Bab 7
Selamat membaca.
Mobil Gani berjalan dengan lancar, tak perlu bergesekan dengan kerikil maupun jalan berlubang sebab tak seperti terakhir kali pulang, kini aspal yang menuju kampung Sekar telah rata. Sepertinya baru mengalami perbaikan beberapa waktu lalu, mengingat warnanya masih pekat.
Perjalanan yang memakan waktu berjam-jam tersebut akhirnya selesai begitu mobil hitam yang sering kali viral karena si pemilik merasa menguasai jalan itu, berhenti di depan sebuah rumah yang memiliki halaman luas tapi gersang. Membuka pintu mobil yang kehadirannya mampu membuat para tetangga menatap penasaran, Sekar tersenyum tipis pada beberapa orang yang baru saja pulang dari sawah.
Salahnya yang tadi menolak berangkat setelah subuh karena masih mengantuk, hingga mereka sampai bertepatan dengan adzan duhur. Waktu para pekerja pulang untuk istirahat sejenak.
"Lho, Sekar ngga sama Gendis?"
Tentu saja Sekar tau jika itu hanya basa-basi karena tetangganya dengan jelas menatap mobil yang pemiliknya belum keluar. Entah sedang apa. "Iya, bu. Gendis ngga bisa cuti."
Sekar terbiasa dengan situasi seperti ini, dimana banyak orang menyapa kala dia pulang. Namun, ini beda cerita sebab untuk pertama kali membawa laki-laki itu bersamanya. Sedetik kemudian pintu mobil Gani terbuka, sosok jangkung itu keluar sambil menggendong ranselnya.
Bisa Sekar lihat ibu-ibu yang tengah bergerombol di teras mendadak berdiri. Seolah ingin menyaksikan dengan jelas manusia yang membuat mereka penasaran sejak tadi. Halaman luas tiap rumah yang terhubung tanpa sekat apapun, menyebabkan para tetangganya itu dengan mudah berada di hadapannya.
Dari sudut matanya, dia mendapati Gani tengah kebingungan karena berbagai pertanyaan yang ditujukan pada pria itu.
"Temannya Sekar, ya Mas?"
"Rumahnya di mana?"
"Satu kerjaan?"
"Kok ikut Sekar pulang?"
Tak tega dengan laki-laki yang tampak lelah setelah menyetir jarak jauh, Sekar lah yang memutuskan menjawab, "ini teman Sekar bude. Kami masuk dulu, ya."
Setelahnya Sekar memberi kode agar Gani mengikutinya, mengabaikan tatap penasaran yang mengiringi kepergian mereka. Langkah yang baru saja menapak pada teras, lagi-lagi harus terhenti. Namun, kali ini karena ibunya berdiri di depan pintu sambil berulang kali memandangnya dan Gani bergantian.
Dia memang memberitahu akan pulang, tapi tak mengatakan apapun perihal siapa yang mengantar. Bingung menjelaskan adalah alasannya, dan sampai sekarang pun dia rasakan.
Mengakhiri suasana canggung, Sekar gegas mengambil tangan sang ibu dan menciumnya seperti biasa. Hal yang diikuti oleh Gani.
Bukannya kagum, Sekar malah terganggu. Sikap itu jelas membuat ibunya bertanya-tanya, terlihat jelas dari lirikan mata yang dilayangkan padanya. "Ini teman Sekar, bu. Mas Gani."
"Oh, teman Sekar?"
Gendis berdeham pelan, guna menormalkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa serak. Apalagi pertanyaan sang ibu terdengar janggal di telinganya. "Iya, bu."
"Ya, udah ayo masuk," ajak ibu Sekar dengan logat daerahnya yang kental. "Nak Gani silakan duduk dulu, ibu ke belakang dulu."
"Ngga perlu repot-repot, bu." Gani menggerakkan tangannya, membuat gestur menolak. Meski tak dijelaskan secara rinci, tapi dia tahu maksud ke belakang adalah menyiapkan hidangan untuk tamu.
