua anak dan ibu itu mencair.
Sikap Laura yang menegur seperlunya: menyuruh makan saat tiba waktu makan, meminta belajar saat tiba waktu belajar, mengingatkan tidur saat tiba waktu tidur, telah menjadi contoh yang tidak sengaja Dhea tiru. Tidak butuh banyak usaha untuk belajar menjadi seorang pendiam yang abai. Tanpa ibunya ajari, tabiat itu telah melekat, menjadi cara bagi Dhea menjalani hidup selama tujuh tahun terakhir ini.
"Baik Bi, saya sudah menyiapkan berkas yang diperlukan. Yang ingin membeli rumah ibu sudah memberi persetujuan."
Pergerakan Dhea terhenti, kepalanya terangkat mendengar kalimat yang baru saja ibunya lontarkan. Ia cukup terkejut mendengar rumah neneknya akan benar-benar dijual. Walaupun tidak mengutarakan, ada sedikit keengganan yang langsung menyelimuti hatinya. Kenangan tentang rumah itu seketika hadir memenuhi pikiran. Dhea tidak berniat mengungkapkan ketidaksetujuannya, hanya menyayangkan rumah itu bukan lagi milik mereka andai suatu saat Dhea berkeinginan untuk mampir.
Sedikit kerutan di dahi yang Dhea perlihatkan juga bukan ia peruntukan kepada ibunya. Kendati ucapan Laura itu begitu mengusik, Dhea merasa tidak perlu menunjukkan sikap. Ia bahkan tidak sedang menatap wanita yang baru saja menutup panggilan. Sesosok berambut panjang dengan wajah penuh darah yang berdiri di samping ibunya yang kini mengambil atensinya.
Pemandangan klise yang memuakkan!
Dhea akan terus menatap sosok itu, hanya untuk memastikan hantu wanita berpakaian panjang tidak mengganggu siapa pun.
"Kamu makan di kasur lagi? Sudah berapa kali Mamah bilang?!"
Kalimat ibunya lagi-lagi menjadi pengalih, Dhea menunduk tidak ingin menyambut bentakan itu.
"Aku sudah kenyang."
Dhea beranjak dari kasur menenteng piring yang masih menyisakan sedikit makanan. Tidak perlu memastikan apakah amarah Laura telah berkurang atau semakin tersulut. Namun, langkah Dhea terhenti saat suara ibunya kembali terdengar.
"Kamu mau ikut? Besok Mamah mau ke rumah nenek."
Laura tidak perlu membahas lagi tentang penjualan rumah itu, Dhea sudah tahu sebelumnya. Walaupun ucapan ibunya lebih terdengar sebagai sebuah pernyataan alih-alih meminta saran. Ibunya sudah menganggap Dhea setuju.
Dhea tadinya ingin menjawab tidak, tetapi penglihatan tentang makhluk gaib barusan membuat Dhea kembali mengingat kenangan masa lalu di rumah itu. Kenangang tentang mereka yang menjadikan Dhea akhirnya kembali merasakan kehadiran seorang teman. Entah kenapa Dhea ingin kembali. Ia ingin melihat mereka ... yang mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhirnya.
"Aku ikut."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top