Bab 5

5.5

Gani memasuki rumahnya dengan raut bahagia. Selain karena bisa bertemu orang tuanya, juga efek pembicaraannya dengan Sekar sehingga sekarang tak perlu khawatir akan mendapat tekanan tentang jodoh dari ibunya.

Dia tak menyalahkan sikap tersebut. Toh, wajar saja orang tua bingung kala diusia matang anaknya masih juga sendiri. Ditambah sebagian besar temannya telah berkeluarga, semakin menjadikan beban pikiran ibunya. Namun, tetap saja dia lelah menghadapinya.

"Akhirnya pulang juga, kamu. Mama kira sudah lupa jalan pulang."

"Kan udah janji, Ma." Menyalami tangan perempuan kesayangannya dengan takzim, Gani lalu mencium pipi sang mama. Hal yang dibiasakan keluarganya sejak kecil, hingga sampai sekarang dia pun tak canggung atau malu. Bahkan pelukan dalam keluarganya adalah hal lumrah.

"Itu karena mama yang maksa. Coba kalau ngga? Baru lebaran kamu ke sini, itu pun kalau inget."

Merangkul bahu perempuan yang meski keriput di mana-mana tapi tetap cantik di matanya, Gani mengajak untuk masuk. Jika menunggu protes selesai, yang ada dia tak akan masuk sampai nanti. "Aku laper, Ma."

Berhasil!

Membahas mengenai makanan memang selalu ampuh. Terbukti sekarang mamanya langsung sibuk menyiapkan ini itu, sambil mengomel tentu saja. Namun, dia bersyukur karena topik kepulangannya terlupakan untuk sejenak. "Papa mana, Ma?"

"Ke rumah temannya. Katanya mau diajak bisnis apa gitu."

"Buat apa, sih Ma? Kan yang dilakukan sekarang udah nguras waktu. Lebih baik papa menikmati masa tuanya." Mengambil gelas di atas meja yang telah terisi jus jambu, Gani langsung menghabiskannya dalam tiga kali teguk. Sang mama tak pernah main-main dalam menghidangkan makanan. Apalagi jika ada tamu, bisa seharian menghabiskan waktu di dapur.

"Papa cuma inves saja. Lagian gimana papa mau santai, kamu aja ngga bantu."

Sindiran telak itu menyebabkan Gani kesulitan menelan makanannya. "Pasti aku bantu, Ma. Kan udah janji. Tapi ngga sekarang."

"Kapan? Sepuluh tahun lagi?" Septi yang menemani sang putra sembari mengupas jeruk tersebut mencebik kesal. Punya anak laki-laki susah sekali diatur. "Itu rumah kamu juga sampai kapan dibiarkan kosong?"

"Ya kalau aku udah nikah, Ma."

"Makanya cepet nikah!"

Gani yang tak sadar telah mengeluarkan kalimat sakti, langsung tersedak mendengar bentakan sang ibu. Cepat-cepat dia meneguk air putih demi meredakan rasa sakitnya. "Kaget aku, Ma."

"Mama itu heran sama kamu, mau sampai kapan sendiri? Itu teman-teman kamu, Bian sama Rendra bahkan udah punya anak."

"Masih ada Elang yang belum nikah," ujar Gani membela diri. Beginilah ibunya jika sudah marah, teman-temannya pun dibawa dalam pembicaraan. Parahnya jika bertemu, sahabat dan sang mama akan bersatu menyerangnya.

"Tapi dia udah tunangan!"

"Yang penting belum nikah."

"Kamu ini, ya. Jawab terus!" Septi memukul punggung tangan sang anak saking kesalnya.

Alih-alih takut, Gani justru tertawa. Perempuan yang berjuang untuk membuatnya melihat dunia tersebut bukanlah sosok yang lembut. Bukan berarti ibunya kasar, hanya ceplas-ceplos dan ekspresif. "Memangnya kalau aku udah punya calon, mama bakal langsung setuju?"

