Bab 16

Selamat membaca.





Rumah di depannya masih sama seperti yang terakhir dia lihat. Asri dan sejuk. Namun, hal itu tak lantas membuat Sekar tenang.

Berjalan perlahan sampai tangannya di tarik Gani yang kelihatan gemas pada sikapnya, Sekar menarik napas panjang begitu memasuki kediaman mertuanya. Tak ada sambutan apapun karena menurut sang suami, penghuni rumah sedang ke bandara untuk mengantar sanak keluarga yang kemarin hadir di resepsi mereka.

Pun dengan keluarganya yang tadi pagi langsung pulang menggunakan kereta api. Inginnya dia mengajak jalan-jalan dulu, tapi tidak bisa mengingat adiknya harus sekolah. Apalagi Riski yang sudah kelas tiga sekolah menengah atas tak mungkin bolak-balik bolos.

"Ke kamarku dulu, ya."

Sekar mengangguk. Memangnya apa yang bisa dia lakukan selain itu?

Tiba di kamar yang terletak di lantai dua, dia dibuat kagum dengan kerapian yang ada. Tidak ada barang yang tercecer, semua terletak pada tempat masing-masing.

Ya, tak diragukan lagi karena suaminya memang suka kebersihan. Bahkan saat pagi jika dia mandi dulu maka Gani akan melipat selimut, menata bantal, dan merapikan sprei. Hal yang tentu menguntungkan untuknya karena tak perlu beberes dipagi hari.

Meletakkan ranselnya di samping lemari yang terdapat di sisi kanan, dia bermaksud membongkarnya sebelum sebuah tangan tiba-tiba melingkari perutnya. "Mas! Aku mau memasukkan baju ke lemari."

Sesuai keinginan sang suami, Sekar membawa beberapa potong baju yang nantinya akan ditinggal di sini. Dengan maksud memudahkan mereka jika akan bermalam karena tak perlu repot membawa-bawa baju.

"Nanti saja. Aku capek, tidur dulu, yuk."

Oh, tentu saja Sekar menolak. Ini masih pukul sepuluh pagi bukan waktu yang pas untuk tidur siang. Selain itu dia juga belum bertemu mertuanya. Bagaimana jika nanti ketika anggota keluarga barunya itu pulang tapi dia masih tidur?

Pasti memalukan!

"Mas tidur dulu, aku mau beberes."

"Ngga mau. Mumpung masih libur, kapan lagi kita bisa tidur siang bersama?"

Sekar mengernyit. Ada satu sifat baru Gani yang didapatinya kala mereka sudah menikah. Suaminya akan menjadi sangat manja jika menginginkan sesuatu, dan jika tak dituruti bisa merengek layaknya anak kecil.

Seperti sekarang, Gani yang sedang meletakkan kepala di bahu Sekar dengan posisi miring memainkan telunjuknya di pipi sang istri. Bibirnya mencebik seolah mengungkapkan kekesalan. Dan jika begini mau tidak mau Sekar menurut.

Tak terbiasa menghadapi rengekan seseorang, apalagi orang itu telah dewasa membuat Sekar risih. Hingga ingin segera menghentikan keanehan suaminya. "Baiklah," ucapnya menyerah. Toh, dia tak terlalu mengantuk jadi kemungkinan dalam waktu setengah jam sudah terbangun.

Asumsi yang salah karena matanya baru terbuka pukul setengah satu, yang artinya dia tidur kurang lebih dua jam setengah. Parahnya, dia tak lagi mendapati Gani di sampingnya.

Ke mana sang suami?

Kenapa tak membangunkannya, malah meninggalkannya sendirian?

Menuju kamar mandi untuk mencuci muka, dia lantas melakukan kewajibannya. Kemudian keluar kamar setelah menyambar bergo yang terletak di atas nakas. Berdiri di ujung tangga, samar-samar dia mendengar suara orang tengah mengobrol.

Ada keraguan untuk turun, tapi tidak mungkin dia terus-terusan di kamar sementara suara mertuanya terdengar jelas. Memangnya dia mau memakai alasan apa jika tak kunjung ke bawah?

Menuruni satu per satu anak tangga, dia berusaha mengatur mimik mukanya sebaik mungkin. Santai dan penuh senyum. Apalagi kala berserobok dengan ibu mertuanya, semakin lebar dia tarik bibirnya.

"Pulang jam berapa, Ma?" tanyanya sesudah mencium tangan sang mertua.

"Satu jam lalu. Kamu baru bangun?"

"Iya, Ma." Sekar meringis, lalu mencoba mencari pembicaraan lain." Ada yang bisa saya bantu, Ma?"