"Ngga ada yang repot."
Berusaha menghargai sang tuan rumah, Gani mengangguk. Lalu duduk di sofa yang busanya tenggelam kala diduduki. Bahkan banyak sekali tembelan di kursi ruang tamu itu.
Tidak tahu harus melakukan apa, Gani mulai memindai rumah Sekar. Dia sedikit meringis kala plafon di atasnya terlihat rapuh dan penuh jamur, pun dengan tembok yang catnya mengelupas. Bukan dia merendahkan, hanya khawatir jika sewaktu-waktu plafon di atasnya ambruk.
Memandang arah dalam, dia menemukan bufet yang menjadi penghalang antara ruang tamu dan ruang tengah. Mengingat posisinya yang berada di dekat pintu, dia jadi tak bisa melihat jelas foto-foto yang berjajar di sana.
Didorong rasa penasaran, menyebabkan dia melupakan sopan-santun dan berjalan ke arah bufet. Diambilnya salah satu foto yang diyakininya milik Sekar. Disana tergambar anak berseragam biru putih yang tak menampilkan ekspresi apapun, tapi mata yang dihiasai bulu mata lentik itu menatap penuh ketegasan. Sesuatu yang dimiliki Sekar.
Tanpa sadar bibirnya membentuk segaris senyum tipis. Mengingat bagaimana teman-temannya mengatakan Sekar menyeramkan karena tak pernah tersenyum. Namun, hal itu justru memancing keinginannya melihat senyum Sekar.
Baru saja tangannya meletakkan pigura tersebut dan ingin mengambil yang lain, suara teriakan dari arah depan membuatnya menoleh. Dan dia langsung mendapati dua balita yang sepertinya baru kejar-kejaran lalu berhenti karena melihat keberadaanya. Kemudian ....
"Bunda!"
Teriak bocah itu berhasil menyebabkan Gani tersentak. Mendadak dia merasa seperti maling yang tertanggap basah tengah melaksanakan aksi kejahatan.
Di sisi lain Sekar yang menemani ibunya, meletakkan beberapa kue basah di atas piring. Barang dagangan yang sedianya dijual besok, tapi harus digoreng sekarang karena ada tamu yang sedang menunggu di depan.
Lumpia dan risoles yang tadi diambilnya di kulkas lalu menggorengnya, kini telah tertata rapi. Sejenak dia termenung kala memorinya berada di masa-masa sulit dulu, di mana dirinya harus banting tulang sambil sekolah demi keluarganya bisa makan.
Bagaimana dia pulang sekolah pergi ke rumah tetangganya untuk bersih-bersih demi mendapatkan uang. Lalu malamnya masih harus mengecat bunga kayu, usaha milik salah satu orang kaya di desanya.
"Ibu berharap pikiran ibu salah."
"Memangnya ibu berpikir apa?" tanya Sekar pura-pura tak mengerti. Seakan pembicaraan ini tak penting, gadis itu malah berganti menuangkan saos sambal pada mangkok kecil tanpa melihat sang ibu.
"Maafkan ibu Sekar."
Kalimat itu akhirnya menghentikan kegiatan Sekar, menoleh ke belakang dia menemukan mata ibunya telah berkaca-kaca.
"Kamu mendapatkan uang dari Nak Gani, kan?"
Tak mungkin mengelak lagi, Sekar mengangguk perlahan. Ada keinginan kuat untuk memeluk sang ibu dan menumpahkan segela keresahan di sana, tapi tangan tak kasat mata seolah mencegahnya. Justru dia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum lebar. Berakting baik-baik saja seperti biasanya. "Iya, bu. Mas Gani yang ngasih, tapi ibu ngga usah khawatir. Dia tak ada maksud apa-apa, hanya ingin membantu calon istrinya."