"Yang penting baik anaknya, mama pasti setuju."

"Beneran cuma baik? Kalau pendidikannya beda sama aku? Kalau dia tamatan SMA?"

"Ya nanti kalau dia mau, kamu biayai buat lanjut pendidikannya. Kalau ngga mau ya jangan dipaksa, asal dia mau banyak belajar. Ngga harus secara formal, tapi ilmu seputar rumah tangga. Karena itu penting."

Gani mengangguk. Senang dengan pikiran sang ibu. "Kalau dia anak ngga mampu?"

"Lah, keluarga kita bisa seperti ini karena dulu papa kerja di pertambangan. Pas kecil mama juga bukan orang berada." Ditengah-tengah pembicaraan yang berulang, mendadak Septi seperti mendapatkan gagasan. "Kamu tanya seperti ini ... jangan-jangan?"

Mengangguk kecil, Gani meringis mendengar teriakan heboh mamanya. Ah, dia jadi merasa bersalah karena terus-terusan bersikap egois dengan tak mau menuruti keinginan perempuan yang disayanginya itu. Padahal alasan kenapa dia didesak menikah adalah orang tuanya khawatir tak ada yang mendampinginya.

Namun, namanya juga belum bertemu jodoh. Jadi dia bisa apa?

"Siapa dia? Kapan kamu membawanya ke sini?"

"Sabar, Ma. Pasti aku aja ketemu mama. Tapi beneran, ya apa mama bilang tadi. Yang penting baik, kan?" Gani menegaskan sekali lagi. Biasalah, terkadang perempuan suka plin plan. Namun, misalnya sang mama menolak Sekar, dia akan mencoba berjuang lebih dulu. Baginya gadis itu sosok yang cocok mendampinginya.

"Iya. Lagipula mama percaya sama kamu. Mana mungkin kamu menikah dengan gadis yang aneh-aneh. Kamu juga pasti memikirkan hubungan keluarga kita dan istrimu nantinya."

Gani tak menampik, memang seperti itulah adanya. Meski terkesan mendadak, dia bukannya tak punya pertimbangan dalam memilih Sekar.

Perjuangan, sikap gadis itu pada orang lain, dan kegiatan sehari-hari cukup membuatnya yakin. Jika Sekar saja berusaha bekerja keras untuk keluarga, dia percaya gadis itu akan melakukan hal sama pada orang tuanya. Dalam artian menghormati orang yang lebih tua.

Dan lagi dia juga sempat menanyakan tentang Sekar pada Gendis. Jawaban yang didapatkannya pun kurang lebih sama dengan asuminya. Namun, ada satu yang baru dia ketahui, perempuan yang akan dia jadikan istri itu sangat tertutup. Sampai-sampai dia mendapatkan pesan agar sabar menghadapi Sekar.

Ya, semoga kelak dia bisa menjadi sosok pemimpin yang baik untuk keluarganya.

***

Di tempat lain Sekar yang baru saja pulang kerja bersama Gendis tak langsung ke kamar, sebab tangannya lebih dulu ditarik hingga kakinya ikut melangkah ke ruang tamu. Seperti biasa banyak orang yang berkumpul, tapi kali ini didominasi oleh laki-laki karena adanya pertandingan bola di layar kaca.

Dibanding sang sahabat, Sekar jarang ikut berkumpul. Mau bagaimana lagi, ada pekerjaan yang menunggunya untuk diselesaikan. Sampai-sampai kadang Gendis mengancam ingin memberitahu pelanggannya agar tidak menggosokkan baju, jika dia tak mau keluar kamar barang sebentar saja.

"Baru pulang?" tanya Kevin yang pertama kali menyadari kedatangan dua sahabat tersebut.

"Iya, nih." Gendis lalu mengucapkan terima kasih karena telah diberi tempat duduk. Setelahnya meletakkan dua kardus martabak yang tadi Sekar beli. "Ayo mas dimakan."