"Ngga ada. Mama baru saja selesai membuat kue dan semua juga sudah makan siang, kalau kamu lapar nasi dan lauknya ada di meja."

"Iya, Ma. Saya ke Mas Gani dulu." Sekar mengangguk pelan, lalu segera beranjak dari sana. Bercengkrama dengan ayah mertuanya yang pendiam lebih baik, daripada kebingungan mencari bahan pembicaraan dengan perempuan yang masih tampak cantik meski memiliki kerutan di beberapa bagian wajah itu.

Dia bukanlah orang yang pandai memulai obrolan, bahkan cenderung menjadi pendengar. Karena itu dia kesulitan menghadapi ibu mertuanya yang terlihat membangun jarak di antara mereka. Padahal menurut sang suami, mertuanya itu tipe cerewet dan banyak omong tapi jika berhadapan dengannya langsung berubah drastis.

Ah, bolehkah dia bersikap cuek layaknya menghadapi orang lain?

"Sudah bangun?"

Mengabaikan pertanyaan sang suami, Sekar lebih dulu menyapa ayah mertuanya sebelum duduk di sebelah Gani. "Kenapa tak membangunkanku?" tanyanya pelan.

"Kamu kelihatan nyenyak, mana tega aku."

Ingin sekali Sekar mencibir jawaban itu. Gara-gara perasaan tak tega, dirinya menjadi serba salah. Belum lagi pertanyaan ibu mertuanya yang terasa seperti sindiran tadi terus terbayang di otaknya.

"Gani temani Sekar makan dulu!"

Anggap saja Sekar tidak tahu diri karena merasa senang dengan perintah itu. Namun, mau bagaimana lagi dia rasanya sungkan jika harus makan sendiri. Tadi sampai berniat menahan lapar hingga makan malam.

"Ayo!" Gani berdiri dan memberi kode Sekar agar mengikutinya. "Kamu kenapa?"

Sekar bisa saja menutup rapat perasaannya, hingga tak tergambar ekspresi apapun di wajahnya. Namun, semenjak menikah tentu Gani mulai bisa membaca sang istri.

Seperti sekarang, istrinya beberapa kali mengela napas yang berarti ada sesuatu yang mengganggu pikiran. Tak hanya itu dia juga mendapati istrinya meremas jari ketika mereka duduk di ruang tengah tadi.

"Ngga apa-apa."

Inginnya Gani mengeluarkan banyak pertanyaan, mengingat tidak apa-apa bagi perempuan adalah hal sebaliknya. Dari mana dia tahu?

Tentu dari para sahabatnya, yang memiliki banyak pengalaman menghadapi makhluk yang baginya sering kali berpikir rumit. Kenapa sulit membuat mereka jujur?

Hal yang harus dia tunda, sebab di dapur ada ibunya yang sedang sibuk di dapur. Meski ruang makan dan dapur mempunyai jarak, dia khawatir pembicaraan mereka akan didengar.

Sebagi ibu rumah tangga, dia tahu seberapa produktifnya perempuan paruh baya tersebut. Bukannya memasak satu kali untuk menghemat tenaga, malah setiap jam makan selalu ada menu berbeda. Belum lagi berbagai camilan buatan sendiri selalu tersedia.

Rasanya sangat jarang melihat ibunya diam tanpa melakukan apa-apa. Jika tak di dapur maka tanaman akan menjadi hal selanjutnya yang diurus. Dan juga perempuan yang telah melahirkannya itu banyak mengikuti kegiatan di kompleks. Mulai dari arisan, pengajian, sampai senam setiap akhir pekan.

"Kamu mau makan apa?" Gani membuka tudung saja. Lauknya masih lengkap, meski tinggal sedikit. Ingat, ibunya lebih suka memasak lagi jadi tidak pernah menyiapkan banyak porsi. Ada cah kangkung, oseng tahu, ayam goreng, dan sambal sebagai pelengkap.

"Aku bisa ambil sendiri." Sekar mengambil piring yang berada di tangan suaminya. Sisi lain yang tak begitu disukainya adalah Gani terlalu memanjakannya. Dia gak was-was jika nantinya terlalu nyaman dengan perbuatan itu. Takut menjadi terlalu bergantung pada suaminya.

Mengambil nasi dan lauk yang dia coba semuanya atas saran suaminya, Sekar mulai makan dengan gerakan sedikit cepat. Dia tak tahu jika mertuanya kembali sibuk di dapur karenanya ingin segera membantu.