Dalam hati Sekar menertawakan diri sendiri. Tadi saja kebingungan untuk bercerita, tapi sedetik yang lalu dengan lantang mengatakan Gani adalah calon suaminya.
"Kalian akan ... menikah? Kamu tidak menjual—tidak, maksud ibu selama ini kamu berkata ingin fokus kerja. Bahkan saat Hana meminta ijin menikah lebih dulu, kamu tak masalah. Lalu sekarang?"
"Kami menikah karena ingin, bu. Ngga seperti di sinetron-sinetron di mana perempuan setuju menikah kontrak untuk mendapatkan uang." Sekar tersenyum tipis, ya meski bisa dibilang hubungannya dengan Gani itu seperti simbiosis mutualisme, tapi mereka sama-sama bekomitmen nantinya.
"Maaf, Sekar. Ibu hanya merasa ini terlalu mendadak. Kamu yang tak pernah sekalipun dekat dengan pria, tiba-tiba datang membawa calon suami."
Paham dengan ketakutan sang ibu, ragu-ragu dia genggam tangan penuh keriput yang dulu sering membelai kepalanya. "Jangan khawatir, bu. Sekar akan baik-baik saja. Pasti!"
Suasana haru antara ibu dan anak tersebut terganggu akibat suara teriakan anak kecil dari arah depan. Setelah memastikan kompor padam, keduanya berjalan cepat ke arah sumber suara.
"Ada apa?" ibu Sekar yang pertama kali bersuara sambil memperhatikan anak, cucu, dan laki-laki yang akan menjadi menantunya.
"Anak-anak kaget karena ada mas itu," jawab perempuan yang tengah merangkul bocah perempuan. Sementara satu anak lagi berdiri di depan Gani sembari memperhatikan sosok asing di matanya.
"Duduk dulu, biar mbakmu yang menjelaskan."
Sekar mengusap kepala keponakannya yang masih malu-malu jika berhadapan dengannya. Efek jarangnya mereka bertemu.
Duduk di kursi tunggal yang bersebelahan dengan Gani, dia melirik laki-laki yang kini malah memangku keponakannya. Entah apa yang dikatakan Gani tadi, sampai bocah berusia tiga tahun tersebut tampak nyaman saja.
Sepertinya tak hanya dia yang heran, ibu dan adiknya pun merasa sama karena keduanya juga ikut memperhatikan interaksi itu. Melihat itu rasa hangat menjalar dengan cepat di hatinya. Detik ini dia merasa keputusannya adalah hal yang benar.
Bibirnya baru saja akan terbuka, suara lain lebih dulu terdengar. Dua adiknya yang memakai seragam olahraga masuk disertai kerutan kening, mungkin bingung pada apa yang terjadi.
"Mbak Sekar kapan datang?" Riski yang lebih dulu berjalan langsung menyalami sang kakak disusul oleh adiknya. Pemuda itu lantas tersenyum singkat pada tamu yang tak dikenalnya.
"Riski, Mala, duduk dulu! Ada yang mau mbak sampaikan."
Seluruh perhatian kini tercurah pada Sekar yang terlihat tenang, berlawanan dengan debar jantungnya yang bekerja ekstra keras. Namun, terbiasa menutupi perasaan menjadikan dia bisa mengatasi segala situasi yang terjadi. "Mas Gani kenalkan, mereka adik-adikku. Hana, Riski, dan Mala. Kalau si kecil itu namanya Eca." Sekar lalu menjawil pipi balita di pangkuan Gani. "Yang ini Oca."
"Saya Gani," ujar laki-laki yang kini mengusap punggung Oca. Gadis yang baru dikenalkan oleh Sekar itu tampak malu-malu. Padahal tadi begitu semangat itu dengannya setelah dia menjanjikan es krim cokelat.
Sekar menarik napas panjang sembari menatap satu per satu anggota keluarganya. "Mas Gani calon suami mbak."
Jangan lupa bintangnya, ya. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top