"Wah, ada apa nih?"

Gendis menggeleng melihat kecepatan tangan-tangan yang membuat martabak tinggal separuh. "Ada temenku yang lagi syukuran."

Sementara sosok yang tadi mengeluarkan uang lebih, padahal harusnya berhemat karena adiknya akan study tour hanya mampu mengela napas panjang. Ya, demi melancarkan misi sahabatnya. Lebih tepatnya misi yang berhubungan dengan dirinya.

"Ngomong-ngomong Mas Gani kok ngga kelihatan?"

Ingin rasanya Sekar bertepuk tangan menyaksikan akting sang sahabat. Bagaimana tidak, Gendis terlihat sangat meyakinkan padahal aslinya tau apa yang terjadi sebab tadi dia bercerita jika Gani sedang pulang ke rumahnya.

Dan inilah misi mereka, mencari tahu sosok Gani lebih banyak dari orang-orang yang sering bercengkrama dengan pria itu. Berharap dengan itu Sekar lebih yakin, meski untuk mundur sangat tak mungkin dilakukan. Sosok yang akan menjadi suaminya tersebut telah mentrasfer uang untuk membayar hutangnya.

"Pulang. Kenapa memangnya? Kangen?"

"Ish, nggalah! Aku cukup sadar diri, kok. Siapa aku siapa dia."

Sekar menahan tawa akibat wajah Gendis yang tampak panik. Entahlah, sepertinya sang sahabat takut dia salah paham. Padahal dia biasa saja karena tahu siapa yang sebenarnya disukai Gendis.

"Kangen juga ngga masalah. Gani, kan jomblo menahun. Kita bahkan yakin itu anak ngga pacaran."

"Serius?" tak hanya si penanya, Sekar pun ikut kaget. Rasanya aneh pria seperti Gani menyandang status jomlo. Dari segi fisik dan sikap, pria itu termasuk idaman.

"Ya, gimana ya. Gue sebagai tetangganya ngga pernah sekalipun lihat dia gandeng ceweknya," ujar Edo yang memang satu perumahan dengan Gani.

"Wah, semakin susah digapai itu. Belum lagi Mas Gani kayaknya dari keluarga kaya."

"Makanya sama abang aja. Kita udah cocok banget, lo."

Tau sahabatnya telah termakan rayuan gombal Kevin karena terlihat jelas sedang salah tingkah, Sekar mengambil alih pembicaraan. "Kalau keluarganya kaya kenapa Mas Gani malah kerja di pabrik?" tanyanya santai supaya tak kentara terlalu ingin tahu.

"Ini kalau yang kalian berdua maksud kaya seperti sultan-sultan itu, ya bukan. Tapi kalau dibanding kita-kita, ya emang kaya. Keluarga berada lah kalau dalam pandangan gue. Bapaknya punya usaha semacam bus pariwisata gitu, lah."

Sekar melirik sang sahabat yang juga melakukan hal sama. Keduanya seolah tengah berkomunikasi lewat tatapan. Yang satu mengungkapkan keraguan, yang satu memberi semangat.

"Tapi setau gue keluarganya baik, kok. Suami kakaknya berasal dari keluarga biasa aja."

"Lo tau banget, ya?" Pertanyaan pria berambut botak yang baru saja menelan martabak tersebut seolah mewakili Sekar.

"Mama gue cerita, kan adek gue pernah mau dijodohin sama Gani. Tapi, ya gitu ngga berhasil. Entah seperti apa cewek yang disukai dia."

Selanjutnya Sekar tak terlalu fokus dengan percakapan yang terjadi. Otaknya sibuk membayangkan kemungkinan yang terjadi di masa depan. Sementara hatinya berjuang membuang keraguan.

Dia harus bertahan! Ya, tak ada jalan lagi untuk mundur. Setidaknya dia harus mengusahakannya dulu, sampai batas yang dia sendiri tak mampu menanggungnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top