"Pelan-pelan," ucap Gani sembari mengulurkan gelas berisi air putih ketika melihat Sekar kesulitan menelan makanan. Lalu dia menopang kepala menggunakan tangan yang sikunya berada di atas meja. Memperhatikan setiap gerakan istrinya, dari mulai memilih lauk yang akan dicampur dengan nasi sampai memasukkannya ke dalam mulut.

Hal yang semata-mata dilakukan untuk memastikan Sekar menghabiskan makanannya. Dia ingin tubuh perempuan yang semakin hari membuatnya jatuh cinta itu, lebih berisi. Bukan tentang tak menerima apa adanya, hanya ingin Sekar tampak sehat dan segar.

Kadang dia merasa sedih kala melihat betapa kurusnya Sekar. Bahkan sampai berpikir apa istrinya itu tak punya daging? Sebab ketika dipeluk tubuh kecil itu akan tenggelam dalam dekapannya.

"Kamu ngapain duduk-duduk saja? Antar ini ke tetangga."

"Sebentar lagi, Ma. Nunggu Sekar selesai, boleh ya?" Gani benar-benar berubah layaknya anak kecil saat bersama orang tersayangnya. Cara dia membujuk persis seperti keponakannya sendiri.

"Buat apa?"

"Ya, sekalian buat dikenalin ke tetangga."

"Ada-ada saja kamu! Cepat antar, toh mereka kan sudah ketemu Sekar pas resepsi kemarin."

Gani hampir saja mengeluarkan sanggahan, tapi kakinya lebih dulu diinjak sampai-sampai dia menggigit bibir mencegah umpatan yang akan keluar. Matanya sontak menatap istrinya kesal. Bukannya apa, Sekar tak main-main dalam menggunakan tenaga.

Ingin marah, tapi raut bersalah sang istri juga kode agar menuruti perintah mau tak mau membuatnya berdiri. Lalu mengambil kantong plastik yang dibawa ibunya. "Banyak banget, Ma," protesnya.

Ada sepuluh kardus kue, yang intinya dia harus mengantar ke tetangga kanan, kiri, juga depan rumah. Memang niat sekali ibunya.

"Sebagai ucapan terima kasih soalnya kemarin, kan mereka ikut bantu pas persiapan pernikahan."

"Terus kenapa ngga mama sendiri yang mengantar?"

"Mama tadi pagi sudah keliling untuk mengucapkan terima kasih. Tapi belum bawa apa-apa. Udah pergi sana! Banyak tanya kamu!"

"Iya, mama." Gani mengusap pelan kepala Sekar sebelum memutar tumit. Hal yang mulai menjadi kebiasaannya saat pamit pada sang istri. Sayangnya, tanpa dia sadari ada tatapan tajam yang menyorot perlakuan itu.

"Sudah selesai makannya?"

Sekar mengangguk. "Saya cuci piring dulu, ma."

"Sekalian cuci peralatan memasak yang ada di dapur!"

"Iya, Ma." Sekar meninggalkan meja makan. Sebagai anak pertama yang mempunyai banyak adik, pekerjaan rumah tangga bukan hal asing untuknya. Tanpa diperintah pun, dia pasti membantu mertuanya. Hanya saja kalimat perintah yang diucapkan dengan ketus itu berhasil membuatnya tersenyum getir.

"Kamu mau kerja sampai kapan?"

Hampir saja baskom yang sedang Sekar bilas jatuh akibat tiba-tiba mendapat pertanyaan itu. Padahal sebelumnya dia di dapur sendirian. "Maksudnya, ma?"

"Ngga ada niat berhenti? Memangnya uang yang dikasih Gani kurang?"

"Alhamdulillah, cukup ma. Soal kerja, Mas Gani sudah memberi ijin saya tetap bekerja."

"Mama sama papa sebenarnya berharap Gani membantu usaha keluarga. Toh, dia juga punya rumah di sini, jadi buat apa kerja jauh?"

Sejenak Sekar tak menggerakkan tangannya, menyebabkan gelas di tangannya terlalu lama tersiram air yang mengalir. Arah pembicaraan mertuanya mulai dia mengerti.

"Coba kamu bujuk Gani supaya mau membantu papa."

Nah, kan. Lagi-lagi tentang hal ini.

"Maaf, ya saya ngga janji apa-apa karena kami sudah sepakat sementara ini akan tetap bekerja."

Sekar sadar jika ucapannya kemungkinan besar menyinggung mertuanya, tapi dia juga tak mau mengiyakan. Membujuk Gani supaya berhenti kerja sama artinya dia harus siap kehilangan mata pencaharian. Oh, tentu saja untuk sekarang dia tak mau itu terjadi.



Jangan lupa bintangnya, ya. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top